Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI DIFTERI

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,


faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-
kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh
cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran
asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa
sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang
ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan membran
pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif
yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada
difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit
yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk


batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheria  ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis.

Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan


gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak
bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan

4
intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-
luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.
Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya
menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita
oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin
untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan
dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.

Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara


bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk
tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe
lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam
bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan
manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).

2.1.1. Morfologi Corynebacterium diphtheria

a. Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak


berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung
badan bacteri.
b. Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat
muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
c. Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien,
letanya bakteri seperti  huruf – huruf  L, V, W, atau tangan  yang  jarinya terbuka
atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam
huruf  V, L, Y / tulisan cina.

Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa


mikrometer, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak
tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan
Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-

5
perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius
tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan
terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur
pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-
granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula
metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap
korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau
membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam
biakan.

Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat


keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu :

a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga


paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit,
pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan. 

b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip
seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni
pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.

c.       Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna
hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap,
tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu akan
membentuk endapan.

Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat
biokimia sepertikemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari
tiga tipe dapat dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi
toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing.

6
Waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi
dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit..
Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan
organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang
jaringan.

2.2. KLASIFIKASI DIFTERI

Kerajaan   : Bacteria
Filum        : Actinobacteria
Ordo          : Actinomycetales
Famili        : Corynebacteriaceae
Genus        : Corynebacterium
Spesies      : C. diphtheria

2.3. CARA PENULARAN PENYAKIT DIFTERI

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai


penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan
atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan
penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa
sampai 6 bulan.

Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.


Ciri khasdari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksiradang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel
darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran
putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita
yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal  (Depkes,2007).

7
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

a. Infeksi ringan bila pseudomembran  hanya terdapat pada mukosa hidung dengan


gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.

c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa-apa.

2.3.1. Gambaran Klinis

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.

1. Anterior nasal difteri: Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung


mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi
ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.

2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia,
dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati
dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat

8
ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.

3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.

4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs
lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-
vagina, serta kanal auditori eksternal. 

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh


pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling
sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung
yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi
pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf
motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena


obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan
untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).
Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50
tahun terakhir.

2.4. PATOFISIOLOGI
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel
di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa
genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri
sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari

9
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.

Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari.


Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara
dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak
masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit
sampai 6 bulan.

2. Tahap Penyakit Dini

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.


Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan
pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama
minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan
ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

3. Tahap Penyakit lanjut

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah
robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka

10
lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan


invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal
pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan
exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan
sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa
menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang
menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk
kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang
lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari
kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran
sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan
nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning,
atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena
membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran
rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel
melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi
porsi toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja
setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi
kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.

11
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.

2.5. EFIDEMIOLOGI

1. . Person (Orang)

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering


menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya
anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.

Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita
penyakit polio

2. Place (Tempat)

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan
dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan
penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

12
3. Time (Waktu)

Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak
mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang
biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

2.6. DIAGNOSIS

Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan


pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit Difteri boleh meliputi:

a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk


mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat
di lakuka denganElectrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi


hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik.
Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.

2.7. TANDA DAN GEJALA

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :


1. P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C
2. Ada  psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi  penyakit ini bisa


bervariasi dari tanpa gejala sampai  suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta

13
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium
diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.  Faktor-faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah  nasofaring yang
sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.

a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.

b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 
hari timbul membran yang melekat, berwarna  putih-kelabu dapat  menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula  dan palatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.

c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. 

d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga


Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan

14
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).

2.8. PATOGENESIS

Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan,


dalam luka- luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu
yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan
bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama
bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar  tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino,
pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan  nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan  pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, olekul dapat terbagi
menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai
aktivitas  tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel.
Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan
menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk
translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis
reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin di
fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik
toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak.

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda,


yaitu :

15
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan. 
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,


dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa
bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka.
Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri
mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama
bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino,
pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri
adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis
0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri,
tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan
aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi
polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik.
Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang
menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-
EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria
disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadakBiasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung

16
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh,terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.


Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada
saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama
minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan
ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan
destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis
tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk
”pseudomembran” yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau
laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan
mengakibatkan pendarahan.  Kelenjar getah bening regional pada leher membesar,
dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.

Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara


aktif. Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh,
khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,
ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga
mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum
molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

17
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis


ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan
dibuat biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).

2.9. KOMPLIKASI PENYAKIT

Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah


toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :


1.      Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2.      Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3.      Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf  penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan
kerusakan ginjal.

2.10. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

2.10.1. Pencegahan
a.   Isolasi Penderita

18
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b.   Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis,
dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia
sekolah dasar.
c.   Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita
karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok.
Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati
dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

2.10.2. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
2. Pengobatan Khusus 
a. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 
b. Antibiotik

19
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan
untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin
G, atau Penisilin prokain.
c. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala.

3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
4. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.

20

Anda mungkin juga menyukai