Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PATOFISIOLOGI

DIFTERI

DISUSUN OLEH
Nama: Jamilah
NIM: 72201201677
Kelas: 1B Keperawatan

Dosen pembimbing
Ibu Dewi Puspa Rianda, SST., MPH

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESA


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES
TANJUNG PINANG TAHUN 2021
PENYAKIT DIFTERI

1.Definisi Difteri
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri
yang bersumber dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri
merupakan penyakit yang mengerikan dimana telah menyebabkan
ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang
belum berkembang. Orang yang selamat dari ini menderita
kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada
jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh
tahun sangat peka terhadap penyakit ini (Jurnal Pediatri, 2017).
Dalam jurnal Pasarpolis (2017). Penyakit difteri didefinisikan
sebagai penyakit yang menyerang saluran pernapasan terutama
pada bagian laring, amandel, atau tonsil, dan tenggorokan. Ketika
saluran pernafasan terinfeksi oleh virus ini, membran atau lapisan
lengket yang berwarna abu-abu akan berkembang di area
tenggorokan sehingga menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut
yang akan berujung kepada kematian. Kemudian ada juga resiko
langsung berupa kerusakan jantung dan syaraf ( neuro-damage).
Bakteri induk Difteri ini juga menghasilkan racun yang berbahaya jika
menyebar ke bagian tubuh yang lain.
Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit
infeksi yang sangat menular yang terjadi secara lokal pada mukosa
saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gran positif
Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat
yang berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh
gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang di
produksi oleh basil. Ciri yang khusus pada difteri ialah terbentuknya
lapisan yang khas selaput lendir pada saluran nafas, serta adanya
kerusakan otot jantung dan saraf.
Dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri
adalah penyakit infeksi menular berbahaya pada saluran pernafasan
yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae.

2. Etiologi difteri
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang di beri nama
Corynebacterium Diphtheriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat
memproduksi eksotoksin (Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah memiliki
antitoksin (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007).
Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan
intermedius. Basil dapat membentuk (Mansjoer et al., 2007)
1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang
terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil.
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan
setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,
ginjal, dan jaringan saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin
ini adalah 0,02 ml.
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoya,
2009):
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo,
2009):
1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada
mukosa hidung dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu
menelan.
2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang
sampai faring dan laring sehingga keadaan pasien terlihat
lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan
adanya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin
seperti miokarditis,paralisis ,dan nefritis.

3. Mekanisem terjadinya gangguan


Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.
Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri
membentuk racun atau toksin yang mengakibatakan timbulnya
panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan
terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal
nafas, kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada
kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain
adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
4. Respon atau reaksi tubuh terhadap difteri ( gejala)
Manifestasi Klinis
Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38° Celcius.
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan.
4. Mual, muntah, sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih
ke abu-abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit
diphtheria(Sudoyo, 2009)
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip cummon cold, yaitu pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistematik ringan. Sekret hidung berangsur
menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anaroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang
satu bulan.
3. Pencarian dan pengobatan pasien. Dilakukan dengan uji schick.
Bila hasil negatif, dilakukan apusan tenggorokan. Jika
ditemukan bakteri Cornyebacterium Diphtheriae maka harus
diobati.
4. Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan
lingkungan (Kartono, 2007).
Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia yang lebih
muda, perjalanan penyakit yang lama, letak lesi yang dalam,
gizi kurang, dan pemberian antitoksin yang terlambat.

5.Komplikasi difteri
Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem
saraf, ginjal ataupun organ lainnya (Mansjoer et al., 2007):
1. Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneimonia,
atelektasis paru.
2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman
3. Urogenital : nefritis
4. Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II),
otot mata (minggu III), dan umum (setelah minggu IV).

Anda mungkin juga menyukai