Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“Corynebacterium Diphtheriae”
Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Mikrobiologi

Dosen pengajar :
Dewi Perwito S, S.Farm, M,Farm, Apt

Disusun oleh :
1. Uswatun Khasanah (204010001)
2. Antonia Vani K (204010002)
3. Rizka Brigita (204010003)
4. Endang Tri Arsita (204010004)

Fakultas Sains dan Kesehatan S1 Farmasi


Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Tahun Ajaran 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Corynebacterium Diphtheriae " dengan
tepat waktu. Dan kami tak lupa berterima kasih kepada ibu Dewi Perwito S, S.Farm,
M,Farm, Apt selaku dosen mikrobiologi Teori. Terima kasih pula kepda rekan – rekan yang
telah membantu membuat makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. Sekiranya
laporan yang telah kami susun sederhana ini dapat menginspirasi dan berguna bagi kami dan
semua yang membacanya. Terima kasih dan maaf apabila ada kata yang kurang berkenan.

Surabaya, 4 Desember 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mikrobiologi adalah sebuah ilmu biologi yang mempelajari mikroorganisme atau
mikroba. Obyek kajiannya adalah semua makhluk (hidup) yang perlu dilihat dengan
mikroskop, khususnya bakteri, fungi, alga mikroskopik, protozoa, archaea dan virus.
Corynebacterium Diphtheriae merupakan bakteri yang cukup dikenal dikalangan masyarakat.
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae merupakan bakteri penyebab penyakit Difteri. Difteri
merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang pula menyerang konjungtiva atau vagina
(Chin, J., J., 2000). Namun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu berupa infeksi akut yang menyerang
saluran pernapasan atas.
Kelompok risiko tinggi terserang difteri adalah anak-anak dan orang lanjut usia, tapi pada era
vaksinasi seperti saat ini terjadi perubahan epidemiologi dimana difteri juga sering terjadi pada orang
dewasa. Terjadinya epidemi atau peningkatan kasus pada suatu daerah yang sudah lama bebas dari
penyakit ini dapat ditimbulkan karena adanya penderita atau karier yang datang dari daerah endemik,
penurunan cakupan imunisasi dan terjadinya perubahan virulensi bakteri.

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui tentang bakteri Corynebacterium Diphtheriae

C. Tujuan
1. Untuk Mengenal tentang bakteri Corynebacterium Diphtheriae
BAB II
PEMBAHASAN

A. Corynebacterium Diphtheriae
a. Karakterisasi
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri yang berbentuk batang (basil) berukuran
panjang 1 sampai 8 µm dengan diameter 0,5 sampai 1 µm. Bakteri Corynebacterium diphtheriae
termasuk bakteri yang patogen penyebab infeksi difteri, yang ditemukan pertama kali oleh Edwin
Klebs dan Friedrich Loffler. Bakteri Corynebacterium diphtheriae memiliki kekhasan dengan
bentuk “gada” yang terdiri dari granula, granula merupakan bahan cadangan sumber karbon yang
disimpan dalam bentuk polimer netral dengan osmotik lambat yang suatu saat dapat diubah
menjadi polimer glukosa dan glikogen. Granula tersebut digunakan sebagai sumber karbon ketika
sintesis asam nukleat dan protein dimulai kembali. Granula tersebut dapat terletak tidak teratur
pada batang tetapi sering dijumpai terletak dekat kutub. Pada agar darah koloni yang terlihat
berbentuk kecil, granular, dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak beraturan.
Bakteri Corynebacterium diphtheriae, berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkan,
dapat dibedakan menjadi tiga biotipe, yaitu gravis, mitis dan intermedius. Jenis gravis
menghasilkan koloni besar, kasar, irreguler, warna abu-abu, dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit. Jenis mitis mempunyai koloni kecil, halus, konveks dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit. Jenis intermedius mempunyai koloni kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya
dan menimbulkan hemolisis eritrosit.

b. Gambaran Bakteri

Bentuk Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.Pada
pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya
berwarna biru violet ( meta chromatis ).Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru
diambil dari pasien, letanya bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka
atau sering dikenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan
cina.

c. Patogenesis
Pathogen utama manusia pada kelompok ini adalah c.diphteriae. di alam, C.diphteriae
tedapat dalam saluran pernapasan .luka,atau kulit yang terinfeksi atau carrier normal. Organisme
tersebut menyebar melalui droplet atau melalui kontak dengan orang yang rentan; basil kemudian
tumbuh dimembran mukosa atau pada abrasi kulit . dan basil yang toksigenetik mulai
menghasilkan toksin .
Semua C.diphteriae toksigenik mampu menguraikan eksotoksin yang menimbulkan penyakit
yang sama . Produksi in vitro toksin ini sangat bergantung pada kosentrasi besi . produksa toksin
bersifat optimal pada 0,14 ug besi permiliter medium tetapi sebenarnya mengalami supresi pada
0,5 um/ml. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil toksin in vitro adalah tekanan osmotic
,kosentrasi asm amino ,pH, dan tersediaannya sumber nitrogen dan karbon yang sesuai . Faktor-
faktor yang mengontrol produksi toksin in vivo belum dipahami dengan baik . Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya
saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot
jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam,
bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel
dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran” yang berwarna
kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang
pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan pendarahan. Kelenjar getah bening
regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin
ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim,
infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh
pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan
paralisis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu :
Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri
berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.
diphtheriaetapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat
dalam kolonisasi tenggorokan.
Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan
jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-
gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis
saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek
jangka pendek di lokasi kolonisasi.

d. Gejala Klinis
Penetapan kasus salah satunya dilihat dari tanda dan gejala klinis yang muncul
hal ini karena penanganan sedini mungkin sangatlah penting untuk dilakukan. Tanda
dan gejala yang digunakan sebagai alat diagnosa penyakit difteri, yaitu:
1. Mengalami infeksi pada faring, laring, trakhea, atau kombinasinya;
2. Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran) yang tidak
mudah lepas pada tenggorokan, amandel, rongga mulut, atau hidung;
3. Pembengkakan kelenjar limfa pada leher (bullneck);
4. Demam yang tidak tinggi (< 38,5˚C);
5. Mengeluarkan bunyi saat menarik napas (stidor); dan
6. Kesulitan bernapas

e. Diagnosa Laboratoris
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk
mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel
kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah Amies
dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia
kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti.
Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di
rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).

f. Terapi
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien
lainnya. Isolasi dapat dilakukan selama 48 jam sejak pemberian antibiotik hingga tidak lagi
menular (Kemenkes RI, 2017). Sementara menurut Widoyono (2011) untuk pengobatan
sendiri terdapat dua tujuan utama yaitu untuk memulihkan pasien dari peradangan dan toksin
bakteri itu sendiri. Pengobatan tersebut diantaranya:

1. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yang dapat mengikat toksin dalam
darah. Sayangnya ADS ini tidak mampu mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat
diperoleh dari serum kuda. ADS ini diberikan kepada suspek difteri tanpa menunggu
hasil laboratorium.
2. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis.
Pengobatan jenis ini diberikan kepada suspek difteri serta kontak kasus dengan tujuan
untuk dapat menekan penularan penyakit.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan

g. Gambaran Kondisi Pasien

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
a. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan.
Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
b. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring
dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika
pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai
10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.

d. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo- vagina,
serta kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan
neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung.
Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi
saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat
terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.Komplikasi lain termasuk otitis
media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas
kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).
Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
BAB III
PENUTUP

Corynebacterium Diphtheriae merupakan bakteri yang cukup dikenal dikalangan masyarakat.


Bakteri Corynebacterium Diphtheriae merupakan bakteri penyebab penyakit Difteri. Difteri
merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang pula menyerang konjungtiva atau vagina
(Chin, J., J., 2000). Namun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu berupa infeksi akut yang menyerang
saluran pernapasan atas. Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri yang berbentuk batang (basil)
berukuran panjang 1 sampai 8 µm dengan diameter 0,5 sampai 1 µm. Bakteri Corynebacterium
diphtheriae termasuk bakteri yang patogen penyebab infeksi difteri, yang ditemukan pertama kali oleh
Edwin Klebs dan Friedrich Loffler.
Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul,
tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.Pada pewarnaan
menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna
biru violet ( meta chromatis ).
Terapi pengobatan untuk bakteri ini dengan cara :
1. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yang dapat mengikat toksin dalam
darah. Sayangnya ADS ini tidak mampu mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat
diperoleh dari serum kuda. ADS ini diberikan kepada suspek difteri tanpa menunggu
hasil laboratorium.
2. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis.
Pengobatan jenis ini diberikan kepada suspek difteri serta kontak kasus dengan tujuan
untuk dapat menekan penularan penyakit.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.

DAFRTAR PUSTAKA
Budiman, W. (2013). KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium
diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK: Penelitian Diskriptif Laboratorik
(Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Indriani, L. (2018). Morfologi dan Patogenitas Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan
(Corynebacterium dhypteria). Yayasan Borneo Lestari Akademi Analis Kesehatan Borneo Lestari.
Banjarbaru.

Sunarno, S., Sariadji, K., & Wibowo, H. A. (2011). Pengembangan Deteksi Molekuler Difteri Dan
Corynebacterium diphtheriae Typing dengan Metode PCR.

Anda mungkin juga menyukai