DIFTERI
Daftar Isi
I.
II.
III.
IV.
Daftar Isi2
Bab I Pendahuluan.....3
Bab II Tinjauan Pustaka.5
Daftar Pustaka..20
BAB I
2
PENDAHULUAN.
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae yang sangat mudah menular dan berbahaya karena dapat menyebabkan kematian
akibat obstruksi larings atau miokarditis akibat aktivasi eksotoksin. Pada kejadian luar biasa
(KLB), selain difteri farings, tonsil, dan larings, telah pula dilaporkan terjadinya difteri hidung
dan difteri kulit.
Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak hanya dari
penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun dewasa yang tampak sehat
kepada orang-orang di sekitarnya.1
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik. Gejala sistemik
muncul terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme dari tempat infeksi.
Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita
maupun carrier.2
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru
lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6
bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti
mengurangi insidensi penyakit tersebut.3
Walaupun difteri sudah jarang ditemukan di berbagai tempat di dunia, namun masih
dilaporkan adanya kasus dalam beberapa tahun terakhir. Penanganan yang terlambat pada difteri
dapat menyebabkan timbulnya komplikasi seperti miokarditis yang dapat mengakibatkan payah
jantung atau dekompensasio kordis hingga kematian.
Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada
sebelumnya. Selain itu prognosis pada difteri juga tergantung terhadap usia penderita, waktu
pengobatan antitoksin, tipe klinis difteri, dan keadaan umum penderita. Setelah dilaksanakannya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI), angka kesakitan dan kematian akibat difteri menurun
secara drastis.3
3
BAB II
2.1. Epidemiologi
4
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian dan kematian menurun secara
nyata setelah perang dunia kedua, setelah toksoid difteri ditemukan. Sebanyak 80% kasus difteri
terjadi pada anak di bawah umur 15 tahun. Meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah,
angka kejadian tergantung pada status imunitas populasi setempat.
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk, terbatasnya fasilitas
kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Populasi yang berisiko tinggi
tertular difteri meliputi:
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih
sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah
seperti halnya di Indonesia.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission).
Difteri kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup penting secara
epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteri faucial di beberapa negara mulai
berkurang, difteri kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi
tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteri
faucial, namun sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial.
Di Indonesia, wabah difteri terakhir muncul kembali pada tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Di
Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian 11 orang dan
pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur dinyatakan berstatus KLB.1
5
2.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentuk L atau V. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik
dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia
Corynebacterium diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.4
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis
Corynebacterium diphtheria.
Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul
62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk /
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheria yang difagosit oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.7
atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi
setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi
hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup
terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan
degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadangkadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.4
2.4. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah
imunitas pejamu terhadap toksin difteri, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan
kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteri
mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokasi penyakit difteri.3
2.4.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun
1954, fokus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring
merupakan dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah masa inkubasi 2-4 hari, terjadi
tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal.
2.4.1.1. Difteri Hidung
8
Difteri hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi
dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membran
putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.4
2.4.1.2 Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi
hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari
kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai
dengan pembentukan membran tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema
jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull
neck. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle
baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.6
2.4.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring
cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan akibat epitel pernapasan yang
tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteri faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena
mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga
gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan
dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian
9
mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila
difteri laring terjadi sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.
2.4.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang
ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superfisial, ektimik dengan membran coklat
keabu-abuan. Infeksi difteri kulit sulit dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Tanda-tanda nyeri, eritema, dan
eksudat khas tampak pada jenis ini. Hiperestesi lokal atau hipestesia jarang ditemukan.
Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi saluran nafas yang bergejala dengan komplikasi
toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
2.4.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain,
seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
(vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Gejala klinis berupa ulserasi, pembentukan membran dan
perdarahan submukosa dapat membantu membedakan difteri dari penyakit dengan penyebab
bakteri dan virus lain.6
2.5. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
berpengaruh besar terhadap prognosis penderita.3 Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Karena sensitivitas dan
spesifisitas preparat smear dapat meragukan, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu
beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody
technique, namun untuk pemeriksaan ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas
secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek).7
10
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri tampak
khas dan berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan
lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya.
Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. 4 Pada
pemeriksaan fisik didapatkan:
Adanya pseudomembran : membran putih kelabu, mudah berdarah bila tersentuh, sukar
diangkat pada tonsil, faring, laring patognomonis
Bull neck
Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut :
Derajat II
Derajat III : Anak sangat gelisah, dispneu makin hebat, stridor makin hebat,
retraksi suprasternal dan epigastrium serta interkostal, sianosis
Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat pseudomembran
yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau mukosa hidung.
1. Probable
: kriteria klinis (+), Laboratorium (-), dan tidak ditemukan kasus sama yang
tempat
tinggal
penderita
2. Confirmed : kriteria klinis (+), Laboratorium (+), atau ditemukannya kasus yang sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
11
Difteri Faring harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh
streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteri Laring memiliki gejala yang menyerupai laringitis, menyerupai infectious croups
yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing
dalam laring.
Difteri Kulit perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.4
2.6. Komplikasi 7
1.Saluran Pernafasan.
Pada saluran pernafasan dapat terjadi obstruksi jalan nafas.
2. Miokarditis
o Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
o Pemeriksaan fisis : irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang
ditemukan tanda-tanda payah jantung.
o Gambaran EKG : depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, BBB, takikardi
ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT.
o Lab : kadar enzim jantung meningkat (LDH, CPK, SGPT, SGOT)
o Rontgen : Jantung membesar bila terdapat gagal jantung
3. Kolaps Perifer
Terjadi pada akhri minggu I perjalanan penyakit
Tanda-tanda kolaps perifer (renjatan) :
a.
Tekanan darah menurun (systole 80 mmHg)
b.
Teklanan nadi menurun
12
c.
d.
14
Tindakan
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar
(+)
(-)
(+)
1 minggu
Penisilin
(+)
100
mg/kgBB/hari
oral/suntikan
atau
status imunisasi
2.8. Prognosis
16
Pada umumnya prognosis difteri tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum pasien.3
Prognosis difteri setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada saat sebelum
keduanya ditemukan. Kematian karena difteri paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari
4 tahun akibat membran difteri yang menyumbat jalan nafas.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteri dapat disebabkan oleh karena:
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteri, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa. Walaupun demikian, pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap pada beberapa kasus. Mortalitas tertinggi terjadi pada difteri
faring-laring (56,8%) dan tipe nasofaring (48,4%) serta faring (10,5%).5
2. 9. Pencegahan
Pencegahan infeksi difteri secara umum ialah dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteri, kekebalan terhadap penyakit ini menjadi sangat rendah sehingga perlu
imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteri
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteri tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap
organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteri dalam
nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.5
Vaksinasi difteri memberikan hasil yang baik untuk pencegahan terhadap infeksi dan
komplikasi yang ditimbulkan oleh toksinnya. Vaksinasi diberikan dalam beberapa dosis dengan
jadwal tertentu. Adapun jadwal pemberian vaksinasi sebagai berikut:
17
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun, diberikan dosis 0,5 mL vaksin yang
mengandung-difteri (D). Jadwal pemberian pada usia 2,4, dan 6 bulan. Pemberian ke
empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah
pemberian ke tiga. Booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau vaksin primer ke
empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak usia 7 tahun atau lebih, diberikan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung
vaksin (D). Jadwal pemberian primer meliputi dua kali pemberian yang berjarak 4-8
minggu dan pemberian ketiga 6-12 bulan sesudah pemberian kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis
0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia Kejadian Luar Biasa Difteri. Cited 10 Februari
2016. http://idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesiakejadian-luar-biasa-difteri
2. T.H Rampengan, I.R. Laurentz, 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ketiga. Philadelphia, Tokyo;
Saunders, 1999:
4. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
5. Diagnosis and Treatment of Diphteria. Cited 20
http://www.cdc.gov/diphtheria/about/diagnosis-treatment.html
Januari
2016.
19