Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang
menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang
yang dipengaruhinya. Penyakit diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu penyakit
menular, penyakit tidak menular, dan penyakit kronis. Peyakit menular ialah
penyakit yang disebabkan oleh kuman yang menyerang tubuh manusia.
Kuman dapat berupa virus, bakteri, amoeba, atau jamur. Penyakit tidak
menular ialah penyakit yang tidak disebabkan oleh kuman, tetapi disebabkan
karena adanya problem fisiologis atau metabolisme pada jaringan tubuh
manusia. Sedangkan penyakit kronis adalah penyakit yang berlangsung sangat
lama bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya. Penyakit dapat
disebabkan oleh banyak hal. Peyakit dapat ditimbulkan karena faktor
keturunan, faktor lingkungan, atau faktor dari dalam diri sendiri yang kurang
memperhatikan kesehatan. Penyakit akibat faktor keturunan disebabkan oleh
ayah atau ibu penderita yang membawa gen penyakit yang kemudian
diturunkan kepada anak (penderita). Lingkungan yang tidak bersih dan
banyaknya polusi merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit dari
faktor lingkungan. Tak hanya itu, penyakit dapat ditimbulkan karena diri
sendiri jarang berolahraga, makan tidak teratur, atau kurangnya kebersihan
diri. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai kebersihan dan kesehatan. Kondisi lingkungn yang tidak bersih dan
sehat dapat menimbulkan bersarangnya bakteri, virus, dan jamur. Salah satu
penyakit menular yang berbahaya akibat bakteri adalah penyakit difteri.
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri tersebut menginfeksi saluran pernafasan , terutama bagian
tonsil, nasofaring, dan laring. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
menular. Penularan penyakit ini dapat melalui hubungan dekat ataupun
melalui udara. Bila tidak ditangani dengan baik, penyakit ini dapat
menyebabkan kematian.
Penyakit difteri ini sudah ada sejak permulaan pertama abad ke- 20.
Namun, wabah penyakit ini baru muncul kembali sekitar tahun 2017. Di
Indonesia, penyakit difteri mewabah di 95 Kabupaten/Kota dari 20 Provinsi
dengan kasus tertinggi terletak di Jawa Timur sebanyak 318 kasus dan 12
meninggal. Di kota Malang sendiri, terdapat 19 kasus dan tidak ada kematian.
Umumnya, penyakit ini dijumpai di daerah dengan sanitasi rendah. Penyakit
difteri umumnya menyerang anak-anak di bawah usia 15 tahun. Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa difteri dapat menyerang orang dewasa.
Kembalinya wabah difteri disebabkan karena kondisi lingkungan yang
buruk. Tak hanya itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan
lingkungan dan gejala penyakit yang tidak segera ditangani menyebabkan
penyakit ini semakin mewabah. Masyarakat seringkali menganggap remeh
gejala penyakit difteri, akibatnya penyakit ini menimbulkan efek yang buruk
hingga kematian. Masyarakat menganggap sanitasi sebagai sesuatu yang
kurang penting. Banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan,
sehingga bakteri dapat tumbuh di berbagai tempat dengan cepat. Di beberapa
daerah, banyak masyarakat yang belum mengenal dan mengerti tentang
bahaya penyakit difteri. Hal ini yang membuat mereka acuh tak acuh dengan
penyakit ini.
Dengan keadaan masyarakat yang demikian, pengenalan kepada
masyarakat tentang difteri diperlukan. Hal itu diperlukan untuk memberikan
wawasan mengenai penyakit difteri serta mecegah meningkatnya penularan
penyakit difteri. Untuk itu, sosialisasi difteri dari pihak berwajib kepada
masyarakat harus dilakukan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pentingnya sosialisasi penyakit difteri?


2. Apa hubungan sosialisasi difteri terhadap tingkat kematian?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit difteri dan sosialisasi difteri beserta
dampak sosialisasi difteri terhadap tingkat kematian.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pentingnya sosialisasi penyakit difteri.
2. Untuk mengetahui hubungan sosialisasi difteri dengan tingkat
kematian.
BAB II

ISI

2.1 PENYAKIT DIFTERI

2.1.1 Pengertian Difteri

Difteri adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri


Corynebacterium diphtheriae yang menyerang bagian selaput lendir
(mucus) pada tenggorokan dan hidung. Difteri termasuk ke dalam salah
satu infeksi berbahaya yang dapat berujung pada kematian jika tidak
mendapatkan penanganan yang tepat. Bakteri difteri berasal dari kelompok
bakteri gram positif yang aktif. Prodiksi toksin terjadi ketika bakteri
diinfeksi oleh bakteriofage yang mengandung toksin difteria gen tox.

2.1.2 Jenis-jenis Penyakit Difteri

2.1.2.1 Difteri Saluran Pernafasan

Khusus difteri yang langsung menyerang laring, gejala


awalnya adalah batuk rejan. Serangan bakteri akan menghasilkan
banyak lender dan merusak dinding jalan pernafasan. Jika tidak
segera diobati pasien bisa meninggal.

Tapi ada juga Corynebacterium diphtheriae yang tidak


mengeluarkan toksin. Caranya merusak memang tidak secepat
paparan di atas, namun karena simtomnya tidak begitu dirasa
(kecuali batuk-batuk kecil dan sariawan), bakteri ini akan
berkembang banyak dan masuk ke paru-paru. Akibatnya tetap saja
fatal.

2.1.2.2 Difteri Kulit

Difteri yang langsung menyerang kulit tanpa menyerang


saluran pernafasan akan meninggalkan luka-luka di kulit dan
bekas-bekasnya. Selama proses inkubasi dan serangan, difteri jenis
ini dapat mengundang pathogen kulit yang lain untuk ikut berpesta
bersama-sama menyantap jaringan kulit dan saraf pasien, sehingga
jika dibiarkan pasien akan kehilangan indra peraba di tempat-
tempat tersebut. Jika masih terus dibiarkan, difteri ini akan
bergerak menuju saluran pernafasan juga.

2.1.2.3 Difteri yang lain

Difteri yang ini tidak menyerang kulit dan slauran


pernafasan, tetapi mencari membrane tubuh yang berlendir.
Khusus yang ini difteri langsung menyerang vagina. Tingkat
fatalitasnya paling rendah, sekitar 5-10 persen, tetapi jika dibiarkan
bakteri akan masuk ke serviks dan sampai ke Rahim. Akibatnya
pasien dapat mengalami kerusakan system reproduksinya.

Individu yang beresiko tinggi untuk perusakan jenis difteri


ini adalah anak-anak di bawah lima tahun dan orang dewasa di atas
empat puluh tahun. Tetapi individu yang beresiko tinggi terinfeksi
adalah mereka yang suka berganti-ganti pasangan, tidak menjaga
kebersihan kewanitaannya sehabis melakukan seks, dan tidak
memeriksakan kesehatan reproduksinya secara rutin.

2.1.3 Cara Kerja Bakteri dalam Tubuh

Ciri khas terjangkitnya seseorang dengan bakteri ini dapat dilihat


dari terbentuknya lapisan berwarna abu-abu yang disebut pseudomembran
pada tenggorokan dan amandel. Lapisan berwarna abu-abu tersebut
merupakan tumpukan sel-sel mati akibat dari racun yang dihasilkan oleh
bakteri difteri.

Pada awalnya bakteri difteri akan menginfeksi selaput lendir pada


hidung dan tenggorokan, namun pada tingkatan yang lebih lanjut
Corynebacterium diphtheriae akan memproduksi zat racun bernama
exotoxin yang tersebar lewat aliran darah dan dapat merusak organ vital
seperti ginjal, jantung, jaringan saraf, dan otak.

Bakteri difteri memiliki kemampuan untuk memproduksi racun


yang dapat terbawa ke aliran darah dan tersebar ke berbagai organ di
dalam tubuh. Akan terjadi dampak yang sangat fatal ketika racun ini
masuk ke jantung dan sistem saraf. Apabila racun difteri masuk ke
jantung, maka ia dapat merusak otot-otot jantung sehingga menyebabkan
penderitanya mengalami gagal jantung dan berujung pada kematian.
Apabila racun difteri ini merusak saraf pada sistem pernapasan, maka
penderitanya akan mengalami kesulitan bernapas, sesak napas, hingga
gagal napas yang akan berujung pada kematian. Pada beberapa kasus
difteri juga dapat berdampak pada kulit. Penderita difteri jenis ini akan
mengalami borok pada kulit yang dapat menyebabkan kulit menjadi
bolong.

2.1.4 Subjek Difteri

Difteri paling sering menyerang anak-anak antara usia dua dan


lima tahun. Sentra Pengendalian Penyakit (AS) menyatakan bahwa
sebanyak 50 persen orang usia enam puluh tahun ke atas dapat peka
terhadap difteri karena mereka belum mendapatkan suntikan ulang.
Anjuran yang umum adalah setiap orang berusia sepuluh tahun ke atas
sebaiknya mendapatkan suntikan ulang Td (huruf kecil “d” menyatakan
porsi difteri dari vaksin ini kurang keras daripada yang ada yang ada di
dalam vaksin DPT) setiap sepuluh tahun.

2.1.5 Gejala dan Perawatan Difteri

Gejala difteri termasuk serak, batuk, napas berbunyi, sakit


tenggorok, sedikit demam, mudah tersinggung, menggigil, dan semakin
sulit bernapas. Gejala ini serupa dengan croup, suatu penyakit radang
tenggorok pada kanak-kanak. Difteri ini bisa mematikan kecuali jika
dirawat sejak dini. Antara 5-10 persen pasien difteri meninggal dunia.
Perawatannya terdiri atas antitoksin difteri, antibiotika, trakheotomi
(membuka jalan napas), dan terapi oksigen.

2.1.6 Pengobatan

Anak yang terserang difteri harus segera mendapatkan pengobatan


oleh dokter. Pengobatan pasien difteri dilakukan dengan menetralisir racun
exotoxin, serta mematikan bakterinya. Hal ini dilakukan dengan
pemberian antitoksin difteri dan antibiotik seperti erythromycin atau
penicillin. Penderita difteri juga harus di isolasi agar tidak menyebarkan
bakteri difteri kepada orang lain. Dalam rentang waktu sekitar 2 hari
setelah pemberian antitoksin dan antibiotik difteri, keadaan pasien akan
mulai membaik. Dokter akan melakukan pemeriksaan apakah bakteri
difteri sudah benar-benar tidak lagi menginfeksi tubuh pasien. Apabila
sudah bersih maka pasien bisa dinyatakan sembuh.

2.2 SOSIALISASI DIFTERI


2.2.1 Pihak yang Berwenang Memberikan Sosialisasi Difteri

Pihak yang berwenang memberikan sosialisasi penyakit difteri


adalah Dinas Kesehatan yang dibawahi oleh Kementerian Kesehatan dan
Dinas Pendidikan serta pemerintah daerah provinsi / kabupaten / kota yang
telah bekerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait serta berbagai
organisasi keagamaan, ikatan profesi, LSM, swasta dan masyarakat
madani.

2.2.2 Cara Menarik Masyarakat untuk Mengikuti Sosialisasi Difteri

Cara menarik masyarakat untuk mengikuti sosialisasi penyakit


difteri adalah dengan menjamin adanya beberapa fasilitas kesehatan
pemerintah dan swasta yang telah siap untuk memberikan pelayanan
imunisasi difteri kepada orang dewasa dengan pembayaran yg
bervariasi jumlahnya. Sejumlah rumah sakit yang memenuhi
persyaratan juga telah disiapkan untuk merawat dan mengobati
penderita difteri.

2.3 PENTINGNYA SOSIALISASI DIFTERI


a. Dengan sosialisasi difteri, masyarakat mengetahui penyebab difteri
sehingga dapat menghindari penyebab tersebut. Masyarakat yang telah
diberi sosialisasi difteri akan lebih berhati-hati dan menghindari penyebab-
penyebab penyakit difteri.

b. Dengan sosialisasi difteri, masyarakat menyadari pentingnya vaksinasi


penyakit difteri sebagai bentuk pencegahan penyakit difteri. Masyarakat
akan menganggap vaksinasi sebagai sesuatu yang penting serta ketakutan
dan keraguan masyarakat akan vaksinasi dapat dikurangi karena
masyarakat sudah lebih mengetahui hal tersebut melalui sosialisasi.

c. Dengan sosialisasi difteri, masyarakat menjadi lebih mengenal gejala


difteri sehingga dapat menanggulangi semakin parahnya penyakit difteri.
Masyarakat yang telah terkena gejala difteri akan segera
menanggulanginya dengan pergi ke dokter atau meminum obat agar
penyakitnya tidak semakin parah.

2.4 HUBUNGAN SOSIALISASI DIFTERI DENGA ANGKA KEMATIAN

Pada tahun 1920-an, ketika data difteri pertama kali dikumpulkan, sekitar
150.000 orang terkena penyakit ini dalam satu tahun, dan 13.000 meninggal
per tahun. Penyakit ini memuncak pada tahun 1921 (206.939 kasus), tetapi
setelah disosialisasikan mengenai penyakit difteri dan vaksinnya di beberapa
tahun kemudian, jumlah kasus mulai menurun. Antar tahun 1970 dan 1979
terdapat sekitar 196 kasus per tahun dan hanya 4 kasus pada tahun 1992,
dengan 1 kematian.

Dengan adanya data tersebut maka kita bisa belajar dari pengalaman yang
sudah terjadi dahulu. Dapat kita lihat dengan nyata bahwa kurangnya
perhatian masyarakat terhadap vaksin difteri akan mengakibatkan kematian.
Sehingga sosialisasi vaksin difteri bisa dilakukan secara cepat dan rata di
seluruh belahan wilayah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai