Anda di halaman 1dari 6

Corynebacterium diphtheriae

(Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 25.Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 2014. h.186-8)

Patogenesis

Pathogen genus Corynebacterium pada manusia yang utama adalah C. diphtheriae, agen
penyebab difteri saluran napas atau kulit. Di alam, C. diphthiriae terdapat pada saluran napas,
luka, atau kulit orang yang terinfeksi atau karier normal. Organisme ini ditularkan melalui
droplet atau kontak dengan manusia yang rentan; basil kemudian tumbuh pada membran
mukosa atau pada kulit yang mengalami abrasi, dan jenis yang toksigenik mulai memproduksi
toksin.

Semua C. depthirae toksigenik mampu menimbulkan eksotoksin penyebab penyakit yang sama.
Secara in vitro, produksi toksin ini sangat tergantung pada konsentrasi besi. Produksi toksin
menjadi optimal pada kadar 0,14 mikrogram besi per milliliter medium, tetapi hamper tertekan
pada kadar 0,5 mikrogram per mL. faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran toksin in vitro
adalah tekanan osmotik, konsentrasi asam amino, pH, dan ketersediaan sumber karbon dan
nitrogen yang cocok. Faktor yang mengendalikan produksi toksin in vivo tidak dimengerti
dengan jelas.

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat bersifat letal pada
dosis 0,1 mikrogram per kg. Jika ikatan disulfidanya dipecah, molekul dapat dibagi menjadi
dua fragmen. Fragmen B (BM 38.000), yang tidak punya aktivitas independen, secara
fungsional dibagi menjadi domain reseptor dan domain translokasi. Pengikatan domain
reseptor ke protein membrane sel inang CD-9 dan faktor pertumbuhan epidermal pengikat-
heparin (heparin-binding epidermal growth factor, HBEGF) yang seperti precursor,
mencetuskan masuknya toksin ke dalam sel melalui endositosis yang diperantarai reseptor.
Asidifikasi domain translokasi di dalam endosome yang berkembang mengarah ke penciptaan
kanal protein yang memfasilitasi pergerakan fragmen A ke dalam sitoplasma sel inang.
Fragmen A menghambat elongasi rantai polipeptida jika terdapat nikotinamid adenine
dinukleotida (NAD) melalui inaktivasi faktor elongasi EF-2 . Faktor ini diperlukan untuk
translokasi RNA transfer-polipeptidil dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariot.
Fragmen toksin A menginaktivasi EF-2 melalui katalisasi reaksi yang menghasilkan
nikotinamid bebas ditambah kompleks difosfat-ribosa-EF-2 adenosin inaktif (ADP-ribosilasi).

1
Sintesis protein yang berhenti tiba-tiba diasumsikan bertanggung jawab atas efek nekrotisasi
dan nekrotoksik toksin difteri. Eksotoksin dengan cara kerja yang serupa dapat diproduksi oleh
beberapa galur Pseudomonas aeruginosa.

Patologi

Toksin difteri diabsorbsi ke dalam membrane mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan
respon inflamasi superfisial. Epitel yang nekrotik menjadi terbenam di dalam fibrin dan sel
darah merah dan putih yang bereksudasi sehingga terbentuk “pseudomembran” keabu-abuan
biasanya menutupi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk mengangkat pseudomembran,
menyingkap dan merobek kapiler sehingga mengakibatkan perdarahan. Kelenjar limfe regional
di leher membesar, dan mungkin terdapat edema nyata di seluruh leher. Basil difteri di dalam
membran terus memproduksi toksin secara aktif. Toksin ini di serap dan menghasilkan
kerusakan toksik yang jauh, terutama degenerasi parenkimatosa, infiltrasi lemak, dan nekrosis
pada otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang disertai perdarahan nyata. Toksin
juga menyebabkan kerusakan saraf, sering mengakibatkan paralisis palatum mole, otot-otot
mata, atau ekstremitas.

Difteri kulit atau luka terjadi terutama di daerah tropis. Membran dapat terbentuk pada luka
infeksi yang gagal menyembuh. Namun, absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek sistemiknya
dapat diabaikan. Sejumlah kecil toksin yang terserap selama infeksi kulit meningkatkan
pembentukan antibodi terhadap antitoksin. “Virulensi” basil difteri berkaitan dengan
kemampuannya untuk mempertahankan infeksi, tumbuh dengan cepat, dan kemudian dengan
cepat menghasilkan toksin yang diserap secara efektif. C. diphtheriae tidak perlu menjadi
toksigenik untuk membangun infeksi lokal pada nasofaring atau kulit, misalnya tetapi galur
nontoksigenik tidak menghasilkan efek toksik sistemik atau lokal. C. diphtheriae tidak
menginvasi jaringan dalam secara aktif dan praktis tidak pernah memasuki aliran darah,
meskipun kasus-kasus endocarditis yang jarang pernah diuraikan.

Gambaran klinis

Ketika inflamasi difteri dimulai pada saluran napas, nyeri tenggorokan dan demam biasanya
terjadi. Kelemahan dan dispnea segera timbul karena obstruksi yang disebabkan oleh membran.
Obstruksi ini bahkan dapat menyebabkan mati lemas, jika tidak segera ditolong dengan intubasi

2
atau trakeostomi. Ketidakteraturan denyut jantung juga menunjukkan kerusakan jantung.
Selanjutnya dapat terjadi kesulitan dalam melihat, bicara, menelan, atau menggerakkan lengan
atau tungkai. Semua manifestasi ini cenderung mereda secara spontan.

Secara umum, var gravis cenderung menimbulkan penyakit yang lebih berat dibandingkan
dengan var mitis, tetapi penyakit yang mirip dapat ditimbulkan oleh semua tipe.

Uji Laboratorium Diagnostik

Uji-uji ini untuk mengkonfirmasi gambaran klinis dan mempunyai makna epidemiologis.
Catatan: Terapi spesifik tidak boleh ditunda untuk hasil laboratorium jika gambaran klinisnya
mengarah kuat ke difteri. Dokter harus memberi tahu laboratorium klinis sebelum mengambil
atau menyerahkan sampel untuk kultur.

Apusan dakron di hidung, tenggorok, atau lesi mencurigakan lainnya harus didapat sebelum
pemberian obat antimikroba. Apusan harus dikumpulkan dari bawah setiap membran yang
terlihat. Apusan kemudian diletakkan pada media transpor semisolid seperti Amies. Pewarnaan
preparat dengan biru metilen alkali atau pewarnaan Gram memperlihatkan batang bermanik-
manik dengan komposisi yang khas.

Spesimen harus diinokulasi pada cawan agar darah (untuk menyingkirkan streptokokus
hemolitik), kultur miring Loeffler, dan cawan telurit (misal, agar sistin-telurit atau medium
Tinsdale modifikasi) dan diinkubasi pada suhu 37°C. Dalam 12-18 jam, kultur miring Loeffler
dapat menghasilkan organisme dengan morfologi “seperti-difteri” yang khas. Dalam 36-48 jam,
koloni dalam medium telurit cukup jelas untuk mengenali C. diphtheriae.

Suatu isolate dugaan C. diphtheriae harus diuji toksigenisitasnya. Uji-uji seperti itu hanya
dikerjakan di laboratorium kesehatan masyarakat rujukan. Terdapat beberapa metode yaitu:

1. Cakram kertas filter yang mengandung antitoksin (10 IU/cakram) diletakkan pada
cawan agar. Kultur yang akan diuji toksigenisitasnya adalah titik yang diinokulasi 7-9
mm dari cakram. Sesudah inkubasi selama 48 jam, antitoksin yang berdifusi dari
cakram kertas telah mempercepat toksin berdifusi dari kultur toksigenik dan
menghasilkan pita presipitin antara cakram dan area pertumbuhan bakteri. Ini adalah
metode Elek modifikasi yang dijelaskan oleh Unit Referensi Difteri WHO.

3
2. Metode berdasarkan reaksi rantai polimerase (PCR-based) telah diuraikan untuk
deteksi gen toksin difteri (tox). Pemeriksaan PCR untuk tox dapat juga digunakan secara
langsung pada spesimen pasien sebelum hasil kultur diperoleh. Kultur positif
menegaskan pemeriksaan PCR positif. Kultur negatif sesudah terapi antibiotika
bersama dengan ditambah pemeriksaan PCR yang positif mengarah ke kemungkinan
pasien menderita difteri.
3. Pemeriksaan imunosorben terkait enzim dapat digunakan untuk mendeteksi toksin
difteri dari isolate C. diphtheriae klinis.
4. Pemeriksaan strip imunokromograf memungkinkan deteksi toksin difteri dalam
beberapa jam. Pemeriksaan ini sangat sensitive.

Dua pemeriksaan yang disebutkan terakhir tidak tersedia secara luas.

Dalam sejarahnya, toksigenisitas isolate C. diphtheriae telah diperlihatkan dengan


menginjeksi dua marmut dengan isolat yang dibuat menjadi emulsi. Jika marmut yang
dilindungi dengan antitoksin difteri bertahan hidup, sedangkan yang tidak dilindungi mati,
isolat dianggap toksigenik. Tes ini sebagian besar telah diganti dengan teknologi yang lebih
modern.

Resistensi dan Imunitas

Karena difteri terutama adalah hasil kerja toksin yang dibentuk oleh organisme dan bukan
invasi oleh organismenya, resistensi terhadap penyakit ini sebagian besar tergantung pada
ketersedian antitoksin penetral spesifik di dalam aliran darah dan jariangan. Difteri secara
umum memang terjadi hanya pada orang yang tidak punya antitoksin (atau kurang dari 0,01
Lf unit/mL). Penilaian imunitas terhadap toksin difteri untuk tiap pasien paling baik dilakukan
dengan mempelajari catatan imunisasi toksoid difteri dan imunisasi primer atau booster jika
diperlukan.

Terapi

Pengobatan difteri sebagian besar terletak pada supresi cepat bakteri penghasil toksin dengan
obat antimikroba dan pemberian dini antitoksin spesifik terhadap toksin yang dibentuk oleh
organisme pada tempat masuk dan multiplikasinya. Antitoksin difteri diproduksi oleh

4
berbagai binatang (kuda, biri-biri, kambing, dan kelinci) melalui injeksi berulang toksoid
yang dipekatkan dan dimurnikan. Terapi dengan antitoksin adalah keharusan jika terdapat
kecurigaan klinis yang kuat atas difteri. Dari 20.000 hingga 100.000 unit disuntikkan
intramuskular atau intravena sesudah tindakan pencegahan dikerjakan (tes kulit atau
konjungtiva) untuk menyingkirkan hipersensitivitas terhadap serum binatang. Antitoksin
harus diberikan pada hari saat diagnosis klinis difteri dibuat dan tidak perlu diulang. Injeksi
intramuskular dapat dilakukan pada kasus ringan.

Obat antimikroba (penisilin, eritromisin) menghambat pertumbuhan basil difteri. Meskipun


obat-obatan ini hampir tidak berpengaruh pada proses penyakit, obat tersebut menghentikan
produksi toksin. Obat-obat ini juga membantu mengeliminasi streptokokus yang juga ada dan
C. diphtheriae dari saluran napas pasien atau karier.

Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Sebelum imunisasi buatan, difteri terutama merupakan penyakit pada anak kecil. Infeksi
terjadi secara klinis maupun subklinis pada usia dini dan mengakibatkan penyebaran luas
produksi antitoksin pada populasi. Infeksi asimtomatis selama masa remaja dan dewasa
merupakan stimulus untuk mempertahankan kadar antitoksin yang tinggi. Oleh karena itu,
sebagian besar populasi, kecuali anak-anak, menjadi imun.

Pada usia 6-8 tahun, kira-kira 75% anak-anak di Negara berkembang, tempat infeksi kulit
oleh C. diphtheriae umum terjadi, mempunyai kadar antitoksin serum protektif. Penyerapan
sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit kemungkinan memberikan stimulus antigenik
untuk respon imun; sejumlah toksin yang diserap tidak menimbulkan penyakit.

Imunisasi aktif pada masa kanak-kanak dengan toksoid difteri menghasilkan kadar antitoksin
yang secara umum adekuat sampai masa dewasa. Dewasa muda perlu diberikan booster
toksoid, karena basil difteri toksigenik tidak cukup sering ditemukan pada populasi di banyak
negara maju untuk menjadi stimulus infeksi subklinis dengan stimulasi resistensi. Kadar
antitoksin menurun dengan berjalannya waktu, dan banyak orang yang lebih tua tidak
mempunyai jumlah antitoksin dalam sirkulasi yang cukup untuk melindungi mereka dari
difteri.

Prinsip sasaran pencegahan adalah untuk membatasi distribusi basil difteri toksigenik pada
populasi dan mempertahankan kadar imunisasi aktif setinggi mungkin.

5
Untuk membatasi kontak dengan basil difteri seminimal mungkin, pasien dengan difteri harus
diisolasi. Tanpa terapi, sebagian besar orang yang terinfeksi terus menyebarkan basil difteri
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan sesudah sembuh (karier konvalesens).
Bahaya ini dapat sangat dikurangi melalui pengobatan dini aktif dengan antibiotik.

Filtrat kultur kaldu galur toksigenik diberikan formalin 0,3% dan diinkubasi pada 37°C
hingga toksisitasnya menghilang. Toksoid cair ini dimurnikan dan distandarisasi dalam unit
flokulasi (dosis Lf). Toksoid cari yang disiapkan tadi diabsorpsi pada aluminium hidroksida
atau aluminium fosfat. Materi ini bertahan lebih lama di dalam depot sesudah injeksi dan
merupakan antigen yang lebih baik. Toksoid ini umumnya dikombinasi dengan tetanus
toksoid (Td) dan kadang-kadang dengan vaksin pertusis (DPT atau DaPT) sebagai injeksi
tunggal untuk digunakan pada imunisasi inisial pada anak. Untuk injeksi booster dewasa,
hanya toksoid Td atau toksoid Td dikombinasi dengan vaksin pertusis aseluler (untuk suatu
injeksi satu kali pada individu yang mendapat vaksin pertusis sel penuh dimasa kanak-kanak)
yang digunakan; kombinasi ini menggabungkan toksoid tetanus dosis penuh dengan toksoid
difteri dosis sepersepuluh lebih kecil supaya dapat mengurangi kecenderungan reaksi yang
tidak diinginkan.

Semua anak harus mendapatkan satu seri imunisasi dan booster inisial. Booster reguler
dengan Td terutama penting untuk orang dewasa yang berpergian ke negara berkembang,
tempat insidens difteri klinis dapat mencapai 1.000 kali lebih tinggi daripada negara maju,
tempat imunisasi adalah universal.

Anda mungkin juga menyukai