Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

DIFTERI
DOSEN PENGAMPU :

KELOMPOK III

POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN


PRODI D III KEPERAWATAN
2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………

Latar belakang ……………………………………………………………...


Tujuan penulisan …………………………………………………………...

BAB II TINJAUAN TEORI ……………………………………………………...

Pengertian difteria ………………………………………………………….


Patogenesis …………………………………………………………………
Penyebab …………………………………………………………………...
Tanda dan gelaja (manefestasi klinis) ……………………………………...
Klasifikasi ………………………………………………………………….
Patofisiologi ………………………………………………………………..
Pathway …………………………………………………………………….
Pemeriksaan penunjang ……………………………………………………
Komplikasi …………………………………………………………………
Penatalaksanaan ……………………………………………………………

BAB III TINJAUAN KASUS …………………………………………………….

Pengkajian ………………………………………………………………….
Diagnosis …………………………………………………………………..
Intervensi …………………………………………………………………...
Implementasi ……………………………………………………………….
Evaluasi …………………………………………………………………….

BAB IV PENUTUP ……………………………………………………………….

Kesimpulan ………………………………………………………………..

REFERENSI ………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Era globalisasi menyebabkan berbagai perubahan di Indonesia yang salah satunya
dalam bidang kesehatan. Indonesia mengalami triple burden yaitu transisi epidemiologi yang
merupakan pergeseran dari penyakit menular menuju ke penyakit tidak menular. Meskipun
terjadi transisi epidemiologi, penyakit menular juga semakin menunjukkan kenaikan jumlah
misalnya saja penyakit difteri. Tidak hanya masalah kesehatan tersebut saja, namun
Indonesia juga mengalami new emerging disease yaitu munculnya penyakit baru yang
sebelumnya belum ada.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang kembali mengalami
peningkatan. Menurut CDC (2012), difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae. Difteri menyebabkan adanya selaput tebal di
tenggorokan. Hal terebut dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan sehingga
seseorang mengalami kesulitan bernapas dan bahkan kematian. Gejala awal penyakit difteri
yaitu demam 38 C, pseudomembrane (selaput tipis), putih keabuan pada tenggorok (laring,
faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah serta dapat disertai dengan nyeri
menelan, leher bengkak seperti leher sapi (bullneck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor)
(Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2012).
Menurut WHO (2014), penyakit difteri paling banyak menginfeksi tenggorokan dan
saluran napas bagian atas, dan menghasilkan racun yang mempengaruhi organ-organ lain.
Karakteristik utama penyakit difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan pembengkakan
kelenjar di leher, dan pada kasus yang lebih parah, difteri dapat menyebabkan myocarditis
atau neuropati perifer. Toksin difteri dapat menyebabkan membran jaringan mati dan
terdapat selaput di tenggorokan yang dapat mengakibatkan sulitnya bernapas dan menelan.
Penyakit ini menular melalui kontak fisik langsung yaitu dapat melalui batuk atau bersin dari
orang yang terinfeksi. (Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 September 2014: 404–
415)
B. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan difteri yang
meliputi pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan. 
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian difteria
Penyakit Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering
diserang terutama saluran pernapasan bagian atas, dengan tanda khas timbulnya
"pseudomembran" . Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala
umum dan lokal, Penyebab penyakit difteria adalah kuman Diphtherine corynebacterium,
bersifat gram positif dan polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri dapat
ditemukan dalam sediaan langsung yang diambil dari hapusan tenggorok atau hidung. Basil
difteria akan mati pada pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering. Terdapat tiga jenis
basil, yakni bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam
biakan agar (agar-agar) darah yang mengandung kalium telurit. Basil difteria mempunyai
sifat:
1. Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudäh berdarah, dan berwarna
putih keabu-abuan yag meliputi daerah yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik, dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf (toksin in amat ganas; ⅕0 ml
toksin dapat membunuh kelinci). (ngastiyah, 2005 eds.2 hal 40)
B. Patogenesis
Patogenesis. Kuman hidup dan berkembang biak pada saluran napas bagian atas,
tetapi dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat
tersebut kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran
timbul lokal kemudian menjalar dari faring, tonsil, laring, dan saluran napas atas. Kelenjar
getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila
mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan
saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menyebabkan timbulnya
nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya
sumbatan jalan napas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena
terjadi miokarditis, atau gagal napas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi juga
dapat perantaraan alat/ benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit dapat
mengenai bayi tetapi kebanyakan pada anak usia balita. Penyakit difteria dapat berat atau
ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan,
hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan
kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien yang datang
berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor dan
dispnea. Pasien difteria selalu dirawat di rumah sakit karena mempunyai risiko terjadi
komplikasi seperti miokarditis atau sumbatan jalan napas. (ngastiyah, 2005 eds.2 hal 41)
C. Penyebab
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Difteri menyebabkan adanya selaput tebal di tenggorokan. Hal terebut dapat
menyebabkan penyempitan saluran pernapasan sehingga seseorang mengalami kesulitan
bernapas dan bahkan kematian. (Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 September
2014: 404–415)
D. Tanda dan gelaja (manefestasi klinis)
Gambaran klinis. Masa tunas: 2-7 hari.
 Gejala umum: terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, dan
anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah.
 Gejala lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada kelenjar
regional; sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit telah pada stadia lanjut.
 Gejala akibat eksotoksin tergantung bagian yang terkena misalnya mengenai otot
jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan. Bila difteria
mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa
pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam
hidung. Biasanya penyakit ini akan melas ke bagian tenggorok pada tonsil, faring,
dan laring. (ngastiyah, 2005 eds.2 hal 43).
E. Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
 Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
 Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
 Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan
nefritis (radang ginjal). (martini marfield 2012)
F. Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa
genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik
yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan
sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur
terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD).
Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan
asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose
sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat
diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi
eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai
hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila
diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat
menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas
tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi
aktifitas. (martini marfield 2012)
G. Pathway

Corynebacterium diphteriae

Kontak dengan orang atau barang yang terkontaminasi.

Bakteri masuk lewat saluran pencernaan atau saluran pernafasan.

Menempel di saluran pernapasan atas

Setelah inkubasi selama 2-3 jam

Corynebacterium diphteriae mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Toksin ini diabsorpsi oleh membrane sel

Terjadi penetrasi dan interferensi dg sintesa protein

Kuman mengeluarkan enzim penghancur NAD


(Nicotinamide Adenine Dinucleotide)

Sintesa protein terputus

Nekrosis sel dan jaringan

terjadi pembentukan eksudat

produksi toksin meningkat shg infeksi meluas

terjadi pembentukan eksudat fibrin,perlengketan dan membentuk

membrane berwarna abu-abu sampai kehitaman

DIFTERI

Hipotalamus Inflamas
i
PG
Peningkatan secret
Suhu di paru-paru

MetabolismeHIPERTERMI BERSIHAN JALAN


meningkat Obstruksi NAPAS TIDAK
EFEKTIF

Sesak Napas

Pemecahan KH, Protein,


Lemak, & adanya Sianosis
penekenan pada saraf pusat
lapar di otak POLA NAPAS
TIDAK EFEKTIF
Nafsu makan menurun

Asupan kurang

BB turun

DEFISIT NUTRISI

H. Pemeriksaan penunjang
a. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu.
Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada
bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan
negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada
orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat
terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72
jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albumin ringan. (martini marfield 2012)
c. Pemeriksaan diagnostik.
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan. . (ngastiyah, 2005 eds.2 hal 43).

I. Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan: terjadi obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia, atelektasis;
2. Kardiovaskular: mioKarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman
difteria;
3. Kelainan pada ginjal: nefritis;
4. Kelainan saraf: kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenai
susunan saraf terutama sistem motorik, dapat berupa:
a. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak/
sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II;
b. Paralisis/ paresis otot-otot mata; dapat mengakibatkan strabismus, gangguan
akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu Ill;
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu IV. Kelainan dapat mengenai
tot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot
pernapasan. (ngastiyah, 2005 eds.2. hal 42-43)
J. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan medis. Pengobatan umum, dengan perawatan yang baik, isolasi dan
pengawasan EKG yang dilakukan pada permulaan dirawat, 1 minggu kemudian dan
minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut- turut normal; dan pengobatan
spesifik
 Penatalaksanaan keperawatan. Pasien difteria harus dirawat di kamar isolasi yang
tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti
tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam),
Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai gaun tersebut untuk mencegah
penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan,
sabun, lap atau handuk yang selalu kering (bila ada tisu), air bersih jika tidak ada kran.
Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. (ngastiyah,
2005 eds.2 hal 43)
BAB III
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KASUS DIFTERI

A. Pengkajian
o Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering dijumpai pada anak (usia
1-10 tahun).
o Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan bernapas pada waktu
tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak pada tenggorokan /leher.
o Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
o Pemeriksaan fisik

- Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9 C, terdapat

pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullnek.


- Pada difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk kering, sementara pada
obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sterna, sub costal, dan supra
clavicular.
- Pada difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung yang serosauinus sampai
mukopurulen dan membrane putih pada septum nasi.
o Pemeriksaan Laboratorium

Untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan sediaan langsung dengan kultur dan
pemeriksaan toksigenitas

B. Diagnosis keperawatan
 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
 Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
 Deficit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis
C. Intervensi keperawatan

Perencanaan
Diangnosis Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi Rasional
1. Bersihan Setelah dilakukan Observasi:
jalan nafas tindakan keperawatan - Monitor pola nafas
tidak efektif 2x24 jam diharapkan (frekuensi,kedalaman,usaha nafas)
berhubunga jalan nafas membaik - Monitor bunyi nafas tambahan
n dengan dengan kriteria hasil : - Monitor sputum(jumlah
obstruksi - Frekuensi warna,aroma)
jalan napas. nafas Teraupetik :
membaik. - Perthankan kepatenan jalan nafas
- Kedalaman dengan head-tilt dan chin-lift
nafas - Posisikn semi fowler atau fowler
membaik. - Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada,jika perlu
- Lakukan pengihaspan lender kurang
dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
- keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
- Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari,jika tidak kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukolitik,
jika perlu
2. Pola napas Setelah dilakukan Observasi :
tidak efektif tindakan keperawatan - Monitor frekuensi, irama,
berhubunga 2x24 jam diharapkan pola kedalaman dan upaya napas
n dengan nafas membaik dengan - Monitor pola napas (seperti
hambatan kriteria hasil : bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
upaya - Kapasitas vital Kussmaul, cheyne-stokes,Biöt,
napas meningkat ataksik)
- Frekuensi - Monitor kemampuan batuk efektif
nafas - Monitor adanya produksi sputum
membaik - Monitor adanya sumbatan jalan
napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik :
- Atur interval pernantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil permantauan, jika
perlu

3. Hipertermi Setelah dilakukan Observasi :


berhubunga tindakan keperawatan - Identifikasi penyebab hipertermia
n dengan 2x24 jam diharapkan (mis. dehidrasi, terpapar lingkungan
proses hipertermi membaik panas, penggunaan inkubator)
penyakit dengan kriteria hasil : - Monitor suhu tubuh
- Pucat menurun - Monitor kadar elektrolit
- Suhu tubuh - Monitor haluaran urine
membaik - Monitor komplikasi akibat
- Suhu kulit hiperternia
membaik Terapeutik :
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih
sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebihan)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis,
selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
- Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika pertu
4. Deficit Setelah dilakukan Observasi :
nutrisi tindakan keperawatan - Identifikasi status nutrisi
berhubunga 2x24 jam diharapkan - Identifikasi alergi dan intoleransi
n dengan deficit nutrisi membaik makanan
faktor dengan kriteria hasil : - Identifikasi makanan yang disukai
psikologis - Frekuensi - Identflkasi kebutuhan kalori dan
makan jenis nutrient
membaik - Identifikasi perlunya penggunaan
- Nafsu makan selang nasogastric
membaik - Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik :
- Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis. piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika
perlu
- Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogastrik jlika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kalaborasi :
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis.pereda
nyeri,antiemetik),jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang diperlukan, jika perlu

D. Implementasi dan Evaluasi

No Hari/
Implementasi Paraf Evaluasi
DX Tgll/Jam
1. - Memonitor pola nafas
(frekuensi,kedalaman,usaha nafas)
- Memonitor bunyi nafas tambahan
- Memberikan minuman hangat
- Melakukan fisioterapi dada
- Memberikan oksigen jika pelu
- Mengkolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukolitik,
jika perlu

2. - Memonitor frekuensi, irama,


kedalaman dan upaya napas
- Memonitor adanya sumbatan jalan
napas
- Menjelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

3. - Mengidentifikasi penyebab
hipertermia (mis. dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan
inkubator)
- Memonitor suhu tubuh
- Memonitor komplikasi akibat
hiperternia
- Menyediakan lingkungan yang dingin
- Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
4. - Mengidentifikasi status nutrisi
- Mengidentifikasi alergi dan intoleransi
makanan
- Mengidentifikasi makanan yang
disukai
- Memberikan suplemen makanan, jika
perlu
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis.pereda
nyeri,antiemetik),jika perlu

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

REFERENSI
Perawatan anak sakit :

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 September 2014: 404–415)


https://media.neliti.com/media/publications/76891-ID-none.pdf

(martini marfield 16 april 2012) https://www.scribd.com/doc/89567607/LP-Difteri

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator Diagnostik ((cetakan
III) 1 ed.).

Jakarta: DPP PPNI. PPNI, T. P. (2018).

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan Keperawatan


((cetakan II) 1 ed.).

Jakarta: DPP PPNI. PPNI, T. P. (2019).

Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil Keperawatan
((cetakan II) 1 ed.).

Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai