PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana morfologi dan identifikasi Corynobacterium diphtheriae ?
Bagaimana patogenesis Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana patologi Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana gejala klinis dari infeksi Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana uji laboratoium diagnostik dari Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana resistensi dan imunitas Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana pengobatan dari Corynobacterium diphtheriae?
Bagaimana epidemiologi, pencegahan, dan pengendalian dari Corynobacterium
diphtheriae?
Penyakit apa saja yang disebabkan oleh Corynobacterium diphtheriae?
3. TUJUAN
Untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Bakteriologi 3
Untuk mengetahui bagaimana morfologi dan identifikasi Corynobacterium
diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana patogenesis Corynobacterium diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana patologi Corynobacterium diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana gejala klinis dari infeksi Corynobacterium
diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana uji laboratoium diagnostik dari Corynobacterium
diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana resistensi dan imunitas Corynobacterium
diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari Corynobacterium diphtheriae
Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi, pencegahan, dan pengendalian
dari Corynobacterium diphtheriae
Untuk mengetahui penyakit apa saja yang disebabkan oleh Corynobacterium
diphtheriae
BAB II
PEMBAHASAN
1. Corynobacterium diphtheriae
B. Patogenesis
Bakteri patgen utama pada manusia dari kelompok ini adalah C.
diphtheriae. Di alam, C. diphtheriae ditemukan pada saluran napas, pada luka atau
kuliy orang yang terinfeksi atau karier noral. Bakteri ini menyebar melalui droplet
atau kontak dengan orang yang diduga kuat sebagai sumber infeksi, basil kemudian
tumbuh pada selaput lendir atau kulit yang lecet, dan disitu bakteri mulai
memproduksi toksin.
Semua C. diphtheriae yang bersifat toksigenik mampu memproduksi toksin
yang bisa mengakibatkan penyakit. In vitro, produksi toksin ini sangat tergantung
pada kadar besi. Produksi toksin optimal pada kadar besi 0,14 mg per mililiter
medium tetapi akan tertekan pada kadar 0,5 mg/mL. Faktor lain yang
mempengaruhi, secara in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH dan
ketersediaan sumber Karbon dan Nitrogen. Faktor yang mengendalikan produksi
toksin in vivo tidak diketahui dengan baik.
Toksin Difteria merupakan polipeptida yang labil terhadap panas (berat
molekul 62.000) yang bersifat lethal pada kadar 0,1 mg/kg. Jika ikatan disulfida
rusak, molekul bisa pecah menjadi dua fragmen. Fragmen B (berat molekul 38.000)
tidak memiliki aktivitas tersendiri tetapi membantu transport fragmen A ke dalam
sel. Fragmen A menghambat elongasi (pemanjangan) rantai polipeptida, asal
terdapat nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), dengan menginaktivasi faktor
elongasi EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polypeptidyl-transfer RNA
dari aseptor ke donor di ribosom sel eukariot. Fragmen toksin A menginaktivasi
EF-2 dengan cara mengkatalisir sebuah reaksi yang menghasilkan nikotinamida
bebas serta sebuah kompleks adenosin diphosphat –ribose- EF – 2 inaktif. Diduga
bahwa penghentian secara mendadak terhadap sintesis protein menyebabkan efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria ini. Sebuah eksotoksin dengan mekanisme
yang sama dapat diproduksi oleh Pseudomonas aeruginosa.
C. Patologi
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput lendir dan menyebabkan
kerusakan epitelium serta respon inflamasi superfisial. Epitel yang nekrotik
bercampur dengan fibrin yang dikeluarkan, dan sel darah merah serta sel darah
putih, sehingga terbentuk “pseudomembran” yang berwarna keabuan, biasanya
ditemukan di tonsil, faring atau laring. Usaha untuk mengangkat pseudomembran
ini akan mengenai kapiler sehingga menimbulkan perdarahan. Limfonodi regional
pada leher membesar dan hal tersebut menyebabkan edema seluruh leher. Basil
difteri dalam membran terus memproduksi toksin secara aktif. Toksin ini akan
diabsorbsi dan menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh, khususnya
degenerasi parenki, infiltrasi lemak dan nekrosis oto jantung, hati, ginjal dan
adrenal serta kadang-kadang menyebabkan perdarahan yang nyata. Toksin ini juga
menyebabkan kerusakan saraf, sehingga terjadi paralisis palatum molle, otot mata
atau ekstremitas.
Difteri pada luka atau kulit terjadi terutama di daerah tropis. Membran bisa
terbentuk pada luka infeksi yang gagal sembuh. Meskipun demikian, absorbsi
toksin biasanya ringan dan efek sistemik yang ditimbulkan tidak berarti. Sejumlah
kecil toksin yang diabsorbsi pada infeksi kulit memacu timbulnya antibodi
antitoksin. Virulensi basil difteri ditentukan oleh kemampuannya untuk
menimbulkan infeksi, kecepatan pertumbuhan serta kecepatan penyebaran toksin
yang diabsorbsi secara efektif. C. diphtheriae tidak harus bersifat toksigenik untuk
bisa menimbulkan infeksi lokal, di nasofaring atau kulit, tetapi galur non toksigenik
tidak menumbulkan efek toksik lokal atau sistemik. C. diphtheriae tidak secara aktif
menginvasi jaringan dalam dan praktis tidak pernah masuk dalam peredaran darah.
D. Gelaja Klinis
Jika inflamasi karena infeksi bakteri dimulai pada saluran napas, rasa nyeri
di tenggorokan dan demam mulai timbul. Rasa lemah dan dyspnea sefera terjadi
kemudian diikuti obstruksi (penyumbatan) yang disebabkan adanya memberan.
Penyumbatan ini sering menyebabkan mati lemas jika tidak segera dilakukan
intubasi atau tracheostomi. Ketidakteraturan irama jantung merupakan indikasi
adanya kerusakan jantung. Akhirnya, akan terjadi gangguan penglihatan, bicara,
menelan atau gerakan pada lengan atau kaki. Semua manifestasi ini cenderung
hilang spontan.
Secara umum, tipe gravis cenderung menimbulkan penyakit yang lebih
parah daripada tipe mitis, tetapi penyakit yang sama bisa disebabkan oleh semua
tipe bakteri tersebut.
F. Diagnosis
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara
langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi
secara flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler
atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas
secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai untuk
memudahkan dilapangan:
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis, nasofaringitis
atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri
ditambah salah satu dari:
Pernah kontak dengan kasus (<2minggu)
Berasal dari daerah endemis difteri
Stridor, bullneck, perdarahan submukosa atau ptekie pada kulit
Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d
6 minggu setelah awitan
Kematian. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi
ternyata positif c.difteriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus
kulit, jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin
meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh
sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin). Sementara kasus karier
adalah orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan positif c. Diphtariae.
Diagnosis banding
Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles
(lues kongenital).
Difteria faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang
disebabkan oleh Streptococcus (tonsilitas akut, septic sore throat),
mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai
croup sindroma yang lain, yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptococcus atau Stapyllococcus
H. Pengobatan
Pengobatan difteri terutama adalah untuk menekan dengan cepat toksin
yang dihasilkan oleh bakeri dengan obat antimikroba dan pemberian antitoksin,
dengan segera. Antitoksin difter dihasilkan oleh beberapa binatang (kuda, biri-biri,
kambing, dan kelinci) dengan penyuntikan berulang toksoid yang telah dimurnikan
dan dipekatkan. Pengobatan dengan antitoksin ini dianjurkan jika gambaran klinis
sangat jelas mengarah pada difteri. Sebanyak 20.000 sampai 10.000 unit antitoksin
disuntikkan intramuskuler atau intravena setelah tindakan pencegahan yang sesuai
dilakukan (tes kulit atau konjunctiva) untuk menyingkirkan kemungkinan
hipersensitivitas terhadap serum binatang. Antitoksin harus diberikan pada saat
diagnosis klinis difteri dibuat dan tidak perlu dilakukan pengulangan. Injeksi
intramuskuler bisa diberikan pada kasus yang ringan.
Obat antimikroba (penicilin, erythromicin) menghambat pertumbuhan basil
difteri. Meskipun sebenarnya obat ini tidak memiliki pengaruh terhadap proses
penyakit, tetapi mereka menghentikan pelepasan toksin. Obat ini juga membantu
meneliminasi streptococcus yang hidup bersama dengan C. diphtheriae dari saluran
nafas pasien atau pengidap (carrier).
2. Difteri
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,
suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada
tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan
melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan.
Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala klinis, laboratorium (swab
tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih awal. Tata laksana terdiri dari
penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme penyebab.
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis,
paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru
menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan imunisasi, pengobatan
karier, dan penggunaan APD.
Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada
hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat
menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa. Menurut
World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang
dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut
menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus
difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan
ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang
menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang
terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap (Bonang G, dkk,
2002).
Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan
imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah
Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan
tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan
mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat imunisasi DTP
sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%. Jumlahnya menurun
jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yait 90% (Ditjen P2PL Depkes,
2003).
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Familia : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies: Corynebacterium diphtheria
A. Penyebab Difteri
Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini
merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau
handuk.
Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang
padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat
dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah
yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di
samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah
dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.Terkadang, difteri bisa jadi tidak
menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya
terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi
menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum
mendapatkan imunisasi (Kartono, 2008)
Laringitis
Adalah peradangan yang terjadi padapita suara karena terlalu banyak
digunakan,karena iritasi atau karena adanya infeksi. Laringitis dapat
berlangsung dalam waktusingkat (akut) atau berlansung lama
(kronis).Meskipun laringitis akut biasanya hanya karenaterjadinya iritasi
dan peradagnan akibat virus,suara serak yang sering terjadi dapat
menjaditanda adanya masalah yang lebih serius.
Gejala:
o Suara Serak
o Suara pelan
o Rasa gatal dan kasar di tenggorokan
o Sakit di tenggorokan
o Tenggorokan kering, batuk
Pemeriksaan
PENUTUP
1. KESIMPULAN
2. SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama mahasiswa dan semoga
makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2001. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran, Alih Bahasa oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B.,
Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan Alimsardjono, L. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.