Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,


suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada
tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan.
Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala klinis, laboratorium
(swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih awal. Tata laksana terdiri
dari penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme penyebab.
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas,
miokarditis, paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru
menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan imunisasi, pengobatan
karier, dan penggunaan APD

2. RUMUSAN MASALAH
 Bagaimana morfologi dan identifikasi Corynobacterium diphtheriae ?
 Bagaimana patogenesis Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana patologi Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana gejala klinis dari infeksi Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana uji laboratoium diagnostik dari Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana resistensi dan imunitas Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana pengobatan dari Corynobacterium diphtheriae?
 Bagaimana epidemiologi, pencegahan, dan pengendalian dari Corynobacterium
diphtheriae?
 Penyakit apa saja yang disebabkan oleh Corynobacterium diphtheriae?
3. TUJUAN
 Untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Bakteriologi 3
 Untuk mengetahui bagaimana morfologi dan identifikasi Corynobacterium
diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana patogenesis Corynobacterium diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana patologi Corynobacterium diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana gejala klinis dari infeksi Corynobacterium
diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana uji laboratoium diagnostik dari Corynobacterium
diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana resistensi dan imunitas Corynobacterium
diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari Corynobacterium diphtheriae
 Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi, pencegahan, dan pengendalian
dari Corynobacterium diphtheriae
 Untuk mengetahui penyakit apa saja yang disebabkan oleh Corynobacterium
diphtheriae
BAB II

PEMBAHASAN

1. Corynobacterium diphtheriae

A. Morfologi dan Identifikasi

Corynebacterium berdiameter 0,5 – 1 um dengan panjang beberapa


mikrometer. Karakteristik pada bakteri ini adalah mereka memiliki bentuk
menggelembung tidak teratur pada salah satu ujungnya yang akan menyebabkan
gambaran “club-shaped” atau penampakan seperti pentungan. Granula-granula
yang tampak jelas pada pengecatan anilin (granul metakromatik) tersebar tidak
merata pada batang (sering ada di dekat ujung), yang menyebabkan batang tampak
berisi pita-pita melintang. Corynebacterium pada pengecatan satu sama lain
cenderung tampak saling sejajar (paralel) atau membentuk sudut lancip. Suatu
percabangan jarang tampak pada kultur.

Pada media agar darah, koloni Corynobacterium diphtheriae kecil, granuler


dan berwarna abu-abu dengan tepi tak teratur dan bisa ditemukan adanya zone
hemolisis yang sempit. Pada agar yang mengandung kalium tellurite, koloni tampak
berwarna coklat sampai hitam dengan halo berwarna coklat kehitaman karena
tellurite direduksi intraseluler (staphylococcus dan streptococcus juga bisa
menyebabkan koloni yang berwarna hitam). Empat biotipe Corynobacterium
diphtheriae yang dikenali: gravis, mitis, intermedius dan belfanti. Varian ini
dikelompokkan berdasarkan pertumbuhan yang khas antara lain: bentuk koloni,
reaksi biokimia dan derajat keparahan penyakit yang ditimbulkannya. Sangat jarang
laboratorium rujukan yang bisa melakukan karakterisasi biotipe. Insiden difteria
sangat berkurang dan kaitan antara derjat keparahan penyakit dengan variasi biologi
ini tidak penting dalam penanganan kasus atau outbreak, jika perlu, bisa dilakukan
pemeriksaan imunokimia dan molekuler untuk menentukan tipe isolat
Corynobacterium diphtheriae.

Corynobacterium diphtheriae dan corynebacteria lainnya tumbuh secara


aerob pada sebagian besar media laboratorium biasa. Propionibacterium merupakan
bakteri yang bersifat anaerob. Pada medium serum Loeffler, corynebacterium
tumbuh lebih mudah daripada organisme lainnya yang biasa ditemukan pada
saluran pernafasan, dan morfologi organisme ini khas pada sediaan hapusan.

Corynobacterium diphtheriae cenderung memiliki bentuk gambaran


mikroskopik dan koloni yang pleomorfis. Jika beberapa organisme difteria
nontoksigenik terinfeksi oleh bakteriofaga dari basil difteria toksigenik tertentu,
maka keturunannya akan bersifat lisogenik dan toksigenik, dan galur ini akan
diturunkan. Jika basil difteria toksigenik yang mengandung faga, secara serial
ditumbuhkan pada antiserum khusus, maka cenderung menjadi nontoksik. Jadi,
adanya faga mengakitbatkan toksigenisitas (konversi lisogenik). Produksi toksin
terjadi jika profaga Corynobacterium diphtheriae menjadi terinduksi dan
melisiskan sel. Jika toksigenisitas berada di bawah kendali gen faga, sifat invasif
ada ibawah kendali gen bakteri.

B. Patogenesis
Bakteri patgen utama pada manusia dari kelompok ini adalah C.
diphtheriae. Di alam, C. diphtheriae ditemukan pada saluran napas, pada luka atau
kuliy orang yang terinfeksi atau karier noral. Bakteri ini menyebar melalui droplet
atau kontak dengan orang yang diduga kuat sebagai sumber infeksi, basil kemudian
tumbuh pada selaput lendir atau kulit yang lecet, dan disitu bakteri mulai
memproduksi toksin.
Semua C. diphtheriae yang bersifat toksigenik mampu memproduksi toksin
yang bisa mengakibatkan penyakit. In vitro, produksi toksin ini sangat tergantung
pada kadar besi. Produksi toksin optimal pada kadar besi 0,14 mg per mililiter
medium tetapi akan tertekan pada kadar 0,5 mg/mL. Faktor lain yang
mempengaruhi, secara in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH dan
ketersediaan sumber Karbon dan Nitrogen. Faktor yang mengendalikan produksi
toksin in vivo tidak diketahui dengan baik.
Toksin Difteria merupakan polipeptida yang labil terhadap panas (berat
molekul 62.000) yang bersifat lethal pada kadar 0,1 mg/kg. Jika ikatan disulfida
rusak, molekul bisa pecah menjadi dua fragmen. Fragmen B (berat molekul 38.000)
tidak memiliki aktivitas tersendiri tetapi membantu transport fragmen A ke dalam
sel. Fragmen A menghambat elongasi (pemanjangan) rantai polipeptida, asal
terdapat nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), dengan menginaktivasi faktor
elongasi EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polypeptidyl-transfer RNA
dari aseptor ke donor di ribosom sel eukariot. Fragmen toksin A menginaktivasi
EF-2 dengan cara mengkatalisir sebuah reaksi yang menghasilkan nikotinamida
bebas serta sebuah kompleks adenosin diphosphat –ribose- EF – 2 inaktif. Diduga
bahwa penghentian secara mendadak terhadap sintesis protein menyebabkan efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria ini. Sebuah eksotoksin dengan mekanisme
yang sama dapat diproduksi oleh Pseudomonas aeruginosa.

C. Patologi
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput lendir dan menyebabkan
kerusakan epitelium serta respon inflamasi superfisial. Epitel yang nekrotik
bercampur dengan fibrin yang dikeluarkan, dan sel darah merah serta sel darah
putih, sehingga terbentuk “pseudomembran” yang berwarna keabuan, biasanya
ditemukan di tonsil, faring atau laring. Usaha untuk mengangkat pseudomembran
ini akan mengenai kapiler sehingga menimbulkan perdarahan. Limfonodi regional
pada leher membesar dan hal tersebut menyebabkan edema seluruh leher. Basil
difteri dalam membran terus memproduksi toksin secara aktif. Toksin ini akan
diabsorbsi dan menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh, khususnya
degenerasi parenki, infiltrasi lemak dan nekrosis oto jantung, hati, ginjal dan
adrenal serta kadang-kadang menyebabkan perdarahan yang nyata. Toksin ini juga
menyebabkan kerusakan saraf, sehingga terjadi paralisis palatum molle, otot mata
atau ekstremitas.
Difteri pada luka atau kulit terjadi terutama di daerah tropis. Membran bisa
terbentuk pada luka infeksi yang gagal sembuh. Meskipun demikian, absorbsi
toksin biasanya ringan dan efek sistemik yang ditimbulkan tidak berarti. Sejumlah
kecil toksin yang diabsorbsi pada infeksi kulit memacu timbulnya antibodi
antitoksin. Virulensi basil difteri ditentukan oleh kemampuannya untuk
menimbulkan infeksi, kecepatan pertumbuhan serta kecepatan penyebaran toksin
yang diabsorbsi secara efektif. C. diphtheriae tidak harus bersifat toksigenik untuk
bisa menimbulkan infeksi lokal, di nasofaring atau kulit, tetapi galur non toksigenik
tidak menumbulkan efek toksik lokal atau sistemik. C. diphtheriae tidak secara aktif
menginvasi jaringan dalam dan praktis tidak pernah masuk dalam peredaran darah.

D. Gelaja Klinis
Jika inflamasi karena infeksi bakteri dimulai pada saluran napas, rasa nyeri
di tenggorokan dan demam mulai timbul. Rasa lemah dan dyspnea sefera terjadi
kemudian diikuti obstruksi (penyumbatan) yang disebabkan adanya memberan.
Penyumbatan ini sering menyebabkan mati lemas jika tidak segera dilakukan
intubasi atau tracheostomi. Ketidakteraturan irama jantung merupakan indikasi
adanya kerusakan jantung. Akhirnya, akan terjadi gangguan penglihatan, bicara,
menelan atau gerakan pada lengan atau kaki. Semua manifestasi ini cenderung
hilang spontan.
Secara umum, tipe gravis cenderung menimbulkan penyakit yang lebih
parah daripada tipe mitis, tetapi penyakit yang sama bisa disebabkan oleh semua
tipe bakteri tersebut.

E. Uji Laboratorium Diagnostik


Uji ini dilakukan untuk mengkonfirmasi dugaan klinis dan gambaran
epidemiologis. Catatan: terapi yang spesifik tidak boleh ditunda hanya karena
menunggu hasil laboratorium, jika gambaran klinis cukup mendukung diagnosis
difteri.
Apusan hidung, tenggorokan atau lesi yang dicurigai lainnya harus
dilakukan sebelum obat antimikroba diberikan. Apusan yang dipulas dengan
pewarnaan alkaline methylene blue atau gram menunjukkan gambaran batang
dengan gambaran pita dengan susunan yang khas.
Bakteri ditanam pada lempeng agar darah (untuk menyingkirkan
streptococcus hemolitikus), media miring Loeffler, dan lempeng tellurite (misalnya
cystine-tellurite atau agar tinsdale yang dimodifikasi) dan ketiganya diinkubasikan
pada suhu 37oC. jika belum bisa ditanam segera, maka harus tetap dibasahi dengan
serum kuda steril agar basil tetap hidup. Dalam 12 – 18 jam, agar miring Loeffler
menghasilkan morfologi pertumbuhan yang khas “diphtheria like”. Dalam 36 – 48
jam, koloni dalam media tellurite sudah pasti adalah C. diphtheria.
Semua bakteri yang mirip difteria, harus dilakukan uji virulensi sebelum
diagnosis difteria dipastikan. Beberapa tes benar-benar merupakan tes untuk uji
toksigenisitas organisme mirip difteria yang diisolasi. Untuk itu, bisa dilakukan
salah satu dari tiga langkah berikut:
1. Kultur dari agar miring Loeffler diemulsikan dalam air dan kemudian dua
ekor babi disuntuk masing-masing dengan 4mL emulsi tersebut secara
subkutan, salah satu babi telah diberi 1000 – 2000 unit antitoksin difteri
intraperitoneal dua jam sebelumnya. Babi yang tidak diberi antitoksin akan
mati dalam 2 – 3 hari, sedangkan babi yang diberi antitoksin akan tetap
hidup.
2. Satu strip kertas saring (filter) atau cakram yang mengandung antitoksin
diletakkan pada lempeng agar yang mengandung 20% serum kuda. Kultur
yang akan diuji toksigenesitasnya digoreskan melintang pada sisi sebelah
kanan kertas filter atau disebelah lempeng. Setelah diinkubasi selama 48
jam, antitoksin dari lembar kertas akan bereaksi dengan toksin dari kultur
bakteri toksigenik dan menghasilkan pita endapan yang terletak antara
lembar atau cakram dengan pertumbuhan bakteri.
3. Toksigenestas C. diphtheriae dapat dilihat dengan mencampurkan bakteri
ke dalam lapisan agar yang bercampur kultur sel. Toksin yang dihasilkan
akan masuk ke dalam media dan membunuh sel.

F. Diagnosis
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara
langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi
secara flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler
atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas
secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai untuk
memudahkan dilapangan:
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis, nasofaringitis
atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri
ditambah salah satu dari:
 Pernah kontak dengan kasus (<2minggu)
 Berasal dari daerah endemis difteri
 Stridor, bullneck, perdarahan submukosa atau ptekie pada kulit
 Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d
6 minggu setelah awitan
 Kematian. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi
ternyata positif c.difteriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus
kulit, jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin
meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh
sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin). Sementara kasus karier
adalah orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan positif c. Diphtariae.
Diagnosis banding
 Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles
(lues kongenital).
 Difteria faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang
disebabkan oleh Streptococcus (tonsilitas akut, septic sore throat),
mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
 Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai
croup sindroma yang lain, yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
 Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptococcus atau Stapyllococcus

G. Resistensi dan Imunitas


Difteri lebih disebabkan oleh aktivitas toksin yang dihasilkan daripada
invasi organisme tersebut, resistensi terhadap penyakit ini sangat tergantung pada
antitoksin khusus dalam peredaran darah dan jaringan. Secara umum, memang
benar bahwa difteria dialami oleh orang yang tidak memiliki antitoksin (atau kurang
dari 0,01 Lf unit/mL). Penilaian imunitas terhadap toksin difteri paling baik
dilakukan dengan melihat dokumen catatan imunisasi difteri toksoid dan imunisasi
primer atau booster jika diperlukan.

H. Pengobatan
Pengobatan difteri terutama adalah untuk menekan dengan cepat toksin
yang dihasilkan oleh bakeri dengan obat antimikroba dan pemberian antitoksin,
dengan segera. Antitoksin difter dihasilkan oleh beberapa binatang (kuda, biri-biri,
kambing, dan kelinci) dengan penyuntikan berulang toksoid yang telah dimurnikan
dan dipekatkan. Pengobatan dengan antitoksin ini dianjurkan jika gambaran klinis
sangat jelas mengarah pada difteri. Sebanyak 20.000 sampai 10.000 unit antitoksin
disuntikkan intramuskuler atau intravena setelah tindakan pencegahan yang sesuai
dilakukan (tes kulit atau konjunctiva) untuk menyingkirkan kemungkinan
hipersensitivitas terhadap serum binatang. Antitoksin harus diberikan pada saat
diagnosis klinis difteri dibuat dan tidak perlu dilakukan pengulangan. Injeksi
intramuskuler bisa diberikan pada kasus yang ringan.
Obat antimikroba (penicilin, erythromicin) menghambat pertumbuhan basil
difteri. Meskipun sebenarnya obat ini tidak memiliki pengaruh terhadap proses
penyakit, tetapi mereka menghentikan pelepasan toksin. Obat ini juga membantu
meneliminasi streptococcus yang hidup bersama dengan C. diphtheriae dari saluran
nafas pasien atau pengidap (carrier).

I. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian


Sebelum imunisasi buatan ditemukan, difteria terutama menyerang pada
anak kecil. Infeksi terjadi baik secara klinis atau subklinis pada usia dini dan
menyebabkan banyaknya produksi antitoksin di populasi . infeksi asimtomatik pada
masa remaja dan orang dewasa memberikan stimulus untuk mempertahankan
tingginya kadar antitoksin ini. Karenanya, sebagian besar anggota populasi, kecuali
anak-anak, sudah imun terhadap penyakit ini.
Antara umur 6 – 8 tahun, kira-kira 75% anak di negara berkembang di masa
infeksi C. diphtheriae pada kulit sangat umum terjadi, memiliki kadar antitoksin
dalam serum yang cukup protektif. Absorbsi sejumlah kecil toksin dari kulit yang
terinfeksi diduga menumbulkan stimulus terhadap respon imun, namun toksin yang
diabsorbsi tidak menyebabkan penyakit.
Imunisasi aktif pada masa kanak-kanak dengan toksoid difteri memberikan
kadar antitoksin yang pada umumnya adekuat (cukup memuaskan) sampai masa
dewasa. Orang dewasa hendaknya diberikan booster toksoid karena kejadian basil
difteri toksigenik di negara maju sangat rendah sehingga tidak menimbulkan infeksi
subklinis pada populasi. Kadar antitoksin menurut seiring dengan waktu, dan
banyak orang usia lebih tua tidak mempunyai jumlah antitoksin dalam sirkulasi
yang cukup melindungi mereka melawan difteri.
Tujuan utama pencegahan adalah membatasi penyebaran basil difteri
toksigenik di populasi dan sebisa mungkin mempertahankan kadar imunisasi aktif
tetap tinggi.
Untuk membatasi kontak dengan basil difteri seminimal mungkin, pasien
difteri hendaknya diisolasi. Tanpa pengobatan, sebgian besar orang yang terinfeksi
akan tetap mengandung basil difteri selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
setelah masa penyembuhan (konvalescene carrier). Bahaya ini dapat dikurangi
dengan cara memberikan pengobatan dini dengan antibiotika.
Filtrat biakan cair dari galur toksigenik diberi formalin 0,3% dan diinkubasi
pada suhu 37oC sampai toksisitasnya hilang. Cairan toksoid ini dimurnikan dan
distandarisasi dalam unit flokulasi (dosis Lf). Toksoid tersebut diadsorbsi ke
aluminium hidroksida atau aluminium fosfat. Bahan ini bisa bertahan lama setelah
injeksi dan lebih baik sebagai antigen. Toksoid ini biasanya dikombinasi dengan
tetanus toksoid (Td) dan kadang-kadang dengan vaksin pertusis (DPT) sebagai
injeksi unggal untuk digunakan dalam imunisasi awal pada anak. Untuk injeksi
ulangan pada dewasa, hanya digunakan toksoid Td; ini menggantikan dosis total
tetanus toksoid dengan sepuluh kali lebih kecil dosis difteri toksoid untuk
menghilangkan kemungkinan efek samping yang terjadi.
Semua anak harus menerima imunisasi awal dan ulangan. Dosis ulangan
reguler dengan Td terutama penting bagi dewasa yang melakukan perjalan ke
negara-negara berkembang dimana insiden difteri mungkin 1000 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan negara maju, dimana imunisasi umum dilakukan.

2. Difteri
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,
suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada
tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan
melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan.

Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala klinis, laboratorium (swab
tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih awal. Tata laksana terdiri dari
penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme penyebab.
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis,
paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru
menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan imunisasi, pengobatan
karier, dan penggunaan APD.
Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada
hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat
menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa. Menurut

World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang
dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut
menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus
difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan
ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang
menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang
terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap (Bonang G, dkk,
2002).

Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan
imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah
Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan
tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan
mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat imunisasi DTP
sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%. Jumlahnya menurun
jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yait 90% (Ditjen P2PL Depkes,
2003).

Klasifikasi ilmiah Corynebacterium diphtheriae

 Kingdom : Bacteria
 Filum : Actinobacteria
 Ordo : Actinomycetales
 Familia : Corynebacteriaceae
 Genus : Corynebacterium
 Spesies: Corynebacterium diphtheria

A. Penyebab Difteri

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran


bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak
mendapatkan vaksin difteri. Ada sejumlah cara penularan yang perlu diwaspadai,
seperti:

 Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini
merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
 Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau
handuk.
 Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang
padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat
dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah
yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di
samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah
dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.Terkadang, difteri bisa jadi tidak
menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya
terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi
menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum
mendapatkan imunisasi (Kartono, 2008)

B. Jenis difteri menurut lokasinya


 Difteri tonsil dan faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan,
dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah
perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas
timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin
dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan
sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa
disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
 Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada
difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena
mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan
mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal,
dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat
meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.

 Laringitis
Adalah peradangan yang terjadi padapita suara karena terlalu banyak
digunakan,karena iritasi atau karena adanya infeksi. Laringitis dapat
berlangsung dalam waktusingkat (akut) atau berlansung lama
(kronis).Meskipun laringitis akut biasanya hanya karenaterjadinya iritasi
dan peradagnan akibat virus,suara serak yang sering terjadi dapat
menjaditanda adanya masalah yang lebih serius.
Gejala:
o Suara Serak
o Suara pelan
o Rasa gatal dan kasar di tenggorokan
o Sakit di tenggorokan
o Tenggorokan kering, batuk

Pemeriksaan

Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat


membantu menegakkandiagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis
berwarna merah dan tampak edematerutama dibagian atas dan bawah
glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak memberikanhasil yang khas,
namun biasanya ditemui leukositosis. pemeriksaan usapan
sekrettenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui kuman
penyebab, namun padaanak seringkali tidak ditemukan kuman patogen
penyebab.PengobatanLaringitis akut disebabkan oleh virus sering
membaik dengan sendirinya dalamseminggu atau lebih. Perawatan lain
dapat dilakukan dengan cara mandi air panas,mengurangi bicara, minum
banyak cairan untuk mencegah dehidrasi (menghindarialkohol dan
kafein). Menghisap pelega tenggorokan, berkumur air garam
ataumengunyah permen karet – ini tidak akan membantu sakit pita
suara, tetapi dapatmeringankan iritasi tenggorokan

 Difteri pada tempat lain


C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi muko- kutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis)
dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis
terdapat ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa
membantu dalam membedakan difteria dari penye- bab bakteri lain dan
virus. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Corynebacterium berdiameter 0,5 – 1 um dengan panjang beberapa mikrometer.


Karakteristik pada bakteri ini adalah mereka memiliki bentuk menggelembung tidak
teratur pada salah satu ujungnya yang akan menyebabkan gambaran “club-shaped” atau
penampakan seperti pentungan. Granula-granula yang tampak jelas pada pengecatan anilin
(granul metakromatik) tersebar tidak merata pada batang (sering ada di dekat ujung), yang
menyebabkan batang tampak berisi pita-pita melintang. Corynebacterium pada pengecatan
satu sama lain cenderung tampak saling sejajar (paralel) atau membentuk sudut lancip.
Suatu percabangan jarang tampak pada kultur. Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit
ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang
ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas
menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat
menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang
berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila
dilakukan pengangkatan.

2. SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama mahasiswa dan semoga
makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2001. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran, Alih Bahasa oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B.,
Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan Alimsardjono, L. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Hartoyo, E. (2018). Difteri Pada Anak. Sari Pediatri, 19(5), 300-6.

Bonang Gerhard, S. Enggar dan koeswardono, 1982, Mikrobiologi Kedokteran , P.T


Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai