TINJAUAN PUSTAKA
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif
yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada
difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit
yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
4
intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-
luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.
Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya
menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita
oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin
untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan
dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.
5
perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius
tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan
terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur
pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-
granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula
metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap
korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau
membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam
biakan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip
seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni
pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna
hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap,
tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu akan
membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat
biokimia sepertikemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari
tiga tipe dapat dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi
toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing.
6
Waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi
dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit..
Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan
organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang
jaringan.
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria
7
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa-apa.
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia,
dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati
dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat
8
ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs
lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-
vagina, serta kanal auditori eksternal.
2.4. PATOFISIOLOGI
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel
di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa
genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri
sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
9
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
10
lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
11
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.
2.5. EFIDEMIOLOGI
1. . Person (Orang)
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita
penyakit polio
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan
dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan
penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
12
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak
mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang
biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
2.6. DIAGNOSIS
13
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium
diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang
sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2
hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
14
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
2.8. PATOGENESIS
15
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
16
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh,terutama jantung dan saraf.
17
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
anak mengalami kesulitan bernafas.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan
kerusakan ginjal.
2.10.1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
18
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis,
dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia
sekolah dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita
karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok.
Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati
dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2.10.2. Pengobatan
19
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan
untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin
G, atau Penisilin prokain.
c. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala.
3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
4. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
20