Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

Spondylosis adalah penyakit degeneratif yang dapat terjadi pada bagian


tulang belakang tetapi umumnya ditemukan pada daerah servikal dan lumbar. Hal
ini ditandai dengan suatu proses degeneratif perubahan di tulang belakang, korpus
vertebra dan diskus intervertebralis yang mengakibatkan pembentukan osteofit
dan sklerosis. Gambaran klinis spondilosis lumbar dapat berupa gejala ringan
sampai berat dan cacat minimal sampai maksimum yang berdampak secara
signifikan terhadap produktivitas kerja dan kualitas hidup penderita.1
Dengan semakin meningkatnya jumlah usia tua di Indonesia, maka
semakin meningkat pula keluhan yang diakibatkan oleh meningkatnya usia,
karena secara fisiologis semakin bertambah usia seseorang, akan terjadi
penurunan fungsi pada semua organ, salah satunya adalah pada daerah lumbal
akan terjadi degenerasi sehingga bisa menyebabkan spondylosis.1,2
Spondylosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang. Spondylosis ini
disebabkan oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis,
yang mengakibatkan makin menyempitnya jarak antar vertebra sehingga
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis dan iritasi persendian posterior. Rasa nyeri pada Spondylosis ini
disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks oleh kantong
durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang.2,4
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra
atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita.
Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis
lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur
yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh
orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam
menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar. Spondylosis lumbal seringkali
merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya
proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen
L4– L5dan L5– S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami
spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan
ligamen.2,3
II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Degeneratif tulang belakang terjadi pada populasi diatas usia 40 tahun.


Hasil penelitian pada usia 45-64 tahun mengidentifikasi 85,5% menunjukkan
osteofit di dalam tulang belakang lumbar.3
Dari hasil penelitian di Inggris tentang pembentukan ostofit pada populasi
di atas usia 50 tahun, ditemukan 84% pada pria dan 74% pada wanita yang
menunjukkan osteofit setidaknya pada satu vertebra, dengan peningkatan
kejadian pada individu dengan aktivitas fisik yang lebih banyak, keluhan sakit
punggung, atau Skor BMI lebih tinggi.3
Pada hasil pencitraan MRI pasien asimtomatik di atas usia 60 tahun
menunjukkan tonjolan cakram di 80% dan degeneratif stenosis spinal 20%.
Sebuah penelitian membandingkan bukti radiografi degenerasi tulang belakang
antar kelompok pria yang tanpa nyeri, dengan nyeri, Atau dengan nyeri punggung
bawah yang parah ditemukan frekuensi yang sama terjadi penyempitan ruang
diskus intervertebralis dan tonjolan tulang di antara ketiganya kelompok.4
Lawrence menemukan 10% wanita berusia 20-29 tahun menunjukkan
bukti degenerasi diskus intervertebral tanpa pembebanan tulang belakang selama
10 tahun, sedangkan diatas 40 tahun 80%. Tingginya insidensi degenerasi di
antara individu muda dan asimtomatik bemberikan tantangan antara temuan
pencitraan dan gejala.4
Nyeri pinggang di indonesia merupakan masalah kesehatan yang nyata.
kira-kira 80% penduduk seumur hidup pernah sekali merasakan nyeri punggung
bawah. Pada setiap saat lebih dari 10% penduduk menderita nyeri pinggang.
Insidensi nyeri pinggang di beberapa negara berkembang kurang lebih 15-20%
dari total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri pinggang akut atau
kronik, termasuk tipe benigna. Penelitian kelompok studi nyeri Persatuan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSIS) mei 2002 menunjukkan jumlah penderita
nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri.1,3
III. ANATOMI

Gambaran 1. Anatomi Vertebra Lumbalis (Sumber:Sobota)


Gambaran 2. Radiologi Anatomi Vertebra Lumbalis (Sumber:Sobota)
IV. ETIOPATOGENESIS

Insidens yang tinggi mengenai terjadinya perubahan degenerative pada


diskus invertebralis, korpus vertebra dan sendi-sendi yang berhubungan secara
bersamaan menunjukkan perubahan interdependen yang terjadi akibat
penyempitan ruang diskus.2,5

Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau


perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak
berksitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh , aktifitas fisik,
merokok dan konsumsi alkohol.2,3
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30-45 tahun dan paling banyak
pada usia 45 tahun. Keadaan ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria.
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah:4
1. Kebiadaan fortur tubuh yang jelek
2. Stess mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang
mrlibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/ memindahkan
barang
3. Tipe tubuh
Ada bebrapa faktor yang memudahkan terjadinya proses degenaratif pada vertebra
lumbal yaitu:3,4
a. Faktor Usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan baahwa proses
penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi
tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi
menunjukkan bahwa spondylitis deformitas atau spondylosis meningkat
secara linear sekitar 0%-72% antara usia 39-70 tahun. Begitu pula,
degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98%
pada usia 70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu.
Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar,
indeks massa tubuh, beban pada lumbal tiap hari (twisting, mengangkat,
membungkuk, postur jelek yang terus-menerus) dan vibrasi seluruh tubuh
(seperti berkendara), semuanya merupakan faktor yang dapat
meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahannya.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi
diskus. Penelitian Spector dan Mac Gregor menjelaskan bahwa 50%
variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor
herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari
perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47-66%)
spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan
hanya 2-10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degenratif
pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra.
Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degeneratif dan kerusakan
cartilaginous mungkinterjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat
terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau
perubahan tuntutan pada vertebra lumbaar

Bila usia bertambah maka akan terjadi perubahan degeneratif pada tulang
belakang, yang terdiri dari dehidrasi dan kolaps nukleus pulposus serta penonjolan
ke semua arah dari anulus fibrosus. Anulus mengalami klasifikasi dan perubahan
hipertrofik terjadi pada pinggir tulang korpus vertebra, membentuk osteofit atau
spur atau taji. Dengan penyempitan rongga intervertebra, sendi intervertebra dapat
mengalami subluksasi dan menyempitkan foramina intervertebra, yang dapat juga
ditimbulkan oleh osteofit. Perubahan patologi yang terjadi pada diskus
intervertebralis antara lain: (a) annulus fibrosus menjadi kasar, collagen fiber
cenderung melonggar dan muncul retak pada berbagai sisi, (b) nucleus pulposus
kehilangan cairan, (c) tinggi diskus berkurang, (d) perubahan ini terjadi sebagai
bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat hadir tanpa menyebabkan
adanya tanda-tanda dan gejala.5
Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa
adanya lipping yang disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus yang
menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi
dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya brush
fracture.Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal
terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal,
durameter dari spinal cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf
dan ini menimbulkan inflamasi karena jarak diskus membatasi canalis
intervertebralis. Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait
dengan perubahan pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan
articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan
penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada foramen
intervertebralis.1,5
Diskus invertebralis diduga mengalami seperti apa yang dikatakan
Kirkaldy dan Willis kaskade dimana degeneratif terdiri dari tiga fase yang saling
tumpang tindih yang dapat terjadi dalam beberapa decade yaitu:6

1) Fase 1 (fase disfungsi) menggambarkan efek pertama dari mikrotrauma


yang berulang dengan perkembangan robekan circumferential lapisan
terluar yang sakit, annulus yang diinervasi, dan perpisahan endplate yang
berhubungan untuk penyediaan nutrisi pada diskus dan pengeluaran sisa
metabolisme. Robekan seperti itu lama- kelamaan menjadi robekan radial,
lebih rentan untuk menonjol keluar, dan mempengaruhi kapasitas diskus
untuk mempertahankan air, menyebabkan kekeringan dan mengurangi
tinggi diskus. Fisura dapat tumbuh ke dalam oleh jaringan vascular dan
ujung saraf, meningkatkan inervasi dan kapasitas diskus untuk transmisi
signal rasa sakit.
2) Fase 2 (fase instabilitas) ditandai dengan hilangnya integritas mekanis,
dengan perubahan reabsorbsi disku yang progresif, gangguan internal dan
ditambah robekan annular, disertai degenerasi permukaan yang lebih lanjut
sehingga menyebabkan subluksasi dan instabilitas.
3) Selama fase 3 (fase stabiliasai), lanjutan penyempitan ruang diskus dan
fibrosis terjadi bersama formasi osteofit dan jembatan transdiskal.

Shehneck memperlihatkan progresi mekanis yang lebih lanjut, bangunan


terhadap kaskade degenerative dari diskus invertebralis, untuk menjelaskan
perubahan degenratif lainnya di spina aksial. Dia mengajukan beberapa pengertian
dari penyimpitan ruang diskus. Pedikulus berdekatan kira-kira/kurang lebih
dengan penyempitan/ mengecilnya ukuran kanal intervertebral superior-inferior.
Kelemahan akibat berlebihnya ligament longitudinal menyebabkan
keluarnya/menonjolnya ligamentum flavum dan berpotensi menyebabkan
instabilitas tulang belakang. Meningkatnya gerakan tulang belakang/vertebra
menyebabkan subluksasi dari superior articular process (SAP), menyebabkan
penyempitan ruang anteroposterior dari intervertebral dank anal percabangan
nervus atas. Kelemahan bisa diartikan menjadi perubahan hubungan mekanisme
berat dan tekanan pada tulang vertebra dan ruang persendian dapat mempengaruhi
pembentukan osteofit dan hipertrofi permukaan kedua inferior dan superior proses
artikular dengan resiko masing-masing penonjolan ke kanal intervertebral dan
kanal pusat/utama. Orientasi oblik dari proses artikular dapat menyebakan
retrspondylolisthesis sehingga menyebabkan gangguan anterior dari kanal spinal,
kanal percabangan saraf, dank anal intervertebral.3,5

Penelitian biokimia mempelajari pembentukan osteofit mendukung proses


diatas. Tepi osteofit dipercaya dapat membentuk periosteum melalui proliferasi
kartilago artikular/persendian perifer yang kemudian mengalami kalsifikasi dan
osifikasi endokondral. Perubahan mekanik berat dan tekanan paksa sama halnya
perubahan tekanan oksigen dan dinamika tekanan cairan diduga merupakan factor
yang mempengaruhi pembentukan osteofit. Stem sel mesenkim dari sinovium atau
periostium seperti pendahulu dengan makrofag synovial dan kumpulan factor
pertumbuhan dan molekul matriks ekstrasel berperan sebagai mediator dalam
proses ini3,4
Spondylosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul dari
vertebra lumbalis. Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi
lateral vertebra. Pembentukan osteofit timbul karena terdapat tekanan pada
ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi kompresi pada saraf
tersebut, dan dari hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun
menjalar, parastesia atau mati rasa, dan kelemahan.3

V. DIAGNOSIS

Evaluasi awal pada pasien dengan nyeri punggung bawah dimulai


dengan riwayat keluhan dan pemeriksaan fisik dengan uji tes provokatif yang
tepat. Pemeriksaan awal ini akan sulit karena hanya berdasarkan pengalaman
subjektif pasien yang mengalami nyeri tulang belakang kronis sehingga menglami
kesulitan dalam menentukan daerah anatomi yang diminati selama uji tes
provokatif.2,6
Gambaran klinis spondilosis lumbar dapat berupa gejala ringan sampai
berat dan cacat minimal sampai maksimum yang berdampak secara signifikan
terhadap produktivitas kerja dan kualitas hidup penderita.
Pemeriksaan radiografi dapat memberikan konfirmasi yang berguna
sebagai bukti untuk mendukung hasil pemeriksaan fisik dan lokasi suatu lesi
degeneratif atau daerah kompresi saraf.4,7

1. Gambaran Klinis
Perubahan anatomi akibat degeneratif tulang akan memberikan
gambaran klinis berupa stenosis tulang belakang, atau penyempitan kanal
tulang belakang akibat perkembangan progresif osteofit, hipertrofi proses
artikular inferior, herniasi diskus intervertebralis, penonjolan dari
ligamentum flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinisnya berupa
kumpulan gejala nyeri yang di istilahkan sebagai Neurogenic
Claudication (NC) berupa nyeri punggung bagian bawah, nyeri tungkai,
serta mati rasa dan kelemahan pada ekstremitas bagian bawah yang
memburuk dengan posisi tegak atau berjalan, dan membaik dengan posisi
duduk dan terlentang.5
Spondylosis lumbal merupakan suatu kelainan dengan
ketidakstabilan lumbal, sering mempunyai riwayat robekan dari diskusnya
dan serangan nyeri yang berulang – ulang dalam beberapa tahun. Nyeri
pada kasus spondylosis berhubungan erat dengan aktivitas yang dijalani
oleh penderita, dimana aktivitas yang dijalani terlalu lama dengan rentang
perjalanan yang panjang. Pasien biasanya berusia di atas 40 tahun dan
memiliki tubuh yang sehat. Nyeri sering timbul di daerah punggung dan
pantat. Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak pada regio lumbal
dan dapat menimbulkan nyeri pada area ini. Pemeriksaan neurologis dapat
memperlihatkan tanda – tanda sisa dari prolaps diskus yang lama
(misalnya tiadanya reflek fisiologis). Pada tahap sangat lanjut, gejala dan
tanda – tanda stenosis spinal atau stenosis saluran akar unilateral dapat
timbul.4,7
Gambaran klinis tergantung pada lokasi yang terjadi baik itu
cevikal, lumbal dan thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal
memberikan gambaran klinis sebagai berikut:2,6
a) Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak ada apa-apa dan tidak
menjadi suatu masalah sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya
ditimbulakan dari aktivitas tidak sesuai.
b) Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang sacrum dan sacroiliac joint
dan mungkin menjalar ke bawah (gluteus) dan aspek lateral dari suatu
atau kedua hip. Pusat nyeri berasal dari L4,L5,S1.
c) Referred pain, nyeri mungkin saja menjalar ke arah tungkai karena
adanya iritasi pada cabang persyarafan. Ini cenderung pada area
dermatomnya: paha (L1), sisi anterior tungkai (L2), sisi anterior dari
tungkai knee (L3), sisi meedial kaki dan bigtoe (L4), sisi lateral kaki
dan tiga jari kaki bagian medial (L5), jari kaki kecil, sisi lateral kaki
dan sisi lateral bagian posterior kaki (S1), tumit, sisi medial bagian
posterior kaki (S2).
d) Parasthesia, biasanya mengikuti daerah dermatom dan terasa terjepit
dan tertusuk, suatu sensasi “kesemutan: atau rasa kebar (mati rasa)
e) Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus erector spinae dan
m.quadratus lumborum. Sering kali terdapat tonus yang berbeda
antara abduktor hip dan juga adduktor hip, kadang-kadang salah satu
otot hamstring lebih ketat dibandingkan yang lainnya.
f) Keterbatasan gerak, suatu gerakan lumbar spine cenderung terbatas.
Gerakan hip biasnya secara asimetrical. Faktor limitasi pada
umumnya disebabkan oleh keterbatasan jaringan lunaka dari spasme
atau nyeri.
g) Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot abdominal dan gluteal.
Kelemahan mungkin terjadi karena adanya penekanan pada akara
syaraf myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang mengalami nyeri
menjalar biasanya lebih lemah dibandingkan dengan tungaki satunya.
h) Gambaran radiografi, terdapat penyempitan pada jarak diskus dan
beberapa lipping pada corpus vertebra.

2. Gambaran Radiologi
Hasil radiografi penyakit degeneratif pada Lumbar spine biasanya
asimtomatik dan baru ditemukan setelah melakukan pemeriksaan
radiologi.4,5
X-ray, CT Scan dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan
komplikasi. Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy
absorptiomerty scan/DEXA) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat
di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan
tulang belakang. Osteofit memberikan gambaran massa tulang yang
bertambah, sehingga membuat hasil. Uji densitas tulang tidak valit dan
menutupi adanya osteoporosis.4,6
1) Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna
untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk
foramina intervertebralis dan facet joint, menunjuukan spondylosis,
spondyloarthritis, retrolistesis, spondylolisis dan spondylolisthesis.
Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat
ditentukan dengan metode ini.3

Gambar 3. X-ray spondylosis dengan posisi anteroposterior: tampak


pertumbuhan secara vertikal dari osteofit (Suber: Medscape, 2017)

2) CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada


saat yang sama juga tampak struktur yang lainnya. Dengan potongan
setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis psinalis, facet joint, lamina dan
juga morfologi diskus intervertebrralis, lemak dan epidural dan
ligamentum clavum juga terlihat.3
Gambar 4. a: Foto lateral, b: foto pencitraan CT secara sagital, ynang menunjukkan osteofit dan
terkait dengan listesis (Sumber: T John AM,2016)

3) MRI dengan jelas lebih canggih dari pada CT dalam visualisasi struktur
non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi
canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus
pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting
untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan
adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan
metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan
bertambah. Khususnya mungkin untuk melakukan rangkaian fungsional
spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.3
Gambar 5. MRI Perubahan degeneratif pada spondylosis: a Grade 1: tampak
struktur diskus yang homogen, b Grade 2: tampak struktur diskus yang tidak homogen, C
Grade 3: gambar berdasarkan gejala (Sumber: T John AM,2016 and Tan Y, G Bayan,
2012)

VI. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Terdiri dari penobatan konservatif dan pembedahan. Pada
pengobatan konservatif terdiri dari obat antiinflamasi (NSAID), analgesik,
relaksan dan pemakaian korset lumbal yang mana dengan mengurangi
lordosis lumbalis dapat memperbaikai gejala dan meningkatkan jarak saat
berjalan. Percobaan dalam 3 bulan derekomendasikan sebagai bentuk
pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis
yang progresif.1,7
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan
adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit motorik. Pembedahan
tidak dianjurkan pada keadaan ranpa komplikasi. Terapi bedah tergantung
pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang
berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur
operasi yang dapat dilakukan antara lain: operasi dekompresi, kombinasi
dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil, dan
operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil.2,7
2. Penatalaksanaan Fisioterapi
Tujuan tindakan fisioterapi pada kondisi ini yaitu untuk meredakan
nyeri, mengembalikan gerak, penguatan otot dan edukasi postur. Pada
pemeriksaan (assessment) yang perluh diidentifikasi adalah:3,7
a) Gambaran nyeri
b) Faktor pemicu pada saat bekerja dan saat luang
c) Ketidak normalan postur
d) Keterbatasan gerak dan faktor pembatasannya
e) Hilangnya gerakan accessories dan mobilisasi jaringan lunak dengan
palpasi
Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah
melakukan assessment tersbut. Adapun treatment yang dapat diguakan
dalam kondisi ini, adalah sebagai berikut:4,8
a) Heat, heat pad dapat menolong untuk meredakan nyari yang terjadi
pada saat penguluran otot yamg spasme.
b) Ultrasound, sangat berguna untuk mengobati thickening yang terjadi
pada otot erector spinae dan quadratus lumborumdan pada ligamen
(sacrotuberus dan sacroiliac)
c) Corsets, bisa digunakan pada nyeri akut.
d) Relaxation, dalam bermacam-macam posisi dan juga pada saat
istirahat, maupun bekerja. Dengan memperhatikan posisi yang
nyaman dan support.
e) Posture education, deformitas pada postur membutuhkan latihan pada
keseluruhan alignment tubuh.
f) Mobilizations, digunakan untuk stiffness pada segmen lumbar spine,
sacroiliac joint dan hip joint.
g) Soft tissue technique, pasif stretching pada postur yang ketat sangat
diperlukan, friction dan kneading penting untuk mengembalikan
mobilitas supraspinous ligament, quadratus lumborum, erector spinae
dan glutei.
h) Traction, traksi osolasi untuk mengurangi tekanan pada akar saraf
tetapi harus dipastikan bahwa otot paravertebral telah rileks dan telah
terulur.
i) Hydrotherapy, untuk relaksasi total dan mengurangi spasme otot.
Biasanya berguna bagi pasien yang takut untuk menggerakkan spine
setelah nyeri yang hebat.
j) Movement, hold relax bisa diterapkan untuk memperoleh gerakan
fleksi. Bersamaan dengan mobilitas, pasien melakukan latihan
penguatan untuk otot lumbar dan otot hip.
k) Advice, tidur diatas kasur yang keras dapat menolong pasien yang
memiliki masalah sakit punggung dan saat bangun, kecuali pada
pasien yang nyerinya bertambah parah pada gerakan ekstensi. Jika
pasien biasanya tidur dalam keadaan miring sebaiknya menggunakan
kasur yang lembut.

VII.PENCEGAHAN

Mengingat beratnya gejala penyekit ini dan kita perluh tahu sebrapa cepat
proses degeneraasi terjadi pada tulang punggung, maka ada beberapa hal yang
yang dapat dilakukan dari sekarang untuk mengurangi resiko terjadinya
spondylosis antara lain:7,8
a) Menghindari aktivitas dengan benturan tinggi (high impact),
misalnya berlari. Pilih jenis olah raga yang lebih lembut dan
mengandalkan peregangan dan kelenturan.
b) Lakuakan exercise leher dan punggung yang dapat meningkatkan
kekuatan otot, kelenturan dan jangkauan gerak.
c) Jangan melakukan kegiatan dalam posisi yang sama dalam waktu
yang lama. Beristirahatlah sering-sering. Misalnya waktu menonton
TV, bekerja didepan komputer, ataupun mengemudi.
d) Pertahankan posisi yang baik. Duduklah yang tegak, jangan
bertumpuh pada satu kaki bila berdiri, jangan membungkuk bila
hendak mengangkat barang berat lebih baik tekuk tungkai dan tetap
tegak
e) Lindungi diri dengan sabuk pengaman saat berkendara, hal ini
membantu mencegah terjadinya cedera biala ada trauma.
f) Berhenti merokok yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
spondylosis

VIII. PROGNOSIS

Spondylosis merupakan penyakit degeneratif tulang belakang, dimana hal


ini sulit untuk diketahui perkembangannya. Dalam kasus ini, tidak menimbulkan
kecacatan yang nyata, namun perlu diperhatikan juga penyebab dan faktor yang
mempengaruhinya, seperti adanya kompresi dan penyempitan saraf yang nantinya
dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan gangguan perkemihan. Pada pasien yang
sudah mengalami degeneratif pada lumbalnya, namun sudah tidak merasakan
adanya nyeri pada daerah punggung bawah dalam waktu satu minggu, maka
kondisi pasien akan membaik dalam waktu 3 bulan.2,3

KASUS

I. Identitas
• Nama : Tn. M.DJ
• Umur : 58 tahun
• Jenis kelamin : laki-laki
• Alamat : Jl. Rajamoili
• Pendidikan terakhir :-
• Agama : Islam
• Tanggal pemeriksaan : 7 juli 2017
• Perawatan : rawat jalan

Anamnesis
• Keluhan utama: Nyeri punggung belakang
• Riwayat penyekit sekarang:
Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri punggung belakang yang sudah
dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu.
• Riwayat penyakit terdahulu:
- Riw. Jatuh ± 5 tahun yll
- Riw. SNH
- Riw. DM type II

Pemeriksaan Radiologi
• Alignment tulang lumbosacral baik
• Tidak tampak fraktur dan listesis
• Osteofit aspek anterolateral CV L1-L5
• Diskus Intervertebralis menyempit pada CV L5-S1
• Mineralisasi tulang berkurang
• Soft tissue normal

Kesan:
• Spondylosis lombalis
• Osteoporosis senilis
• Susp. HNP CV L5-S1
DAFTAR PUSTAKA

1. Tan Y, G Bayan , Aghdasi, R Scott, Montgomery, I Hirokazu et al.


Kinetic magnetic resonance imaging analysis of lumbar segmental
mobility in patients without significant spondylosis. Eur Spine J (2012)
21:2673–2679
2. Ajediran I Bello, Eric K Ofori, Oluwasegun J Alabi, David N Adjei.
Assessment of the level of agreement in the interpretation of plain
radiographs of lumbar spondylosis among clinical physiotherapists in
Ghana. Bello et al. BMC Medical Imaging 2014, 14:13
3. John AM Taylor, André Bussières. Diagnostic imaging for spinal
disorders in the elderly: a narrative review. Taylor and Bussières
Chiropractic & Manual Therapies 2012, 20:16
4. Kimberley Middleton Æ David E. Fish. Lumbar spondylosis: clinical
presentation and treatment Approaches. Curr Rev Musculoskelet Med
(2009) 2:94–104
5. Ritsu Tsujimoto, Yasuyo Abe, Kazuhiko Arima, Takayuki Nishimura,
Masato Tomita, Akihiko Yonekura et al. Prevalence of lumbar spondylosis
and its association with low back pain among community-dwelling
Japanese women. Tsujimoto et al. BMC Musculoskeletal Disorders (2016)
17:493
6. Jin Yin, Bao‑Gan Peng, Yong‑Chao Li, Nai‑Yang Zhang, Liang Yang,
Duan‑Ming. Differences of Sagittal Lumbosacral Parameters between
Patients with Lumbar Spondylolysis and Normal Adults. Chinese Medical
Journal ¦ May 20, 2016 ¦ Volume 129 ¦ Issue 10.
7. Leonid Kalichman Æ David J. Hunter. Diagnosis and conservative
management of degenerative lumbar spondylolisthesis. Eur Spine J (2008)
17:327–335
8. Mayfield. Dedgenerative disc disease (spondylosis). MayfieldClinic.com

Anda mungkin juga menyukai