RADIKULOPATI SERVIKAL
Oleh:
Sevfianti
Zaraz Obella N.A
Pembimbing
dr. Roezwir Azhary, Sp.S
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Patofisiologi
Saraf spinal servikal keluar dari medula spinalis dan berorientasi secara obliq
ke foramen saraf masing-masing. Saraf spinalis servikal diberi nama sesuai
dengan vertebra dibawahnya. Saraf C8 keluar antara C7 dan T1. Foramen saraf
terbentuk diatas faced joint posterior dan diskus intervertebralis anterior. Batas
antara anterior dan posterior terdiri dari pedikel badan vertebrae diatas dan
2
dibawahnya. Foramen spinalis servikal terbesar dari bagian atas dan secara
bertahap akan menyempit ke arah distal yaitu C7 atau T1. Kompresi pada akar
saraf ini dapat berupa spondilosis faced joint dan herniasi diskus intervertebralis.
Hipermobilitas faced joint menyebabkan hipertofi ligamen juga hipertrofi tulang
( Caridi, 2011).
3
dan keratin sulfat. Karena berat molekul yang tinggi, protein gikosaminoglikan
memiliki ikatan yang kuat dengan molekul air. Seiring dengan usia, protein ini
berkurang dan kemampuannya untuk mengikat air pun berkurang. Oleh karena itu,
terjadi perubahan kimia dalam nukleus pulposus dan anulus fibrosus sehingga
diskus menjadi lebih mudah terkompresi dan kurang elastis. Pada akhirnya, diskus
mengalami penonjolan ke arah dorsal memasuki kanalis spinalis (Abbed &
Couman, 2007).
Akar saraf yang keluar bisa terkompresi oleh herniasi diskus (soft disk
herniation) atau melalui perubahan degeneratif atau hipertrofi elemen tulang di
sekitarnya (hard disk pathology). Di kasus lain, kombinasi faktor, seperti mediator
inflamasi (misalnya, Substansi P), perubahan respons vaskular, dan edema
intraneural, berkontribusi pada perkembangan nyeri radikular (Eubanks, 2010).
4
2.4 Manifestasi klinis
Nyeri merupakan keluhan terbanyak pada radikulopati servikal akut dan dapat
berlanjut menjadi kronik. Nyeri dapat dideskripsikan seperti tertusuk-tusuk,
terbakar dan berlokasi di leher, lengan, bahu atau dada, tergantung pada akar saraf
yang terlibat. Secara klasik, radikulopati akut muncul sebagai nyeri yang menjalar
pada distribusi miotom (otot). Contohnya, pasien dengan radikulopati C7 sering
mnegalami nyeri pada regio triseps dibandingkan dengan regio dermatom distal.
Gejala sensorik, terutama parestesia dan kesemutan (mati rasa), lebih sering
ditemukan daripada kelemahan motorik dan gangguan refleks (Abbed & Couman,
2007). Nyeri pada radikulopati servikal dapat terjadi di sepanjang dermatom,
namun lebih sering secara miotomal. Nyeri dermatomal lebih sering setinggi C4
(60%), setinggi C7 (34,2%) dan C6 (35%). Nyeri skapular dapat ditemukan pada
sekitar 51,6% kasus (Rodine,2012).
5
Nyeri radikular sering diperburuk dengan manuver yang meregangkan akar
saraf, seperti batuk, bersin, Valsava serta gerakan dan posisi gerakan tertentu.
Beberapa tanda klinis sugestif radikulopati telah dijelaskan. Davidson et al.
menjelaskan shoulder abduction sign pada pasien yang menjelaskan
berkurangnya nyeri dengan abduksi bahu. Pasien menahan lengan di atas kepala
dan meletakkan lengan bawah atau pergelangan tangan pada puncak kepala
(Abbed & Couman, 2007).
Gejala sering diperburuk dengan ekstensi dan rotasi leher (Spurling sign;
Gambar 1) (Eubanks, 2010). Spurling test adalah manuver yang memicu nyeri
6
lengan pasien dengan ekstensi leher dan merotasikan kepal ke sisi yang nyeri dan
memberikan tekanan ke bawah pada kepala. Pemeriksaan ini diduga
menyebabkan penyempitan foramen intervertebrae dan dianggap positif jika nyeri
ekstremitas atau parestesia diperberat denga manuver. Pemeriksaan ini spesifik,
namun tidak sensitif untuk radikulopati servikal (Abbed & Couman, 2007). Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan penyempitan ROM dan penurunan refleks
tendon pada ekstremitas yang terlibat. Penurunan sensasi juga dapat ditemukan
pada sepertiga kasus. Namun atrofi otot jarang terjadi (kurang dari 2%)
(Rodine,2012).
7
2.5 Diagnosis
Orang dewasa dengan nyeri leher persisten dan gejala radikular harus
menjalani pemeriksaan radiografi lateral netral, anteroposterior mulut terbuka dan
servikal bawah anteroposterior. Jika manajemen nonoperatif gagal pada pasien
dengan dugaan radikulopati servikal dan temuan radiografi normal, pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut mungkin diperlukan. Jika tidak jelas apakah pasien
memiliki radikulopati servikal atau entrapment syndrome pada ekstremitas
superior, elektromiografi mungkin bisa membantu. Dalam kondisi temuan
radiografi normal namun gejala tetap berlanjut, pemeriksaan MRI harus dilakukan
untuk mengevaluasi adanya herniasi diskus dengan atau tanpa osteophytes
spondylotic yang dapat menyebabkan kompresi (Gambar 2). CT mielografi dapat
8
digunakan dibandingkan MRI pada pasien dengan alat pacu jantung atau alat
berbahan stainless steel pada serviks (Eubanks, 2010).
9
Babinski sign, hiper-refleks, dan klonus) mungkin menunjukkan adanya kompresi
medula spinalis, bukan akar saraf. Kompresi medula spinalis biasanya
membutuhkan dekompresi bedah karena mielopati yang progresif dan tidak
membaik dengan tindakan nonoperatif. Faktor-faktor berikut mungkin juga
menunjukkan diagnosis alternatif: usia di bawah 20 tahun atau lebih dari 50 tahun,
terutama jika pasien memiliki tanda atau gejala penyakit sistemik; nyeri tidak
membaik saat istirahat; tanda atau gejala yang konstan atau progresif; rigiditas
leher tanpa trauma; disfasia; penurunan kesadaran; tanda dan gejala sistem saraf
pusat; peningkatan risiko kelemahan ligamen atau ketidakstabilan atlantoaxial,
seperti pada pasien dengan sindrom Down atau gangguan jaringan ikat herediter;
onset mendadak dari nyeri leher atau nyeri kepala yang akut dan tidak biasa
dengan atau tanpa defisit neurologis; curiga diseksi arteri servikal; transient
ischemic attack, yang mungkin menunjukkan insufisiensi vertebrobasilar atau
iskemia arteri karotis atau stroke; suspect keganasan; infeksi seperti diskitis,
osteomielitis, atau tuberkulosis; surgical fusion yang gagal; deformitas struktural
yang progresif atau disertai nyeri hebat; hasil pemeriksaan laboratorium abnormal
(Eubanks, 2010).
2.6 Penatalaksanaan
10
Terapi radikulopati servikal terdiri dari terapi konservatif dan pembedahan.
Terapi konservatif terdiri dari imobilisasi dari vertebrae servikal dan berbagai
terapi fisik (seperti traksi). Terapi pembedahan meliputi pembedahan anterior
(discectomy dengan atau tanpa fusion, foraminotomy) dan pembedahan
posterior(facetectomy, foraminotomy) (Yonenobu, 2000).
Terapi non operatif pada radikulopati servikal dapat berupa terapi aktif dan
pasif. Terapi pasif terdiri dari imobilisasi dan istirahat dari hal-hal yang dapat
menimbulkan serangan. Dalam beberapa literatur, terapi aktif lebih banyak
disukai (Caridi, 2011).
Program terapi fisik dapat bermanfaat dalam memulihkan berbagai gerak dan
keseluruhan pengkondisian otot leher. Dalam enam minggu pertama setelah onset
nyeri, range of motioin dan latihan peregangan dilengkapi dengan massage dan
modalitas seperti stimulasi panas, es, dan listrik bisa digunakan, meski pendekatan
ini tidak memiliki manfaat jangka panjang yang telah terbukti. Meskipun belum
terbukti, terapi manipulatif dapat memberikan manfaat jangka pendek dalam
terapi nyeri leher, nyeri kepala servikogenik dan gejala radikular. Komplikasi
yang jarang seperti radikulopati yang memberat, mielopati, dam cedera medula
11
spinalis dapat terjadi. Karena risiko tersebut dan kurangnya bukti, maka terapi
manipulatif tidak direkomendasikan untuk terapi radikulopati servikal (Eubanks,
2010).
12
13
Imobilisasi
14
bisa mengubah perjalanan penyakit atau intensitas proses penyakitnya, alat ini
bermanfaat pada beberapa pasien (Eubanks, 2010).
Traksi
Farmakoterapi
15
neuropatik kronis. Tinjauan sistematis lainnya menyarankan pemberian tramadol
(Ultram) untuk nyeri neuropatik. Meskipun steroid oral banyak digunakan untuk
mengobati nyeri radikular akut, tidak ada bukti berkualitas tinggi yang
menunjukkan bahwa steroid oral memberikan kesembuhan. Penggunaan steroid
dalam jangka panjang harus dihindari karena berpotensi menyebabkan komplikasi
yang jarang namun serius (Eubanks, 2010).
Injeksi steroid
Operatif
Bila pasien gagal dalam manajemen nonoperatif atau sebaliknya
memenuhi kriteria inklusi untuk operasi, ada banyak pilihan yang tersedia untuk
intervensi operasi Radikulopati servikal. Dalam operasi keselarasan spinal,
stabilitas, keseimbangan, dan teknik pilihan ahli bedah, semuanya berperan dalam
keputusan dilakukannya operasi. Intervensi bedah dapat dibagi menjadi dua
kategori besar: anterior dan posterior. Operasi anterior memberi kesempatan
kepada ahli bedah untuk mengembalikan servikal yang lordosis, menstabilkan
tulang belakang, dan bisa memprediksi adanya dekompresi akar saraf. Hal ini
16
dilakukan dengan membuka antara arteri karotis dan esofagus dan diikuri
sepanjang sisi anterior tulang belakang. Diskus intervertebralis kemudian dilepas
seluruhnya bersama dengan osteofit pada aspek posterior dari badan vertebra.
Secara historis, disk yang dievakuasi itu lalu diganti dengan bahan cangkok tulang
atau tidak sama sekali. Pilihan lain untuk dekompresi saraf servikal adalah
melakukan laminoforaminotomi servikal posterior. Hal ini dilakukan dengan
membuka persimpangan/sambungan lamina dengan facet joint pada tingkat yang
terkena. Secara cepat dilakukan pembukaan pada jendela lamina dan membuang
sepertiga medial dari sisi facet joint, sehingga akan mengekspos saraf yang
terkena. Jika perlu, saraf bisa ditarik dengan hati-hati dan gentel untuk
menghindari dari herniasi diskus, Namun, Korinth dkk. Pada tahun 2006 meneliti
pada 293 pasien dan membandingkan prosedur anterior dan posterior untuk
herniasi disc dan menemukan keunggulan dengan teknik anterior. Operasi
posterior memiliki manfaat menjaga keselarasan tulang belakang dan tidak
membutuhkan suatu fusi. Secara teoritis, mencegah kerusakan pada tingkat yang
berdekatan. Komplikasi utama dengan prosedur ini adalah nyeri leher, mungkin
sekunder akibat pembedahan otot. Faktor risiko tertentu, seperti usia lanjut,
kyphosis servikal, dan operasi sebelumnya dapat menjadi predisposisi pasien
dengan degenerasi progresif dan deformitas tulang belakang (Caridi, 2011).
Rujukan
Sekitar sepertiga pasien dengan radikulopati servikal yang diobati secara
non-operatif memiliki gejala yang persisten. Pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis
untuk mendapatkan intervensi bedah jika gejala radikular menetap dan tidak
responsive dengan terapi non-operatif selama 6 minggu, kelemahan motorik yang
bertahan lebihd ari 6 minggu, defisit neurologis progresif setelah onset gejala,
tanda atau gejala mielopati, atau ketidakstabilan atau deformitas vertebrae.Pada
pasien dengan nyeri radikular tanpa temuan abnormal pada pemeriksaan fisik atau
elektromiografi, selective nerve root blocks dapat dipilih. Jika blok saraf positif,
atau efektif parsial mengurangi gejala, maka terapi bedah dapat dipertimbangkan
(Eubanks, 2010).
17
Gambar 3. Algoritma Terapi nonoperatif dari radikulopati servikal akut (Eubanks,
2010).
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
4. Cheng C-H, Tsai L-C, Chung H-C, et al. Exercise training for non-
operative and post-operative patient with cervical radiculopathy: a
literature review. Journal of Physical Therapy Science. 2015;27(9):3011-
3018. doi:10.1589/jpts.27.3011.
5. Cleland JA1, Whitman JM, Fritz JM, Palmer JA. Manual physical therapy,
cervical traction, and strengthening exercises in patients with cervical
radiculopathy: a case series. J Orthop Sports Phys Ther. 2005
Dec;35(12):802-11.
20
10. Yonenobu K. Exercise training for non-operative and post-operative
patient with cervical radiculopathy: a literature review. Eur Spine J (2000)
9 :17.
21