Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BAKTERIOLOGI II

CORYNEBACTERIUM DIPHTERIAE

Disusun oleh :

KELOMPOK 6
1. ISNA HASNIA (18 522 021)
2. ERA HERNITA SAGALA (18 522 018)
3. ENDAH Y RAHMAWATI (18 522 048)
4. ESRA S TARUKBUA (18 522 063)

Dosen Pengampu : dra. Ester Rampa

PROGRAM STUDI ANALIS KESEHATAN D-III


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA
PAPUA
2019
Corynebacterium diphtheria

1. PENGERTIAN
Corynebacterium diphtheriae diisolasi pada tahun 1883 oleh Klebs
dan dibuktikan sebagai penyebab penyakit difteria oleh Loeffler pada
tahun 1884. Oleh sebab itu, disebut juga basilus Klebs-Loffler.
Corynebacterium diphtheriae merupakan basilus yang pleomorfik yang
berarti bahwa ada variasi ukuran dan bentuk di antara individu sel dalam
biakan murni. Beberapa sel berbentuk lurus, ada pula yang bengkok atau
berbentuk tongkat. Panjangnya berkisar antara 1-8μm dan lebarnya antara
0,3-0,8μm. Umumnya sel membentuk sudut tegak lurus satu terhadap
yang lain. Ciri khas sel yang lebih tua ialah penampilannya yang seperti
butiran bila diwarnai dengan beberapa pewarna seperti biru metilen atau
pewarna Albert. Butiran-butiran tersebut menampakkan warna yang
berbeda dengan zat warna yang dipakainya, ini disebut butiran
makromatik dan terdiri dari polimer polifosfat anorganik.
Corynebacterium diphtheriae tumbuh dengan baik pada medium agar
darah. Tetapi medium selektif seperti medium serum telur glukosa
terkoagulasi Loeffler dan agar darah dengan kalium telurit menghambat
pertumbuhan bakteri pencemar dan menyuburkan pertumbuhan basilus
difteria. ( Bonang.2011)

2. Klasifikasi Corynebacterium diphtheria


Menurut Bonang (2011), klasifikasi bakteri corynebacterium
diphteriae ialah :
Kingdom : Bacteriae
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebecterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae
Sub spesies : - Corynebacterium diphtheriae gravis
: - Corynebacterium diphtheriae mitis
: - Corynebacterium diphtheriae intermedius
3. Morfologi Corynebacterium diphtheria
Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri anaerobik
fakultatif, Gram positif (+) batang, berukuran panjang/pendek,
besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak,
bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bakteri.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 sub spesies yaitu gravis, mitis,
dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri ini. (Bonang.2011)

Sub spesies Koloni pada Agar Telurit


Corynebacterium diphtheria
Corynebacterium diphtheriae Pendek, pada pewarnaan merata, granula
Tipe gravis metakhromatik sedikit, berbentuk pemukul dan halter
Corynebacterium diphtheriae Panjang, terdapat banyak granula metakhromatik,
Tipe mitis bentuk batang pleomorfik, sel tersusun seperti hurf V
dan W mirip seperti tulisan kuno
Corynebacterium diphtheriae Panjang, pada pewarnaan tidak merata dengan ujung
Tipe intermedius menyerupai gada

Gambar 1.1 corynebacterium difteriae

4. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan
oleh corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi,
akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran
pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya
“pseudomembran”.(Irianto,2007)
Menurut Irianto (2007), difteri dibedakan menjadi 3 bagian :
a. Difteri hidung
Gejala yaitu pilek ringan tanpa disertai gejala sistemik ringan,
secret hidung dan tampak membran putih pada daerah septum nasi

Gambar 1.2 difteri hidung


b. Difteri tonsil faring
Gejala yaitu nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat,
tampak lemah, nafas berbau, anoreksia dan malaise,udim ringan
jaringan lunak leher yang luas akan menimbulkan bulneck.

Gambar 1.3 difteri tonsil faring


c. Difteri laring
Gejala yaitu stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering,
demam tinggi, lemah, sionosis, pembengkakan kelenjar leher.

Gambar 1.4 difteri laring


5. Cara Penularan
Menurut Kadun (2006), cara penularan penyakit difteri yaitu :
 Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau
bersin membawa serta kuman-kuman difteri
 Selain itu bisa ditularkan juga melalui makanan yang
terkontaminasi
6. Patogenesis Corynebacterium diphtheria
Bakteri Corynebacterium diphtheriae yang berada dalam tubuh
akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya akan menimbulkan penyakit
difteria. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama
terutama laring, amandel dan tenggorokan. Infeksi pada
faring/tenggorokan dimulai dengan radang tenggorokan ringan disertai
demam ringan dan menggigil. Radang akan menyebar ke nesofaring atau
ke bawah menuju laring atau trakea. Terjadinya pembengkakan pada
kelenjar getah bening leher disertai sumbatan pernapasan yang
menyebabkan gambaran “leher banteng” atau “bull neck” yang khas.
Terbentuknya suatu pseudomembran yang melekat erat, berwarna kelabu
dan menyebar. Bakteri Corynebacterium diphtheriae tidak merusak
jaringan tetapi menghasilkan eksotoksin yang akan menyebar melalui
darah ke jaringan lainnya sehingga menyebabkan perdarahan dan
nekrosis. Sasaran utama jaringan yang akan dirusak yaitu jantung dan
saraf. Sedangkan, infeksi pada kulit tampak sebagai ulkus kulit kronis,
menyebar dan berwarna kelabu. Bentuk infeksi kulit jarang menyebabkan
kerusakan toksis terhadap jantung dan saraf namun ( Irianto.2007 )

Gambar 1,5 skema


patofisiologi
7. Pemeriksaan Corynaebaterium diphtheriae
Diagnosis klinik difteria tidak selalu mudah ditegakkan karena
klinikus berpengalaman menyatakan bahwa pemeriksaan ini sebagai salah
satu pemeriksaan yang cenderung untuk salah diagnosis. Kesalahan yang
sering terjadi yaitu dalam membedakan difteria dengan infeksi lainnya
seperti tonsillitis, faringitis reptokokal dan infeksi Vincent. Laboratorium
bakteriologi memerlukan waktu beberapa hari untuk memastikan
toksigenitas bakteri Corynebacterium diphtheriae yang diisolasi.
Laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis hanya berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis saja, ini disebabkan stain Corynebacterium
diphtheriae baik yang toksigenik maupun yang non toksigenik tidak dapat
dibedakan satu dengan yang lainnya, karena spesies Corynebacterium
yang lainpun secara morfologi serupa. Oleh karena itu, apabila pada
pemeriksaan mikroskopik ditemukan bakteri-bakteri yang bentuknya khas
seperti Corynebacterium diphtheriae, maka hasil presumtif yang
diberikan adalah ditemukannya bakteri-bakteri tersangka difteria. Hal ini
menunjukan pentingnya diagnosis laboratorium bakteriologi untuk
mendapatkan cara-cara yang mudah, cepat, sederhana dan dipercaya
sehingga dapat membantu klinikus dalam menegakan diagnosis.
Diagnosis bakteriolgi harus dianggap sebagai penunjang dan bukan
sebagai pengganti diagnosis klinik. Selain itu, kepastian diagnosa
laboratorium dapat juga ditunjang dengan suatu tes virulensi terhadap
binatang (in vivo) atau tes in vitro yang khas. ( Ditjen.2003)
Pemeriksaan Corynebacterium diphtheriae dapat dilakukan berdasarkan
pemeriksaan mikroskopik, pembiakan atau isolasi, uji biokimia dan uji
Virulensi dimana sampel didapat dari hapusan tenggorok, hapusan hidung
atau bahan pemeriksaan lainnya yang harus diambil sebelum pemberian
obat-obat antimikroba yang harus segera dikirim ke
laboratorium.(Ditjen.2003)
8. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan pewarnaan Gram dan
pewarnaan granula menggunakan metode Albert atau Neisser.
(Ditjen.2003)
Menurut Ditjen (2003), Cara kerja pewarnaan Gram yaitu :
- Buat apusan dari kultur pada kaca objek bersih menggunakan ose
- Fiksasi di atas nyala api
- Warnai dengan kristal violet selama 1 menit dan cuci dengan air
kran
- Tetesi lugol dan diamkan selama 1 menit kemudian cuci dengan
air kran
- Tetesi alkohol 95% selama 20-30 detik dan cuci dengan air kran
- Warnai dengan safranin selama 1 menit
- Cuci dengan air kran dan keringkan sediaan
- Tetesi minyak imersi dan amati bentuk, warna dan susunan di
bawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 100x

Gambar 1.6 pewarnaan gram

Menurut Ditjen (2003), Cara kerja pewarnaan granula metode Albert


yaitu :

- Pada sediaan yang telah difiksasi tetesi larutan Albert I, diamkan


selama 5 menit
- Buang kelebihan pewarna, tambahkan larutan Albert II dan
diamkan selama 1 menit
- Cuci dengan air menggunakan pipet tetes dan keringkan sediaan
menggunakan kertas isap.

Gambar 1.7 pewarnaan albert


Menurut Ditjen (2003), Cara kerja pewarnaan granula metode Neisser
yaitu :

- Pada sediaan yang telah difiksasi tetesi larutan Neisser A+B,


diamkan selama 1-2 menit
- Keringkan dengan kertas isap
- Tetesi larutan Neisser C diamkan selama 1 menit
- Keringkan dengan kertas isap

Gambar 1.8 metode neisser

Hasil pengamatan secara mikroskopis

PENGAMATAN PEWARNAAN PEWARNAAN


ALBERT NEISSER GRAM
Bentuk Batang Batang batang
Warna batang Biru kehijaun Kuning coklat Ungu
Granula Ungu tua Biru tua/ungu Tidak ada
Susunan Seperti huruf cina atau membentuk tersebar
huruf V, L, T

9. Pembiakan Atau Isolasi


Menurut Irianto ( 2007 ), Ada beberapa perbenihan atau media
yang digunakan untuk pembiakan atau isolasi Corynebacterium
diphtheriae, diantaranya :
a) Media Loeffler, digunakan untuk menyuburkan bakeri sehingga
akan memperlihatkan gambaran huruf Cina dan granula Babes-
Ernst (granula metakromatik) setelah dibuat sediaan dari koloni
yang terbentuk hasil inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37˚C.
b) Media Agar Telurit, selain sebagai media pengaya digunakan juga
untuk mengisolasi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang
selanjutnya akan ditanam untuk uji biokimia (glukosa dan sukrosa)
setelah proses inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37˚C. Selain
itu, media ini dapat digunakan untuk membedakan sub spesies
Corynebacterium diphtheriae.

Corynebacterium diphtheriae Agar telurit Setelah diinkubasi

Corynebacterium diphtheria Besar, kelabu tua, tak mengkilap


Tipe gravis dan beralur tak teratur

Corynebacterium diphtheriae Kecil, hitam dengan kelabu


Tipe mitis dibagian pinggir, mengkilap dan
cembung

Corynebacterium diphtheriae Kecil, gepeng, kering, kelabu


Tipe intermedius dengan hitam, bagian tengah lebih
tinggi

c. Media Agar Darah, digunakan untuk membiakan bakeri lainnya karena


infeksi Streptococcus β-hemolyticus menyerupai penyakit difteria yang
disebabkan infeksi Corynebacterium diphtheriae.

10. Uji Biokimia


Koloni tersangka yang tumbuh pada media Agar Telurit ditanam
pada media glukosa dan sukrosa (atau bisa pula ditambahkan dengan
ditanam pada amylum), kemudian diinkubasi pada suhu 37˚ C selama 24
jam.(Bonang.2011)
Hasil pengamatan adalah sebagai berikut :

Bakteri Glukosa Sukrosa


Corynebacterium + -
diphtheriae
Tipe gravis
Corynebacterium + -
diphtheriae
Tipe mitis
Corynebacterium + -
diphtheriae
Tipe intermedius
Corynebacterium xerosis + +
Corynebacterium - -
pseudodiphteriricum

11. Tes Virulensi


Tes virulensi dilakukan untuk mengetahui apakah suatu jenis
Corynebacterium diphtheriae dapat membuat toksin difteria atau tidak.
Maka untuk mengetahuinya digunakan dua macam tes yaitu tes virulensi
in vivo dengan binatang percobaan dan tes virulensi in vitro pada lempeng
agar. ( Ditjen.2003)
Menurut Ditjen (2003), prosedur kerja tes virulensi secara in vivo
dan in vitro adalah :
a. In Vivo, dengan cara menyuntikkan suspensi bakteri yang berhasil
diisolasi pada hewan percobaan.
Cara kerja tes virulensi in vivo yaitu :
- Tanamlah kedua kuman yang diperiksa pada tabung agar
miring Loeffler pada 37˚ C selama 24 jam. Buatlah suspensi
kuman tersebut di dalam 3-5 mL kaldu.
- Ambil dua marmot (A dan B) dengan berat badan kira-kira 250
gram. Cukurlah rambut pada masing-masing marmot pada satu
sisi.
- Suntikanlah 500 satuan antitoksin difteria pada marmot A
sebelum 12-24 jam tes dimulai.
- Suntikanlah 0,1-0,2 mL suspensi kuman pada sisi yang telah
dicukur.
- Setelah 3-4 jam, suntikanlah 30-50 satuan antitoksin difteria
pada marmot B untuk mencegah kematian binatang percobaan.
- Bila kuman yang diperiksa adalah pembentuk toksin maka
marmot A tidak akan memperlihatkan reaksi apapun pada
tempat penyuntikan. Sedangkan, marmot B akan mendapatkan
eritema pada tempat penyuntikan setelah 24 jam disuntik.
Eritema akan menjadi nekrotik setelah 2-3 hari.
b. In Vitro merupakan Tes Elek-Ouchterlony (gel difusi dari Elek)
dimana kertas saring yang dimasukkan ke dalam media (campuran
proteosa pepton agar, Tween 80, gliserol, asam kosamino dan kalium
tellurit) telah dicelupkan ke dalam antitoksin Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri yang akan diperiksa ditanam menyilang atau
tegak lurus terhadap kertas saring. Lalu diinkubasi pada suhu 37˚ C
selama 24 jam untuk difusi. Jika bakteri membentuk toksin difteria,
maka akan terbentuk garis presipitasi pada tempat pertemuan antara
toksin dan antitoksin.

Nomor 1 dan 4
positif (+)
menghasilkan toksin
difteria
Nomor 2 dan 3
negatif (-)
menghasilkan toksin
difteria
DAFTAR PUSTAKA

Bonang G, Enggar S. Koeswardono. 2011. Mikrobiologi Kedokteran Untuk


Laboratorium dan Klinik. Jakarta : PT Gramedia.
Ditjen P2PL,2003.Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,Depkes RI :
Jakarta
Johnson, Arthur dkk. 1994. Mikrobiologi dan Imunologi. Jakarta : Ninarupa
Aksara.
Irianto Koes. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Bandung :
CV. Yrama Widya.
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular,CV.
Infomedika, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai