Anda di halaman 1dari 14

i

BAB I

PENDAHULUAN

A.?Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi.Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang
menyerang sistem pernapasan bagian atas. Menurut Purwana (2010) bahwa semua
golongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, namun 80%
kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan
imunisasi dasar. Kejadian difteri masih tinggi di seluruh dunia. Menurut WHO tahun
2012, kasus difteri di Afrika terjadi sebanyak 50 kasus pada tahun 2010 dan terdapat 13
kasus pada tahun 2011. Kejadian di Amerika terjadi kasus sebanyak 41 kasus pada tahun
2010 dan sebanyak 8 kasus pada tahun 2011. Kejadian difteri di Eropa terjadi 32 kasus
pada tahun 2011. Kejadian di Mediterania Timur terdapat 154 kasus pada tahun 2010 dan
352 kasus pada tahun 2011.

Kasus di bagian Asia Tenggara (South East Asian Region) menurut WHO tahun
2012, India menempati urutan pertama pada tahun 2011 dengan kasus sebanyak 3485.
Pada urutan kedua yaitu Indonesia dengan kasus sebanyak 806. Nepal berada pada posisi
ketiga dengan kasus sebanyak 94. Tahun 2013 menurut data WHO terjadi kasus sebanyak
4680 di dunia, dengan South East Asia menempati urutan pertama dengan 4080 kasus.

B.?Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari difteri


2. Bagaimana mengobati pasien yang terkena difteri

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang difteri


2. Untuk mengetahui cara mengobati pasien yang terkena difteri

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Difteri

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteriCorynebacterium diphtheriae, yaitu kuman
yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian
antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui
kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita
yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.Difteri adalah suatu
penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya
menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

Penyebab penyakit ini adalahCorynebacterium diphteria.Penyakit ini muncul


terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis
dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.Penderita difteri umumnya
anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal,
yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak –anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan kita.Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B
merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia.

Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia


adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan
oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap
difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun

3
dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),


penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.Berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas
Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3
orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan
kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya.

B. Tanda Dan Gejala

Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda
yang paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala umum
dari difteri adalah:

a. Tenggorokan dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu


b. Radang tenggorokan dan serak
c. Pembengkakan kelenjar pada leher
d. Masalah pernapasan dan saat menelan
e. Cairan pada hidung, ngiler
f. Demam dan menggigil
g. Batuk yang keras
h. Perasaan tidak nyaman
i. Perubahan pada penglihatan
j. Bicara yang melantur

Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung
berdebar cepat. Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas.

4
Bila Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu, konsultasikanlah dengan
dokter Anda.

C. Etiologi

Penyakit difteri adalah infeksi bakteri gram positif, Corynobacterium diphtheria.


C. diphtheria adalah bakteri basilus, nonmotil, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Terdapat strain yang patogenik dan tidak patogenik. Kuman difteri dapat menular melalui
droplet respiratorik seperti dari batuk atau bersin atau kontak langsung dengan sekret
respiratorik, dari lesi kulit yang terinfeksi, dan dari barang-barang yang sudah
terkontaminasi oleh bakteri difteri. C. diphtheria bukan kuman yang sangat invasif dan
biasanya hanya menempati lapisan superfisial mukosa respiratorik dan lesi kulit, dan
dapat menyebabkan reaksi inflamasi ringan di jaringan lokal.

Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh C.


diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh virus
spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat empat strain C.
diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain ini dapat
memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C. diphtheria,
spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama difteri pada kulit.
C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia dan banyak ditemukan
pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan.

D. Patofisiologi

Penyakit difteri timbul dimulai dengan masuknya basil Corynebacterium


diphteriae ke dalam hidung atau mulut, dan berkembang pada mukosa saluran napas
bagian atas terutama daerah tonsil, kadang-kadang di daerah kulit, konjungtiva, atau
genital. Basil kemudian akan memproduksi eksotoksin.

Toksin yang terbentuk akan diabsorpsi melewati membrane sel mukosa,


menimbulkan peradangan dan epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis ini
terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih; keadaan ini mengakibatkan
terbentuknya patchy exuddate yang pada permulaan masih bisa terkelupas. Pada keadaan
yang lebih lanjut toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat menyebabkan
daerah nekrosis ini bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan

5
terbentuknya membrane palsu yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel
leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membrane palsu ini sulit
terkelupas, apabila dipaksa terjadi perdarahan. Membrane palsu ini terbentuk di tonsil,
faring, laring dan dalam keadaan berat bisa meluas sampai ke trakea dan kadang-kadang
ke bronkus , diikuti edema soft tissue dibawah mukosanya.

Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh dan menyebabkan kerusakan organ dan jaringan berupa degenerasi,
fatty infiltration dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenalin dan
jaringan saraf. Apabila mengenai jantung akan menyebabkan mikorditis. Bebeapa jenis
Corynebacterium yang hidup pada saluran napas atau konjungtiva tidak menimbulkan
penyakit, jenis ini disebut difteroid, misalnya corynebacterium pseudodiphtheriticum, C.
cerosis, C.Haemolyticum dan C.Ulcerans.

Setelah terinfeksi, zat-zat berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri dapat menyebar
melalui aliran darah penderita ke organ lain, seperti jantung, sehingga dapat
menyebabkan kerusakan organ yang signifikan. Selanjutnya, penyakit ini dapat ditularkan
dari seseorang yang telah terjangkit melalui ludah. Bakteri ini juga dapat menghasilkan
racun yang diproduksididalam aliran darah. Difteri menyebar dari seseorang ke oranglain
melalui kontak langsung dengan orang-orang yang memiliki penyakit atau yang
membawanya. Penyakit ini juga dapat menyebar melalui kontak dengan barang yang
telah digunakan oleh penderita, misalnya tisu atau cangkir. Bakteri Corynebacterium
diphtheriae hidup sehingga menyebabkan orang terinfeksi pada hidung, tenggorokan,
kulit atau mata, serta dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui bersin dan
batuk. Orang bisa terinfeksi difteri dengan menyentuh luka terbuka dari seseorang yang
terinfeksi.Transisi bakteri melalui media luka ini sangat umum terjadi di negara-negara
tropis ataupun di daerah dengan kondisi yang padatdisertai kebersihan yang tidak
memadai. Bakteri Difteri dapat bertambah dan berkembang biak pada bagian mulut dan
tenggorokan yang lembab, sehingga dapat menyebabkan peradangan.

E. Manifestasi Klinik

Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala
sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit
kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena

6
bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis,
neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang
nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis
yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi
(dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).3,7,8 Gejala difteri itu sendiri dibedakan
berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/ respiratory
yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit
pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis
yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada
anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas
dan bawah.

Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip
seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membrane dijaringan antara
lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang
dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi
dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain. Infeksi kulit C.diphtheriae
relatif jarang terjadi di daerah yang secara ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada
tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah tropis. Difteri kulit biasanya berupa ruam kulit
atau terjadinya ulkus kulit yang kronis (bentuk yang paling umum), biasanya co-infeksi
dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat menginfeksi luka yang sudah ada
sebelumnya.

Awalnya, infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma dapat
menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya lesi terbuka. Dalam
waktu singkat, luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan
rasa sakit selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh pseudomembrane abu-
abu atau coklat. Setelah membrane lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna
merah dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna dan sering ditemukan
adanya cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi relatif lebih ringan dan dapat
dengan mudah diobati. Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada
orang yang mengalami penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat

7
meningkatkan level imunitas alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada
difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam jaringan.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan difteri harus dimulai secepatnya bahkan sebelum adanya hasil


pemeriksaan penunjang yang definitif karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas.
Isolasi pasien minimal 48 jam setelah pemberian antibiotik yang adekuat. Pada pasien
yang dicurigai akan mengalami gangguan saluran napas harus mendapat pengamanan
jalur napas.

Aktivitas jantung harus dipantau dengan ketat untuk deteksi awal abnormalitas
irama jantung. Pada pasien yang mengalami aritmia atau gagal jantung sebaiknya
diberikan intervensi farmakologis dan pada pasien yang mengalami gangguan konduksi
jantung yang signifikan dapat dilakukan electrical pacing. Pemberian antibiotik dan
antitoksin harus segera diberikan.

Tata laksana farmakologi pada penderita difteri dewasa sama dengan tata laksana
penderita difteri pada anak, yaitu:

1. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)

Anti Difteri Serum (ADS) atau antitoksin difteri dihasilkan dari serum kuda, yang
bekerja dengan menetralisir eksotoksin bebas sebelum memasuki sel. ADS sebaiknya
diberikan sesegera mungkin setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS.
Pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam menentukan kesembuhan. Di
Indonesia, Anti Difteri Serum diproduksi dan didistribusikan oleh Biofarma. ADS ini
tersedia di rumah sakit melalui pemesanan ke Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan menyatakan bahwa stok ADS cukup untuk mengatasi kejadian luar biasa
(KLB) difteri yang terjadi pada akhir 2017.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu untuk menilai
sensitivitas pasien terhadap ADS. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi >10 mm.

8
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji kulit
negatif, ADS diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita.
Dosisnya berkisar antara 20.000-100.000 unit. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml dekstrosa 5% dalam 1-2 jam. Lakukan pengamatan terhadap
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama dua jam
berikutnya. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan terhadap terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar
0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat
dan injeksi epinefrin harus selalu tersedia pada pasien yang baru mendapatkan ADS.
ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

2. Pemberian antibiotika

Tata laksana dengan antibiotik paling efektif pada tahap awal penyakit serta
mampu menurunkan angka penularan dan meningkatkan kesembuhan dari difteri.
Antibiotik yang diberikan adalah golongan makrolid sebagai lini pertama dan golongan
penisilin. Berdasarkan CDC, antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dan
azitromisin makrolid adalah antibiotik lini pertama untuk pasien yang berusia lebih dari
enam bulan. Namun demikian, terapi makrolid, khususnya eritromisin, dikaitkan dengan
peningkatan kejadian stenosis pilorus pada bayi berusia kurang dari enam bulan.
Antibiotik golongan makrolid memiliki keuntungan manfaat sebagai agen antiinflamasi
dengan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear. Dosis antibiotik golongan
makrolid untuk difteri, yaitu:

a. Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.
b. Anak-anak: 10-12 mg/kg sekali sehari (maks. 500 mg/hari)
c. Dewasa: 500 mg sekali sehari
d. Durasi pengobatan total 14 hari

Golongan penisilin: Penisilin intramusukular direkomendasikan untuk pasien


yang nonkomplians ataupun intoleran terhadap makrolid, seperti pada bayi berumur di
bawah enam bulan. Antibiotik golongan penisilin yang dapat diberikan yaitu:

9
a. Procaine benzyl penicillin (penisilin G)
b. 50 mg/kg sekali sehari (maks. 1,2 g/hari) secara IM selama 14 hari
c. Aqueous benzyl penicillin (penisilin G)
d. 000 unit/kg/hari secara IM atau IV lambat diberikan dalam dosis terbagi setiap 6
jam selama 14 hari

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sendiri menganjurkan pemberian


antibiotik penisilin prokain IM 25000-50000 U/kgBB maks 1,5 juta U selama 14 hari,
atau dapat juga diberikan eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/kgBB/hari maks 2
g/hari interval 6 jam selama 14 hari.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan pada penderita difteri dengan gejala obstruksi


saluran napas bagian atas. Jika terdapat penyulit miokarditis diberikan prednisone 2
mg/kg BB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.

4. Terapi Oksigen

Terapi oksigen rutin sebaiknya dihindari karena dapat mengaburkan tanda-tanda


obstruksi jalan nafas. Hanya berikan terapi oksigen pada pasien yang dicurigai
mengalami obstruksi jalan nafas atau kegawatan nafas.

5. Penanganan pada Fase Konvalesens

Pada fase konvalesens diberikan vaksin diteri toksoid disesuaikan status imunisasi
penderita. Jika terdapat tanda-tanda syok, lakukan resusitasi dengan hati-hati karena syok
pada difteri dapat terjadi akibat sepsis atau gagal jantung. Jika tidak terdapat tanda-tanda
gagal jantung dan/atau kelebihan cairan, berikan terapi cairan dengan hati-hati. Jika syok
dicurigai akibat gagal jantung, gunakan obat-obatan inotropik dan jangan berikan cairan.
Jika terdapat demam atau nyeri, berikan paracetamol.

6. Penanganan Kontak Erat

Siapapun yang kontak erat dengan kasus dalam 7 hari terakhir dianggap berisiko
tertular. Kontak erat penderita dan karier meliputi:

a. Anggota keluarga serumah

10
b. Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
c. Kontak cium/seksual
d. Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja
e. Petugas kesehatan di lapangan dan di RS

Semua kontak erat harus diperiksa adanya gejala difteri serta diawasi setiap hari
selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak dengan kasus. Status imunisasi kontak harus
ditanyakan dan dicatat. Kontak erat harus mendapat profilaksis dengan antibiotik
eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari
dengan pengawasan dari pengawas minum obat (PMO). Selain itu perlu diberikan vaksin
difteri sesuai strategi WHO dengan memprioritsakan vaksinasi pada anak-anak.
Vaksinasi yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: Pentavalen untuk usia 6
minggu -6 tahun atau Td untuk usia >7 tahun Cukup satu dosis jika tercatat sudah
menyelesaikan imunisasi dasar dengan lengkap Jika belum menyelesaikan imunisasi
dasar dengan lengkap atau tidak ada bukti lengkapnya imunisasi dasar, diberikan 3 dosis.

G. Pencegahan

Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri yang
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi DPT
termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini
dilakukan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta pada usia 5 tahun. Guna memberikan
perlindungan yang optimal, vaksin sejenis DPT (Tdap atau Td) akan diberikan pada
rentang usia 10-12 tahun dan 18 tahun. Khusus untuk vaksin Td, pemberian dilakukan
setiap 10 tahun.

Bagi anak-anak berusia di bawah 7 tahun yang belum pernah mendapat imunisasi
DPT atau tidak mendapat imunisasi lengkap, dapat diberikan imunisasi kejaran sesuai
jadwal yang dianjurkan dokter anak. Khusus bagi anak-anak yang sudah berusia 7 tahun
ke atas dan belum mendapat imunisasi DPT, dapat diberikan vaksin Tdap. Antibiotic
diberikan guna membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan
antibiotic tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama menderita difteri. Setelah
keluar dari ruang isolasi sangat penting bagi penderita untuk tetap menyelesaikan
konsumsi antibiotic sesuai anjuran dokter.

11
H. Pathway

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak- anak. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang
racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan juga jantung.
suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyerang
selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini
sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang dapat menular


melalui partikel di udara, benda pribadi, peralatan rumah tangga yang terkontaminasi,
serta menyentuh luka yang terinfeksi kuman difteri. Selain penularan difteri juga bisa
terjadi melalui air liur seseorang. Contoh penularan tersebut adalah berbagi makanan atau
minuman kepada orang yang terjangkit difteri atau melakukan kontak fisik yang
melibatkan air liur, dengan pengidap penyakit difteri.

B. Saran

karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak- anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin dpt yang merupakan wajib pada anak,
tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama sepuluh tahun setelah imunisasi. Sehingga
orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap sepuluh tahun sekali,
dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati, carier difteri dan dilakukan uji
schick.

Selain itu juga kita dapat menyarannkan untuk mengurangi minum es karena
minum-minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan
dan menyebabkan tenggorokan terasa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri dapat menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat

13
sanitasi rendah. Dan makanan yang di konsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4
sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI

http://dedeyiyinzulhijjah.blogspot.com/2012/06/makalah-wabah-difteri-
epidemiologi.html

sing A. Heesemann J. I mported diphtheria Germany,


http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11 no02/05.html

http://www.cdc.gov/diphtheria/index.html

14

Anda mungkin juga menyukai