Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA

SPONDYLIOSIS LUMBALIS, DIRUANGAN ASTER

RSUD UNDATA PALU.

DI SUSUN OLEH:

SUCI RAMADHANI YUSDAR

PO7120120014

CI KLINIK CI AKADEMIK

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES PALU

2022
A. PENGERTIAN

Spondylosis adalah sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang (spine
osteoarthritis) yang disebabkan oleh proses degenerasi sehingga mengganggu fungsi dan
struktur tulang belakang. Spondylosis dapat terjadi pada level leher (cervical), punggung
tengah (thoracal), maupun punggung bawah (lumbal). Proses degenerasi dapat menyerang
sendi antar ruas tulang belakang, tulang dan juga penyokongnya (ligament).

Spondylosis lumbal adalah kelainan degeneratif yang menyebabkan hilangnya struktur dan
fungsi normal spinal. Proses penuaan adalah penyebab utama tapi lokasi dan percepatan
degenerasi bersifat individual. Proses degenerative pada region cervical, thorak atau lumbal
dapat mempengaruhi discus intervertebral dan sendi faset (Kalim, 1996)

Spondylosis ini termasuk penyakit degeneratif yang proses terjadinya secara umum
disebabkan oleh berkurangnya kekenyalan discus yang kemudian menipis dan diikuti dengan
lipatan ligamen disekeliling corpus vertebra, seperti ligamentum longitudinal. Selanjutnya
pada lipatan ini terjadi pengapuran dan terbentuk osteofit. Spondylosis kebanyakkan
menyerang pada usia diatas 40 tahun (Appley, 1995).

B. ETIOLOGI

Tidak ada yang tahu persis apa yang menyebabkan pada seseorang terjadi proses degenerasi
pada sendi tersebut sedangkan orang lain tidak. Tapi ada beberapa faktor resiko yang dapat
memperberat atau mencetuskan penyakit ini. Faktor usia dan jenis kelamin salah satunya,
semakin tua semakin banyak penderita spondylosis. Dari temuan radiografik (Holt, 1966)
kejadiannya 13% pada pria usia 30-an, dan 100% pada pria usia 70-an. Sedangkan pada
wanita umur 40-an 5% dan umur 70-an 96%. Faktor lain yang turut meningkatkan kejadian
spondylosis adalah faktor trauma, ’wear and tear’ alias pengausan, dan genetik. Perlu diingat
bahwa tulang punggung adalah penahan berat, jadi tentunya berhubungan dengan pekerjaan
dan obesitas. Misalnya orang yang mempunyai pekerjaan sering mengangkat beban berat
maka kecenderungan terkena spondylosis lebih tinggi, dan orang yang gemuk dengan
sendirinya juga memberi beban lebih pada sendi di ruas tulang punggung sehingga
meningkatkan kemungkinan terkena spondylosis. Merokok juga dilaporkan merupakan faktor
resiko penyakit ini.

C. MANIFESTASI KLINIK (tanda & gejala)

Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat keluhan nyeri
punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya merupakan temuan yang tidak
ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.

Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan saat berdiri atau
berjalan. Gejala atau tanda yang muncul saat berjalan berkembang menjadi claudicatio
neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-
kadang secara mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan
sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.

Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh disebabkan oleh
penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, defisit sensorik motorik,
disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan.

Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri pinggang
bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan
penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan
dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk
berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai
sepatu hak tinggi.

Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang lama
sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik
dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi
proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih
(nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan
berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke
depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen
dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain,
menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang
merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara
postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama
mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak pendek

Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada beratnya
penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah
defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat
inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat
mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio intermiten
vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada
satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan
peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang
mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya penekanan
mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau paresthesia
Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi
kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid
yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat
negatif pada metabolismenya.
D. PATOFISIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Spondilosis muncul sebagai akibat pembentukan tulang baru di tempat dimana ligament
anular mengalami ketegangan.

Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak diketahui, dengan
kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan hanya muncul saat pertumbuhan
sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai ukuran maksimal. Kebanyakan ahli menerima
teori yang menjelaskan stenosis spinalis lumbalis terjadi melalui perubahan degeneratif yang
menjadi instabilitas dan penekanan akar saraf yang menimbulkan masalah jika anatomi
canalis spinalis seseorang tidak baik.

Faktor perkembangan dan kongenital termasuk beberapa variasi anatomis yang memberikan
ruang lebih sempit untuk jalannya saraf, sehingga bahkan hanya dengan perubahan osseus
minor dapat berkembang menjadi penekanan akar saraf: canalis spinalis yang dangkal,
canalis dengan bentuk trefoil, atau anomali dari akar saraf.

Variasi anatomis facet joint dalam hal orientasi, bentuk, atau asimetrisitas membuat
degenerasi lebih mudah terjadi yang berkembang menjadi penekanan akar saraf. Degenerasi
lebih sering menyebabkan gejala penekanan akar saraf pada canalis spinalis yang sempit,
dibandingkan dengan yang lebar bahkan spondilosis atau spondiloartrosis yang berat tidak
memberikan tanda-tanda klinis. Bentuk trefoil dari canalis spinalis adalah variasi anatomis
dari canalis spinalis, yang disebabkan oleh orientasi dari lamina dan facet joint. Paling sering
ditemukan setinggi L3 sampai L5. Kondisi ini dianggap sebagai faktor predisposisi
berkembangnya stenosis recessus lateralis melalui perubahan degeneratif dari facet joint.

Kelainan-kelainan akar saraf (akar yang berhimpit, akar yang ukurannya melebihi normal,
akar yang melintang) juga dapat berperan dalam berkembangnya gejala. Disproporsi antara
ukuran recessus lateralis dan diameter akar yang di luar normal dapat menimbulkan gejala
yang sesuai.

Facet joint yang asimetris dapat mempercepat degenerasi discus, facet joint dengan orentasi
ke frontal memungkinkan ruang yang lebih lebar untuk membengkok ke lateral dan oleh
karena itu juga mempunyai akibat negatif terhadap integritas discus. Pada saat yang sama,
juga terdapat ruang yang lebih sempit di recessus lateralis. Orientasi sendi ke sagital
memungkinkan mudahnya pergeseran ke sagital dari vertebra-yaitu berkembangnya
spondilolistesis degeneratif. Faktor yang didapat yaitu termasuk semua perubahan degeneratif
yang berkembang menjadi penekanan akar saraf baik osseus maupun non-osseus.

Secara morfologis, bentuk-bentuk perlekatan struktur saraf berikut ini dapat muncul
secara tunggal atau kombinasi dapat digolongkan sebagai stenosis spinalis lumbalis :

- stenosis spinalis centralis


- stenosis recessus lateralis
- penyempitan foramen intervertebralis
- penekanan akar saraf osseus
E. PATHWAY
F. PENATALAKSANAAN
Terapi konservatif dapat berhasil hingga 75% pada awalnya. Selama fase akut,
sebaiknya immobilisasi hanya dalam waktu 1-2 hari saja karena dalam waktu yang
berlama-lama akan menimbulkan kelemahan otot yang pada akhirnya menyebabkan
nyeri pinggang Semain hebat. Penggunaan Obat anti inflamast seperti obat anti
inflamast steroid (OAINS) dan kortikosteroid, analgesic, serta perelaksasi otot dapat
diberikan terutama jangka waktu pendek. Belakangan ini telah diperkenalkan suatu
obat yaitu glucosamine, yang dapat mengurangi nyeri dan relative aman. Mengenai
dosis yang diberikan sebaiknya dimulai dari setengah dosis standar yang Kemudian
dapat dititrasi secara perla han dengan pemantauan ketat. Bahkan penggunaan rumus
seperti pada anak-anak mungkin dapat dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebagai akibat
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pdat pada lanjut usia. Daerah lesi
sebaiknya tidak banyak digerakkan dan diberi penyanggah. Lumbosacralorthotic
seperti korset dapat mengurangi bean pada lumbal dengan cara menstabilkan spinal
lumbal. Untuk kasus spondilosis servikalis yang sering menyertai spondilosis
lumbalis dapat digunakan alat penganggah leher yang lembut (soft servical collars)
sehingga dapat meminimalkan gerakan dan mengurangi nyeri. Fisoterapi seperti
pemanasan, stimulasi elektrik, dan modalitas lainnya seperti traksi dapat digabungkan
kedalam perencanaan terapi dalam rangka mengontrol nyeri dan spasme otot. Selain
itu akupuntur juga telah disebut sebagai salah satu terapi untuk mengurangi nyeri
termasuk nyeri pinggang oleh karena spondilosis lumbalis. Dikatakan dengan
akupuntur nyeri dapat berkurang bahkan hilang tanpa efek samping. Akupuntur
mengurang gejala nyeri yang ada dengan mempengaruhi saraf dan pembuluh darah
atau dengan memperbaiki mikrosirkulasi regional. Program penurunan berat badan
juga perlu dilakukan pada penderita dengan kelebihan berat badan 24-

Penatalaksanaan dengan pembedahan jarang dilakukan untuk mengatasi spondilosis


lumbalis ini. Tindakan pembedahan ini direkomendasikan pada keadaan :
- Penderita yang memiliki gejala menetap dan memberat sat berdiri atau pada
kasus
yang menyebabkan defisit neurologis seperti paraparese inferior LMN dengan
reflek tendon lutut dan akhiles yang menurun, gangguan sensibilitas
satu/kedua tungkai yang bertambah bila berjalan (neurogenic claudicatio
intermitten), atau adana gejala retensio urin et alvi.
- Penderita yang tidak memiliki gejala permanen tetapi gejala timbul
bergantung pada posisi, seperti gejala berkurang jika penderita memakai
korset"
Sebelum dilakukannya tindakan bedah, usia pasien, gaya hidup, pekerjaan, dan
jumlah vertebrata yang terlibat perlu dievaluasi secara hati-hati.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan komplikasi.
Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA])
memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk
pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan
gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang
tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk
menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina
intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis,
retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau
stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.

Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan


kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup.

CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang
sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan
bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi
discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.

MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus
dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis.
Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image,
biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis
lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang
cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini
akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional
spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.

Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan gejala-gejala,


karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT sering ditemukan
baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang sama sekali
asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.
Gambar 3. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI

Gambar 4. Lumbar Spondylosis

PENGOBATAN

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapa
dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan
claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri
punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.

Pengobatan konservatif

Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan
mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat
berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan
dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari.

Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali


terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk
stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu
yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus.

Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri
punggung dan nyeri skiatika.

- Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis.


Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
- Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total
selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk
bedah eksisi.
- Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.

TERAPI PEMBEDAHAN

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala
permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa
komplikasi.

Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan
nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.

- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi
hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.
- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai
kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit.
- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah
komplikasi yang mungkin terjadi.
- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat
menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul
kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit
tersebut, sehingga tidak nampak lagi.
- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum.

Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena
pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi
yang dapat dilakukan anatara lain:2

 Operasi dekompresi
 Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil
 Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis
dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari
akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis

Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian


tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan
yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun.
Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif
rendah.

Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina


lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada
spina yang degeneratif, bagian penting yang

lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat
menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan
hasil yang buruk.

Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika


terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari
instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi,
nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka
discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan
oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan
setelah dekompresi recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di


segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata,
hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan pada
epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah
berhasil, pembengkakan lemak post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.

Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.

Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis


laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan
dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat
dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan
cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan
memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus.
Dekompresi selektif akar saraf

Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf
sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial
melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus
akar saraf diangkat.

Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang
disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars
artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi

Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru


menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods,
harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.

Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus


dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat
dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior.
Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada
laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi
dari spondilolistesis progresif.

Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik,


trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus
paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat
muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh
hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini
masih belum dapat diketahui.

Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah


prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan
yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian
operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih
dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat
dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat
stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.

Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:

 Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau
menyebabkan claudicatio intermitten neurogenikà dekompresi dan stabilisasi
 Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten yang
jelas berhubungan dengan posturà dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika
keluhan membaik dengan korset lumbal
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otot-
otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif
maupun pembedahan.

H. PENGKAJIAN FOKUS SPONDYLOSIS

1 .ANAMNESE

a.Keluhan Utama

Keluhan utama yang dirasakan pasien yaitu nyeri pada bagian vertebrae atau tulang
belakang baik itu nyeri pada vertebrae cervical, torakal atau lumbal.

P: nyeri bertambah berat saat beraktivitas, istirahat membantu meringankan nyeri

Q: nyeri yang dirasakan berdenyut dan menusuk

R: lokasi nyeri pada daerah tulang belakang bagian cervical, torakal, lumbal atau sakrasal
dan menjalar ke seluruh tulang belakang.

S: nyeri dirasakan pasien pada skala 0-5 yaitu skala 4. Nyeri membuat pasien cemas dan
gelisah

T : nyeri muncul dalam waktu lama, terkadang nyeri berkurang.

b.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien sering mengeluh mudah lelah dan sering mengalami sakit punggung setelah
beraktivitas. Nyeri hebat yang secara tiba-tiba dirasakan pasien setelah beraktivitas
ringan. Nyeri tersebut tak kunjung reda hingga pasien dirujuk ke rumah sakit.

c..Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien biasanya memiliki riwayat sakit atau nyeri punggung

d. Riwayat Keluarga

Riwayat sakit atau nyeri punggung juga di alami keluarga pasien. Namun tidak separah
yang pasien rasakan.

e. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan

Pekerjaan yang menuntut pasien untuk mengangkat benda atau barang. barng yang cukup
berat dikuti dengan gerakan yang salah dalam mengangkat barang berat dapat memicu
terjadinya nyeri punggung yang menyebabkan spondilosis.

f. Psikologis
Nyeri hebat pada tulang belakang pasien dapat meningkatkan pengeluaran hormon stres.
Sehingga biasanya di dapat pasien gelisah dan cemas

2. PEMERIKSAAN FISIK

B1 (Breath):takipneu

B2 (Blood)hipotensi, tekanan darah di bawah 120/80 mmHg

B3 (Brain) kehilangan keseimbangan, pusing

B4 (Bladder): inkontinensia urine

B5 (Bowel) inkontinensia alvi, malaise, mual, muntah

B6 (Bone)kelemahan otot, parasthesia

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Nyeri berhubungan dengan agen pencedera
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
- Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan gangguan sensorik dan mototrik
- Risiko intoleransi aktivitas berhubungan dengan masalah pernapasan
- Resiko gangguan integritas kulit b.d gangguan sensasi
- Ansietas berhubungan dengan stress
J. PERENCANAAN KEPERAWATAN

NO
DIAGNOSA TUJUAN DAN RENCANA RASIONAL
KEPERAWAT KRITERIA HASIL INTERVENSI
AN
1 Nyeri b.d agen Tujuan: a) Istirahtakan a) Istiratkan pasien, anjurk
pencedera Dalam waktu 1x24 jam pasien untuk tidak banyak be
terdapat penurunan b) Manajemen sehingga nyeri berkurang
reposn nyri pada tulang lingkungan b) Lingkungan yang tenang
belakang : pengunjung dapat me
lingkungan pasien beristirahat
K.H: Secara subjektif tenang dan c) Berupa sentuhan
pasien menyatakan batasi psikologi missal: masa
penurunan rasa nyeri pengunjung yang dapat membantu m
dada, secara objectif c) Lakukan nyeri dan meningkatk
didapatkan TTV dalam manajemen darah
batas normal,wajah sentuhan d) Anti analgetik yang sesu
rileks d) Kolaborasi indikasi akan mengura
pemberian pasien
anti e) Dapat menurunkan
analgetik dengan mekanisme pe
sesuai produksi endorphin dan
indikasi yang dapat memblok rese
ajarkan f) Nyeri berat dapat men
tekhnik syok dan memperparah
distraksi(pe pasien
ngalihan g) Variasi penampilan dan
perhatianra pasien karena nyeri terja
sa nyeri) temuan pengkajian
e) Catat
karaktereris
tik nyeri,
lokasi,
intensitas
dan
penyebaran
nya
Ketidakefektifan Tujuan: a) Kepala a) Posisi tersebut pada
pola nafas b.d Dalam waktu 1x24 jam tempat penurunan curah jantung
keletihan otot terdapat pola nafas tidur harus untuk mngurangi
pernapasan kembali efektif dinaikkan bernapas dan menguran
20-30cm darah yang kembali k
K.H: atau klien sehingga dapat m
Secara objektif didudukkan kongesti
didapatkan TTV dalam dikursi b) Memudahkan pasien me
batas normal, tidak b) Beri oksigen
terlihat takipneu oksigen c) Posisi semi fowler
sesuai memaksimalkan peng
indikasi paru-paru
c) Anjurkan d) Menentukan pemberian
pasien sesuai indikasi
duduk semi
fowler
d) Pantau nilai
oksigen
darah
3 Gangguan Tujuan: a) Bantu a) Mengurangi resiko ced
eliminasi urine Dalam waktu 3x24 jam pasien jika lanjut
b.d gangguan terdapat eliminasi urine ingin b) Kateter memudahkan pas
sensorik motorik pasien kembali efektif berkemih berkemih tanpa
dikamar mengeluarkan banhyak
mandi untuk kekamar mandi
K.H: b) Pasang c) Membantu mempe
Secara objektif kateter fungsiginjal mencegah in
didapatkan TTV dalam c) Anjurkan pembentukan batu
batas
normal,peningkatan pasien d) Asupan cairan dan jum
kemajuan klien dalam untuk urine merupakan data a
eliminasi urine minum/mas penghitungan intake dan
ukkan e) Intake dan output ya
cairan(2- menunjukkan perubahan
4hari) urine pasien mulai norma
termasuk
juice yang
mengandun
g asam
askorbat
d) Monitor
asupan
cairan, pola
berkemih,
jumlah
residu
urine,
kualitas
urine.
e) Ukur intake
dan output
pasien
4 Resiko Tujuan: a) Tingkatkan a) Menurunkan kerja otot d
intoleransi Dalam waktu 3x24jam istirahat, belakang
aktifitas b.d resiko intoleransi batasi b) Kelelahan yang
masalah aktifitas berkurang atau aktivitas, memperparahpenyakit pa
pernapasan kegiatan pasien dan berikan c) Membantu dalam mer
meningkat aktivitas dan melaksanakan latih
senggang individual
K.H: dan tidak mengidentifiksi/mengemb
Secara mandiri maupun berat alat-alat bantu
dengan sedikit bantuan b) Bantu mempertahankan
passion tidak mengeluh
pusing , alat dan sarana pasien mobilisasi,dan kemandiri
untuk memenuhi dalam d) Meningkatkan
aktifitas tersedia dan melakukan memperthankan tonus
mjudah dijangkau aktivitas mobilisasi sendi
klien, TTV dalam batas yang tidak e) TTV menjadi
normal membuat kemampuan pasien
pasien lelah melakukan tindakan.
c) Konsultasi
dengan ahli
terapi
d) Bantu klien
dalam
melakukan
latihan
ROM
e) Catat TTV
sesudah
Melakukan
aktivitas
5 Risiko Tujuan: a) Melakukan a) Perubahan posisi dapat m
kerusakan Dalam waktu 3x24 jam perubahan Atau mencegah
integritas kulit pasien terhindar dari posisi integritas kulit, perubah
b.d gangguan resiko kerusakan setiap 2 yang mendadak
sensasi integritas kulit jam bila menyebabkan hipotensi o
sudah ada b) Membuang bakteri
K.H: petunjuk mikroorganisme lain
Secara objektif dokter menyebabkan lesi
TTV normal, tidak namun c) Massage membuat pas
terlihat tanda-tanda hati-hati rileks dan nyaman.
adanya decubitus,lesi terhadap membantu melembabkan
atu peradangan pada timbulnya d) Meningkatkan sirkulasi
kulit hipotensi dan perifer dan m
akibat tekanan pada kulit
perubahan e) Menstimulasi
posisi meningkatkan nutrsi
b) Bersihkan oksigenasi sel dan
kulit pasien meningkatkan kesehatan
setiap f) Kulit biasanya cenderu
beberapa karena perubahan sirkula
jam dengan
sabun
c) Lakukan
massage
dengan
perlahan
menggunak
an gerakan
sirkular dan
oleskan
krim atau
lotion pada
daerah
tertekan
d) Berikan
terapi
kinetic/mat
ra, berikan
tekanan
sesuai
kebutuhan
e) Anjurkan
klien untuk
melakukan
program
pelatihan
f) Inspeksi
seluruh
area kulit,
catat
pengisian
kapiler,
adanya
kemerahan
dan
pembengka
kan
6 Ansietas b.d Tujuan: a) tunjukkan sikap a) Membuat pasien nyaman
stress Dalam waktu 2x24 jam sopan dan lemah sungkan
pasien terhindar dari lembut pada pasien b) Menumbuhakan ke
kecemasan/kecemasan b) perbanyak tatap pasien terhadap perawat
pasien berkurang muka dan c) Memberikan dukungan
komunikasi beradaptasi pada perub
K.H: dengan pasien memberikan sumber-sum
Secara objectif TTV c) rujuk pada mengatasi masalah.
normsl, ttidak terlihat kelompokpenyoko d) Membantu mengatasi
adanya tanda-tanda ng yang ada, pasien
decubitus,lesi atau pelayanan social, e) Pasien akan nyaman d
peradangan pada kulit konselor, financial/ percaya kepada perawat.
konselor kerja, ia lebih terbuka tentang
psikoterapi dan membuatnya cemas.
sebagainya demikian pasien akan me
d) Anjurkan pasien tenang
untuk f) Membantu dalam mengid
mrnceritakan kekuatan dan keteramp
masalahnya jika ia mungkin membantupasi
sudah siap mengatasi keadaannya.
e) Berikan
informasi yang
tepat mengenai
penyakit pasien
dan hal yang
menjadi penyebab
kecemasan pasien
tanpa
mengintimidasi
pasien
f) Kaji tingkat
ansietas pasien,
tentukan
bagaimana pasien
menagngani
masalahnya
dimasa lalu dan
bagaimana pasien
melakukan koping
dengan masalah
yang dihadapinya
sekarang.
DAFTAR ISI

Ayu konsita. Spondylosis Lumbalis. 2007


http://www.scribd.com/doc/44834841/Spondylosis-Lumbalis Akses tgl 20 april 2014.
Darryl Virgiawan Tanod. Low back pain lbp kausa spondilosis
http://darryltanod.blogspot.com/2008/03/low-back-pai-n-lbp-e-kausa-spondilosis.html
akses tanggal 22 april 2015 http://malindofm.com/tag/spondilosis
Anonim. Anatomy of the Vertebral Column with Typical Cervical and Lumbar
Vertebrae - Medical Illustration_files. 2004. In :
http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd.
Anonim. Lumbar Spine Stenosis A Common - Medical Illustration_files. 1998. In :
http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd.

Anda mungkin juga menyukai