Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN SPONDYLOSIS LUMBALIS

DI RUANG PERAWATAN LONTARA 3 SAWIT


RSUP Dr WAHIDIN SUDIROHUSODO

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Disusunoleh :
IVON DUKKUN
A1C121034

CI INSTITUSI CI LAHAN

(…………………………..) (…………………………..)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN SPONDYLOSIS LUMBALIS

KONSEP TEORI

A. Defenisi
Spondylosis berasal dari kata spondilo (bahasa Yunani) yang berarti tulang belakang.
Spondilosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada osteoarthritis degeneratif dari
sendi antara korpus vertebra dan atau foramen neural. Pada keaadaan ini, sendi faset
tidak terlibat. Jika berat, hal ini dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf (radiks),
yang kemudian akan menyebabkan gangguan sensorik dan atau motorik, seperti nyeri,
parastesia atau kelemahan kedua tungkai (Anynomous, 2011).
Menurut Dorland (2011:1008), spondylosis yaitu ankilosis sendi vertebral; perubahan
degeneratif pada vertebra akibat osteoporosis. Spondylosis adalah sejenis penyakit
rematik yang menyerang tulang belakang (spine osteoarthritis) yang disebabkan oleh
proses degenerasi sehingga mengganggu fungsi dan struktur tulang belakang.
Spondylosis dapat terjadi pada level leher (cervical), punggung tengah (thoracal),
maupun punggung bawah (lumbal). Proses degenerasi dapat menyerang sendi antar ruas
tulang belakang, tulang dan juga penyokongnya (ligament). Spondylosis adalah
terminologi yang digunakan mengacu pada osteoarthritis degeneratif yang terjadi pada
persendian diantara pusat dari vertebra spinal dan/atau foramina neural.
Hal ini sering menyebabkan nyeri punggung biasa, biasanya terjadi pada usia lanjut
dan dapat melibatkan semua atau beberapa bagian dari tulang belakang. Namun, paling
sering pada regio servikal dan lumbal.Spondilosis lumbalis dapat diartikan sebagai
perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi diskus
intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak atau dapat berarti
pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior,
lateral dan kadang – kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra sentralis
(korpus) (Chairil, A, 2011).

B. Anatomi Fisiologi
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan
untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical,
12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan
4 columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-
coccyx pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran
untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting
karena menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.
Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus
vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh
lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di
lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir
processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet
joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung
secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih
lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari
recessus lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus
verterbralis di bagian inferior.
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh
processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari
lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis,
dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan
degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada
stenosis spinalis lumbalis.
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura
setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis
spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini
dapat terjadi penekanan.
C. Etiologi
Spondylosis lumbalis muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau
perubahan degenerative. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kondisi ini tidak
berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok
dan konsumsi alkohol (Rothschild,2012).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya
penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan
space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada
radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu,
osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat
menimbulkan nyeri pinggang (Smith, 2013).

D. Patofisiologi
Perubahan degenerative dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi
nociceptive yang diidentifikasi terdapat dalam facet joint, diskus intervertebralis,
sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine
(Kimberley Middleton and David E. Fish,2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran
klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui
pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi
diskus, bulging (penonjolan) dari ligament flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran
klinis yang muncul berupa neurogenik claudication , yang mencakup nyeri pinggang,
nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang
dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang
(Kimberley Middleton and David E. Fish,2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbalis adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi
hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa
timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus
fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan
gejala gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti
mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual pabrik) dapat
meningkatkan nyeri (Regan,2010).
Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak diketahui,
dengan kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan hanya muncul saat
pertumbuhan sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai ukuran maksimal. Kebanyakan
ahli menerima teori yang menjelaskan stenosis spinalis lumbalis terjadi melalui
perubahan degeneratif yang menjadi instabilitas dan penekanan akar saraf yang
menimbulkan masalah jika anatomi canalis spinalis seseorang tidak baik.

E. Klasifikasi
Menurut Ivan dkk, 2016 Klasifikasi dari Spondylosis antara lain sebagai berikut:
1. Spondylosis Cervical
Cervical spondylosis merupakan perubahan degenerasi dari bantalan (disk)
tulang belakang leher, hipertrofi hyperplasia tulang belakang leher dan cedera
leher yang menyebabkan hyperplasia tulang belakang leher atau slipped disk
tulang belakang, penebalan ligament, iritasi atau kompresi saraf tulang belakang
leher, saraf leher, pembuluh darah sehingga menimbulkan berbagai gejala
sindrom klinis. Manifestasi klinis dari cervical spondylosis adalah nyeri leher dan
bahu, pusing, sakit kepala, mati rasa ekstremitas atas, atrofi otot, pada kasus yang
parah terjadi apasme kedua tungkai bawah dan kesulitan berjalan, bahkan muncul
quadriplegia, gangguan sfingter dan kelumpuhan anggota badan.
Cervical spondylosis sering terjadi pada orang tua, tetapi dengan adanya
perubahan gaya hidup dan perawatan kesehatan yang tidak memadai, penyakit
cervical spondylosis juga dapat terjadi pada remaja dan tingkat insiden pada pria
lebih tinggi dibanding wanita.
2. Spondylosis Lumbalis
Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang
dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti
perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan
berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,
dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis
(corpus). Secara singkat, spondylosis lumbalis adalah kondisi dimana telah terjadi
degenerasi pada sendi intervertebral yaitu antara diskus dan corpus vertebra
lumbalis.
Spondilosis sering kali mempengaruhi vertebrae lumbalis pada orang diatas
usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan diperjalanan merupakan keluhan utama.
Biasanya mengenai lebih dari 1 vertebrae.Vertebrae lumbalis menopang sebagian
besar berat badan. Duduk dalam waktu yang lama menyebabkan tertekannya
vertebrae lumbalis. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk
dapat meningkatkan nyeri pada kasus spondilosis lumbalis.
3. Spondylosis Ankilosis
Spondilosis Ankilosis adalah merupakan penyakit reumatik inflamasi sistemik
kronik yang terutama menyerang sendi aksial (vertebra). Yang merupakan tanda
khas adalah terserangnya sendi sakro iliaka, juga sering menyerang sendi
panggul, bahu dan ekstremitas pada stadium lanjut. ( Kapita Selekta Kedokteran,
2010 ).

F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang muncul berupa neurogenik claudication yang mencakup nyeri
pinggang, nyeri tungkai serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah
yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan dan diperingan saat duduk atau tidur
terlentang. Karakteristik dari spondilosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada
pagi hari (Middleton, 2009).
Menurut Fita, 2013 Manifestasi Klinis dari Spondylosis Lumbalis, antara lain sebagai
berikut:
1. Nyeri
a. Morning sickness dan Start Pain
b. Nyeri lumbal disertai kekakuan
c. Nyeri jenis pegal/ngilu pada lumbal, terkadang hingga kebelakang paha.
2. Pseudoradicular pain dan referred pain cenderung berhubungan dengan area
dermatom. Yang sesuai dengan segmen lumbal yang terkena antara lain:
a. Nyeri bisa saja tidak dirasakan pada lumbalis, namun dirasakan dilokasi
yang jauh dari lumbal. Misalnya: pada paha dan betis.
b. Nyeri yang dirasakan pada lipatan paha atau selangkangan berasal dari
L1.
c. Nyeri pada paha sisi anterior berasal dari L2.
d. Nyeri yang dirasakan pada sepertiga depan bagian bawah paha dan lutut
berasal dari L3.
e. Nyeri pada sisi medial betis sampai ibu jari kaki berasal dari L4.
f. Nyeri pada lateral tungkai sampai 3 jari tengah kaki dan mungkin juga
kelingking berasal dari L5.
g. Sisi lateral dan posterior kaki berasal dari S1.
3. Parasthesia sesuai dengan distribusi area dermatome dengan sensasi seperti
kesemutan atau perasaan kebas atau baal. Parasthesia umumnya meningkat pada
saat ekstensi lumbal.
4. Spasme otot paralumbal sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak
sendi. Spasme otot dijumpai pada aktualitas tinggi. Sedangkan jika aktualitasnya
rendah dan terlalu lama didiamkan maka yang ditemui adalah tightness atau
kontraktur otot paralumbal.
5. Kelemahan otot, umumnya pada otot abdominal dan otot gluteal
6. Perubahan postur yang terjadi sebagai upaya untuk menghindari provokasi
terhadap adanya nyeri atau adanya keadaan postur yang flat back atau
hiperlordosis lumbal.

G. Komplikasi
Menurut Laporan Kasus Stase Rehabilitasi Medik oleh Chairil pada tahun
2011 komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Spondylosis Lumbalis yaitu
kanalis stenosis. Kanalis Stenosis merupakan kondisi dimana ada penyempitan yang
tidak normal pada kanalis spinali. Penyempitan ini menyebabkan jumlah ruang untuk
medulla spinalis dan saraf menjadi terbatas. Ketika stenosis spinal memburuk, terjadi
kompresi atau penekanan pada medulla spinalis dan saraf-sarafnya. Stenosis spinal
dapat terjadi di bagian manapun dari kanalis spinalis, tetapi yang paling sering adalah
di bagian servikal dan lumbal (Medicinehealth).

H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Suhadi, 2012 Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk melihat
gambaran yang mungkin dapat terlihat, seperti:
1. Penyempitan ruang discus intervertebralis
2. Perubahan kelengkuangan vertebrae dan penekanan saraf
3. Osteofit/Spur formation di anterior ataupun posterior vertebrae
4. Pemadatan Corpus vertebrae
5. Porotik (Lubang) pada tulang
6. Vertebrae tampak seperti bambu (Bamboo Spine)
7. Sendi sacroiliaca tidak tampak atau kabur
8. Celah sendi menghilang
Adapun pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain:
1. Foto polos lumbosakral dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique sangat
membantu untuk melihat keabnormalan pada tulang.
2. Mielografi merupakan tindakan invasif dengan memasukan cairan berwarna
medium ke kanalis spinalis sehingga struktur bagian dalamnya dapat terlihat.
Myelografi digunakan untuk penyakit yang berhubungan dengan diskus
intervertebralis, tumor atau abses.
3. CT scan adalah metode terbaik untuk mengevaluasi adanya penekanan tulang
dan terlihat juga struktur yang lainnya, antara lain ukuran dan bentuk canalis
spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss
intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga.
4. MRI memberikan gambaran yang lebih jelas CT scan.
5. Electro miography (ENG)/Nerve conduction study (NCS) digunakan untuk
pemeriksaan saraf pada lengan dan kaki. EMG dapat memberikan informasi
tentang:
a. Adanya kerusakan pada saraf
b. Lama terjadinya kerusakan saraf (akut/kronik)
c. Lokasi terjadinya kerusakan saraf
d. Tingkat keparahan dari kerusakan saraf
e. Memantau proses penyembuhan dari kerusakan saraf.

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut Chairil, 2011 Penatalaksanaan pada penderita Spondylosis Lumbalis, antara
lain:
1. Penatalaksanaan Medikamentosa
Tujuan pemberian medikamentosa meliputi:
a. Simtomatik: mengurangi/ menghilangkan nyeri
Obat-obat yang digunakan meliputi NSAID (nonsteroid anti
inflammatory drugs), analgesik non opioid dan analgesik opioid.
Pemilihan analgesik tersebut dapat didasarkan pada intensitas nyeri
(ringan, sedang dan berat). Nyeri ringan digunakan NSAID atau
analgesik non opioid seperti parasetamol, aspirin, ibuprofen. Nyeri
sedang diberikan analgesik opioid ringan seperti kodein,
dihidrokodein, dekstropropoksifen, pentazosin. Kombinasi antara
NSAID dengan analgesik opioid ringan dapat juga diberikan. Nyeri
berat diberikan opioid seperti morfin, diamorfin, petidin, buprenorfin.
Untuk kasus tertentu dapat diberikan analgesik ajuvan seperti
golongan fenotiazin, antidepresan trisiklik dan amfetamin.
b. Kausal : Menghilangkan spasme otot misalnya baklofen, diazepam,
eperison, tizanidine, dan lain-lain serta menghilangkan kecemasan
(antiansietas).
2. Penatalaksanaan Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan
adanya gejala permanen khususnya defisit motorik. Pembedahan tidak
dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi. Prosedur operasi yang dapat
dilakukan antara lain: operasi dekompresi, operasi stabilisasi segmen gerak
yang tidak stabil dan kombinasi keduanya.
3. Penatalaksanaan Terapi Fisik
a. Penentraman dan edukasi pasien
Edukasi meliputi pemberian keterangan sebanyak mungkin
sesuai kebutuhan pasien, sehingga pasien mengerti tentang
penyakitnya. Sebagai tambahannya, dokter harus berempati,
menyemangati dan memberikan informasi yang positif kepada pasien.
Menentramkan pasien, yaitu mengatakan bahwa tak ada kelainan
serius yang mendasari penyakitnya, prognosisnya baik dan pasien
dapat tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Hal ini untuk mengatasi
pemikiran negatif dan kesalahan penerimaan informasi terhadap pasien
tentang nyeri punggung bawahnya. Ada suatu bukti yang kuat dari
systematic reviews bahwa nasehat untuk beraktifitas secara normal
akan mempercepat pemulihan dan mengurangi disabilitas daripada
nasehat untuk beristirahat dan ”let pain be your guide”.
b. Tirah Baring
Modalitas kunci pengobatan nyeri punggung akut adalah tirah
baring. Istirahat harus menyeluruh dan spesifik, yang berarti bahwa
tidak ada beban pada punggung, karena dengan adanya beban akan
menyebabkan trauma, otot-otot akan berkontraksi sehingga timbul
rangsangan nosiseptif dan nyeri ini akan mendasari kontraksi otot dan
menyebabkan spasme. Dengan menghindari gerak pada jaringan yang
meradang selama periode tertentu dapat secara bermakna mengurangi
rangsangan nosiseptif. Posisi istirahat yang diterima adalah posisi
modifikasi Fowler, yakni suatu posisi dimana tubuh bersandar dengan
punggung dan lutut fleksi dan punggung bawah pada posisi sedikit
fleksi.
c. Back School
Istilah back school secara umum digunakan untuk kelompok
kelas yang memberikan edukasi tentang nyeri punggung. Materi yang
diberikan meliputi informasi tentang anatomi dan fungsi tulang
belakang, penyebab nyeri punggung bawah yang dideritanya, cara
mengangkat yang benar dan latihan ergonomik, dan kadang-kadang
nasehat tentang latihan dan untuk tetap beraktifitas. Secara umum,
penelitian menunjukkan bahwa back school efektif dalam mengurangi
disabilitas dannyeri untuk NPB kronik.
d. Exercise (Latihan)
Latihan sudah menjadi standar penatalaksanaan nyeri pada
punggung. Latihan dapat dilakukan secara pasif maupun aktif dan
dalam pengawasan atau tanpa pengawasan. Tujuan dari latihan
meliputi memelihara fleksibilitas fisiologik kekuatan otot, mobilitas
sendi dan jaringan lunak serta ketahanan badan. Beberapa penelitian
prospektif acak gagal membuktikan manfaat dari latihan dibanding
plasebo pada NPB akut16, namun penelitian lain menunjukkan bahwa
latihan memberikan outcome yang baik pada penatalaksanaan NPB
kronik.
e. Mobilisasi atau Manipulasi Manual (Traksi, Lumbar Support,
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Pemijatan
(Masase))
Manifestasi fisiologik yang jelas dari traksi masih
kontraversial. Namun demikian dalam prakteknya traksi telah
dilakukan sejak lama. Ada 2 macam traksi, yaitu traksi pelvik dan
torakal (gravity traction). Efek yang realistis dari traksi vertebra
lumbosakral tersebut adalah berkurangnya lordosis, yang dapat dicapai
dengan melihat hasil:
a) Membukanya foramen intervertebralis
b) Meregangnya permukaan sendi
c) Memanjangnya muskulus spina erektor yang menyebkan
relaksasi dan lepasnya spasme dari muskulus tersebut.
d) Mengerasnya (kaku) serabut annulus fibrosus dari diskus. Efek
annulus ini bersama-sama dengan menurunnya tenaga intrinsik
dalam nukleus mengurangi tonjolan annulus (annular
buldging).

Tinjauan ulang Cochrane yang melibatkan 2 penelitian dengan kualitas


yang baik, menunjukkan bahwa traksi tidak lebih efektif dibandingkan
plasebo atau tanpa terapi pada beberapa laporan outcome.
Pemijitan (masase) adalah termasuk cara pengobatan yang paling tua di
dunia. Efeknya dapat dikelompokkan menjadi efek refleks dan
mekanik. Efek refleks pada kulit berupa rangsangan pada reseptor
perifer yang kemudian impuls diteruskan melalui medula spinalis ke
otak dan menghasilkan sensasi yang menyenangkan atau relaks. Di
perifer impuls ini menyebabkan relaksasi otot dan dilatasi atau
konstriksi arteriole. Salah satu efek yang penting adalah terjadinya efek
sedatif sehingga menurunkan ketegangan mental. Efek mekanik berupa
: membantu kembalinya sirkulasi darah dan cairan limfe karena masase
yang dilakukan dengan tenaga cukup kuat dalam arah sentripetal,
terjadinya gerakan intramuskuler dan melunaknya fibrosis serta
relaksasi spasme.
f. Interferential (Current) Therapy (IFC/IT)
Alat IFC menggunakan arus dengan frekuensi sedang yang
berkisar 4000 - 5000 Hz. Arus yang berganti-ganti dengan frekunsi
medium (1000-10.000 Hz) mempunyai resistensi kulit lebih rendah
disbanding frekuensi rendah (< 1000 Hz) sehingga penetrasi ke dalam
kulit lebih mudah. Perbedaan IFC dengan TENS mungkin
kemampuannya dalam mengahantarkan arus lebih tinggi. Dilaporkan
bahwa IFC berguna untuk kelainan muskuloskletal, neurologis dan
penatalaksanaan inkontinensia urin, meskipun literatur lain gagal
menunjukkan keunggulannya dari intervensi lain atau plasebo
g. Short Wave Diathermy (SWD)
SWD merupakan suatu cara yang memproduksi panas
melalui konversi energi elektomagnet menjadi energi suhu
(panas). Osilasi frekuensi tinggi elektrik dan medan magnet
menghasilkan gerakan ion-ion, rotasi dari molekul polar dan
distorsi molekul non polar, dengan akibat terbentuknya panas.
Federal Communications Commission limits industrial,
scientific and medical (ISM) menggunakan frekuensi 13,56
MHz (panjang gelombangnya 22- m), 27,12 (11-m) dan 40,68
MHz (7,5-m). Dengan 27,12 MHz yang paling sering
digunakan. Digunakan untuk kelainan muskuloskletal (namun
data tentang efikasinya masi diperselisihkan). Penggunaan
SWD perlu kehati-hatian pada: Peringatan terhadap bahaya
panas secara umum, pengguna metal (misalnya perhiasan, alat
pacu jantung, intrauterine devices, surgical implant, deep brain
stimulator, dll), pemakai kontak lensa, hamil dan saat
menstruasi serta immaturitas dari skletal
h. Terapi Okupasi (Occupational Therapy)
Terapi okupasi dan juga terapi fisik menggunakan
terapi latihan aktif dan pasif, teknik manual dan cara-cara
fisikal yang pasif untuk mengatasi defisit fleksibilitas,
kekuatan otot, keseimbangan tubuh, pengontrolan
neuromuskuler, postur dan ketahanan tubuh. Serta membantu
pasien mengatasi ketakutan untuk bergerak (karena nyeri yang
dialaminya). Terapi okupasi mengkhususkan pada edukasi
pasien, keluarga pasien dan penjaga pasien. Terutama dalam
menghadapi aktivitas yang berkaitan dengan ekstrimitas atas
dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi cara makan,
kebersihan, berbenah, mandi, berpakaian, cara mengangkat
beban dan lain lain. Kebanyakan penderita nyeri kronik
mempunyai gangguan sekunder di samping nyerinya seperti
infleksibilitas umum, ketidakmampuan berbenah, nyeri
miofascial dan abnormalitas postural lainnya, yang mana hal
tersebut menjadi fokus penatalaksanaan.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Biodata
Identitas klien (nama, umur, agama, suku bangsa, golongan darah,
tempat tinggal, jenis kelamin, pekerjaan). Spondylosis Lumbalis terjadi
pada umur diatas 60 tahun, hampir tidak pernah terjadi pada anak-anak,
jarang pada umur dibawah 40 tahun. Penderita Spondylosis Lumbalis juga
dipengaruhi oleh Jenis kelamin, dalam kasus ini wanita sering terkena
spondilosis dari pada laki-laki. Secara keseluruhan dibawah 45 tahun
frekuensi spondilosis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita tetapi
diatas 50 tahun frekuensi spondilosis lebih banyak pada wanita dari pada
pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis
spondilosis.
b. Keluhan utama
Pada penderita Spondylosis Lumbalis memiliki keluhan utama adanya
nyeri pinggang yang menjalar, kesemutan dan kelemahan otot.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pada penderita Spondylosis Lumbalis akan merasakan
gejala nyeri pinggang yang menjalar, kesemutan dan kelemahan otot
sehingga akan terjadi keterbatasan gerak. Dalam pengkajian yang digunakan
untuk memperoleh data rasa nyeri yang lengkap, perawat dapat
menggunakan PQRST Provoking incident : nyeri biasanya muncul secara
tiba – tiba.
Quality of pain : nyeri yang dirasakan pasien, seperti terbakar, tertusuk
-tusuk.
Region : nyeri terjadi pada daerah tenggorokan
Severity (scale) of pain : skala nyeri yang dirasakan pasien mulai dari 1 –
10. Semakin besar nilainya maka semakin besar rasa nyeri.
Time : nyeri akan terasa hilang timbul (intermiten) dan memiliki durasi
sekitar kurang dari 6 bulan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah pasien
memiliki riwayat cedera sendi, obesitas, dan riwayat radang sendi. Apabila
terdapat riwayat diatas maka pasien mempunyai resiko dalam hal ini. Selain
itu apakah pasien memiliki riwayat penyakit Tb, Hipertensi, dan DM. Jika
pasien memiliki DM membuat proses penyembuhan menjadi lama.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga yang merupakan
keturunan dari keluarga adalah faktor adanya penyakit sejenis, diabetes
yang menurun kepada keturunan dan kanker yang diturunkan secara
genetik.
f. Riwayat Psikososial
Pada pengkajian riwayat psikososial merupakan respon dari perasaan klien
tentang penyakit yang dideritanya. Serta pada riwayat psikososial ini juga
dikaji dengan peran pasien terhadap keluarga dan masyarakat yang
berpengaruh terhadap peran pasien di masyarakat.
g. Pola Nutrisi
Pada pasien Spondylosis Lumbalis biasanya tidak mengalami
penurunan nafsu makan. Makanan yang diberikan pada pasien ini tetap
tetapi dengan menu yang sesuai dengan dianjurkan ahli gizi.
h. Pola Eliminasi
Dalam melakukan eliminasi pasien mungkin membutuhkan bantuan,
karena pasien mengalami keterbatasan gerak, jadi mungkin tidak bisa
melakukan secara mandiri.
i. Pola Aktivitas dan Latihan
Dalam melakukan aktivitasnya pasien mungkin membutuhkan
bantuan, karena pasien mengalami keterbatasan gerak, jadi mungkin tidak
bisa melakukan secara mandiri.
2. Pemeriksaan Fisik ( Head To Toe)
a. Keadaan Umum
Keadaan umum pasien adalah keadaan pasien saat dikaji. Dalam
keadaan umum yang harus dicatat adalah kesadaran pasien (compos mentis,
somnolen, stupor dan koma). Tanda tanda vital dalam kasus ini dalam batas
normal jika nyeri yang dirasakan pasie tidak dalam kategori nyeri sedang
hingga berat.
b. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi : Lihat bentuk kepala klien, keadaaan kulit kepala, rambut
dengan penyebaran yang merata atau tidak, warna rambut, bau rambut, ada
tidaknya lesi dan benjolan, muka kaku menahan nyeri.
Palpasi : Bentuk ubun ubun, menentukan adanya benjolan,
hydrocepalus atau tidak, keadaan rambut lengket dan mudah rontok atau
tidak.

c. Pemeriksaan Mata
Inspeksi : Kesimetrisan dan kelengkapan pada mata, posisi mata. Adanya
enoftalamus, eksoftalmus, strabismus. Apakah terdapat edema, peradangan atau lesi,
benjolan, ptosis pada kelopak mata. Pada konjungtiva diperiksa dengan menarik
kelopak mata ke bawah dan meminta klien melihat keatas. Konjungtiva memikili
warna misalnya anemis, ikterik, kemerahan (infeksi). Amati bentuk dan reflek pada
pupil. Pupil normal dengan bentuk bulat, isokor, bila terkena cahaya pupil akan
mengecil jika terkena cahaya yang disebabkan refleksi cahaya. Jika pupil tidak
memiliki reflek maka adanya kerusakan pada saraf ketiga dan menandakan pasien
sudah meninggal. Amati kornea adakah peradangan atau tidak. Amati gerak bola
mata.
Palpasi : Kaji tekanan Intra okuler.
d. Hidung
Inspeksi: Amati kesimetrisan tulang hidung, ada tidaknya polip maupun lesi.
Amati Tidak adanya pernapasan dengan menggunakan cuping hidung. Pada dalam
hidung ada tidaknya sekret yang menyumbat pernafasan. Amati juga keadaan
rambut hidung.
Palpasi : Kaji untuk merasakan ada atau tidak adanya benjolan dan nyeri tekan pada
hidung.
e. Telinga
Inspeksi : Periksa bentuk telinga, sejajar atau tidak. Ukuran telinga, besar atau
kecil. Keadaan daun telinga. Keadaan lubang telinga apakah bersih dari kotoran.
Terdapat atau tidaknya lesi dan benjolan pada telinga.
Palpasi : Palpasi pada telinga untuk menemukan ada tidaknya edema atau nyeri
tekan pada telinga.
f. Mulut
Inspeksi : Keadaan bibir klien (cyanosis, kering, ada lesi, adanya sumbing).
Kebersihan mulut pada penderita ini biasanya kurang. Periksa keadaan gigi apakah
ada karies atau tidak. Pada gigi apakah juga terdapat karang gigi. Ada tidaknya
sumber pendarahan di mulut. Posisi bibir, mulut apakah simetris.
Palpasi : Lakukan palpasi pada bagian mulut untuk menentukan apakah ada benjolan
atau nyeri tekan.
g. Laring
Inspeksi : Kaji keadaan bau nafas. Ada atau tidaknya peradangan dan luka pada
faring. Perhatikan uvula apakah simetris. Perhatikan selaput lendir. Pada suara
adakah perubahan seperti stridor, dyspneu,dan kaji Adakah penyumbatan oleh benda
asing.
h. Leher
Inspeksi : Kaji posisi leher simetris atau tidak. Adakah peradangan, lesi, dan
kelainan pada leher.
Palpasi : Lakukan palpasi untuk menentukan adanya pembesaran pada kelenjar
tiroid, pembendungan vena jugularis dan kuat lemahnya denyut nadi karotis.
i. Payudara dan Ketiak
Inspeksi : Amati ada tidaknya kelainan pada ukuran payudarah, bentuk dan posisi
payudarah, terjadi perubahan atau tidak pada areola dan payudara, adakah
pembesaran kelenjar limfe pada ketiak, amati kebersihan ketiak atau adanya
perubahan pada ketiak.
Palpasi : Lakukan palpasi untuk menentukan adanya benjolan, nyeri tekan, atau
tidak. Lalu tekan bagian puting untuk melihat keluar atau tidaknya secret dari puting.
j. Paru
Inspeksi : Amati bentuk thoraks apakah ada kelainan. Amati pernafasan pasien.
Masih ada tidaknya batuk.
Palpasi : Kaji apakah adanya nyeri tekan dan benjolan pada dada. Penilaian vocal
fremitus dan taktil fremitus. Dengan meminta pasien untuk mengatakan “ Tujuh
Puluh Tujuh”
Perkusi : Perkusi normal suara sonor.
Auskultasi : Suara pasien jika didengarkan dengan stetoskop suara vesikuler
normalnya.
k. Jantung
Inspeksi dan Palpasi
Amati ada tidaknya pulpasi, amati adanya ictus cordis (adanya denyutan dinding
toraks karena pukulan ventrikel kiri) normalnya ICS V berada pada linea
midclavikula kiri selebar 1 cm.
Perkusi : Menentukan batas jantung, suara pekak.
Auskultasi : Suara BJ 1 Lup Bj 2 Dup. Tidak ada bunyi tambahan.
l. Abdomen
Inspeksi : Amati bentuk abdomen simetris, tidak ada lesi maupun benjolan.
Terdapatnya pembuluh darah vena.
Auskultasi : Peristaltik usus sekitar 5 -35 per menit. Perkusi : Suara timpani
Palpasi : Tidak ada pembesaran pada abdomen, tidak adanya nyeri tekan. Tidak
adanya distensi.
m. Genetalia dan Anus
Inspeksi : Rambut bersih. Tidak ada lesi maupun peradangan. Lubang uretra tidak
menyempit. Terdapat lubang anus.
Palpasi : Tidak adanya benjolan. Terabanya arteri femoralis.
n. Pemeriksaan Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas
Inspeksi : Kekuatan otot memiliki nilai 4. Otot simetris. Tidak ada edema
maupun lesi.
Palpasi : Tidak adanya oedema. Tidak ada nyeri tekan.
2) Ekstremitas Bawah
Inspeksi : Memiliki nilai otot 4. Tidak adanya edema.
Palpasi : Tidak ada odema tidak ada nyeri tekan.
o. Pemeriksaan Kulit
1) Kulit
Kulit berwarna merah. Lembab. Memiliki suhu hangat. Dengan tekstur halus.
Turgor kulit kurang dari 3 detik.
2) Kuku
Kuku berwarna merah. Bentuk kuku normal. CRT kurang dari 2 detik.
p. Pemeriksaan Persyarafan
1) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadarannya adalah composmentis.
2) Syaraf Kranial
a. Nervus Olfaktorius
Pasien dapat mencium bau
b. Nervus optikus
Pasien dapat melihat pada jarak 6 meter
c. Nervus Okulomotorius
Pupil mengecil ketika diberikan cahaya
d. Nervus Trochlearis
Gerakan bola mata baik
e. Nervus Trigerminus
Pasien dapat merasakan sensasi yang diberikan
f. Nervus Abdusen
Mata dapat bergerak ke samping
g. Nervus Facialis
Pasien dapat mengangkat alis, tersenyum, mengerutkan dahi dan
merasakan pada lidah
h. Nervus Auditorius
Pasien dapat mendengar dengan baik, kemungkinan pasien tidak dapat
berdiri dengan seimbang
i. Nervus Glossopharyngeus
Uvula berada di tengah. Pasien tidak terdapat kesulitan dalam menelan
j. Nervus Vagus
Suara pasien normal
k. Nervus Accessorius
Pasien padat menggerakan leher. Dapat melawan tahanan ketika
menengok, dan dapat mengangkat bahu
l. Nervus Hypoglosus
Keadaan lidah simetris. Berada di tengah ( Helmi, 2012).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu proses pernyataan yang menjelaskan tentang respon
manusia. Dalam diagnosa keperawatan pernyataan dipengaruhi oleh status kesehatan
manusia atau resiko perubahan pola dari individu atau kelompok sehingga perawat
secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara aktual
(caranito, 2000 dalam Nursalam, 2011 : 59).
Menurut Nanda (2015) dalam buku Nurarif dan Kusuma diagnosa keperawatan pada
pasien Spondylosis Lumbalis adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen cidera (misal, biologis, zat kimia, fisik,
psikologis).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular, nyeri
3. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik umum.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi adalah susunan berbagai rencana keperawatan dalam proses keperawatan yang
digunakan sebagai kelanjutan rencana tindakan keperawatan yang berfungsi untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah – masalah pasien.
Perencanaan adalah salah satu proses keperawatan yang merupakan langkah ketiga
dalam melakukan tindakan keperawatan. Dalam proses keperawatan dibutuhkan
pengetahuan, keterampilan, kesabaran, nilai kepercayaan. Dalam proses keperawatan
terdapat batasan praktik keperawatan, peran dari tenaga kesehatan lainya yang digunakan
untuk mengatasi masalah keperawatan. Sehingga pengambilan keputusan tujuan yang
baik maka perawat dapat berkerja sama dengan tenaga kesehatan lainya (Setiadi, 2012 :
45).
Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Utama:


selama 3x24 jam 1. Manajemen nyeri
Diharapakan: 2. Pemberian analgesik
Definisi : Utama: Pendukung
1. Tingkat nyeri 1. Dukungan pengungkapan
Pengalaman sensorik atau Tambahan:- kebutuhan
1. Fungsi 2. Edukasi efek samping obat
emosional yang berkaitan gastrointestinal 3. Edukasi manajemen nyeri
dengan kerusakan jaringan 2. Kontrol nyeri 4. Edukasi proses penyakit
3. Mobilitas fisik 5. Edukasi teknik napas
aktual atau fungsional, dengan
4. Penyembuhan luka 6. Kompres dingin
onset mendadak atau lamat dan 5. Perfusi miokard 7. Kompres panas
berintensitas ringan hingga berat 6. Perfusi perifer 8. Konsultasi
7. Pola tidur 9. Latihan pernapasan
yang berlangsung kurang 3 8. Status kenyamanan 10. Manajemen efek samping obat
bulan. 11. Manajemen kenyamanan
lingkungan
12. Manajemen medikasi
Penyebab 13. Pemantauan nyeri
14. Pemberian obat
1. Agen pencedera 15. Pemberian obat intravena
16. Pemberian obat oral
fisiologis (mis. infarmasi, 17. Pemberian obat topical
18. Pengaturan posisi
lakemia, neoplasma) 19. Perawatan amputasi
20. Perawatan kenyamanan
2. Agen pencedera kimiawi 21. Terapi relaksasi
(mis. terbakar, bahan kimia

iritan)

3. Agen pencedera fisik

(mis.abses, amputasi,

terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur

operasi, trauma, latihan fisik

berlebihan)

Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

1. Tampak meringis

2. Bersikap protektif (mis.

waspada, posisi menghindari

nyeri)

3. Gelisah

4. Frekuensi nadi

meningkat

5. Sulit tidur

Gejala dan Minor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

1. Tekanan darah

meningkat

2. pola napas berubah

3. nafsu makan berubah

4. proses berpikir terganggu

5. Menarik diri

6. Berfokus pada diri

sendiri
7. Diaforesis

Kondi Klinis Terkait

1. Kondisi pembedahan

2. Cedera traumatis

3. Infeksi

4. Sindrom koroner akut

5. Glaukoma

Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama :


selama 3x 24 jam
diharapkan :
Definisi : Utama : 1. Dukungan Ambulasi
1. Mobilitas Fisik 2. Dukungan Mobilisasi
Keterbatasan dalam gerakan Tambahan :
1. Berat badan
fisik dari satu atau lebih 2. Fungsi Sensori Intervensi Pendukung :
ekstremitas secara mandiri 3. Keseimbangan
4. Konservasi energy 1. Dukungan Kepatuhan Program
5. Koordinasi
Penyebab pergerakan Pengobatan
6. Motivasi 2. Dukungan Perawatan Diri
1. Kerusakan integritas 7. Pergerakan sendi 3. Pemberian Obat
8. Status neurologis
struktur tulang 9. Status nutrisi 4. Dukungan Perawatan Diri:
10. Toleransi aktifitas BAB/BAK
2. Perubahan metabolisme
5. Dukungan Perawatan Diri:
3. Ketidakbugaran fisik Berpakaian

4. Penurunan kendali otot 6. Dukungan Perawatan Diri:


Makan/Minum Pencegahan Luka
5. Penurunan massa otot Tekan
6. Penurunan kekuatan otot 7. Dukungan Perawatan Diri: Mandi
8. Edukasi Latihan Fisik
7. Keterlambatan
9. Edukasi Teknik Ambulasi
perkembangan 10. Edukasi Teknik Transfer
11. Konsultasi Via Telepon
8. Kekakuan sendi
9. Kontraktur 12. Latihan Otogenik
10. Malnutrisi 13. Manajemen Energi
14. Manajemen Lingkungan
11. Gangguan
15. Manajemen Mood
muskuloskeletal 16. Manajemen Nutrisi
17. Manajemen Nyeri
12. Gangguan
18. Manajemen Medikasi
neuromuskular 19. Manajemen Program Latihan
20. Manajemen Sensasi Perifer
13. Indeks masa tubuh diatas
21. Pemantauan Neurologis
persentil ke-75 sesuai usia 22. Pemberian Obat Intravena
14. Efek agen farmakologis 23. Pembidaian
24. Pencegahan Jatuh
15. Program pembatasan
25. Pengaturan Posisi
gerak 26. Pengekangan Fisik
27. Perawatan Kaki
16. Nyeri
28. Perawatan Sirkulasi
17. Kurang terpapar 29. Perawatan Tirah Baring
30. Perawatan Traksi
informasi tentang aktivitas
31. Promosi Berat Badan
fisik 32. Promosi Kepatuhan Program

18. Kecemasan Latihan


33. Promosi Latihan Fisik
19. Gangguan kognitif 34. Teknik Latihan Penguatan Otot
20. Keengganan melakukan 35. Teknik Latihan Penguatan Sendi
36. Terapi Aktivitas
pergerakan
37. Terapi Pemijatan
21. Gangguan sensori 38. Terapi Relaksasi Otot Progresif

persepsi

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Mengeluh sulit
menggerakkan ekstremitas

Objektif

1. Kekuatan otot menurun

2. Rentang gerak (ROM)

menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

1. Nyeri saat bergerak

2. Enggan melakukan

pergerakan

3. Merasa cemas saat

bergerak

Objektif

1. Sendi kaku

2. Gerakan tidak

terkoordinasi

3. Gerakan terbatas

4. Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait

1. Stroke
2. Cedera medula spinalis

3. Trauma

4. Fraktur

5. Osteoarthirtis

6. Ostemalasia

7. Keganasan

Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama

3x24 jam diharapkan :


Definisi : 1. Dukungan perawatan diri
Perawatan Diri Meningkat 2. Dukungan Perawatan diri : BAB /
Tidak mampu melakukan atau BAK
1. Kemampuan mandi
menyelesaikan aktivitas 3. Dukungan perawatan diri :
perawatan diri 2. Kemampuan Berhias
mengenakan 4. Dukungan perawatan diri :
Penyebab
berpakaian
pakaian
1. Gangguan 5. Dukungan perawatan diri : makan
3. Kemampuan makan / minum
muskuloskeletal
6. Dukungan perawatan diri : Mandi
4. Kemampuan ke
2. Gangguan
toilet (BAB/BAK) Intervensi Pendukung :
neuromuskuler
5. Verbalisasi 1. Dukungan Emosional
3. Kelemahan
keinginan 2. Dukungan Pengambilan
4. Gamgguan psikologis
melakukan Keputusan
dan/atau psikotik
perawatan diri 3. Dukungan Tanggung Jawab pada
5. Penurunan
6. Minat melakukan Diri Sendiri Perawatan Mata
motivasi/minat
perawatan diri 4. Kontrak Perilaku Positif

Gejala dan Tanda Mayor 5. Perawatan Kuku

6. Perawatan Lensa Kontak


Subjektif 7. Manajemen Demensia

8. Manajemen Energi
1. Menolak melakukan
9. Manajemen Lingkungan
perawatan diri
10. Manajemen Nutrisi

Objektif 11. Manajemen Nyeri

1. Tidak mampu 12. Pemberian Makanan

mandi/mengenakan 13. Pemberian Makanan

pakaian/makan/ke 14. Perawatan Mulut

toilet/berhias secara mandiri 15. Perawatan Perineum

2. Minat melakukan 16. Perawatan Rambut

perawatan diri kurang 17. Perawatan Telinga

18. Promosi Citra Tubuh


Gejala dan Tanda Minor
19. Promosi Harga Diri

Subjektif 20. Promosi Komunikasi: Defisit

1. (tidak tersedia) Pendengaran

21. Promosi Komunikasi: Defisit


Objektif
Visual
1. (tidak tersedia)
22. Promosi Latihan Fisik

23. Reduksi Ansietas


Kondisi Klinis Terkait
24. Pencegahan Jatuh
1. Stroke
25. Penentuan Tujuan Bersama
2. Cedera medula spinalis
26. Pengaturan Posisi
3. Depresi
27. Perawatan Kaki
4. Arthritis reumatoid
28. Terapi Manelan 
5. Retardasi mental

6. Delirium
7. Demensia

8. Gangguan amnestik

9. Skizofrenia dan

gangguan psikotik lain

10. Fungsi penilaian

terganggu

Keterangan

Diagnosis ini dispesifikasikan


menjadi salah satu atau lebih
dari :

1. Mandi

2. Berpakaian

3. Makan

DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather & Shigerni Kamitsuru. 2018. Nanda-I


Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11.
Jakarta : EGC.

Herdman, T.H & Kamitsuru, 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan


Definisi dan Klasifikasi 2018-2019. Jakarta: EGC

Ivan K, Natalia F. 2016. Referat Spondylosis Lumbalis Fakultas Kedokteran


Universitas Hang Tuah Surabaya

https://www.scribd.com/doc/55092213/Laporan-Pendahuluan-Spondyliosis-
Lumbalis

(Diakses Pada tanggal 04 Desember 2021)


https://www.scribd.com/document/456824383/LP-Spondylosis-Lumbalis

(Diakses pada tanggal 04 Desember 2021)

https://academia.edu/8959538/Spondilosis

(Diakses pada tanggal 05 Desember 2021)

Anda mungkin juga menyukai