Anda di halaman 1dari 7

SOCIAL CULTURE, HEALTH SEEKING BEHAVIOUR, AND

MEDICAL PLURALISM

DISUSUN OLEH:

IZKA SOFIYYA WAHYURIN (15/388137/PKU/15359)


NADIA CHALIDA NUR (15/388169/PKU/15391)
SAFRULLAH AMIR (15/388220/PKU/15442)
WIEKE APRIANA. AK (15/388255/PKU/15477)

PEMINATAN UTAMA GIZI KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
SOCIAL CULTURE, HEALTH SEEKING BEHAVIOUR, AND MEDICAL
PLURALISM

Health Seeking Behaviour merupakan perilaku yang dilakukan oleh orang sakit untuk
memperoleh kesembuhan dan pemulihan kesehatannya. Dalam hal ini yang dilihat adalah
fasilitas apa yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dan apa yang mempengaruhi
seseorang sehingga memiliki perilaku yang berbeda dalam kaitannya dengan kesehatan
(Ribera, Nyamongo, & Hausmann-muela, 2003). Perilaku ini termasuk dalam perilaku kuratif
dan rehabilitative yang mencakup kegiatan mengenali gejala penyakit, upaya untuk
memperoleh kesembuhan dan pemulihan, yaitu dengan pengobatan sendiri atau mencari
pengobatan baik formal maupun tradisional, dan patuh terhadap proses penyembuhan dan
pemulihan (Notoatmojo, 2010).
Menurut Carol & Ember (2004), Notoatmodjo (2010), Smet (1994) faktor-faktor yang
mempengaruhi Health Seeking Behaviour, antara lain:
1. Keparahan gejala penyakit yang akan direspon berbeda sesuai dengan
kemampuan tubuh masing-masing individu
2. Status ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan keluarga. Jika pendapatannya
baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan terjamin
3. Sikap, kepercayaan, dan nilai
Sikap dilihat dari respon masyarakat terhadap penyakit, apakah mereka akan
menanggapinya atau mengabaikannya, akan sangat berpengaruh terhadap pola
pencarian bantuan kesehatan. Kepercayaan dinilai dari keyakinan tentang
kebenaran terhadap sesuatu yang didasarkan pada budaya yang ada di
masyarakat. Sedangkan nilai diartikan sebagai sebuah konsep yang diwujudkan
dalam system moral atau agama yang dianut. Jika sikap, kepercayaan, dan nilai
yang ada di masyarakat sangat bagus dan benar maka akan memudahkan mereka
berada pada system peyalanan kesehatan.
4. Kesadaran masyarakat
Masyarakat dengan kesadaran tinggi akan lebih mudah menerima masukan dan
informasi baru termasuk dalam masalah kesehatan, sehingga mereka dapat
berperilaku baru atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk
dalam hal pencarian bantuan ke sarana kesehatan.
5. Sikap petugas kesehatan dinilai dari bagaimana para petugas kesehatan berlaku
tidak ramah atau tidak simpatik dan tidak responsif kepada pasien dalam

2|Page
memberikan tindakan medis. Hal tersebut yang dapat membuat masyarakat
menjadi enggan untuk berobat ke sarana kesehatan.
6. Jarak ke sarana pelayanan kesehatan juga sangat mempengaruhi masyarakat
dalam mencari bantuan kesehatan. Semakin jauh jarak pusat sarana kesehatan
dari rumahnya, maka masyarakat enggan pergi ke sarana pelayanan kesehatan
dan lebih memilih mengobati sendiri atau pergi ke pengobatan tradisional atau
alternatif seperti dukun atau orang pintar lainnya.
Yogyakarta merupakan salah satu kota berpenduduk padat di Indonesia yang terdiri
dari berbagai macam jenis penduduk, baik penduduk asli maupun pendatang sehingga
menyebabkan terdapat banyak perbedaan pengetahuan, sikap, perilaku, dan budaya. Sebagai
contoh yaitu dalam penanganan masalah kesehatan. Masing-masing orang dengan jenis usia,
tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan yang berbeda-beda memiliki perilaku kesehatan
yang berbeda-beda pula dalam mencari dan memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan. Kami
mendapatkan lima responden untuk melihat Health Seeking Behaviour pada sebagian
masyarakat Yogyakarta dengan karakteristik yang berbeda-beda sebagai berikut:
Table 1. Karakteristik responden
Jenis Pendidikan Usia Pekerjaan Status Status Jenis Askes
Kelamin (thn) Ekonomi Pernikahan
Laki-laki SMA 56 Swasta Menengah Menikah Commonwealth
ke atas
Perempuan S2 Perawat 29 Perawat Menengah Menikah BPJS dan
ke atas Prudential
Laki-laki S2 25 Mahasiswa Menengah Belum -
menikah
Laki-laki S1 Ners 31 Perawat Menengah Menikah BPJS
ke atas
Perempuan SD 59 PRT Rendah Janda Jamkesda

Sebagian besar Health Seeking Behaviour yang dimiliki oleh responden kami baik
yang berpendidikan tinggi maupun rendah, tingkat ekonomi tinggi dan rendah, usia muda
atau tua hampir sama. Ketika mendapatkan penyakit yang ringan seperti pusing, flu, batuk,
gastritis, dan masuk angin mereka lebih memilih untuk mengobatinya sendiri dengan cara
meminum obat yang telah dibeli di warung atau apotek. Tetapi jika sudah 3 hari penyakit
tidak kunjung sembuh atau mendapatkan penyakit yang parah maka mereka memilih untuk
pergi ke sarana pelayanan kesehatan formal seperti dokter, puskesmas, dan RS. Hal ini
disebabkan karena mereka lebih percaya terhadap pelayanan medis formal yang langsung
ditangani oleh tenaga medis yang kompeten di bidangnya dibandingkan pengobatan

3|Page
tradisional atau alternatif. Meskipun dalam kenyataannya mereka sering merasa bahwa sistem
birokrasi yang digunakan dalam asuransi kesehatan yang dimilikinya itu sedikit sulit.
Asuransi kesehatan itu harus menggunakan system rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat
pertama untuk dapat dilayani ke fasilitas kesehatan tingkat berikutnya yang lebih
komprehensif. Hal ini juga yang menyebabkan salah satu responden kami lebih memilih
menggunakan pengobatan tradisional dalam menangani masalah kesehatannya. Pengobatan
tradisional yang digunakan berupa tanaman herbal yang diracik oleh orang tuanya demi
mendapatkan kesembuhan.
Upaya dalam mengakses fasilitas kesehatan dan memperoleh pengobatan medis tidak
hanya dipengaruhi oleh aspek internal yang berasal dari individu semata, melainkan erat
kaitannya dengan dukungan dan motivasi yang bersumber pada keluarga. Keluarga
dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai, kepercayaan, dan berbagai pertimbangan
dalam merespon kondisi sakit dan upaya-upaya dalam melakukan pengobatan (Barker, 2007).
Biaya yang dikeluarkan pada pengobatan tradisional berbeda dengan pengobatan di
pelayanan kesehatan formal. Secara substansial sangat beragam dan bisa sangat mahal.
Tindakan medis yang diperoleh di klinik atau rumah sakit menghabiskan biaya yang cukup
banyak dibandingkan keputusan untuk memperoleh pengobatan atau perawatan secara
tradisional (Case, Menendez, & Ardington, 2005).
Berbagai pelayanan kesehatan ditawarkan di Yogyakarta, baik pelayanan kesehatan
formal maupun pelayanan-pelayanan kesehatan non-formal. Pelayanan yang diberikan oleh
masing-masing pelayan kesehatan berbeda-beda sehingga mempengaruhi masyarakat untuk
memilih pelayanan kesehatan mana yang terbaik untuk dirinya. Ketersediaan dan kemudahan
memperoleh pelayanan kesehatan formal di Yogyakarta mempengaruhi masyarakat
Yogyakarta tersebut lebih memilih pelayanan kesehatan formal. Hal ini sesuai dengan model
pendekataan “Four As” menyatakan bahwa ketersediaan pelayanan kesehatan formal yang
mengacu pada distribusi pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap health-seeking behaviour (Hausmann-muela et al. 2003). Selain itu, penggunaan
pelayanan kesehatan formal yang lebih banyak berkaitan dengan jarak yang lebih pendek
antara jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan (Uzochukwu et al. 2008).
Akses terhadap pelayanan saat ini sangat mudah dengan menjamurnya penyedia
layanan kesehatan privat. Hal ini didorong oleh semakin meningkat dan kompleksnya
kebutuhan masyarakat dalam aspek kesehatan. Tentu saja hal ini akan lebih membatasi akses
masyarakat terhadap sektor publik penyedia layanan kesehatan. Masyarakat cenderung

4|Page
merasa lebih nyaman dan mendapatkan pengobatan yang lebih terarah pada privat providers
(Grundy & Annear, 2010).
Pengguna jasa layanan kesehatan swasta dan pemerintah mengatakan lebih puas
terhadap layanan yang diberikan jika dibandingkan penyedia jasa layanan pengobatan
tradisional. Akan tetapi pengguna jasa layanan kesehatan swasta mengatakan lebih puas
terhadap layanan yang diberikan jika dibandingkan penyedia jasa layanan kesehatan
pemerintah (Amponsah, 2009). Saat masyarakat memiliki pengalaman yang buruk terhadap
suatu pelayanan kesehatan, maka ia akan berubah kepada pelayanan yang lain. Pemanfaatan
pelayanan kesehatan mencakup dua fase yaitu inisiasi pasien untuk mencari pengobatan
dalam sistem tertentu, dan retensi oleh sistem harus penyakit memerlukan perawatan lebih
lanjut dan tindak lanjut dalam kasus penyakit di masa depan (Galal & Al-Gamal 2014). Hal
ini dipertegas oleh Mugisha et al. (2004) bahwa pelayanan kesehatan sebelumnya memiliki
dampak terbesar pada keputusan pasien untuk beralih kepada pelayanan kesehatan yang lain.
Persepsi terhadap keberadaan fasilitas kesehatan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan,
tradisi, dan perilaku yang dinampakkan oleh profesi-profesi kesehatan yang bergelut dalam
sistem itu. Tak sedikit yang merefleksikan sikap tenaga kesehatan pada institusi formal
sebagai sesuatu yang tidak tulus, acuh, dan tidak responsif. Hal ini tentunya akan menjadi
barrier terhadap akses pelayanan kesehatan (Barker, 2007).
Status sosial ekonomi di Yogyakarta beranekaragam, mulai dari yang berpenghasilan
tinggi hingga yang terendah. Selain itu, presepsi keparahan penyakit sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan sosial ekonomi. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Walter
et al. (2009) yaitu orang yang memiliki episode penyakit yang parah tidak dirujuk ke rumah
sakit karena berbagai alasan, seperti tidak dapat mengenali tanda dan gejala dan penyakit
yang parah, rumah sakit yang jauh serta mahalnya biaya perawatan. Status sosial ekonomi
rumah tangga dan keparahan penyakit tersebut secara independen terkait dengan health-care
seeking behaviour (Burton et al. 2011). Hal ini terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh
Burton et al. (2011) bahwa anggota rumah tangga dengan status sosial ekonomi yang lebih
tinggi memiliki probabilitas yang lebih besar untuk mengunjungi setiap fasilitas kesehatan
untuk penyakit ringan. Selain itu untuk keparahan yang lebih besar dari penyakit dikaitkan
dengan probabilitas yang lebih tinggi dari mengunjungi setiap fasilitas kesehatan daripada
penyakit yang keparahanya ringan.
Sebagai kota pelajar, tingkat pendidikan masyarakat di Yogyakarta tergolong baik,
namun terdapat pula masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan dasar saja. Status
pendidikan yang beraneka ragam tersebut berpengaruh terhadap health seeking behaviour

5|Page
pada penduduknya. Hal ini dijelaskan oleh Hvidberg et al. (2015) bahwa orang-orang dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah khawatir tentang apa yang dokter katakan serta dapat
menjadi penghalang dalam pencarian kesehatan dibandingkan dengan orang-orang dengan
pendidikan tingkat tinggi.
Usia sangat berpengaruh pada penggunan layanan kesehatan. Jika penyakit atau gejala
penyakit terjadi pada balita dan anak-anak, maka akan langsung pada saat itu juga akan
dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat, seperti puskesmas atau rumah sakit, untuk
mendapatkan pengobatan. Jika penyakit atau gejala penyakit muncul pada orang dewasa,
maka hal yang pertama kali dilakukan adalah mencari pengobatan sendiri atau self treatment
dengan cara mencari obat ke apotik atau warung. Jika dalam waktu dua atau tiga hari gjala
tersebut belum hilang maka orang tersebut baru akan mengunjungi fasilitas kesehatan.
Artinya ada terdapat penundaan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan pada orang dewasa
(Mebrati et-al, 2013)
Wanita lebih dikenal sebagai pengguna jasa layanan kesehatan jika dibandingkan
dengan laki-laki. Mereka lebih memiliki waktu yang lebih lama. Sehingga wanita lebih
banyak menggunakan pengobatan konvensional dan tradisonal (Shih et-al, 2010). Namun
pada kasus yang kami temukan, tidak ada perbedaan dalam penggunaan layanan kesehatan
antara laki-laki dan wanita.

6|Page
DAFTAR PUSTAKA

Amponsah, Edward. 2009. Determinant of Customer Satisfaction of Health Care in Ghana.


Global Journal of Health Science (1)(2)
Barker, G. (2007). Adolescents , social support and help-seeking behaviour consultation
with recommendations for action. World Health Organisation.
Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Burton, D.C. et al., 2011. Healthcare-seeking Behaviour for Common Infectious Disease-
related Illnesses in Rural Kenya : A Community-based House-to-house Survey. ,
29(1), pp.61–70.
Carol, E. R., & Ember, M. (2004). Encyclopedia of Medical Anthropology. New York:
Kluwer Academic/Plenum Publisher.
Case, A., Menendez, A., & Ardington, C. (2005). Health Seeking Behavior in Northern
KwaZulu-Natal. Health (San Francisco).
Galal, S.B. & Al-Gamal, N., 2014. Health problems and the health care provider choices: A
comparative study of urban and rural households in Egypt. Journal of Epidemiology
and Global Health, 4(2), pp.141–149. Available at:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S2210600613001226.
Grundy, J., & Annear, P. (2010). Health-seeking behaviour studies : a literature review of
study design and methods with a focus on Cambodia. Health Policy and Health
Finance Knowledge Hub, (7), 17.
Hausmann-muela, S., Ribera, J.M. & Nyamongo, I., 2003. DCPP Working Paper No . 14
Health-seeking behaviour and the health system response. , (14), pp.1–37.
Hvidberg, L. et al., 2015. Barriers to healthcare seeking, beliefs about cancer and the role of
socio-economic position. A Danish population-based study. Preventive medicine,
71C, pp.107–113. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25524610.
Mebrati et-al. 2013. Healthcare Seeking Behaviour In Rural Ethiopia : Evidence From
Clinical Vignette. BMJ Open (4)(4)
Mugisha, F., Bocar, K. & Dong, H., 2004. The two faces of enhancing utilization of health
care services: determinants of patients initiation and retention in rural Burkina Faso.
Bull WHO, 82(8), pp.9–572.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Ribera, J. M., Nyamongo, I., & Hausmann-muela, S. (2003). Health-seeking behaviour and
the health system response. DCPP Working Paper No. 14, (14), 1–37.
Shih et-al. 2010. Pattern of Medical Pluralism among Adult : Result from the 2001 National
Health Interview Survey in Taiwan. BMC Health Services 10: 191
Uzochukwu, B. et al., 2008. Rural-urban differences in maternal responses to childhood
fever in South East Nigeria. PLoS One, 3(e1788).
Walter, N. et al., 2009. Why first-level health workers fail to follow guidelines for
managing severe disease in children in the Coast Region, the United Republic of
Tanzania. Bull World Health Organ, 87, pp.99–107.

7|Page

Anda mungkin juga menyukai