DISUSUN OLEH :
YOSEVIN KARUNIA NABABAN
131923143013
Dua virus yang pertama kali dicurigai sebagai penyebab SARS adalah Paramyxovirus
dan Coronavirus. Dan terakhir hanya Coronavirus yang diduga sebagai penyebab SARS.
Proses penularan SARS adalah berdasarkan droplet dan kontak. Penularan fecal-oral juga
mungkin terjadi melalui diare. SARS juga bisa menyebar jika seseorang menyentuh secret
atau permukaan / objek yang terifeksius dan kemudian secara langsung menyentuh mata,
hidung atau mulut, juga melalui batuk atau bersin dari pasien SARS. Setelah masuk ketubuh
manusia Coronavirus ini dapat menimbulkan infeksi saluran pernafasan atas dan juga bawah
sehingga mengakibatkan system imunitas pernafasan menjadi turun dan berakibat batuk yang
lama dan akan mengakibatkan kerusakan epitel dan gerakan silla berkurang jika diteruskan
akan mengakibatkan infeksi bertambah berat (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 226).
3. Manifestasi Klinis
Dalam serum pada masa konvalesens (serum yang diambil 28 hari atau lebih
setelah awitan gejalanya) tidak ditemukan antibody terhadap SARS-CoV.
Tes laboratorium tidak dikerjakan atau tidak lengkap (Nurarif & Kusuma, 2016,
pp. 226-227).
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan RT-PCR dari sputum dan swab tenggorok dapat menentukan diagnosis SARS
yang diikuti dengan genome sequencing. Pengambilan sampel ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Swab tenggorokan dan sputum dapat mendiagnosis virus
influenza, respiratory syncytial virus, virus parainfluenza, rhinovirus, adenovirus,
metapneumovirus, dan coronavirus. Pemeriksaan RT-PCR dapat juga digunakan untuk
mendeteksi SARS-CoV pada sampel lainnya seperti serum dan feses.
Pada pertengahan bulan Maret 2003, WHO menetapkan suatu jejaring (network) global yang
meliputi 11 laboratorium terkemuka di seluruh dunia sebagai upaya untuk meneliti
identifikasi kausa SARS. Laboratorium tersebut dipilih berdasarkan 3 kriteria, yaitu:
mempunyai kemampuan ilmiah yang menonjol, memiliki fasilitas biosafety level III, dan
dapat menyumbangkan perangkat uji (battery of tests) dan eksperimen yang diperlukan untuk
memenuhi postulat Koch dalam mengidentifikasi suatu penyakit.
Studi oleh Yam WC et al mencoba membandingkan protokol pemeriksaan RT-PCR pada
dua jejaring laboratorium SARS WHO di Hong Kong dan di Hamburg. Sebanyak 303
spesimen klinis dikumpulkan dari 163 pasien yang diduga menderita SARS. Adapun
sensitivitas diagnostik dari WHO Hong Kong dan WHO Hamburg adalah 61% dan 68%
(spesimen aspirasi nasofaring), 65% dan 72% (spesimen swab tenggorokan), 50% dan 54%
(spesimen urin), serta 58% dan 63% (spesimen tinja), dengan spesifisitas keseluruhan 100%.
Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan Darah
Berdasarkan beberapa data epidemi SARS, dijumpai temuan laboratorium sebagai berikut:
Pada permulaan penyakit, jumlah limfosit absolut sering kali menurun namun secara
keseluruhan, jumlah leukosit tampak normal atau hanya sedikit menurun
Pada puncak kelainan paru, sekitar 50% penderita menunjukkan leukopenia dan
trombositopenia (50.000-150.000/mL)
Fase respiratorik juga diikuti dengan peningkatan kadar kreatin fosfokinase (sampai
setinggi 3.000 IU/L), peningkatan laktat dehidrogenase, dan hepatik transaminase (26
kali lebih tinggi dari normal)[28,29]
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis paru pada fase prodromal dan masa perjalanan penyakit mungkin tidak
menunjukkan kelainan. Namun, sejumlah besar penderita memiliki infiltrat paru dengan
distribusi unilateral dan perifer serta airspace opacity pada lobus bawah paru. Rontgen
toraks follow up pada sebagian besar pasien menunjukkan konsolidasi multifokal progresif
selama 6-12 hari yang melibatkan satu atau dua paru. Namun, pada seperempat pasien,
gambaran opasitas tetap menunjukkan tampilan fokal dan unilateral.
5. Patofisiologi
SARS secara klinis lebih banyak melihatkan bagian bawah. Dibandingkan dengan
saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih
banyak terkena dari pada trakea ataupun bronkus. Menurut hasil pemeriksaan post mortem
yang dilakukan, diketahui bahwa SARS memiliki 2fase di dalam patogenesisnya.
Fase awal terjadi selama 10 hari pertama penyakit pada fase ini terjadi proses akutyang
mengakibatkan duffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini dicirikan dengan
adanya infiltrasi dengan campuran sel-sel inflamasi serta edema pembentukan hialin.
Membran hialin terbentuk dari endapan protein plasma serta debris nukleous dan sitoplasma
sel-sel epitel paru (pneuomotis) yang rusak. Dengan adanya nekrosis sel-sel epitel paru maka
barrier antara sikulasi darah dan jalan udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari
pembuluh darah kapiler paru menjadi bebas untuk masuk kedalam ruang alveolus. Namun
demikian, karena keterbatasan jumlah pasien SARS yang meninggal untuk di autopsi, maka
masih belum dapat dibuktikan apakah kerusakan sel epitel baru tersebut disebabkan oleh efek
toksik virus secara langsung atau sebagai akibat dari respons imun tubuh. Pada tahap
eksudatif, RNA dan antigen virus dapat diidentifikasi dari makrofak alfeolar dan sel epitel
paru dengan menggunakan mikroskop elektron.
Fase selanjutnya dimulai tepat setelah 10 hari perjalanan penyakit dan ditandai dengan
perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD teroganisir. Pada periode ini, terdapat
metaplasia sel epitel skuamosa bronkial. Bertambahnya ragam sel dan fibrosis pada dinding
dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak dominasi pneoumosit tipe 2 dengan persebaran
neokleous, serta nukleoli yang eosinofilik. Selanjutnya, sering kali ditemukan sel raksasa
dengan banyak nukleus, (multi-nucleated giant cells ) didalam rongga alveoli. seperti infeksi
CoV lainya, maka sel raksasa tersebut awalnya diduga sebagai akibat langsung dari CoV
SARS. Tetapi setelah dilakukan pemeriksaan imunoperoksidase dan hibridisasi insitu,
didapatkan bahwa CoV SARS justru berada didalam jumlah yang rendah. Maka
disimpulkan, bahwa fase ini berbagai proses patologis yang terjadi tidak diakibatkan
langsung oleh karena replikasi voirus terus menerus, melainkan karena beratnya kerusakan
sel epitel paru yang terjadi pada tahap DAD eksudatif dan diperberat dengan pengunaan
fentilatoe (Suprapto, 2013, pp. 25-26).
WOC SARS Cov
1. 1.Paramyxovirus
Paramyxovirus
2. 2.Coronavirus
Coronavirus
Pengembangan Paru tidak efektif Melindungi daerah nyeri Kurangnya asupan cairan
MK : Bersihan jalan nafas tidak efektif MK : Intoleransi aktivitas MK : Risiko ketidakseimbangan cairan
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN SARS Cov
1. Pengkajian
A. Identitas
SARS dapat terjadi pada seseorang yang sebelumnya mempunyai paru-paru yang normal.
Walaupun sering disebut sindroma gawat pernapasan akut dewasa, keadaan ini dapat juga
terjadi pada anak-anak (Frdaus J. Kunoli, 2012, p. 171).
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONAL
(Tujuan, Kriteria Hasil)
Bersihan Jalan Napas Tidak efektif b.d Spasme Manajemen Jalan Napas (I.01011) R/ Mengetahui adanya ketidakefektifan
jalan nafas d.d sputum berlebih, mengi dan pola napas
Observasi
wheezing ( D. 0001)
R/ Bunyi Ronchi menunjukkan adanya
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, dan usaha
cairan/lendir, dan Wheezing: adanya
napas, takipnea, hiperventilasi, Kussmaul)
penyempitan jalan napas
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 2. Monitor bunyi napas tambahan (Ronchi basah,
dalam jangka waktu 30-60 menit, Bersihan Jalan Wheezing,dll) R/ indikator perfusi-difusi di paru
Napas membaik 3. Monitor saturasi O2, nilai analisa gas darah, dan hasil x-
ray toraks
Kriteria Hasil:
Terapeutik R/ Meningkatkan ekspansi paru
1. Produksi sputum menurun 4. Posisikan semi-fowler (30-45º)
R/Mengurangi beban kerja paru dan
2. Dispnea menurun 5. Berikan Oksigen sesuai kebutuhan pasien
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh
3. Frekuensi napas membaik (12-20 x/mnt) 6. Lakukan fisioterpai dada, jika perlu
4. Batuk produktif meningkat 7. Lakukan suction lendir bila produksi sputum meningkat
5. Penggunaan otot bantu napas menurun Edukasi
R/Meningkatkan pengeluaran
6. Suara napas tambahan (ronchi basah) 8. Anjurkan teknik batuk efektif
dahak/sputum
menurun Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian inhalasi (nebulizer)
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Manajemen Energi (I.05178)
ketidakseimbangan antara suplai dan Observasi R/ Mengetahui lebih awal gg fngsi tubuh
kebutuhan oksigen ditandai dengan klien
mengeluh kaku-kaku ditubuh dan nyeri otot (D. 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan R/ Kelelahan fisik, pola tidur dan jam
0056) kelelahan tidur
2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
R/ mengetahui lokasi ketidaknyamanan
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, 3. Monitor pola dan jam tidur
selama melakukan aktivitas
dalam jangka waktu 1-3 jam, Toleransi Aktivitas 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
Meningkat aktivitas R/ Membuat lingkungan nyaman dan
Terapeutik rendah stimulus
Kriteria Hasil: 5. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
R/ Melakukan latihan aktif dan pasif
1. Frekuensi nadi (5) 6. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
2. Keluhan lelah (5) 7. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan R/ Memberikan aktivitas distraksi yang
3. Dispnea saat aktivitas (5) Edukasi menenangkan
4. Dispnea setelah aktivitas (5) 8. Anjurkan tirah baring
R/ Menyarankan tirah baring dan
5. Tekanan darah (5) 9. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
melakukan aktivitas secara bertahap
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
Risiko ketidakseimbangan cairan dibuktikan Manajemen Cairan (I.03098) R/ mengetahui status dehidrasi
dengan adanya faktor risiko disfungsi intestinal Observasi R/ mengetahui berat badan harian
(D. 0036)
1. Monitor status dehidrasi R/ mengetahui hasil pemeriksaan
2. Monitor berat badan harian laboratorium
3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
R/ Mengidentifikasi intake-output cairan
Tujuan: Setelah dilakukan Intervensi keperawatan, Terapeutik
dalam jangka waktu 3x24 jam, keseimbangan 4. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam R/ Memberikan asupan cairan
cairan meningkat. 5. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
R/ Melakukan pemberian diuretik jika
6. Berikan cairan intravena, jika perlu
Kriteria Hasil: diperlukan
Kolaborasi
1. Asupan cairan (5) 7. Kolaborasi pemberian diuretik,jika perlu
2. Dehidrasi (5)
3. Turgor kulit (5)
4. Tekanan darah (5)
REFERENSI :
Imam Suprapto, S. M. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: Trans Info Media.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam
Berbagai Kasus. Yogyakarta: Mediaction.
PPNI, T. P. (2016). Standart Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.
PPNI , SDKI,SIKI,SLKI