DIPHTERIA
DISUSUN OLEH :
NIM : P00933221002
TINGKAT :2
SEMESTER : 3 (GANJIL)
KABANJAHE
2022/2023
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas Rahmat-Nya
yang telah dilimpahkan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Diphteria” yang merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas yang di berikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat beberapa
kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan wawasan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan dating.
Demikianlah dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Diphteria”, dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca
umumnya.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.?Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang
menyerang sistem pernapasan bagian atas. Menurut Purwana (2010) bahwa semua
golongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, namun 80%
kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan
imunisasi dasar. Kejadian difteri masih tinggi di seluruh dunia. Menurut WHO tahun
2012, kasus difteri di Afrika terjadi sebanyak 50 kasus pada tahun 2010 dan terdapat 13
kasus pada tahun 2011. Kejadian di Amerika terjadi kasus sebanyak 41 kasus pada tahun
2010 dan sebanyak 8 kasus pada tahun 2011. Kejadian difteri di Eropa terjadi 32 kasus
pada tahun 2011. Kejadian di Mediterania Timur terdapat 154 kasus pada tahun 2010 dan
352 kasus pada tahun 2011.
Kasus di bagian Asia Tenggara (South East Asian Region) menurut WHO tahun
2012, India menempati urutan pertama pada tahun 2011 dengan kasus sebanyak 3485.
Pada urutan kedua yaitu Indonesia dengan kasus sebanyak 806. Nepal berada pada posisi
ketiga dengan kasus sebanyak 94. Tahun 2013 menurut data WHO terjadi kasus sebanyak
4680 di dunia, dengan South East Asia menempati urutan pertama dengan 4080 kasus.
B.?Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Difteri
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman
yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan
sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Difteri adalah suatu penyakit bakteria
akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput
lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering
menyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak
vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit
dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis. Difteri termasuk penyakit
4
menular yang jumlah kasusnya relative rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit.
Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda
yang paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala umum
dari difteri adalah:
Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung
berdebar cepat. Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas.
Bila Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu, konsultasikanlah dengan
dokter Anda.
C. Etiologi
5
Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh C.
diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh virus
spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat empat strain C.
diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain ini dapat
memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C. diphtheria,
spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama difteri pada kulit.
C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia dan banyak ditemukan
pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan.
D. Patofisiologi
Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh dan menyebabkan kerusakan organ dan jaringan berupa degenerasi,
fatty infiltration dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenalin dan
jaringan saraf. Apabila mengenai jantung akan menyebabkan mikorditis. Bebeapa jenis
Corynebacterium yang hidup pada saluran napas atau konjungtiva tidak menimbulkan
penyakit, jenis ini disebut difteroid, misalnya corynebacterium pseudodiphtheriticum, C.
cerosis, C. Haemolyticum dan C. Ulcerans.
6
Setelah terinfeksi, zat-zat berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri dapat menyebar
melalui aliran darah penderita ke organ lain, seperti jantung, sehingga dapat
menyebabkan kerusakan organ yang signifikan. Selanjutnya, penyakit ini dapat ditularkan
dari seseorang yang telah terjangkit melalui ludah. Bakteri ini juga dapat menghasilkan
racun yang diproduksididalam aliran darah. Difteri menyebar dari seseorang ke oranglain
melalui kontak langsung dengan orang-orang yang memiliki penyakit atau yang
membawanya. Penyakit ini juga dapat menyebar melalui kontak dengan barang yang
telah digunakan oleh penderita, misalnya tisu atau cangkir. Bakteri Corynebacterium
diphtheriae hidup sehingga menyebabkan orang terinfeksi pada hidung, tenggorokan,
kulit atau mata, serta dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui bersin dan
batuk. Orang bisa terinfeksi difteri dengan menyentuh luka terbuka dari seseorang yang
terinfeksi. Transisi bakteri melalui media luka ini sangat umum terjadi di negara-negara
tropis ataupun di daerah dengan kondisi yang padatdisertai kebersihan yang tidak
memadai. Bakteri Difteri dapat bertambah dan berkembang biak pada bagian mulut dan
tenggorokan yang lembab, sehingga dapat menyebabkan peradangan.
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala
sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit
kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena
bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis,
neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang
nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis
yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi
(dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring). Gejala difteri itu sendiri dibedakan
berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/ respiratory
yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit
pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis
yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada
anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas
dan bawah.
7
Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip
seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membrane dijaringan antara
lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang
dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi
dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain. Infeksi kulit C.diphtheriae
relatif jarang terjadi di daerah yang secara ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada
tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah tropis. Difteri kulit biasanya berupa ruam kulit
atau terjadinya ulkus kulit yang kronis (bentuk yang paling umum), biasanya co-infeksi
dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat menginfeksi luka yang sudah ada
sebelumnya.
Awalnya, infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma dapat
menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya lesi terbuka. Dalam
waktu singkat, luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan
rasa sakit selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh pseudomembrane abu-
abu atau coklat. Setelah membrane lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna
merah dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna dan sering ditemukan
adanya cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi relatif lebih ringan dan dapat
dengan mudah diobati. Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada
orang yang mengalami penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat
meningkatkan level imunitas alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada
difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam jaringan.
F. Penatalaksanaan
Aktivitas jantung harus dipantau dengan ketat untuk deteksi awal abnormalitas
irama jantung. Pada pasien yang mengalami aritmia atau gagal jantung sebaiknya
diberikan intervensi farmakologis dan pada pasien yang mengalami gangguan konduksi
8
jantung yang signifikan dapat dilakukan electrical pacing. Pemberian antibiotik dan
antitoksin harus segera diberikan.
Tata laksana farmakologi pada penderita difteri dewasa sama dengan tata laksana
penderita difteri pada anak, yaitu:
Anti Difteri Serum (ADS) atau antitoksin difteri dihasilkan dari serum kuda, yang
bekerja dengan menetralisir eksotoksin bebas sebelum memasuki sel. ADS sebaiknya
diberikan sesegera mungkin setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS.
Pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam menentukan kesembuhan. Di
Indonesia, Anti Difteri Serum diproduksi dan didistribusikan oleh Biofarma. ADS ini
tersedia di rumah sakit melalui pemesanan ke Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan menyatakan bahwa stok ADS cukup untuk mengatasi kejadian luar biasa
(KLB) difteri yang terjadi pada akhir 2017.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu untuk menilai
sensitivitas pasien terhadap ADS. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi >10 mm.
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji kulit
negatif, ADS diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita.
Dosisnya berkisar antara 20.000-100.000 unit. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml dekstrosa 5% dalam 1-2 jam. Lakukan pengamatan terhadap
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama dua jam
berikutnya. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan terhadap terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar
0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat
dan injeksi epinefrin harus selalu tersedia pada pasien yang baru mendapatkan ADS.
ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
2. Pemberian antibiotika
9
Tata laksana dengan antibiotik paling efektif pada tahap awal penyakit serta
mampu menurunkan angka penularan dan meningkatkan kesembuhan dari difteri.
Antibiotik yang diberikan adalah golongan makrolid sebagai lini pertama dan golongan
penisilin. Berdasarkan CDC, antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dan
azitromisin makrolid adalah antibiotik lini pertama untuk pasien yang berusia lebih dari
enam bulan. Namun demikian, terapi makrolid, khususnya eritromisin, dikaitkan dengan
peningkatan kejadian stenosis pilorus pada bayi berusia kurang dari enam bulan.
Antibiotik golongan makrolid memiliki keuntungan manfaat sebagai agen antiinflamasi
dengan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear. Dosis antibiotik golongan
makrolid untuk difteri, yaitu:
a. Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.
b. Anak-anak: 10-12 mg/kg sekali sehari (maks. 500 mg/hari)
c. Dewasa: 500 mg sekali sehari
d. Durasi pengobatan total 14 hari
3. Kortikosteroid
10
Kortikosteroid dapat diberikan pada penderita difteri dengan gejala obstruksi
saluran napas bagian atas. Jika terdapat penyulit miokarditis diberikan prednisone 2
mg/kg BB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
4. Terapi Oksigen
Pada fase konvalesens diberikan vaksin diteri toksoid disesuaikan status imunisasi
penderita. Jika terdapat tanda-tanda syok, lakukan resusitasi dengan hati-hati karena syok
pada difteri dapat terjadi akibat sepsis atau gagal jantung. Jika tidak terdapat tanda-tanda
gagal jantung dan/atau kelebihan cairan, berikan terapi cairan dengan hati-hati. Jika syok
dicurigai akibat gagal jantung, gunakan obat-obatan inotropik dan jangan berikan cairan.
Jika terdapat demam atau nyeri, berikan paracetamol.
Siapapun yang kontak erat dengan kasus dalam 7 hari terakhir dianggap berisiko
tertular. Kontak erat penderita dan karier meliputi:
Semua kontak erat harus diperiksa adanya gejala difteri serta diawasi setiap hari
selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak dengan kasus. Status imunisasi kontak harus
ditanyakan dan dicatat. Kontak erat harus mendapat profilaksis dengan antibiotik
eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari
dengan pengawasan dari pengawas minum obat (PMO). Selain itu perlu diberikan vaksin
difteri sesuai strategi WHO dengan memprioritsakan vaksinasi pada anak-anak.
Vaksinasi yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: Pentavalen untuk usia 6
11
minggu -6 tahun atau Td untuk usia >7 tahun Cukup satu dosis jika tercatat sudah
menyelesaikan imunisasi dasar dengan lengkap Jika belum menyelesaikan imunisasi
dasar dengan lengkap atau tidak ada bukti lengkapnya imunisasi dasar, diberikan 3 dosis.
G. Pencegahan
Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri yang
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi DPT
termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini
dilakukan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta pada usia 5 tahun. Guna memberikan
perlindungan yang optimal, vaksin sejenis DPT (Tdap atau Td) akan diberikan pada
rentang usia 10-12 tahun dan 18 tahun. Khusus untuk vaksin Td, pemberian dilakukan
setiap 10 tahun.
Bagi anak-anak berusia di bawah 7 tahun yang belum pernah mendapat imunisasi
DPT atau tidak mendapat imunisasi lengkap, dapat diberikan imunisasi kejaran sesuai
jadwal yang dianjurkan dokter anak. Khusus bagi anak-anak yang sudah berusia 7 tahun
ke atas dan belum mendapat imunisasi DPT, dapat diberikan vaksin Tdap. Antibiotic
diberikan guna membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan
antibiotic tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama menderita difteri. Setelah
keluar dari ruang isolasi sangat penting bagi penderita untuk tetap menyelesaikan
konsumsi antibiotic sesuai anjuran dokter.
12
H. Pathway
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak- anak. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang
racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan juga jantung.
suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyerang
selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini
sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.
B. Saran
karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak- anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin dpt yang merupakan wajib pada anak,
tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama sepuluh tahun setelah imunisasi. Sehingga
orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap sepuluh tahun sekali,
dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati, carier difteri dan dilakukan uji
schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena
minum-minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan
dan menyebabkan tenggorokan terasa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri dapat menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
14
sanitasi rendah. Dan makanan yang di konsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4
sehat 5 sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI
http://dedeyiyinzulhijjah.blogspot.com/2012/06/makalah-wabah-difteri-
epidemiologi.html
http://www.cdc.gov/diphtheria/index.html
15