Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
LAPORAN KASUS
April 2019

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

OLEH :
Ery Prayudi
N 111 17 065

Pembimbing :
dr. John Abbas Kaput, Sp.OG

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang


disertai dengan gejala akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat
yang bila lambat ditangani akan berakibat fatal bagi penderita. Kehamilan ektopik
terganggu merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada
trimester pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET
dijumpai terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan
dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu
diketahui oleh setiap dokter.
Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan
alat diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh
berkurang. Meskipun demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu
masalah utama dalam bidang obstetri. Perkembangan teknologi fertilitas dan
kontrasepsi memang di satu sisi menyelesaikan masalah infertilitas maupun KB,
namun di sisi lain menciptakan masalah baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi
sebagai akibat usaha fertilisasi in vitro pada seorang ibu, dan kehamilan ektopik
tersebut dapat menurunkan kesempatan pasangan infertil yang bersangkutan untuk
mendapatkan anak pada usaha berikutnya. Masalah yang lain ialah masalah
diagnosis. Tidak semua pusat kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas
pencitraan, dan dalam menghadapi pasien yang datang dengan keluhan maupun
tanda KET, tidak semua dokter, terutama primary-care physician, segera
memikirkan KET sebagai salah satu diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan
keterlambatan diagnosis dan terapi yang adekuat.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Di Indonesia, laporan dari rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara
4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi
kehamilan ektopik dilaporkan antara 1:28 sampai 1:329 tiap kehamilan. Saat ini
lebih dari 1 dalam 1000 kehamilan di Amerika adalah kehamilan ektopik. Resiko

1
kematian akibat akibat kematian di luar rahim 10 kali lebih besar daripada
persalinan pervaginam dan 50 kali lebih besar daripada abortus induksi.
Gambaran klinis KET ditandai oleh trias klasik yaitu amenore, nyeri
abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Namun kadang-kadang gambaran
klinis KET tidak khas, sehingga menyulitkan diagnosa. Yang perlu diingat adalah
bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan keluhan telat haid yang
disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kemungkinan
terjadinya KET.
Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, penderita KET telah dapat
ditangani secara adekuat, sehingga mengurangi angka kematian karena komplikasi
penyakit tersebut. Hal yang harus diingat ialah KET bisa dihadapi baik oleh
dokter umum maupun dokter spesialis, sehingga setiap dokter umum harus dapat
mengenali tanda-tanda KET, sehingga penderita dapat segera tertangani.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan
ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga
perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa
misalnya dalam cervik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter
rahim.(1)
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena
tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang
mencapai aterm.(1)

Gambar 1. Kehamilan ektopik di tuba fallopi


Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur
yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.(1)

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden dari kehamilan ektopik digambarkan dalam berbagai macam
cara pada beberapa literature. Denominator yang paling umum digunakan
adalah jumlah konsepsi yang dikenali, yang mana digambarkan sebagai

3
jumlah kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah
jumlah wanita dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah
kehamilan ektopik per 10.000 wanita dalam rentang usia 14-44 tahun, dan
jumlah total kelahiran yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik
per 1000 kelahiran.
Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan
diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan
menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153
kehamilan ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.13
C. ETIOLOGI
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik 4,6,8:
a. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum
yang telah dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi
lipatan arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau
pembentukan kantong-kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa
tuba akibat infeksi dapat turut menyebabkan implantasi zigot dalam
tuba fallopi. Pada laporan klasik Westrom, wanita dengan riwayat
salpingitis (yang dikonfirmasi dengan laparoskopi) mempunyai risiko
4 kali lipat untuk menderita kehamilan ektopik. Bukti infeksi
Klamidia (antibodi dalam sirkulasi) berhubungan dengan peningkatan
2 kali lipat risiko kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas,
apendisitis ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya
tuba dan penyempitan lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium
assesorius dan hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami
kehamilan ektopik, insiden kehamilan ektopik berikutnya akan

4
menjadi 7 hingga 15 persen. Meningkatnya risiko ini kemungkinan
disebabkan oleh salpingitis yang terjadi sebelumnya.
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk
memperbaiki patensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada
kegagalan sterilisasi. Wanita yang pernah mengalami pembedahan
tuba mempunyai risiko kehamilan ektopik yang lebih tinggi. Wanita
dengan kehamilan ektopik yang dilakukan pembedahan konservatif
mempunyai risiko 10 kali lipat untuk mengalami kehamilan ektopik
berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar
risiko terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah
satu kali menjalani abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat
setelah menjalani abortus induksi sebanyak dua kali atau lebih,
kenaikan risiko ini kemungkinan akibat peningkatan insiden
salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya
benjolan pada adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir
ini telah meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat
bahwa penggunaan IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan
risiko kehamilan ektopik dan malahan merupakan proteksi terhadap
kehamilan. Studi yang lebih besar yang dilakukan oleh WHO
menyatakan bahwa pengguna IUD memiliki risiko kurang dari 50 %
untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil
maka kehamilannya kemungkinan besar merupakan kehamilan
ektopik. Sekitar 3-4 % kehamilan pada pemakai IUD adalah ektopik.

b. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah


dibuahi ke dalam kavum uteri

5
1. Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang penting kecuali
pada kasus-kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal,
sehingga terjadi hemiuterus dengan kornu uterina rudimenter dan
tidak berhubungan. Risiko terjadinya kehamilan ektopik dapat pula
sedikit meningkat pada wanita dengan satu oviduk kalau saja dia
mengalami ovulasi dari ovarium sisi kontra lateralnya. Kelambatan
pengangkutan ovum yang telah dibuahi lewat saluran tuba atau oviduk
akibat migrasi eksternal akan meningkatkan sifat-sifat invasif
blastokis sementara masih berada di dalam oviduk. Peristiwa ini
mungkin bukan faktor yang penting dalam proses terjadinya
kehamilan ektopik pada manusia.
2. Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai penyebab terjadinya
kehamilan ektopik. Kelambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan
menstruasi pada waktu sebagaimana biasanya, secara teoritis dapat
mencegah masuknya ovum ke dalam uterus atau menyebabkan ovum
tersebut berbalik ke dalam tuba. Bukti yang mendukung fenomena ini
tidak banyak.
3. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada
kadar estrogen dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan
afinitas reseptor adrenergik dalam otot polos uterus serta tuba fallopi
kemungkinan benar menjadi penyebabnya. Segi praktisnya tampak
pada peningkatan insiden kehamilan ektopik yang dilaporkan setelah
penggunaan preparat kontrasepsi oral yang hanya mengandung
progestin. Juga dilaporkan peningkatan insiden kehamilan ektopik
sebesar 4 hingga 13 persen di antara para wanita yang pernah
mendapatkan preparat dietilstilbestrol (DES) intrauteri. Kejadian ini
mungkin lebih disebabkan oleh berubahnya motilitas tuba daripada
oleh abnormalitas strukturnya.
c. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah
dibuahi. Unsur-unsur ektopik endometrium dapat meningkatkan
implantasi dalam tuba. Meskipun para pengamat pernah melaporkan

6
adanya fokus-fokus endometriosis dalam tuba fallopi, namun hal ini
merupakan keadaan yang jarang dijumpai.

D. PATOFISIOLOGI
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada
dasarnya sama dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara
kolumner atau interkolumner. Pada nidasi yang kolumner, telur berimplantasi
pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya
dipengaruhi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini
dan dengan mudah dapat diresorbsi total. Pada nidasi interkolumner, telur
bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka
telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai
desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di
tuba tidak sempurna, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan
masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa
faktor seperti tempat implantasi dan tebalnya dinding tuba.1
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa
kemungkinan. Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian
besar kehamilan terganggu pada umur kehamilan antara 6-10 minggu.1,3

Gambar.4 Kehamilan Ektopik Tuba


Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis

7
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur adalah penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritonem. Ruptur dapat terjadi secara spontan namun dapat pula
karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.1 Akibat dari
ruptur ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang
sedikit namun dapat pula banyak sampai menimbulkan syok dan kematian.
3,4,5

Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan


dalam lumen tuba.3,4,5 Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi
pada kehamilan pars ampullaris. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah
dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong
oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Pada pelepasan hasil konsepsi
yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung,
dari sedikit-sedikit oleh darah sehingga berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan
kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga
perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas
dan akan membentuk hematokel retrouterina.1

E. KLASIFIKASI
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari
kehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut : (1)

Gambar 2. Klasifikasi kehamilan ektopik

8
1. Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba
fallopi. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%).
Konseptus dapat berimplantasi pada ampulla (55%), isthmus (25%),
fimbrial (17%), atau pun pada interstisial (2%) dari tuba. Tuba fallopi
mempunyai kemampuan untuk berkembang yang terbatas, sehingga
sebagian besar akan pecah (ruptura) pada umur kehamilan 35-40 hari.
2. Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh
kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium.
Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar
daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya
mengalami ruptur pada tahap awal.
3. Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang
sekali terjadi.Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan
tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang
melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi
masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.
4. Kehamilan Abdominal, kehamilan ini terjadi satu dalam 15.000
kehamilan, atau kurang dari 0,1% dari seluruh kehamilan ektopik.
Kehamilan Abdominal ada 2 macam:
Primer, yaitu dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam
rongga perut.
Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya
di dalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke
dalam rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya.
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan
ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau
ovarium ke dalam rongga abdomen.
Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup
bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati
sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan
makanan kurang sempurna.

9
5. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi
bersama dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini
sangat langka, terjadi satu dalam 17.000-30.000 kehamilan ektopik.
Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas :
- Kehamilan kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu
kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan
kehamilan intrautrin normal.
- Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu
terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi
kehmilan ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehmilan
intrauterin yang terjadi kemudian berkembang seperti biasa.
6. Kehamilan interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars
interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan
kornual (kahamilan intrauteri, tetapi implantasi plasentanya di daerah
kornu, yang kaya akan pembuluh darah). Karena lapisan myometrium
di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat kira-kira pada bulan
ke 3 atau ke 4. Kehamilan interstisial merupakan penyebab kematian
utama dari kehamilan ektopik yang pecah.
7. Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba
yang pecah. Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra
peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan baik dan
memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan
berkembang dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses
kehamilan ini serupa dengan kehmilan abdominal sekunder karena
keduanya berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.
8. Kehamilan tubouterina merupakan kehamilan yang semula
mengadakan implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian
mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.
9. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula
megadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara beangsur

10
mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.
F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada
lokasinya. Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau
tidaknya kehamilan tersebut. Adapun gejala dan hasil pemeriksaan
laboratorium antara lain: (11)
a. Keluhan gastrointestinal
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik
terganggu adalah nyeri pelvis. Keluhan gastrointestinal dan vertigo atau
rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai keragaman dalam hal
insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya di samping
keterlambatan diagnosis.
b. Nyeri tekan abdomen dan pelvis
Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan,
khususnya dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per
empat kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur,
tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.
c. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah
satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahanpervaginam
yang lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal,
dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
d. Spotting atau perdarahan vaginal
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari
endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami
perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit, bewarna cokelat
gelap dan dapat terputus-putus atau terus-menerus.
e. Perubahan Uterus
Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa
ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum

11
latum terisi darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast
akan dieksresikan oleh sebagian kecil pasien, mungkin 5% atau 10%
pasien. Eksresi uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang serupa
dengan peristiwa ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.
f. Tekanan darah dan denyut nadi
Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada
denyut nadi dan tekanan darah, atau reaksinya kadang-kadang sama seperti
yang terlihat pada tindakan flebotomi untuk menjadi donor darah yaitu
kenaikan ringan tekanan darah atau respon vasovagal disertai bradikardi
serta hipotensi.
g. Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi
duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya
penurunan volume darah yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut
mungkin baru terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius.
h. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa
adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk
membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan
salpingitis akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas
38°C.
i. Masa pelvis
Masa pelvis dapat teraba pada ± 20% pasien. Masa tersebut mempunyai
ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini
berukuran 5-15 cm, sering teraba lunak dan elastis. Akan tetapi
denganterjadinya infiltrasi dinding tuba yang luas oleh darah masa tersebut
dapat teraba keras. Hampir selalu masa pelvis ditemukan di sebelah
posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerap kali
mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan palpasi.

12
j. Hematokel pelvik
Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan
diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba,
kavum peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat
dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus
merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus
dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis.

G. DIAGNOSIS
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang
belum terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau
abortus dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis,
dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya
kehamilan ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu
dengan pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu
diagnostik. Sekarang ini, peran alat bantu diagnostik sangatlah penting, dan
sudah merupakan sesuatu yang harus dilakukan,apabila memang tersedia,
untuk menentukan diagnosis.2
1. Anamnesis.
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk
beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan
muda. Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang
tenesmus. Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi
setelah muncul keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah
perdarahannya, warna dari darahnya, apakah mengalir seperti air atau
hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar gumpalan-gumpalan.
Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah pernah hamil,
riwayat menstruasinya.2,4
2. Pemeriksaan umum.

13
Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan.
Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda
syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang
tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit
menggembung dan nyeri tekan.2
3. Pemeriksaan ginekologi.
Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan
muda. Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus
dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang
teraba tumor disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan.
Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan
adanya hematokel retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga
menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2,4
4. Pemeriksaan laboratorium.
Para dokter di ruang gawat darurat biasanya menggunakan beta-human
chorionic gonadotropin (β-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan
untuk membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan
ektopik. β-hCG diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi dalam
serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid berikutnya. Jika serum β-
hCG negative, kemungkinan besar tidak terjadi kehamilan. Hanya ada
sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien dengan tes serum β-hCG
negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan kadar β-
hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai
puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah
mencapai nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan
diagnosis dengan USG. Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini
berguna untuk mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat membedakan
antara kehamilan ektopik atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan
laboratorium umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin untuk
mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi perdarahan
yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk membedakan apakah

14
terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau
dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi
hingga dapat lebih dari 20.000. 2,5

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis


kehamilan ektopik ialah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi turunnya
Hb disebabkan karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk
mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi
mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama, kadar Hb belum seberapa turunnya,
maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada
pemeriksaan kadar Hb yang berturut-turut. Pada kasus jenis tidak mendadak,
biasanya ditemukan anemia tetapi harus diingat bahwa penurunan Hb baru terlihat
setelah 24 jam 4,5,6.
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada
perdarahan sedikit demi sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini
berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila
ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000
biasanya menunjukkan adanya infeksi pelvic. 4,5,6
c. Tes kehamilan
Jaringan tropoblas pada kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam
kadar yang lebih rendah daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu
dibutuhkan tes yang mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi 2. Akan
tetapi tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi tropoblas menyebabkan produksi
hCG menurun dan menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul

15
kemudian adalah bagaimana mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara
klinik yang terefektif.4,8

2. Ultrasonografi (USG)
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG transvaginal.
Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat dibuat 1 minggu lebih cepat dengan USG
transvaginal dibandingkan dengan USG transabdominal. Pada USG
transabdominal biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak berisi kantong gestasi,
gambaran cairan bebas serta massa abnormal di daerah pelvis. Sedangkan pada
USG transvaginal digunakan setelah satu minggu telat haid yang dikombinasi
dengan pemeriksaan kadar ß-hCG serum.4,8 Sebuah kantung gestasi merupakan
tanda pada USG, yang berlokasi pada permukaan endometrial dan tampak dengan
USG transvaginal 30-35 hari setelah menstruasi terakhir. Terlihat daerah
sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan ekogenik tebal, yang dibentuk
oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk sac sebagai struktur yang
pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak pada 5 minggu setelah
menstruasi terakhir. Gerakan jantung janin pertama kali terlihat saat umur
kehamilan 5-6 minggu. Kegagalan untuk dapat melihat kantong gestasi sampai 24
hari atau lebih setelah konsepsi (38 hari atau lebih) biasanya menunjukkan adanya
kehamilan ektopik.6,8
Saat beta-hCG mencapai 2000 mIU/mL, gestasional sac harus bisa dilihat didalam
uterus pada USG transvaginal, ketika sudah mencapai 6000 mIU/mL harus sudah
bisa dilihat dengan USG abdominal.11
USG transvaginal dapat membedakan kehamilan dalam uterus atau di luar antara
lain sebagai berikut :11
1. Kehamilan intrauterine (IUP) : sebuah gestational sac dengan
sebuah sonolusent center (diameter >5mm) dikelillingi oleh cincin
yang tebal, konsentris dan echogenic, terletak didalam
endometrium dan mengandung fetal pole, yolk sac, atau keduanya.

16
2. Kemungkinan IUP abnormal : gestational sac dengan diameter
lebih besar dari 10 mm tanpa fetal pole atau dengan fetal pole
tanpa aktivitas kardiak.
3. Kehamilan ektopik : sebuah struktur seperti cincin tebal, echogenik
terletak diluar uterus, dengan gestational sac yang mengandung
fetal pole, yolk sac atau keduanya.
USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat.
Meskipun USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa, Doppler dapat
menunjukkan bahwa massa tersebut adalah massa ektopik dengan menunjukkan
adanya aktivitas vaskular abnormal pada massa tersebut dan juga gambaran
vaskular uterin yang tenang. Perbedaan USG Doppler dan USG standar ini sangat
berarti pada awal kehamilan, dan hal ini dapat mengarah kepada pengobatan
medisinalis seawal mungkin.6,8

Gambar 6a. Gambaran USG menunjukkan Gambar 6b. Garis merah - bagian luar
] kehamilan intrauterin dan kehamilan tuba
uterus, hijau - uterus, kuning - kehamilan
ektopik. Cairan dalam uterus yang
dilingkari warna biru disebut dengan

Gambar 6c. Gambaran detail kehamilan Gambar 6d. Kehamilan tuba dilingkari oleh
ektopik garis merah, fetal pole berukuran 4,5 mm
(diantara kursor), hijau, yolk sac-biru.

3. Kombinasi USG dengan pengukuran serum ß-hCG

17
Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar ß-hCG
serum 1500 mIU/ml atau lebih, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat
dipastikan dengan tingkat akurasi hampir 100 %.4 Kadar dkk (1981)
mengemukakan empat kemungkinan klinik berdasarkan nilai kuantitatif ß-hCG: 4
a. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan
terlihat di dalam uterus lewat pemeriksaan USG abdomen, maka
diagnosis kehamilan normal pada dasarnya bisa dipastikan.
b. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak
kosong, maka kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar.
Keadaan ini jarang dijumpai dalam praktek klinik sebenarnya.
c. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan
intrauteri jelas terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi
atau segera akan terjadi. Kehamilan ektopik masih menjadi suatu
kemungkinan karena derajat ultrasonik yang ada. Diagnosis keliru
mengenai kantong kehamilan dalam uterus dapat saja dibuat kalau ada
bekuan darah atau silinder desidua.
d. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang
kosong, tidak ada diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan
untuk melihat kantong kehamilan di dalam uterus sering terjadi pada
pemeriksaan USG abdomen yang dikerjakan sebelum usia kehamilan 5
minggu.
4. Kuldosintesis
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas
ada darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan tenakulum,
kemudian sebuah jarum panjang ukuran 16 atau 18 dimasukkan lewat forniks
posterior vagina ke dalam kavum Douglas dan kemudian dilakukan aspirasi cairan
yang ada di dalamnya. Jika darah yang diaspirasi kemudian membeku, darah ini
mungkin berasal dari pembuluh darah yang mengalami perforasi bukan dari
kehamilan ektopik yang mengalami perdarahan kecuali terjadi perdarahan cepat
dari tempat ruptur dan darah dapat diaspirasi dari kavum Douglas sebelum sempat
membeku.

18
Kuldosintesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada wanita
dengan riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum Douglas
kemungkinan sudah mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk mendapatkan
darah dari kavum Douglas tidak meniadakan kemungkinan diagnosis
hemoperitonium dan tentu saja bukan merupakan bukti yang menentang adanya
kehamilan ektopik dengan atau tanpa ruptur.4
5. Kadar Progesterone
Pada umumnya kadar serum progesterone pada pasien dengan kehamilan
ektopik lebih rendah dibandingkan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang
melibatkan lebih dari 5000 pasien dengan kehamilan trimester I , diketahui bahwa
70% dari penderita dengan kehamilan normal mempunyai kadar progesterone
lebih dari 25 ng/mL, dimana hanya 1,5% dari penderita kehamilan ektopik yang
mempunyai kadar progesterone serum lebih dari 25 ng/mL.
Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik
pada kehamilan ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila tidak
tersedia pemeriksaan hCG dan USG. Kadar progesterone serum yang kurang dari
5 ng/mL mempunyai sensivitas yang tinggi adanya kehamilan yang abnormal,
tetapi tidak sampai 100%. Resiko terjadinya kehamilan normal dengan kadar
progesterone serum kurang dari 5 ng/mL kira-kira 1:1500. Karena itu pengukuran
progesterone serum saja tidak bisa dipergunakan untuk menegakkan diagnosa.
6. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili
yang menandakan adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian
besar kasus, kuretase sangat menolong jika serum progesteron kurang dari 5
ng/mL dan titer HCG yang tidak meningkat dan kurang dari 1000 IU/L. Kuretase
dan pemeriksaan hasilnya dapat digunakan untuk mencegah laparoskopi yang
tidak perlu pada pasien yang mengalami keguguran. Dengan melarutkan hasil
kuretase pada larutan salin, biasanya menunjukkan adanya vili, tetapi tidak selalu.
Hasil kuretase dalam larutan salin dapat mengalami kesalahan sebesar 6,6 % dari
pasien yang mengalami kehamilan ektopik dan kesalahan sebesar 11,3 % pada

19
pasien dengan kehamilan intrauterine. Karena ketidakakuratan ini, pemeriksaan
patologi dan pemantauan titer HCG sangat diperlukan untuk konfirmasi.4,6,8
7. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit pada
organ pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik yang
disempurnakan telah mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul dalam
upaya untuk menggunakan sonde transabdominal intraperitoneal yang dilengkapi
dengan cahaya untuk melihat organ-organ dalam panggul..4,8 Laparoskopi
merupakan diagnosis definitif pada kebanyakan kasus. Selain itu laparoskopi
operatif juga digunakan sebagai jalan untuk memindahkan massa ektopik dan
sekaligus sebagai saluran untuk menyuntikkan kemoterapi 4.
8. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian akibat
kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh lebih tragis
daripada pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang berkaitan
dengan pembedahan yang terbatas pada insisi suprapubik yang dilakukan secara
hati-hati dan diperbaiki kembali, adalah sangat kecil. Di samping itu, diagnosis
sering dipermudah dengan inspeksi langsung dan palpasi organ pelvis yang
dimungkinkan lewat laparotomi. Hal yang mengesankan adalah bahwa laparotomi
jangan ditunda meskipun dilakukan laparoskopi pada wanita dengan kelainan
serius dalam panggul atau abdomen yang memerlukan tindakan pasti dan
segera.4,8 Laparotomi dikerjakan bila penderita secara hemodinamik tidak stabil,
dan membutuhkan terapi definitif secepatnya 4.

20
Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar
Progesteron Serum dan ß-Hcg.

H. DIAGNOSIS BANDING
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial adalah: (9)
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan
jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan
yang dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral.

Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C,
selain itu leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu
dan tes kehamilan menunjukkan hasil negatif.

21
2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih
merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median
dan adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa tidak enak di
perut lebih menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan
abortus incipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau
di belakang uterus, dan gerakan servik uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.
3. Tumor/ Kista ovarium
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam
biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat
dibanding kehamilan ektopik terganggu.
4. Appendisitis
Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik
uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri
perut bagian bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney.

I. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah 1,2,4,5,6,8:
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada
kehamilan tuba dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan
di kornu. Pada kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun
sebaiknya dilakukan histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan
fundektomi. Pada kehamilan abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta
mudah diangkat sebaiknya diangkat saja tetapi bila besar dan susah
diangkat maka anak dilahirkan dan tali pusat dipotong dekat plasenta,
plasenta ditinggalkan dan dinding perut ditutup.

22
Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi
untuk mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan,
dengan atau tanpa ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut
harus dan tetap terletak dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Akhir-akhir ini, penanganan terhadap kehamilan ektopik telah berubah
dari salpingektomi menjadi prosedur untuk mempertahankan fungsi tuba.
Pembedahan yang dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan
kemudian diikuti dengan uraian mengenai teknik pembedahan yang lebih
baru untuk mempertahankan kelangsungan fungsi tuba fallopi.4,5,6,8,11
a. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi
berbentuk baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars
interstisialis tuba (tindakan ini dinamakan reseksi kornu), untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kehamilan dalam puntung tuba
(jarang dijumpai) tanpa melemahkan miometrium di tempat eksisi
tersebut. Harus dihindari reseksi yang terlampau luas agar tidak
mengenai kavum uteri; kalau tidak, cacat yang ditimbulkan oleh reseksi
akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intrauteri berikutnya.
Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan interstisial
selanjutnya tidak dapat dicegah.
b. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan
salpingektomi pernah dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat
memperbaiki kesuburan penderita maupun menurunkan kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik berikutnya. Dengan demikian, ovulasi
selalu akan terjadi dari ovarium yang paling dekat pada tuba fallopi
yang masih tertinggal. Keadaan ini mempermudah pengambilan ovum
oleh tuba dan menghindari kemungkinan terjadinya migrasi eksterna
ovum serta kehamilan ektopik yang bisa timbul akibat telur yang
peripatetik tersebut.

23
c. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan
ektopik, ibu harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan
selanjutnya. Jika wanita tersebut sudah tidak ingin mempunyai anak
lagi dan kehamilan ektopik yang terjadi merupakan akibat tindakan
kontrasepsi yang gagal, keputusan yang diambil dokter biasanya ke
arah tindakan sterilisasi. Jika diputuskan demikian, dan keadaan pasien
baik, dokter dapat mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak,
tubektomi biasanya dapat dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan
risiko. Sebaliknya, semua organ ini perlu diselamatkan sedapat
mungkin pada wanita yang masih ingin hamil lagi, sekalipun risiko
kehamilan ektopik yang akan dihadapinya pada kehamilan berikutnya
cukup besar.
d. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan
setelah kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain
untuk mengangkat tuba harus dipertimbangkan. Penggunaan teknik
diagnostik dan prosedur pembedahan yang lebih mutakhir untuk
mempertahankan tuba yang rusak akan memberikan hasil akhir yang
lebih baik lagi dalam kehamilan berikutnya. Beberapa tindakan bedah
rekonstruksi tuba dibahas dibawah ini:
1. Salpingostomi
2. Salpingotomi
3. Reseksi segmental dan anastomosis
4. Evakuasi fimbria

24
KEHAMILAN EKTOPIK

Tidak terganggu Terganggu

(Observasi KE) (Curiga KET)

MRS, Rapid Test, USG Transvaginal Akut (KET) Kronik


Obs 24 jam T/N/R/Keluhan/Hb Douglas Punctie (Hemato
(KP) cele)

GS (+)

Intra Uteri

GS (-) GS (+)
/ PPT
Extra

GS (-) /
PPT (+)

Laparotomi/Proof
Bukan KE
Laparotomi

Bagan 2. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

Terapi Farmakoligis :
1. Methotrexate sistemik
Methotreate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan
pada pengobatan terhadap penyakit neoplasma, psoriasis berat, dan
arthritis rematoid pada orang dewasa. MTX secara kompetitif
mengikat enzim dihidrofolic acid reduktase, sebuah enzim yang
mengubah dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (bentuk aktif).
Tetrahisdrofolat berfungsi untuk transport 1 grup karbon selama

25
sintetis nukleotid purin dan thymidilate. Tanpa tetrahidrofolat sintetis
DNA dan perbaikannya, dan replikasi seluler mengalami gangguan.
Proliferasi sel yang aktif seperti pada sel ganas, sel pada sumsum
tulang, sel fetal, demikian juga pada sel mukosa mulut, usus, dan
kandung kencing adalah yang paling sensitive terhadap efek dari
MTX.5
Perdarahan aktif intraabdomen adalah kontraindikasi kemoterapi.
Ukuran dari masa ektopik juga penting, Pisarska dkk (1998)
merekomendasi MTX untuk tidak digunakan jika kehamilan lebih dari
4 cm. Kesuksesan terbaik jika kehamilan kurang dari 6 minggu,
diameter massa tuba tidak lebih dari 3,5 cm, fetus telah mati, dan beta-
hCG tidak lebih dari 15.000 mIU/mL (Lipscomb and colleagues,
1999a, Stoval, 1995). Menurut American College of Obstetrician and
Gynecologists (1998), kontraindikasi termasuk menyusui,
imunodefisiensi, alcohol, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru aktif,
dan ulkus peptikum.4
Pasien yang dapat diterapi dengan MTX harus stabil secara
hemodinamik, yaitu sesuai dengan hal-hal berikut :4
1. Terapi medis gagal pada 5-10 % kasus, dan lebih sering terjadi
pada kehamilan lebih dari 6 minggu atau massa tuba lebih dari 4
cm.
2. Kegagalan terapi medis memerlukan terapi lebih lanjut, baik secara
medis atau pembedahan.
3. Pada pasien rawat jalan, transportasi yang cepat harus tersedia.
4. Tanda dan gejala rupture tuba seperti perdarahan vagina, nyeri
abdomen dan pleura, lemah, pusing, atau sinkop harus dilaporkan
dengan cermat.
5. Hingga kehamilan ektopik sembuh, tidak diperbolehkan melakukan
hubungan seksual, minum alcohol, atau mengkonsumsi asam folat,
termasuk vitamin prenatal.

26
Dosis MTX :
1. Dosis tunggal : MTX 50 mg/m2 IM. Hitung kadar beta-hCG pada hari ke 4
dan 7
2. Bila penurunan > 15 %, diulang tiap minggu hingga tidak terdeteksi.
3. Bila penurunan < 15 %, ulangi pemberian MTX dan hitung sebagai hari
pertama.
4. Jika aktivitas jantung masih ada pada hari 7, ulangi pemberian MTX dan
hitung sebagai hari pertama.
5. Pembedahan bila kadar beta-hCG tidak turun atau aktivitas jantung
persisten setelah 3 dosis MTX.
Dosis viable :
- MTX 1 mg/kgBB IM, hari 1, 3, 5, 7
- Leukovorin 0,1 mg/KgBB IM, hari 2, 4, 6, 8
Injeksi yang kontinyu diberikan hingga kadar beta-hCG berkurang 15 %
dalam 48 jam, atau 4 dosis MTX diberikan, kemudian perminggu hingga
beta-hCG tidak terdeteksi.

J. KOMPLIKASI
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya
bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai
keturunan) setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga
mengalami kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain.(9)
Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai
resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang
sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat
kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang.(9)
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%

27
kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang
lebih 10% mengalami kehamilan ektopik berulang.(9)

28
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. L Nama Suami : Tn. S
Umur :22 tahun Umur : 28 tahun
Alamat : Kota Raya Alamat : Kota Raya
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Tanggal pemeriksaan : 14 Maret 2019


Tempat : RSU Anuntaloko Parigi

ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

G1P0 A0 Usia Kehamilan : 10 - 11 minggu


HPHT : 14-12-2018 Menarche : 13 tahun
TP : 21-08-2019 Perkawinan : 1 tahun 2 bulan

A. Keluhan Utama
Nyeri perut tembus belakang
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Anuntaloko dengan keluhan nyeri perut
tembus belakang yang dirasakan tiba-tiba sejak 3 hari yang lalu dan
memberat beberapa saat sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan
terus menerus dan terasa sangat nyeri meskipun perut hanya di disentuh.
Pasien juga mengaku perutnya terasa kembung disertai keluarnya darah (+)
dari jalan lahir berupa bercak berwarna merah kecoklatan. Pasien mengaku
sudah tidak haid sejak 3 bulan terakhir, hari pertama haid terakhir pasien

29
tanggal 14 Desember 2018. Mual (+), muntah (+) 6 kali, nyeri ulu hati (+),
lemas (+), pusing (+), dan sakit kepala (-). Buang air besar biasa dan buang
air kecil lancar.
C. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan
Pasien tidak rutin dalam melakukan pemeriksaan kehamilan.
D. Riwayat menstruasi
Pertama kali haid saat berusia 13 tahun, teratur, durasi haid 7 hari, siklus 28
hari, banyaknya 2-3 kali ganti pembalut perhari, dan pasien mengaku nyeri
saat haid. HPHT 14 Desember 2018.
E. Riwayat menikah
Pasien mengaku menikah satu kali.
F. Riwayat kehamilan dan persalinan: G2P0A1
Abortus pada tahun 2015 pada usia kehamilan 12 minggu, dan dilakukan
tindakan kuretase di Rumah Sakit Anuntaloko
H. Riwayat KB
Tidak menggunakan KB
I. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), riwayat penyakit diabetes
mellitus (-), riwayat penyakit asma dan alergi (-), riwayat penyakit jantung
(-), riwayat penyakit radang panggul disangkal.
J. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat yang sama
K. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok. Tidak minum alkohol dan penggunaan obat-obatan.
L. Riwayat Alergi
Tidak memiliki alergi terhadap suhu, makanan, minuman, obat, dll.
M. Riwayat Operasi
Belum pernah operasi

30
PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum : Lemah
B. Kesadaran : Compos mentis GCS : E4V5M6
C. Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 114 x/menit
Respirasi : 32 x/menit
Suhu : 36,20C Axilla
Visual Analog scale :8
D. Status Generalisata
Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), penglihatan kabur (-/-)
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Mulut : pucat (+), sianosis (-)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Inspeksi : Simetris bilateral, ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri, ictus cordis teraba pada SIC
V linea midclavivula sinistra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung,
batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.


Bunyi jantung I/II murni regular

31
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (+), massa (-)
Auskultasi : Pertistaltik (+), kesan normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan seluruh regio abdomen (+)
Ekstremitas
Superior : akral dingin (+/+), edema (-/-)
Inferior : akral dingin (+/+), edema (-/-)
E. Status Obstetri
- Leopold I : TFU tidak teraba
- Leopold II : tidak teraba
- Leopold III : tidak teraba
- Leopold IV : tidak teraba
- Pemeriksaan dalam : Portio kenyal, ostium tertutup, nyeri goyang
portio (+)
- Pelepasan : darah bercampur lendir

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL NILAI SATUAN
RUJUKAN
Eritrosit 2.77 3.80 – 5.80 106/uL
Hemoglobin 7,8 11.5 – 16 g/dL
Hematokrit 24,6 37.0 – 47.0 %
Trombosit 308 150 – 500 103/uL
Leukosit 12,79 4,0 – 10,0 103/uL
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
HCG Test + (Positif)

32
HASIL USG

Kesan : Sugestif Kehamilan Ektopik Terganggu


RESUME
Pasien G2P0A1 usia 23 tahun datang ke IGD RS Anuntaloko dengan
keluhan nyeri abdomen tembus belakang yang dirasakan tiba-tiba sejak 3
hari yang lalu dan memberat beberapa saat sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri yang dirasakan terus menerus dan terasa sangat nyeri meskipun perut
hanya disentuh. Pasien juga mengaku perutnya terasa kembung disertai
pelepasan darah (+) dari jalan lahir berupa bercak berwarna merah
kecoklatan. Pasien mengaku sudah tidak haid sejak 3 bulan terakhir, hari
pertama haid terakhir pasien tanggal 14 Desember 2018. Nausea (+),
vomiting (+) 6 kali, nyeri epigastrium (+), lemas (+), vertigo (+). Defekasi
biasa dan miksi lancar.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum : lemah,
kesadaran compos mentis, GCS : E4V5M6, Tanda vital TD : 90/50 mmHg,
nadi : 114x/menit, pernafasan : 32x/menit, suhu : 36,2oC axilla, VAS 8,
konjungtiva anemis (+/+), abdomen tampak distensi (+), didapatkan nyeri
tekan seluruh kuadran abdomen (+), akral dingin pada ekstremitas atas dan
bawah (+/+). Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan nyeri goyang portio
(+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan RBC 2,77 x 106/mm3,

33
hemoglobin 7,8 g/dl, hematokrit 24,6%, PLT 320 x 103/mm3, leukosit 12,79
mm3, HCG Test : (+), USG : USG kesan sugestif kehamilan ektopik
terganggu.

DIAGNOSIS
G2P0A1 gravid 10-11 minggu + Kehamilan Ektopik Terganggu

PENATALAKSANAAN
1. Pemasangan O2 4 liter/menit
2. IVFD RL guyur
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
4. Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam/iv
5. Inj. Ceftriaxone 1gr/iv
6. Drips metronidazole 500mg/iv
7. Transfusi PRC 1 labu
8. Laparatomi cito

Dilakukan operasi Salpingektomi dextra pada 15 Maret 2019 jam 08.10


WITA
Operator : dr. Adelina AF Bofe, Sp.OG
Laporan operasi :
 Pasien baring dengan posisi supine dimeja operasi dibawah pengaruh
general anesthesia
 Desinfeksi dan draphing procedure dengan kasa steril dan betadine,
pasang dook steril
 Insisi abdomen dengan metode pfannenstiel, lapisan demi lapisan
 Buka peritoneum tampak darah segar bercampur stosel, tampak
perdarahan berasal dari lumen organ fimbriae dextra, curiga abortus tuba
 Dilakukan salphingektomi dextra
 Identifikasi tuba sinistra, tampak normal
 Cuci cavum abdomen dengan NaCl 0,9%

34
 Jahit peritoneum dengan benang Demersorb 1, kontrol perdarahan
 Jahit fascia dengan chromic 2/0 otot, kontrol perdarahan
 Jahit subkutis dengan chromic 2/0 otot, kontrol perdarahan
 Jahit kutis secara subcutikuler chromic 2/0 kulit, kontrol perdarahan
 Bersihkan lapangan operasi, tutup luka dengan kasa betadine
 Operasi selesai

Dokumentasi Operasi

Instruksi post operasi :


 IVFD RL 28 tpm
 Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/iv
 Drips metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
 Inj. Asam Traknesamat 500 mg/8 jam/iv
 Cek HB 2 jam post OP
 transfusi PRC 2 labu

35
FOLLOW UP
Hari/ Tanggal Follow Up
Rabu / 15-4-2019 S : Nyeri pada daerah bekas operasi (+), nyeri ulu
hati (+) pusing (+) sakit kepala (+) demam (-),
mual (-), muntah (-), Flatus (+), PPV (+) BAK
perkateter, BAB (-)
O : Keadaan Umum : Lemah
TD 100/70 mmHg S : 36,6 C
N 82x/menit P : 24x/menit
Lab post OP
RBC : 3.45 x 106/mm3
HGB : 9.4 g/dl
HCT : 30,1 %
PLT : 334 x 103/mm3
WBC : 13,28 x 103/mm3
A : P0A2 Post salpingektomi dextra H1 a/i KET
P:
 IVFD RL 28 tpm
 Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/iv
 Drips metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
 Inj. Asam Traknesamat 500 mg/8
jam/iv
 transfusi PRC 1 labu

Kamis/ 16-04-2019 S : Nyeri pada daerah bekas operasi(+), demam (-),


mual (-), muntah (-), pusing (+) sedikit, sakit
kepala (-), PPV (+), BAK (+), BAB (-)
O : Keadaan Umum : Lemah

36
TD 100/60 mmHg S : 36,7 C
N 78x/menit P : 28x/menit
A : P0A2 post salpingektomi dextra H2 a/i KET
P:
 IVFD RL 28 tpm
 Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/iv
 Drips metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
 Inj. Asam Traknesamat 500 mg/8
jam/iv
 transfusi PRC 1 labu
Jumat/ 17-04-2019 S : Nyeri pada daerah bekas operasi (+), demam(-),
mual (-), muntah (-), PPV (+), pusing (+)
sedikit, BAK (+), BAB (-)
O : Keadaan Umum : Baik
TD 110/60 mmHg S : 36,6 C
N 80x/menit P : 24 x/menit
A : P0A2 post salpingektomi dextra H3 a/i KET
P:
 IVFD RL 28 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
 Drips metronidazole 500mg/8 jam/iv
 Inj.ranitidin 50mg/12 jam
 Asam Mefenamat tab 3 x 500mg
 SF tab 1 x 1
 Aff kateter
Sabtu/ 18-04-2019 S : Nyeri pada daerah bekas operasi (+), demam(-),
mual (-), muntah (-), PPV (+), pusing (-), BAK
(+), BAB (+)

37
O : Keadaan Umum : Baik
TD 90/60 mmHg S : 36,8 C
N 94x/menit P : 22 x/menit
A : P1A1 post salpingektomi dextra H4 a/i KET
P:
 Cefadroxil 3 x 500mg
 Asam mefenamat 3 x 500mg
 Tablet besi 1x1
 Aff infus
Boleh pulang

38
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan G2P0A1 gravid 10-11 minggu + kehamilan
ektopik terganggu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien masuk rumah sakit dengan
keluhan nyeri abdomen tembus belakang yang dirasakan tiba-tiba sejak 3 hari
yang lalu dan memberat beberapa saat sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan terus menerus dan pasien mengaku perutnya terasa kembung. Keluhan
disertai pelepasan darah (+) dari jalan lahir berupa bercak berwarna merah
kehitaman. Pasien sudah tidak haid sejak 3 bulan terakhir, hari pertama haid
terakhir pasien tanggal 14 Desember 2018. Pasien juga mengaku keluhan tersebut
disertai nausea, vommitus sebanyak 6 kali, lemas, dan vertigo.
Gejala yang dirasakan pasien sesuai dengan kepustakaan yaitu manifestasi
klinis kehamilan ektopik ditemukannya gejalan klasik trias gejala klinis yaitu
amenorea, nyeri abdomen dan perdarahan pervaginam.
Berdasarkan teori kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat
implantasi/ nidasi/ melekatnya sel telur yang dibuahi di luar endometrium kavum
uterus, yakni di luar rongga cavum uterus. Sedangkan yang disebut sebagai
kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami
abortus atau ruptur pada dinding tuba. Gambaran klinik klasik untuk kehamilan
ektopik adalah trias nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah dengan
kesadaran compos mentis, tekanan darah rendah yaitu 80/50 mmHg (hipotensi),
nadi 114x/menit (takikardi), pernafasan : 32x/menit (takipneu), suhu : 36,2oC
axilla (hipotermi), VAS 8. Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva anemis
(+/+), bibir pucat (+), abdomen didapatkan nyeri tekan seluruh kuadran abdomen,
abdomen distensi (+), akral dingin pada ekstremitas atas dan bawah (+/+), pada
pemeriksaan obstetrik didapatkan nyeri goyang portio (+).

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dikaitkan dengan teori, nyeri
hebat abdomen yang dirasakan tiba-tiba oleh pasien disebabkan karena rupturnya

39
kehamilan tuba. Ruptur kehamilan tuba menimbulkan perdarahan ke dalam
kavum abdomen dalam jumlah yang bervariasi. Perdarahan kavum abdomen
dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan gangguan dalam sirkulasi dimana
pada pasien tampak lemah, pucat, konjungtiva anemis, hipotensi, takikardi,
takipneu, dan ekstremitas dingin yang menunjukkan tanda-tanda syok
hipovolemik pada pasien. Timbunan darah dalam kavum abdomen menimbulkan
iritasi sehingga bermanifestasi rasa nyeri dan terjadi distensi abdomen seperti
yang dialami oleh pasien ini. Amenorea yang dialami oleh pasien disertai dengan
tanda-tanda kehamilan berupa mual dan muntah merupakan salah satu trias gejala
dari kehamilan ektopik. Pada pemeriksaan dalam didapatkan nyeri goyang portio
bila serviks digerakkan menunjukkan tanda dari kehamilan ektopik terganggu.
Selain itu, kavum douglas menonjol karena adanya bekuan darah juga merupakan
tanda dari kehamilan ektopik terganggu.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan RBC 2,77 x 106/mm3, hemoglobin 7,8


g/dl, hematokrit 24,6%, PLT 320 x 103/mm3, leukosit 12,79 mm3, HCG Test : (+),
USG : USG kesan sugestif kehamilan ektopik terganggu.
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap menunjukkan penurunan kadar
hemoglobin darah yaitu 7,8 g/dl. Sesuai dengan teori, terjadinya abortus atau
ruptur kehamilan tuba menimbulkan perdarahan ke dalam kavum abdomen yang
menyebabkan hilangnya darah dari peredaran darah mengakibatkan penderita
tampak anemis dan pada abdomen terdapat timbunan darah. Pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit serial tiap satu jam menunjukkan penurunan kadar
hemoglobin akibat perdarahan. Derajat leukositosis sangat bervariasi pada
kehamilan ektopik yang mengalami ruptur. Pada sekitar setengah dari para wanita
ini, leukosit normal, tetapi pada sisanya, dapat ditemukan leukosit dengan
berbagai derajat sampai 30.000/ul. Pada pasien ini menunjukkan leukositosis
yakni 12,79 x103/mm3.

Pada USG sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran


yang spesifik. Uterus mungkin besarnya normal, atau mengalami sedikit
pembesaran yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal

40
ekhogenik sebagai akibat reaksi desidua, yang pada pemeriksaan terlihat sebagai
struktur cincin anekhoik yang disebut kantong gestasi palsu (pseudogestational
sac). Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu
letaknya simetris di kavum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda.
Seringkali ditemukan massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangat
bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah,
mungkin hanya berupa massa ekhogenik dengan batas iregular, ataupun massa
kompleks yang terdiri dari bagian ekhogenik dan anekhoik.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu diberikan bantuan O2 4 liter/menit,
IVFD RL diguyur, injeksi ketorolac 30 mg/8 jam/IV, injeksi ranitidin 50
mg/8jam/iv, injeksi cefotaxime 1 gr/iv, drips metronidazole 500 mg/iv, transfusi
PRC 1 labu, dan direncanakan laparatomi cito. Transfusi PRC diberikan untuk
mengganti kehilangan darah pada pasien.
Diagnosis pasti pada pasien ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, dan diagnostik intraoperatif. Pada pasien ditemukan
ruptur tuba dextra saat dilakukan pembedahan laparotomi. Saat itu diputuskan
untuk mengambil tindakan salpingektomi dextra. Berdasarkan teori,
salpingektomi merupakan pilihan terutama bila terjadi ruptur tuba dan
mengurangi perdarahan. Laparotomi harus dilakukan pada pasien yang
mengalami ruptur dan dalam keadaan syok hipovolemik. Jika tuba kontralateral
sehat, maka tindakan yang dipilih adalah salpingektomi, dimana seluruh tuba
Fallopii, atau segmen yang mengandung kehamilan ektopik diangkat.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S , Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu


Kebidanan; Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010;
323-334
2. Wiknjosastro,H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan.
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2008; 198-204
3. Delfi L. Kehamilan Ektopik. Sinopsis Obstetri; jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2011; 226-37
4. Cunningham FG, gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, haulth JC, Wenstrom
KD. Ectopic Pregnancy. In: William Obstetrics, 21thed; USA; Mc graw hill;
2009; pp 883-910
5. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles for
Practice.In: Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc Graw
Hill; 2010;pp 1134-1147
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic Pregnancy In Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 6thed.Philadelphia.Lippincot William &
Wilkins, 2011,pp 1149-1164
7. Chapin DS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Friedman EA, Acker DB, Scachs
BP. Seri Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta; Binarupa Aksara;
2011. Hal 54-56.
8. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novak’s Gynecology. 13thed.Philadelphia
Lippincot Williams & Wilkins, 2010, pp510-534
9. Beck WW, Jr. Ectopic Pregnancy. In: Obstetrics and Gynecology 4ed.
William & Wilkins the Science of Review. New York. 2010; 315-320
10. Pearson J, Rooyen JV. Ectopic Pregnancy. In: Bandowski BJ, Hearne AE,
Lambrou BJC, For HE, Wallase EE editor. The Jhons Hopkins Manual Of
Gynecology and Obstetric; 2nd ed. Philadelphia. Lippincott William &
Wilkins; 2008;pp 305-13.

42
11. Braun, RD. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Available in :
http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm. Last Update : 26 Januari
2007. Accessed : 1 April 2010.
12. Ectopic Pregnancy. A Guide for Patients. American Society For
Reproductive Medicine.2012.

43

Anda mungkin juga menyukai