Anda di halaman 1dari 61

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN UROLITHIASIS

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan Mata Kuliah KMB I

Disusun oleh :
kelompok 1
1. ABU NAIM
2. JAMILAH
3. MIRAYANI
4. SALSABILA MAHARANI

DOSEN PEMBIMBING

Ibu Romalina,S.Kep.,Ners.,M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES TANJUNGPINANG
PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkat
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Dan terimakasih penulis ucapkan kepada orang-orang yang terlibat
membantu baik itu doa maupun dukungan kepada penulis.
Penulis pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna untuk itu
penulis mengharapkan saran maupun kritik yang berbau penyemangat dari semua
pihak pembaca agar penulis bisa memperbaiki makalah ini. Terimakasih penulis
ucapkan kepada semua pihak yang membantu penyelesaian makalah ini baik itu doa
maupun dukungan kepada penulis.

Tanjungpinang, 07 September 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.......................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................5
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................................6
1.4 Manfaat.............................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI....................................................................................................................6
2.1 KONSEP PENYAKIT
2.1 Pengertian Urolithiasis......................................................................................................7
2.2 Klasifikasi Batu.................................................................................................................7
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Urolithiasis.............................................................................9
2.4 Patofisiologi Urolithiasis.................................................................................................11
2.5 Manifestasi Klinis Urolithiasis........................................................................................14
2.6 WOC Urolithiasis............................................................................................................16
2.7 Pemeriksaan diagnostic Urolihiasis................................................................................17
2.8 Penatalaksanaan Urolithiasis...........................................................................................26
2.9 Komplikasi Urolithiasis...................................................................................................32
2.10 Prognosis Urolithiasis....................................................................................................32
2.11 Pencegahan Batu yang Berulang...................................................................................33
2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS.....................................35
(ASKEP UMUM)......................................................................................................................35
3.1 Pengkajian.......................................................................................................................35
3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................................................................39
3.3 Intervensi........................................................................................................................40
3.4 Evaluasi Diagnosa 1........................................................................................................43
3.5 Studi Kasus.....................................................................................................................47
3.6 Asuhan Keperawatan Kasus............................................................................................47
BAB 4........................................................................................................................................59
PENUTUP.................................................................................................................................59
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................59
4.2 Saran................................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................60
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batu saluran kemih merupakan batu yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu uretra,
dan batu kandung kemih. Komposisi dari batu saluran kemih ini bisa terdiri dari batu
kalsium, batu struvit, batu asam urat dan batu jenis lainnya yang didalamnya terkandung batu
sistin, batu xanthin, dan batu silikat. Penyebab tersering terjadinya batu saluran kemih ini
adalah sumbatan pada saluran kemih baik yang terjadi secara herediter maupun karena faktor
eksternal (Purnomo 2011).
Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang cukup serius, baik di Indonesia maupun di
dunia. Urolithiasis adalah suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih batu di ginjal
maupun di saluran kemih. Urolithiasis diderita oleh laki-laki dengan angka kejadian 3-4 kali
lebih banyak dibanding pada wanita. Rentang umur penderita penyakit ini antara 30-60 tahun.
Biasanya laki-laki akan mengalami urolithiasis pada umur 40 tahun dan meningkat drastis
saat usia 70 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 50 tahun.
Menurut Purnomo (2011) Di Amerika Serikat, prosentase sekitar 5-10% penduduknya
menderita penyakit urolithiasis, sedangkan di seluruh dunia prosentase rata-rata diperkirakan
mencapai 1-12%. Selain itu, Prevalensi penyakit urolithiasis berdasarkan jenis kelamin
diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa. Peningkatan
prevalensi urolithiasis ini bervariasi tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis.
Sedangkan menurut Muslumanoglu (2011) Epidemiologi urolithiasis berbeda menurut
wilayah geografis dalam hal prevalensi dan insiden, usia dan distribusi jenis kelamin,
komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan tersebut dijelaskan dalam hal ras, diet, dan faktor
iklim.

Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolik, ISK, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap.
Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya penyakit ini meliputi faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Berdasarkan berbagai hal tersebut, maka penulis akan menyusun makalah
mengenai asuhan keperawatan urolithiasis secara komprehensif melalui studi literatur.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa definisi dari urolithiasis?

2. Apa saja klasifikasi batu?


3. Apa saja etiologi dan faktor risiko dari urolithiasis?
4. Bagaimana patofisiologi dari urolithiasis?

5. Apa saja manifestasi klinis yang muncul dari urolithiasis?

6. Bagaimana WOC urolithiasis?

7. Apa saja pemeriksaan diagostik pada urolithiasis?

8. Bagaimana penatalaksanaan pada urolithiasis?


9. Apa saja komplikasi dari urolithiasis?

10. Bagaimana prognosis dari urolithiasis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah pembuatan makalah ini, Mahasisa dihrapkan mampu:

1) Mampu menjelaskan konsep dasar penyakit (meliputi pengertian, Etiologi,


patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostic, Komplikasi dan
penatalaksanaan medis) pada klien dengan Urolithiasis.
2) Mampu menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan (meliputi Pengkajian,
diagnose keperawatan, intervensi, melaksanakan Implementasi dan evaluasi) pada
klien dengan Urolithiasis.
3) Mampu menjelaskan pathways Urolithiasis.
4) Mampu menganalisis kasus dengan konsep teori.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Menunjukan kemampuan dalam mengorganisasi dan mengkoordinasi kegiatan


keperawatan secara efektif.
2) Menerapkan teori dalam pratiknya terutama dalam Asuhan Keperawatan pada pasien
Urolithiasis.
1.4 Manfaat

1) Khususnya bagi kelompok agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
Urolithiasis.
2) Untuk dapat terus menggali ilmu, dan dapat mengambil hal-hal baik untuk
pembelajaran kedepannya.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Urolithiasis
Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk
pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam sistem perkemihan.
Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh
kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin (Nursalam 2006).
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, kalkuli (batu ginjal)
pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran
perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus
mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam
pelvis ginjal. Adanya batu/kalkuli di traktus urinarius terbentuk ketika konsentrasi substansi
tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan asam urat mengalami peningkatan
(Smith’s 2007)

Gambar 2.4 Batu Sistem Perkemihan

(Smith’s and Campbell 2011)

2.2 Klasifikasi Batu


Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau kalsium
fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthin, dan sistin, silikat, dan
senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat
penting untuk usaha pencegahan terhadap timbulnya batu residif.
Menurut Purnomo (2011) Klasifikasi batu berdasarkan bahan pembentuknya antara lain:
1) Batu non infeksi (1)
Batu kalsium.
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu
saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat,
atau campuran kedua unsur tersebut. Faktor terjadinya batu kalsium yaitu 5H, yaitu:
a. Hiperkalsiuria terjadi akibat absorbsi kalsium oleh usus yang berlebihan
(absorbtif), reabsorbsi kalsium oleh ginjal yang berlebihan, hiperparatiroidisme,
kelebihan vitamin D, atau metastasis tulang.
b. Hiperoksaluria diakibatkan oleh kelebihan konsumsi makanan kaya oksalat,
sindrom usus pendek, dan kelainan metabolisme bawaan sehingga terjadi
kenaikan ekstensi oksalat diatas normal;
c. Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat
memacu pembentukan batu kalsium;
d. Hipositraturia merupakan penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal
dalam air kemih, khususnya sitrat merupakan mekanisme lain timbulnya batu
ginjal; dan
e. Hipomagnesuria

(2) Batu asam urat (batu purin)


Prosentase 5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam
urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat.
Batu asam urat berkaitan dengan pH urin yang rendah (misalnya diare kronis) dan
hiperurikosuria (misalnya pirai, status mieloproliferatif). Dapat terjadi pada dehidrasi
yang berat meskipun kadar asam urat normal.
(3) Batu xanthin
Batu xanthin ini biasanya terjadi akibat gangguan metabolisme dalam tubuh seperti
defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin
kemudian menjadi asam urat dan kemudian mengristal menjadi batu.
(4) Batu sistin
Batu sistin terjadi karena kelainan metabolisme sistin dalam absorbsi sistin di mukosa
usus.
2) Batu infeksi (batu struvit atau batu magnesium ammonium fosfat)
Sering disebut juga sebagai batu akibat infeksi saluran kemih yang disebabkan karena
bakteri pengurai urea (Proteus) atau urea splitter yang menghasilkan urease dan
merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amonia yang menjadi
penyebab terjadinya batu struvit tersebut. Jika batu struvit mengisi seluruh sistem
collecting ginjal, yang menghasilkan batu staghorn.

3) Batu jenis lain (drug stone)


Batu yang terbentuk karena obat-obatan tertentu seperti indinavir yang menimbulkan
pengendapan karbonat pada ginjal sehingga sering disebut batu karbonat apatit.
Sedangkan klasifikasi batu berdasarkan lokasinya, antara lain:
1) Batu ginjal dan batu ureter

Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks infudibulum, pelvis
ginjal, bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum
dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga
disebut staghorn stone. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalis ginjal akan
mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Selain itu, batu yang tidak terlalu besar
didorong oleh peristaltik otot-otot pada sistem pelvikalis dan turun ke ureter menjadi batu
ureter (Purnomo 2011).

2) Batu kandung kemih atau batu buli-buli

Batu kandung kemih sering terjadi pada klien yang mengalami gangguan miksi atau
terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada klien dengan hiperplasia
prostat, striktur uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli neurogenik. Selain itu, batu
kandung kemih juga bisa disebabkan oleh batu ginjal atau batu ureter yang turun ke
kandung kemih. Jika penyebabnya infeksi, maka biasanya komposisi batu kandung kemih
ini terdiri atas asam urat atau struvit.

3) Batu uretra

Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu
ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan
klien adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi urin yang mungkin
sebelumnya didahului nyeri pinggang.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Urolithiasis

Menurut Baughman and Hackley (2000) urolithiasis paling sering disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi material pembentuk batu dalam urin, baik akibat peningkatan
ekskresi atau pun penurunan volume urin. Sering terjadi pada klien dengan stasis urin
(misalnya obstruksi saluran keluar buli) dan atau infeksi yang kronis.

Etiologi urolithiasis belum diketahui secara pasti namun peneliti banyak mengatakan
bahwa pembentukan batu saluran kemih disebabkan oleh hal-hal di bawah ini:

1. Peningkatan pH urin (misalnya batu kalsium karbonat) atau penurunan pH urin


(misalnya batu asam urat).
2. Konsentrasi bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urin serta
kebiasaan makan atau obat tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu.
3. Segala sesuatu yang menghambat aliran urin dan statis urin di bagian mana saja di
saluran kemih meningkatkan kemunginan pembentukan batu.
4. Obesitas dan kelebihan berat badan meningkatkan risiko batu ginjal akibat
peningkatan ekskresi kalsium,, oksalat, dan asam urat yang berlebihan (Corwin 2009).
Faktor predisposisi yang utama adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK). Infeksi ini akan
meningkatkan terbentuknya zat organik. Zat ini dikelilingi mineral yang mengendap.
Pengendapan ini akan mengakibatkan alkanitas urin dan mengakibatkan pengendapan
kalsium fosfat dan magnesium ammonium fosfat (Mary & Yakobus 2009).

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu


saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor tersebut
antara lain:

1.Faktor intrinsic

1) Usia
Insiden urolithiasis paling sering ditemukan pada usia 30-50 tahun, karena penurunan
fungsi tubuh.
2) Jenis kelamin
Insiden urolithiasis 3 kali lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding wanita, karena
laki-laki memiliki enzim sistin yang rendah. Selain itu, secara anatomi lakilaki
memiliki uretra yang lebih panjang sehingga berisiko menimbulkan pengendapan urin
di bagian uretra dan menyebabkan adanya residu urin yang kemudian bisa mengristal.
3) Genetik
Terkait dengan enzim sistin, untuk wanita memiliki enzim ini lebih tinggi, pada
lakilaki rendah sehingga laki-laki berisiko besar mengalami urolithiasis.
4) Herediter
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya seperti pada kasus anomali anatomi
sistem saluran kemih.
5) Hormonal
Berhubungan dengan parathyroid hormon (PTH) dan kalsitonin. Pada keadaan
hiperparatirodisme akan mengakibatkan terjadinya keadaan hiperkalsemia dan
hiperkalsiuria. PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang sehingga
meningkatkan sirkulasi darah (kalsium serum meningkat) yang mengakibatkan
kalsium di urin juga meningkat.
6) Kelainan metabolic
Kekurangan cairan (dehidrasi) seperti karena luka bakar. Gangguan metabolisme juga
dapat menyebabkan penyakit ini seperti pada hiperparatiroidisme, hiperurisemia,
hiperkalsiuria. Hiperkalsemia (kalsium serum tinggi) dan hiperkalsiuria (kalsium urin
tinggi).
7) Infeksi
ISK yang disebabkan karena pemakaian celana yang ketat dan higene yang kurang,
serta pada wanita memiliki uretra yang pendek yang mudah terkontaminasi oleh
bakteri
sehingga pada kondisi ini wanita rentan terkena infeksi saluran kemih yang memicu
terjadinya batu saluran kemih.

2. Faktor ekstrinsik

1) Geografis
Beberapa daerah menunjukkan insiden urolithiasis yang lebih tinggi dari pada daerah
lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu). Contoh: Gresik,
Lamongan, Tuban, Situbondo, Madura (Pamekasan adalah yang paling tinggi).
Dimana daerah tersebut masih menggunakan air tanah yang mana terdapat kandungan
kapur (tinggi kalsium). Hal ini dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
2) Diet makanan dan asupan air
Diet tinggi purin (jeroan, bebek, emping), oksalat (susu, sayuran berwarna putih),
fosfat (kacang-kacangan, daging, susu dan olahan), dan kalsium mempermudah
terjadinya batu saluran kemih. Selain makanan asupan air yang dikonsumsi juga bisa
menjadi faktor risiko terjadinya urolithiasis jika seseorang kekurangan intake air
dalam tubuh (dehidrasi).
3) Pekerjaan
Urolithiasis banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya banyak duduk atau aktifitas
fisik kurang (sedentary life) serta keinginan BAK yang ditahan dalam kondisi
dehidrasi.
4) Iklim/cuaca
Iklim yang terlalu ekstrim, dimana suhu lingkungan terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Temperatur yang tinggi akan meningkatkan keringat dan meningkatkan konsentrasi
air kemih. Sedangkan pada daerah yang bersuhu dingin akan menyebabkan
pemasukan cairan yang kurang (dehidrasi), sehingga konsentrasi air kencing juga
akan menjadi pekat. Konsentrasi air kemih yang meningkat akan meningkatkan
pembentukan kristal air kemih.

2.4 Patofisiologi Urolithiasis


Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang meliputi
kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat, maka batu
dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran
kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis
urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin,
seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan
dalam pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal mencegah
kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002).
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada
individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara
berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal.

Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi)


yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi
kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada
epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan
pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran
kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin,
konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus
alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).

Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga
terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju
pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin
sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu
sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal
(hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara
perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri
yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara
anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria
mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area
kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik
renal (Smeltzer et. al, 2002).

Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di
bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus
sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat
terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas
dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik
berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009).

Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang
nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat
dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk
mendorong batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan
biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan
batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih
(sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan
terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan
terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002).
Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya
besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu
dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm
biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara
spontan (Smeltzer et. al, 2002).

Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi” mengenai
teori pembentukan batu saluran kemih.
Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat
yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau
buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel,
obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik
yang terlarut dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran
kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan
inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal.
Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran
kemih menurut Stoller (2000) di antaranya:
1) Teori Fisika Kimiawi

Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah
prinsip dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori
pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu:

(1) Teori nukleus atau supersaturasi


Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah
mengalami supersaturasi sehingga terjadi kristalisasi batu. Syarat terjadi pengendapan
atau dasar terpenting dalam pembentukan batu adalah supersaturasi urin dengan
garam-garam pembentuk batu (Manuputty 2011).
(2) Teori matriks
Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau
protein-protein urin yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis juga
memberikan kemungkinan terjadinya pengendapan kristal.
(3) Teori inhibitor kristaliasasi
Terdapat substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi. Substansi
tersebut meliputi peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam
mukopolisakarida, sehingga jika substansi tersebut berkurang maka akan
mempengaruhi terjadinya kristalisasi yang mengakibatkan terjadinya batu saluran
kemih.
(4) Teori epitaksis
Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang
berbeda kemudian membesar. Proses ini disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang
paling sering terjadi adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam
urat.
(5) Teori kombinasi
Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori
yang ada.

(6) Teori infeksi


Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap
pembentukan batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya
magnesium ammonium fosfat (batu struvit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan
molekul fosfat dan magnesium. Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup
dalam darah, ginjal, dan air kemih yang tergolong gram negatif dan sensitif terhadap
tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk cangkang kalsium kristal karbonat
apatit dan membentuk inti batu kemudian kristal kalsium oksalat menempel dan lama
kelamaan akan membesar.
2) Teori Vaskuler
Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan
kadar kolesterol darah yang tinggi.
(1) Hipertensi
Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari
aliran luminar menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion
kalsium papilla pada klien hipertensi yang disebut kalsifikasi ginjal yang dapat
berubah menjadi batu. Selain itu, pada kondisi hipertensi juga menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi sehingga berdampak pada obstruksi pembuluh darah yang
memicu agregasi batu.
(2) Diabetes mellitus (DM)
Penyakit DM juga bisa menyebabkan urolithiasis karena pada penyakit ini
mengakibatkan viskositas darah meningkat sehingga darah menjadi semakin kental.
Hal ini yang mengakibatkan mudahnya zat-zat asing mengalami kristalisasi sehingga
terbentuk batu.

2.5 Manifestasi Klinis Urolithiasis


Menurut Baughman dan Hackley (2000) Manifestasi dari kondisi ini bergantung pada
obstruksi, infeksi, edema. Gejala-gejala berkisar dari ringan sampai sangat nyeri dan
rasa tak nyaman.
1. Batu pada pelvis renalis
1) Nyeri ketok pada region sudut kostovertebral (CVA)
2) Hematuria dan piuria
3) Nyeri menjalar kearah anterior dan kebawah ke arah kandung kemih pada wanita
dan kearah testis pada laki-laki

2. Kolik renalis
1) Nyeri akut, nyeri tekan halus pada area kostovertebral
2) Mual, muntah, diare
3) Dapat terjadi rasa tak nyaman pada abdomen
3. Kolik ureteral ( batu yang tersangkut pada ureter)
1) Nyeri akut, sangat sakit, kolik, seperti gelombang yang menjalar kearah paha ke
genitalia
2) Sering ingin berkemih, tapi hanya sedikit urin yang keluar; biasanya mengandung
darah
4. Batu yang tersangkut pada buli-buli
1) Gejala iritasi berkaitan dengan infeksi saluran perkemihan dan hematuria
2) Retensi urine, jika batu menyumbat leher kandung kemih
3) Kemungkinan sepsis jika terdapat infeksi bersamaan dengan batuTerdapat juga
gejala-gejala sebagai berikut:
1. Gejala iritatif
1) Sering berkemih tapi sedikit-sedikit (frekuensi urin sedikit)
2) Disuria (nyeri berkemih)
2. Gejala obstruktif
1) Nyeri kolik
2) Hematuria akibat rupturnya mukosa saluran kemih
3) Retensi urin
4) Hesistensi (anyang-anyangan)
2.6 WOC Urolithiasis
2.7 Pemeriksaan diagnostic Urolihiasis
Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui
adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut:
1.Uji Laboratorium
1) Analisa urin (Urinanalisis)
Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu
juga dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:
(1) Tes urin lengkap
Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan
SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri,
pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin
(meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat) (Borley
2006). Pemeriksaan ini dikenal dengan pemeriksaan urin rutin dan lengkap yaitu
suatu pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi
pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan
urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi dengan pemeriksaan
benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar dan nitrit. Warna urin, adanya
eritrosit, bakteri yang ada di dalam urin.
(2) Kultur urin
Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan adanya ISK
karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun infeksi saluran
kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan kuman pemecah vena seperti (Stapilococus
aureus, Proteus, Klebsiela, Pseudomonas).
(3) Tes urin 24 jam
Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang
normal. Hal ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat,
kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin
adalah 4,6- 6,8. Jika pH asam maka akan meningkatkan sistin dan batu asam urat.
Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan magnesium, fosfat amonium
(batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl, pada pemeriksaan
tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang bernitrogen.
BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal
yang mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah
dalam saluran pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi).
Sedangkan untuk Kreatinin Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan
BUN. Kadar
normal laki-laki adalah 0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika
pada serum tinggi dan atau urin rendah maka dapat dikatakan sebagai
keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis.
(4) Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid
Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya
asidosis tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin
meningkat jika terdapat gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang
meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin).

2) Tes darah lengkap (DL)


Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya infeksi/septikemia,
namun berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht
menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong
presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga
kadar protein plasma darah serta laju endap darah.
3) Analisa batu
Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan
menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut
dengan tes mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel
dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi
(perdarahan, gagal ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada
atau tidaknya leukosituria, hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang
dijelaskan di bawah ini:
(1) Kalsium oksalat
Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH
terutama jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan
tidak berwarna ini dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu
(seperti asparagus, kubis, dll) serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal
Caoxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika
lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan abnormal.
(2) Triple fosfat
Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal
ini dapat ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi
panjang (seperti tutup peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini
dapat muncul setelah mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi
saluran kemih dengan bakteri penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung
pembentukan kristal ini dengan meningkatkan pH dan amonia bebas.
(3) Asam urat
Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta
berwarna kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat
sampah atau sisa metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa
hal seperti: jenis makanan, jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi
urin.
(4) Sistin (Cystine)
Kristal berbentuk heksagonal dan tipis ini muncul akibat dari cacat genetik atau
penyakit hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria.
Terbentuk pada pH asam dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering
membingungkan dengan kristal asam urat. Sistin Crystalluria merupakan indikasi
cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme bawaan yang melibatkan
reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin.
(5) Leusin dan tirosin
Merupakan kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit
hepar kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris
striations, sedangkan tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan
berwarna kuning. Kristal ini sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis
sendimen urin. Kristal ini dapat diamati pada beberapa penyakit keturunan seperti
tyrosinosis dan Maple Syrup.
(6) Kristal kolesterol
Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi
panjang. Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti
oval fat bodies. Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria.
(7) Kristal lain
Kristal lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sendimen urin,
misalnnya adalah:
a. Kristal dalam urin asam
a) Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul
membentuk roset.
b) Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan
berkumpul.
b. Kristal dalam urin alkali
a) Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular
berduri atau bertanduk.
b) Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk
roset.
c) Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul.
d) Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter.
c. Kristal akibat sekresi obat dalam urin
a) Kristal sulfadiazin
Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya
digunakan untuk obat antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut
dalam urin dan sangat asam sehingga dapat menimbulkan kristaluria dan
komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien dianjurkan
minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis
(NaBikarbonat untuk menaikkan pH urin).
b) Kristal sulfonamida
Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia.
Kristal ini dapat terjadi karena tidak dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat
(natrium sitrat) sehingga tidak dalam suasana alkalis yang mengakibatkan
sulfa- sulfa akan menghambur dalam saluran kemih secara bebas.
2.Tes Radiologi
1) Foto polos abdomen (BOF, KUB)
Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau
perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film
radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat
mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling
mudah dideteksi oleh radiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau
perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien
untuk dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan.
Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal,
dimana ditentukan dari:
(1) Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak.
(2) Bentuk ginjal.
(3) Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent.
(4) Garis M. Psoas simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi
ginjal.

Gambar 2.5 Gambaran Plain Foto (Foto Polos Abdomen / BOF, KUB)
(Tanagho dan McAninch, 1976)

2) IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography)


Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen
atau panggul. Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik
(distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang
terbatas dalam manajemen. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna
mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi Calyceal, derajat
obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi. IVU/IVP
tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP
memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari
radiografi non-urologi.
Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang
tepat, dan efek ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan
memastikan bahwa klien terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan
membutuhkan waktu dan sering tidak dapat dicapai ketika kondisi klien dalam
situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen dan KUB radiografi,
IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas (92-94%)
untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek
nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas
secara singkat untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan
situasi di mana penggunaan kontras masih di pertanyaan.
Indikasi pemeriksaan ini yaitu pada klien dengan:
(1) Hematuria
(2) ISK yang berulang
(3) Batu saluran kemih
(4) Anomali anatomi sistem urinari
(5) Nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya
(6) Nyeri kolik ginjal
(7) Dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal,
ureter, kandung kemih, dan atau uretra

Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah:


(1) Kadar kreatinin >1,5
(2) Alergi terhadap kontras (Aziz 2008).

Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menyarankan


kepada klien agar melakukan puasa selama 6-8 jam agar pemeriksaan berjalan
dengan lancar, selain itu juga dilakukan lavage. Syarat-syarat pemeriksaan ini
adalah klien tidak memiliki alergi kontras dan fungsi ginjal baik.

Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan dengan IVU/IVP


(Tanagho dan McAninch, 1976)

3) Sistoureteroskopi
Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan
batu dan atau efek obstruksi (Borley 2006).
4) CT-scan
Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang
ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli
dan masa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. Sangat akurat
mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi untuk mengidentifikasi
obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari pemeriksaan
trauma urinari.
Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter,
dan distensi kandung kemih (Borley 2006).
Indikasi:
(1) Obstruksi saluran kemih
(2) BSK (Batu saluran kemih)
(3) Trauma urinari
(4) Kalkuli ureter
(5) Distensi bladder

Gambar 2.7 Gambaran CT-scan


(Tanagho dan McAninch, 1976)

5) Ultrasound ginjal (USG)


Ultrasonografi Doppler berwarna transabdomen untuk mendeteksi hilangnya
“daya pancaran” ureter ke dalam kandung kemih juga dianjurkan sebagai
pemeriksaan diagnostik pada klien dengan suspek urolithiasis (Leveno 2009).
USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu.
Namun Saat ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis
urolithiasis dan stone of lower urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat
membaca dengan cepat yang memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu
ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang mengalami kolik ginjal akut
terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG, temuan ini dapat
diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%.
Meskipun peran untuk diagnostis terbatas, USG dapat memainkan peran
penting untuk manajemen dan tindak lanjut untuk klien dengan urolithiasis. USG
sangat sensitif terhadap hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari
obstruksi saluran kemih. Selain itu, ultrasonografi abdomen adalah modalitas
penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi, yang lebih umum daripada
urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak serta klien
dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi
dengan USG (Pearl dan Nakada, 2009).

Indikasi:
(1) Suspek urolithiasis
(2) Kolik ginjal
(3) Batu ginjal
(4) Hidronefrosis
(5) Obstruksi saluran kemih
(6) Batu asam urat
(7) Nyeri ginekologi

Gambar 2.8 Gambaran USG Doppler


(Tanagho dan McAninch, 2008)

6) Sistoskopi
Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung
kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan
yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih
untuk mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih
atau uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah
pemasukan zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang
dapat dilakukan selama sistoskopi. Dan berguna untuk mengetahui kerusakan dari
serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009). Indikasi pemeriksaan ini
yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal.
7) Uroflowmetry dan Urodinamik
Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan
tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat
mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya
kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Interpretasi yang bisa
dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan pengeluaran urin (minimal 100
cc urin) sebagai berikut:
1. 0 – 10 ml/s : Obstruksi
2. 10-15 ml/s : Border line
3. >15 ml/s : Normal

Gambar 2.9 Mekanisme Uriflowmetry

Indikasi:
(1) BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
(2) Striktur uretra
(3) Kelainan saluran kencing bagian bawah

Urodinamik yaitu dengan dua kali tes uroflowmetry dengan volume urin <100cc.

Gambar 2.10 Mekanisme Urodinamik

8. Magnetic Resonance Urography (MRU)


Magnetic resonance urography (MRU) memiliki peran minimal dalam
diagnosis dan manajemen urolithiasis. MRU memberikan alternatif untuk NCCT
dalam pengaturan klinis tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. MRU
memberikan gambaran yang luar biasa dari saluran kemih dan telah terbukti
memiliki akurasi diagnosis batu dari 92,8%. Peran sekarang dari MRU masih
berkembang dan belum dianggap sebagai standar perawatan (Pearl dan Nakada,
2009).

Indikasi:
(1) Hidronefrosis
(2) Batu saluran kemih (BSK)
(3) Obstruksi saluran kemih
(4) Striktur uretra
9.)Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone.
Berguna untuk menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).

2.8 Penatalaksanaan Urolithiasis


Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk menghilangkan batu, mencegah
kerusakan nefron, dan mengendalikan infeksi, serta mengurangi obstruksi yang terjadi.
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu
diantaranya: 1. Terapi konservatif
1) Terapi diet
Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi
berperan penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta
menghindari makanan tertentu dalam diet juga dapat mencegah pembentukan
batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu renal harus minum paling sedikit 8
gelas air (+ 2-3 liter) dalam sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali
dikontraindikasikan. Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam
mencegah batu kalsium.
Adapun makanan yang harus dihindari atau dibatasi antara lain:
(1) Makanan kaya vitamin D meningkatkan reabsorbasi kalsium;
(2) Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na+ bersaing dengan Ca2+
dalam reabsorbasinya diginjal.
(3) Makanan yang banyak mengandung purin penyebab asam urat adalah JAS
BUKET (Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping,
dan
Tape), maupun BENJOL (Bebek, Emping, Nangka, Jerohan, Otak, dan
Lemak).

Menurut Brunner And Suddarth (2002) Daftar makanan dan minuman yang
harus dihindari adalah sebagai berikut:

1) Produk susu : Semua jenis keju, susu dan produk susu lainnya, krim asam.
2) Daging, ikan.
3) Sayuran : Lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
4) Buah : Kismis, semua jenis beri, anggur.
5) Roti : Roti murni, gandum, catmeal, beras merah, jagung giling,
sereal.
6) Minuman : Teh, coklat, minuman berkarbonat, bir, semua minuman yang
dibuat dari susu atau produk susu.

2) Terapi farmakologi
(1) Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.
(2) Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau
pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah
dikeluarkan, batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan
untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Urin yang
asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat (Chang 2009).
(3) Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (NSAID’s)
seperti ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas
nyeri.
3) Terapi kimiawi
(1) Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
-
a. NaCO3 : Membuat urin lebih alkali pada asam
b. Asam askorbat : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
(2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a. Diuretik (tiazid) : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan
menurunkan kadar parathormon. Efek samping gangguan
metabolik, dermatitis, purpura.
b. Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan
kadar asam urat plasma dan ekskresi asam urat ke dalam
urin. Efek samping mual, diare, vertigo, mengantuk, sakit
kepala.
4) Herbal
Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh
tanpa menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami
penghambat terjadinya pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang
telah terbentuk dengan sangat efektif. Selain itu juga sebagai antioksidan yang
sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta dapat
mencegah infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil buangan
akhir lebih sempurna). Serta banyak lagi kandungan daun sirsak seperti
acetogenin, annocatin, annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin,
anomourine, anonol, caclourine, gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid,
muricapentosin yang sangat baik untuk penderita batu ginjal.
Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit
manggis mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat
melawan radikal bebas. Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh
seperti batu ginjal, leburan batu ginjal akan terbuang bersama aliran urin.
2. Terapi non invasif
1) Pelarutan Batu
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya
terjadi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan
pemberian Natrium Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka
batu akan larut bersama urin. Namun, beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa dengan pemberian NaCO3- bersamaan Allopurinol akan memberikan hasil
yang baik dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.
Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila
diberikan pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Bila
terdapat kuman, harus segera ditindaklanjuti. Akan tetapi, infeksi pada urolithiasis
sukar dihilangkan karena kuman ini berada di dalam batu yang tidak pernah dapat
dicapai oleh antibiotik. Solutin G merupakan obat yang dapat diberikan langsung
ke batu di kandung kemih. Selain Solutin G. juga dipakai obat Hemiasidrin untuk
batu di ginjal dengan cara irigasi, tetapi hasilnya kurang memuaskan kecuali
untuk batu sisa pasca bedah yang dapat diberikan melalui nefrostomi yang
terpasang. Kemungkinan penyulit dengan pengobatan seperti ini adalah
intoksikasi atau infeksi yang lebih berat (Sjamsuhidajat 2004).
2) Penghancuran batu (Litotripsi)
Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara
mekanis melalui sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau
ultrasonik. Sedangkan untuk batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat
dihancurkan memakai gelombang ultrasonik, elektrohidrolik, atau sinar laser.
Beda halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi dilakukan dengan
bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke batu
yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan.
Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy (ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL)
adalah prosedur dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi
fragmenfragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Terapi non-invasif
ini membuat klien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang
kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal
dapat dipecahkan oleh ESWL, namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi
dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran
kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan
kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak.
Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu
beberapa kali tindakan.
Menurut Sjamsuhidajat (2004) Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk
membangkitkan gelombang kejut, yaitu:
1) Elektrohidrolik
Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang
kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda
spark-gap yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian ini menghasilkan
gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan
gelombang energi bertekanan tinggi.
2) Pizoelektrik
Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo
dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi atau
perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan gelombang kejut.
3) Elektromagnetik
Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada silinder berisi air.
Lapangan magnetik menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar
sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang menghasilkan
gelombang kejut.

Indikasi ESWL:
1. Ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang mengganggu.
2. Lokasi batu di kaliks ginjal atau ureter distal
3. Tidak adanya obstruksi ginjal distal dari batu
4. Kondisi kesehatan klien memenuhi syarat (lihat kontraindikasi ESWL)
5. Ukuran batunya tidak >10mm
6. Terfiksir di saluran kemih

Kontraindikasi ESWL:
1. Kontraindikasi Absolut
Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan,
sepsis serta obstruksi batu distal.
2. Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah:
1) Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti
prosedur.
2) Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut
mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi
lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi
lithotriptor terlebih dahulu
3) Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau
malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami
kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu,
abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran
fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
4) Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi
dengan anestesi.
5) Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan
perhatian dan pertimbangan khusus.

6) Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan


insidens hematom perirenal pasca terapi.
7) Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami
eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi.
Persiapan sebelum ESWL:
1. Harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urin
untuk melihat fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan fisik klien
2. Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk menentukan
lokasi batu dan kemungkinan jenisnya.
3. Berikan analgesik untuk untuk sedatif ringan
4. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4 jam
sebelumnya.

Tindakan pasca ESWL:


1) Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray
dan atau USG
2) Hidrasi yang baik untuk memperlancar keluarnya batu yaitu minimal 2 liter air
sehari.
3) Berikan Health Education mengenai keadaan nyeri saat post tindakan karena
pecahan batu keluar spontan bersama urin terkadang sedikit tidak nyaman
waktu kencing.
4) Jika dianjurkan untuk analisa maka pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa
dalam melihat komposisi batu dengan cara disaring untuk mencegah relaps.

3. URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi)


Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur
menjadi bentuk teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter
atau bahkan dengan ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam
ginjal. Ureteronoskopi (URS) atau ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi
ureter sampai pelvis renalis dengan menggunakan alat ureteroskop atau
ureterorenoskop, dan digunakan untuk tujuan diagnostik dan intervensi terapetik.
Sebenarnya URS merupakan pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat
dimasukkan secara retrograde lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui
trek nefrotomi.
URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power
ultrasonik atau pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal.
Geratan yang digunakan high frequency sehingga hanya akan merusak batu namun
aman bagi jaringan lunak. URS ini berguna untuk pemeriksaan batu yang letaknya di
saluran kemih bagian bawah ureter dan kandung kemih. Cara penggunaan alat ini
dimasukkan melalui penis.
Pada prosedur URS suatu endoskopi semi rigid atau fleksibel dimasukkan ke
dalam ureter bagian lewat buli-buli di bawah anastesi umum atau regional. Dengan
ureteroskop yang flaksibel dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat
diambil atau dihancurkan dengan semua elektrohidroulik atau laser.
Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm.
4. Metode endurologi
Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi
untuk mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan
dilakukan dan nefroskopi dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke
dalam parenkim renal. Batu dapat diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung
dari ukurannya.
5. Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka
Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan
nefrolitotomi, atau nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hidronefrosis. Pembedahan yang sering dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan
jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran kemih. Cara ini banyak dipakai
untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka:
1) Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal
2) Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter. 3) Vesikolitotomi :
mengambil batu di vesica urinaria 4) Ureterolitotomi : mengambil
batu di uretra.
2.9 Komplikasi Urolithiasis
Komplikasi yang mungkin munncul akibat dari urolithiasis, antara lain:
1. Kerusakan tubular dan iskemik partial (Suharyanto dan Madjid, 2009)
2. Hidronefrosis
3. Terbentuknya abses
4. Pyelonefrosis
5. Terbentuknya fistula urinarius
6. Perforasi ureter
7. Urosepsis yang bisa disebabkan oleh obstruksi
8. Adanya obstruksi total selama 48 jam dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang
irreversibel
9. Gangguan fungsi ginjal
2.10 Prognosis Urolithiasis
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup
signifikan, baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami
oleh pria dari pada wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa
negara Eropa prevelensi kejadian urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal
tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi.
Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk prognosisnya. Letak batu yang
dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Semakin besar
kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007).
Prevelensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada
perempuan dewasa, dengan puncak usia dekade ketiga sampai keempat. Angka
kejadian batu ginjal berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh
Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan
sebesar 58.959 orang. Selain itu, jumlah klien yang dirawat mencapai 19.018 orang,
dengan mortalitas sebesar 378 orang.
Setelah keluarnya batu baik secara spontan (konsevatif) maupun dengan tindakan
(seperti; bedah terbuka, ESWL,dll) perlu dilakukan tindakan pencegahan kekambuhan
batu. Kekambuhan batu saluran kemih ini dapat terjadi pada 20-30% klien dan pada
beberapa klien yang mengeluarkan batu secara spontan setiap tahun. Juga ada literatur
yang mengatakan bahwa secara umum hampir 50% klien mengalami batu kambuhan
dalam 5 tahun. Untuk itu diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisa untuk
mencari/menemukan faktor resiko untuk pembentukan batu (Stoller 2000).
Dalam kasus tertentu, IVU dapat dimanfaatkan untuk diagnosis urolithiasis pada
kehamilan. Tingginya paparan radiasi terhadap ibu dan janin menjadi perhatian dan
karena itu terbatas protokol 1-shot harus digunakan dengan radiograf diambil 10 menit
setelah injeksi kontras. Seperti disebutkan sebelumnya, masa depan mungkin memiliki
peran untuk MRU. Spencer et al. melaporkan bahwa MRU adalah modalitas yang
sangat kuat dalam penyelidikan hidronefrosis selama kehamilan. Selain itu juga
digunakan mengidentifikasi tanda-tanda obstruktif lainnya seperti hidronefrosis dan
hidroureter (Pearl dan Nakada, 2009).
2.11 Pencegahan Batu yang Berulang
Sebagai seorang perawat kita harus memberikan Health Education kepada klien
untuk mencegah terjadinya pembentukan batu yang berulang yaitu dengan memberikan
HE tentang:
1. Asupan minum yang cukup
2. Menghindari kebiasaan menahan kencing
3. Pada batu yang disebabkan karena kalsium oksalat maupun kalsium fosfat atau batu
purin (Batu asam urat) maka kita harus menjelaskan mengenai jenis-jenis makanan
yang harus dihindari terutama jenis makanan yang banyak mengandung purin seperti
JASBUKET (Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping, dan
Tape) ataupun BENJOL (Bebek, Emping, Nangka, Jerohan, Otak, Lemak).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS
(ASKEP UMUM)

3.1 Pengkajian
Menurut Darsini (2011) Nursing care pada klien dengan urolithiasis adalah
sebagai berikut:
1. Anamnesa
1) Data demografi
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa
medis, agama, suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya. 2) Riwayat
kesehatan
(1) Keluhan utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan
penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di
daerah abdomen bagian bawah yakni berawal dari area renal meluas secara
anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan
pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik
atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter
karena peningkatan aktivitas untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non
kolik terjadi akibat peregangan kapsul ureter karena hidronefrosis atau
infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya infeksi maka
demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin
atau gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga
kesehatan.
(2) Riwayat penyakit sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang
dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu
dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan nyeri ini
bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya gangguan
gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang
menimbulkan manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa
lama dan berapa kali keluhan tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan
keluhan tersebut muncul adalah penting untuk mengetahui riwayat perjalanan
penyakit.
(3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan
haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun
hiperkalsiuria, riwayat hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker
(berhubungan dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang bisa
menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita osteoporosis yang
menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi.
(4) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat
hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat
penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatiroidisme.
3) Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda,
antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan
berlebihan kalsium dan vitamin.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tidak ada keterbatasan gerak leher. Klien mengatakan dapat
bergerak dengan baik pada bagian kepala dan leher tanpa ada keterbatasan
gerak.
2) Mata: Mata normal, tidak menggunakan alat bantu penglihatan, respon klien
dalam melihat cahaya normal.
3) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan
cuping hidung, tidak ada kelainan bentuk hidung, tidak keluar sekret atau pus
dari dalam hidung, tidak ada obstruksi jalan nafas.
4) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik, tidak adanya gangguan mendengar,
tidak ditemukan adanya kelainan bentuk dan kelainan lain. Klien tidak
menggunakan alat bantu pendengaran.
5) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada
mulut, mulut dan lidah bersih.
6) Dada
(1) Inspeksi: Dada klien simetris.
(2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya bennjolan.
(3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di
daerah paru.
(4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.
7) Abdomen
(1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
(2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
(3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
(4) Perkusi: -
8) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak
ditemukan adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
9) Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton, perkerjaan dimana klien
terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/imobilisasi
sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera
medulla spinalis).
10) Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit
hangat dan kemerahan, pucat.
11) Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya
(kalkulus). Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa
seperti terbakar, oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih.
12) Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada
abdomen. Diet rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan
pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi
abdomen, penurunan suara bising usus.
13) Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri
tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral
(CVA) dan dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat
paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis
atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang
dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi
demam dan menggigil.

Pemeriksaan fisik dengan metode ROS:


1. B1 (breathing)
Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika
memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru
nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai
akibat dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi
pada gagal ginjal terminal.
2. B2 (blood)
Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal
dapat menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting
diperiksa pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem
perkemihan.
3. B3 (brain)
Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen
yang menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di
dalam saliva). Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva
sehingga memunculkan risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis
berat adalah somnolen sampai koma karena retensi nitrogen atau toksik.
4. B4 (bladder)
a. Inspeksi
a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat
karena adanya hidronefrosis.
b) Pemeriksaan eliminasi urin
Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari
obstruksi pada saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada
saluran kemih.
c) Pemeriksaan genitalia eksterna
Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya
kelainan pada penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia,
kordae, epispadia, stenosis pada meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel
uretrokutan, ulkus, tumor, dan keganasan penis.

d) Maturitas seksual
Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm
dan tekstur kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi
juga kulit yang menutup genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi. e) Penis
Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus
uretra untuk mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi.
Lakukan palpasi untuk mengkaji adanya nyeri ataupun kondisi abnormal. f)
Skrotum
Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema. b.
Auskultasi
Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi
kanan atau sisi kiri garis tengah.
c. Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis,
batu ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri.
d. Palpasi
Ginjal teraba unilateral Ginjal teraba bilateral
Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal) Karsinoma sel ginjal bilateral
Hidronefrosis atau pionefrosis Hidronefrosis atau pionefrosis
bilateral
Ginjal polikistik (dengan pembesaran Ginjal polikistik
yang asimetris)
Ginjal kanan normal/ginjal soliter Sindrom nefrotik, nefropati diabetika

Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih


dilakukan untuk menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis.
Perhatikan adanya benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang
teraba mungkin merupakan kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin
yang dialami.
5. B5 (bowel)
Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan
anoreksia yang berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus
mukosa mulut dan lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites
di abdomen akibat berkumpulnya cairan karena sindrom
nefrotik sebab hipoalbuminemia.
6. B6 (bone)
Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat
desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku
klien biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria
berat (>3,5 gr/24jam), kadar albumin serum rendah (<30 g/l) dan edema karena
kerusakan pada glomerulus. Edema ekstremitas (pitting edema) juga mungkin ditemui.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih
2. Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih
3. Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)
3.3 Intervensi
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Tujuan: MANAJEMEN NYERI
peningkatan Setelah dilakukan perawatan (KONTROL NYERI)
frekuensi 2x24 jam klien melaporkan 1. Kaji nyeri secara
dorongan nyeri berkurang atau hilang. komprehensif meliputi lokasi,
gesekan karakteristik, onset, frekuensi,
pada Kriteria hasil: kualitas, intensitas atau
saluran kemih 1. Nyeri terkontrol yang dilihat beratnya nyeri dan faktor
dari indikator: presipitasi
1) Klien menuliskan gejala 2. Observasi ekspresi klien
nyeri berkurang (skala 1- secara non verbal agar
5) mengetahui tingkat nyeri
2) Klien dapat menjelaskan 3. Kolaborasi pemberian
faktor penyebab nyeri analgesik sesuai advis dokter
3) Klien dapat mengetahui dan monitoring respon klien
intervensi yang dilakukan 4. Kaji pengetahuan dan
untuk mengurangi nyeri perasaan klien mengenai
nyerinya
(farmaka dan non 5. Kaji dampak nyeri terhadap
farmaka) kualitas hidup klien (ADL)
4) Klien melaporkan 6. Ajak klien untuk mengkaji
perubahan gejala nyeri faktor yang dapat
yang terkontrol pada tim memperburuk nyeri
medis 7. Kontrol faktor lingkungan
5) Klien mengetahui onset yang dapat mempengaruhi
nyeri ketidaknyamanan klien
2. Level nyeri 8. Ajarkan teknik
nonfarmakologi (relaksasi,
1) Laporan nyeri
terapi musik, distraksi, terapi
2) Durasi nyeri aktifitas, masase)
3) Ekspresi wajah klien
4) Tidak terjadi diaporesis
3. TTV dalam batas normal
(TD: 120/80 mmHg, Nadi:
16-20x/menit)

2. Retensi urin b.d Tujuan: 1. Urinary Retention Care


obstruksi Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
saluran kemih
keperawatan 3x24 jam retensi 2) Monitor penggunaan obat
urin klien dapat teratasi. antikolinergik
3) Monitor derajat distensi
Kriteria Hasil: bladder
1. Kandung kemih kosong 4) Instruksikan pada klien dan
secara penuh keluarga untuk mencatat
2. Tidak ada residu urin output urine
>100200 cc 5) Sediakan privasi untuk
3. Intake cairan dalam rentang eliminasi
normal 6) Stimulasi refleks bladder
4. Bebas dari ISK dengan kompres dingin
5. Tidak ada spasme bladder pada abdomen.
6. Balance cairan seimbang 7) Kateterisaai jika perlu
7. Level nyeri 8) Monitor tanda dan gejala
1) Laporan nyeri ISK (panas, hematuria,
2) Durasi nyeri perubahan bau dan
3) Ekspresi wajah klien konsistensi urine)
4) Tidak terjadi diaporesis 2. Monitoring kadar albumin,
8. Eliminasi urin optimal protein total
dilihat dari indikator: 3. Lakukan perawatan perineal dan
1) Pola berkemih perawatan selang kateter
2) Jumlah urin 4. Dorong klien untuk berkemih
3) Warna urin tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
4) Intake cairan dirasakan.
5) Kejernihan urin 5. Ajarkan serta demonstrasikan
6) Bau urin kepada klien dan anggota
keluarga tentang teknik
berkemih yang akan digunakan
di rumah. Sehingga klien dan
keluarga mampu melakukannya
dengan mandiri.
6. Kolaborasikan obat diuretik

3. Risiko infeksi Tujuan: KONTROL INFEKSI


b.d prosedur Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik aseptif
invasif keperawatan selama 1x24 jam 2. Cuci tangan setiap sebelum dan
(Sistoskopi atau infeksi pada klien dapat sesudah tindakan keperawatan
penggunaan terkontrol 3. Gunakan baju, sarung tangan
kateter) sebagai alat pelindung
Kriteria Hasil: 4. Gunakan kateter intermiten
Faktor- 1. Klien bebas dari tanda dan untuk menurunkan infeksi
faktor risiko gejala infeksi (tumor, dolor, kandung kemih
: 1. Prosedur rubor, kolor, fungsio laesa) 5. Tingkatkan intake nutrisi
Invasif 2. Menunjukkan kemampuan 6. Dorong klien untuk memenuhi
2. Inadekuat untuk mencegah timbulnya intake cairan
pertahanan infeksi
sekunder 7. Berikan terapi antibiotik
3. Jumlah leukosit dalam
(penurunan Hb, batas normal (4000
Leukopenia, 10.000/mm3) PROTEKSI TERHADAP
penekanan respon
inflamasi) 4. Status imunitas baik dilihat INFEKSI
dari indikator: 1. Monitoring tanda dan gejala
1) Suhu tubuh infeksi sistemik dan lokal
2) Fungsi respirasi 2. Inspeksi kulit dan membran
3) Fungsi gastrointestinal mukosa terhadap kemerahan,
4) Fungsi genitourinaria panas, drainase
5) Integritas kulit 3. Monitoring adanya luka
6) Integritas mukosa 4. Batasi pengunjung bila perlu
5. Dorong klien untuk istirahat
6. Ajarkan klien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
7. Kaji suhu badan pada klien
neutropenia setiap 4 jam
8. Laporkan kecurigaan infeksi

3.4 Evaluasi Diagnosa 1


1. Kontrol nyeri
No. Indikator Target Tingkat Kontrol nyeri
(Kriteria Hasil) Tidak bisa Jarang Kadangkadang Sering Selalu
menjelaskan

1 2 3 4 5
1. Klien menuliskan 1 2 3 4 5
gejala nyeri berkurang

2. Klien dapat 1 2 3 4 5
menjelaskan faktor
penyebab nyeri

3. Klien dapat 1 2 3 4 5
mengetahui intervensi
yang dilakukan untuk
mengurangi nyeri

(farmaka dan non


farmaka)
4. Klien melaporkan 1 2 3 4 5
perubahan gejala
nyeri yang terkontrol
pada tim medis

5. Klien mengetahui 1 2 3 4 5
onset nyeri
Diagnosa 3
5. Integritas 1 2 3 4 5
kult

6. Integritas 1 2 3 4 5
kulit
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS
(ASKEP KASUS)
3.5 Studi Kasus
Seorang laki-laki (49 tahun) dirawat ke RSUA dengan keluhan nyeri pada
pinggang kiri hilang timbul menjalar ke bagian frontal sampai meatus uretra dan
kencing yang sedikit. Klien juga mengatakan nyeri hebat saat berkemih. Nyeri ini
muncul sejak 2 bulan yang lalu dan tidak diketahui penyebabnya, akhirnya oleh
keluarga di bawa ke RSU Gresik. Sehubungan dengan keterbatasan alat, maka klien
dirujuk ke RSUA untuk penanganan lebih lanjut. Klien mengatakan selama ini jarang
minum air putih dan berolahraga. Selain itu, klien memiliki riwayat penyakit
kronis DM sejak 2 tahun yang lalu dan tidak terkontrol dan keluarga klien (ayah
klien) pernah mengalami penyakit ini sebelumnya. Klien hanya mampu
menghabiskan setengah porsi makan karena klien mengalami mual muntah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditemukan TTV: Suhu: 37,5 0C, N: 87x/menit, T:
120/80, RR 20x/menit dengan BB saat ini: 50kg BB sebelumnya: 60 kg, TB 160cm.
Pada pemeriksaan sistem perkemihan ditemukan genitalia dan meatus uretra dalam
keadaan bersih, BAK output 1000 cc/hari berwarna kuning jernih dan intake cairan
1500 cc/hari. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan diagnostik ditemukan WBC: 17.2,
BUN: 9.8, Kreatinin serum:1.8, Natrium: 120 meq, Hb: 11.9 mg/dl dengan terapi
Cefotoxin 3x1gram, ranitidine 2x1amp, Pronalges 2x1 (k/p). Diagnosa klien saat ini
adalah Batu Ureter (S).

3.6 Asuhan Keperawatan Kasus


1. Pengkajian
1) Data demografi
Nama : Tn. D
Usia : 49 tahun
Alamat : Wonorejo, Lamongan
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Tukang becak
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia

2) Keluhan utama
Nyeri pada pinggang kiri dan kencing sedikit dan terasa nyeri saat berkemih.
3) Riwayat Penyakit
(1) Riwayat penyakit dahulu
Klien memiliki riwayat penyakit kronis DM sejak 2 tahun yang lalu dan
tidak terkontrol.
(2) Riwayat penyakit sekarang
Klien mengalami nyeri pada pinggang sebelah kiri hilang timbul
menjalar sampai ke ujung penis dan kencing sedikit sejak 2 bulan yang lalu.
Keluarga klien pun akhirnya membawa klien ke RS terdekat di Gresik.
Karena keterbatasan alat, klien akhirnya dirujuk ke RSUA. Selain itu, klien
juga mengalami penurunan nafsu makan karena mual muntah.
(3) Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah klien pernah mengalami penyakit yang sama seperti klien.
4) Psikososiospiritual
Klien merasa dirinya sudah tidak bisa lagi menghidupi keluarganya karena
sakit yang dialaminya saat ini. Istri klien hanya seorang ibu rumah tangga. Namun
selama di RS istri klien selalu menyemangati klien agar tetap sabar dan kuat
melawan penyakitnya.
5) Keadaan umum
Klien tampak lemah, kesadaran kompos mentis dengan GCS 456. Edema (-),
ikterus (-), kondisi klien bersih.
(1) Hasil pemeriksaan: BB 50 kg, TB 160 cm.
(2) TTV: TD: 120/80 mmHg, Nadi: 87x/menit, Suhu: 37,50C, RR: 20x/menit
6) Pemeriksaan fisik
(1) B1 (breathing)
Tidak ada keluhan sesak napas dan penggunaan otot bantu napas
(2) B2 (blood)
Tidak ada keluhan tanda-tanda hipertensi
(3) B3 (brain)
Tidak ada gangguan persarafan
(4) B4 (bladder)
1. Nyeri pinggang (S) hilang timbul menjalar ke meatus uretra dan terlokalisir

2. Keluhan miksi: retensi urin (+), hesistensi (+), pancaran urin memendek
(+), disuria (+), inkontinensia urin dan hematuria (-). Organ genitalia dan
meatus uretra dalam keadaan bersih
(5) B5 (bowel)
Klien mengalami mual muntah, nafsu makan turun sehingga berat badan juga
turun
(6) B6 (bone)
Tidak ditemukan masalah
7) Pemeriksaan diagnostik (Uji Faal Ginjal/ Renal Function Test)
Komponen yang diuji Normal Hasil
BUN 10-30 mg/dl 9,8 mg/dl
Kreatinin serum 0,5-1,5 mg/dl 1,8 mg/d
Hb 13,5-18,0 g/dl 11,9 g/d
Natrium 135-145 mEq/l 137 mEq/
Kalium 3,5-5,5 mEq/l 5,0 mEq/l
Klorida 95-105 mEq/l 97 mEq/l
Glukosa puasa 70-120 mg/dl 100 mg/dl
Protein total 3,4 – 5,0 g/dl 3,5 g/dl
Kolesterol 150-270 mg/dl 200 mg/dl
Berat jenis urin 1,010-1,026 1,025
8) Riwayat Terapi atau medikasi
Klien sebelumnya pernah menjalani terapi farmakologi yaitu cefotoxin
3x1gram, ranitidine 2x1amp, pronalges 2x1 (k/p).

2. Analisa data
NO DATA ETIOLOGI MK
1. DS: klien mengeluh Urolithiasis Nyeri Akut
nyeri pada pinggang (S)
menjalar sampai Obstruksi pada traktus urinarius
meatus uretra
DO: wajah klien Tekanan hidrostatik meningkat
meringis kesakitan.
P: nyeri timbul karena Distensi pada ureter proksimal
adanya distensi pada
ureter Frekuensi kontraksi ureter meningkat
Q: nyeri kolik
R: pinggang (S) sampai Peningkatan tekanan pada dinding

meatus uretra ureter

S: skala nyeri 7 (dari 0-


10) wajah meringis Trauma

kesakitan dan lutut


menekuk untuk Terputusnya

menahan sakit
T: nyeri hilang timbul saraf
dan nyeri hebat saat
berkemih Melepaskan reseptor nyeri

Nyeri
2. DS: klien mengatakan Obstruksi pada traktus urinarius Reternsi Urin
sulit BAK dan hanya
keluar sedikit serta Penurunan reabsorbsi dan sekresi
sering BAK malam hari turbulensi ginjal
DO:
1. BAK output 1000 Gangguan fungsi ginjal
cc/hari berwarna
kuning jernih dan Penurunan produksi urin
intake cairan 1500 (tertahan di kandung kemih)
cc/hari.
2. Distensi abdomen
bagian bawah
(daerah simpisis)
3. Disuria
4. Hesistensi
5. Retensi urin
3. DS: klien mengeluh Urolithiasis Ketidakseimbangan
mual-mual, nafsu Nutrisi Kurang
makan turun Obstruksi batu pada traktus urinarius dari Kebutuhan
Tubuh
DO: Klien hanya Tekanan hidrostatik meningkat
menghabisakan ½ porsi
makan kolik renal
A:
BB Sebelumnya: 60 kg iritasi saraf abdominal
BB saat ini : 50 kg
B: Hb darah 11,9 mg/dl penekanan pusat muntah pada
BUN: 9,8 mg/dl, korteks serebri
Kreatinin serum: 1,8
mg/dl respon mual
C: klien terlihat lemah
D : hanya habis ½ porsi anoreksia

3. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut b.d inflamasi, sumbatan dan abrasi traktus urinarius oleh
pindahnya batu
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual muntah 3)
Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih akibat batu

4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Tujuan: MANAJEMEN NYERI
inflamasi, Setelah dilakukan perawatan 1. Kaji nyeri secara
sumbatan dan 2x24 jam klien melaporkan komprehensif meliputi lokasi,
abrasi traktus nyeri berkurang atau hilang. karakteristik, onset, frekuensi,
urinarius kualitas, intensitas atau
oleh Kriteria hasil: beratnya nyeri dan faktor
pindahnya batu 1. Nyeri terkontrol yang dilihat presipitasi
dari indikator: 2. Observasi ekspresi klien
1) Klien menuliskan gejala secara non verbal agar
nyeri berkurang (skala 1- mengetahui tingkat nyeri
5) 3. Kolaborasi pemberian
2) Klien dapat menjelaskan analgesik sesuai advis dokter
faktor penyebab nyeri dan monitoring respon klien
3) Klien dapat mengetahui 4. Kaji pengetahuan dan
intervensi yang dilakukan perasaan klien mengenai
untuk mengurangi nyeri nyerinya
(farmaka dan non 5. Kaji dampak nyeri terhadap
farmaka) kualitas hidup klien (ADL)
4) Klien melaporkan 6. Ajak klien untuk mengkaji
perubahan gejala nyeri faktor yang dapat
yang terkontrol pada tim memperburuk nyeri
medis 7. Kontrol faktor lingkungan
5) Klien mengetahui onset yang dapat mempengaruhi
nyeri ketidaknyamanan klien
2. Level nyeri 8. Ajarkan teknik
nonfarmakologi (relaksasi,
1) Laporan nyeri
terapi musik, distraksi, terapi
2) Durasi nyeri aktifitas, masase)
3) Ekspresi wajah klien

4) Tidak terjadi diaporesis


3. TTV dalam batas normal
(TD: 120/80 mmHg, Nadi:
16-20x/menit)
Diagnosa Keperawatan 2
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
2. Ketidakseimbangan nutrisi TUJUAN MANAJEMEN NUTRISI
kurang dari kebutuhan tubuh b.d Setelah dilakukan (STATUS NUTRITIONAL)
mual muntah tindakan keperawatan
selama 2x24 jam INTERVENSI:
Batasan karakteristik: asupan nutrisi klien 1. Observasi dan catat adanya
1. BB <20% atau di bawah BB kembali adekuat mual muntah dan anoreksia
ideal untuk TB yang sesuai 2. Monitoring intake dan
2. Asupan makanan <kebutuhan KRITERIA HASIL output per hari
metabolik, baik kalori total 1. Klien tidak lagi 3. Tentukan motivasi klien
maupun zat gizi tertentu menunjukkan bukti untuk meningkatkan nafsu
3. Kehilangan BB dengan asupan makannya dengan
penurunan BB
makanan yang adekuat menyediakan makanan
4. Melaporkan asupan makanan 2. Klien terhindar dari kesukaan klien (tanpa
yang tidak adekuat < aspirasi kontraindikasi) dan anjurkan
recommended daily allowance 3. BB klien bertambah makan sedikit tapi sering
(RDA) 4. Kaji kemampuan klien
5. Anoreksia 2 kg per minggu
dalam pemenuhan kebutuhan
6. Melaporkan perubahan sensasi 4. A: BB klien naik nutrisi
rasa dalam batas normal >4 5. Auskultasi bising usus dan
7. Status hidrasi buruk: hindari pemberian makanan
kg sesuai dengan TB
membran mukosa kering dan yang dapat memicu
pucat dan postur tubuh, peningkatan peristaltik usus
IMT normal 6. Tentukan kebutuhan kalori
B: Kadar normal harian
7. Monitoring hasil
BUN (10-30 mg/dl), laboratorium, khususnya
Kreatinin serum (0,5- tranferin, albumin, dan
1,5 mg/dl) elektrolit
8. Berikan terapi nutrisi
C: Mukosa
(makanan dan cairan) untuk
bibir lembab mendukung proses
D: Porsi makan habis metabolik klien agar tidak
terjadi malnutrisi
5. Menjelaskan
9. Kolaborasikan dengan ahli
komponen diet yang
adekuat gizi mengenai kebutuhan
6. Klien dan anggota nutrisi klien
keluarga 10. Timbang BB klien secara
mengomunikasikan berkala per minggu untuk
pemahaman mengetahui peningkatan BB
kebutuhan diet khusus sebagai indikator
7. Intake nutrisi adekuat keberhasilan pemenuhan
8. Status hidrasi nutrisi yang adekuat
9. Nafsu makan 11. Kolaborasi dengan dokter
meningkat tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan
12. Informasikan pada klien dan
keluarga tentang
manfaat nutrisi agar
membantu mendorong
asupan makanan pada klien

Diagnosa Keperawatan 3
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Retensi urin b.d Tujuan: 1. Urinary Retention Care
obstruksi saluran Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
kemih
keperawatan 3x24 jam retensi urin 2) Monitor penggunaan obat
klien dapat teratasi. antikolinergik
3) Monitor derajat distensi
Kriteria Hasil: bladder
1. Kandung kemih kosong secara 4) Instruksikan pada klien
penuh dan keluarga untuk
2. Tidak ada residu urin >100-200cc mencatat output urine
3. Intake cairan dalam rentang 5) Sediakan privasi
normal untuk eliminasi
4. Bebas dari ISK 6) Stimulasi refleks bladder
5. Tidak ada spasme bladder dengan kompres dingin
6. Balance cairan seimbang pada abdomen.
7. Eliminasi urin tidak terganggu 7) Kateterisaai jika perlu
(bau, jumlah, warna urin normal) 8) Monitor tanda dan gejala
8. Balance cairan seimbang ISK (panas, hematuria,
9. Level nyeri perubahan bau dan
1) Laporan nyeri konsistensi urine)
2) Durasi nyeri 2. Monitoring kadar albumin,
3) Ekspresi wajah klien protein total
4) Tidak terjadi diaporesis 3. Lakukan perawatan perineal
10.Eliminasi urin optimal dilihat dari dan perawatan selang
indikator: 1) Pola berkemih kateter
2) Jumlah urin 4. Dorong klien untuk
3) Warna urin berkemih tiap 2-4 jam dan
4) Intake cairan bila tiba-tiba dirasakan.
5) Kejernihan urin 5. Ajarkan serta
6) Bau urin demonstrasikan kepada
klien dan anggota keluarga
tentang teknik berkemih
yang akan digunakan di
rumah. Sehingga klien dan
keluarga mampu
melakukannya dengan
mandiri.
6. Kolaborasikan obat diuretik

MANAJEMEN ELIMINASI
URIN
INTERVENSI:
1. Monitoring eliminasi urin
meliputi frekuensi,
konsistensi, bau, volume, dan
warna jika diperlukan
2. Kolaborasikan dengan dokter
untuk tindakan Urinalisis jika
diperlukan dengan
mengumpulkan spesimen
urin porsi tengah
3. Ajarkan teknik berkemih yang
benar dan kenali
urgensi berkemih
4. Ajarkan klien tentang tanda
dan gejala ISK
5. Instruksikan klien dan
keluarga untuk mencatat
haluaran urin

5. Evaluasi Diagnosa 1
1) Kontrol nyeri
No. Indikator Target Tingkat Kontrol Nyeri
(Kriteria Hasil) Tidak bisa Jarang Kadangkadang Sering Selalu
menjelaskan

1 2 3 4 5
1. Klien menuliskan 1 2 3 4 5
gejala nyeri berkurang

2. Klien dapat 1 2 3 4 5
menjelaskan faktor
penyebab nyeri

3. Klien dapat 1 2 3 4 5
mengetahui intervensi
yang dilakukan untuk
mengurangi nyeri
(farmaka dan non
farmaka)

4. Klien melaporkan 1 2 3 4 5
perubahan gejala
nyeri yang terkontrol
pada tim medis

5. Klien mengetahui 1 2 3 4 5
onset nyeri
Diagnosa 2
Diagnosa 3

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Urolithiasis adalah batu saluran kemih yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter,
batu kandung kemih dan batu ureter. Komposisi batu saluran kemih ini terdiri dari jenis
kalsium, struvit, asam urat dan jenis lain yang berupa batu sistin, batu xanthin dan batu
silikat. Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan batu saluran kemih adalah
faktor usia, faktor herediter dan biasanya banyak terjadi pada laki-laki. Selain itu,
beberapa faktor eksternal seperti faktor geografi, diet, iklim, pekerjaan dan asupan air
minum yang kurang namun tinggi kalsium juga bisa menyebabkan terjadinya
urolithiasis. Faktor- faktor tersebut biasanya menyebabkan hambatan aliran urin
sehingga memudahkan terbentuknya kristal-kristal yang akan menjadi batu di saluran
kemih.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang ners harus bisa menegakkan diagnosa
keperawatan terhadap kasus ini secara dini agar tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih parah. Selain itu, kita juga harus melakukan asuhan keperawatan kepada klien
dengan urolithiasis ini baik secara mandiri maupun kolaboratif secara tepat dan cepat
sehingga masalah ini dapat teratasi dengan baik.

4.2 Saran
Penyusun menyarankan agar perawat dan pembaca dapat memahami terkait
dengan asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis sehingga dapat
memudahkan kita terutama perawat dalam memberikan intervensi yang tepat kepada
klien dengan urolithiasis.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Aldjufrie, Muhammad. 2015. Hijamah dilihat dari segi Sains dan Kedokteran Modern.
Surabaya: Ebook
Baughman Diane C. dan Hackley JoAnn C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku
Saku dari Brunner dan Suddartha. Jakarta: EGC
Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 2:
Jakarta: EGC
Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier:
Saunders
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC Darsini. 2011.
Nursing Care of Urolithiasis. https://sites.google.com/site/kuliahstikes/nursing-care-
of-urolitiasis diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 10.00 WIB
Doengoes, Merilynn, E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi Ketiga. Jakarta:
EGC Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. Jakarta: EGC
Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier:
Saunders
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa:
UK
Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Ed: 3. Jakarta: Sagung Seto
Rully MA. 2010. Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Resiko dan Tata Laksananya. JIMKI.
www.indonesia.digitaljournals.org diakses pada tanggal 01 Maret 2015 pukul 12.00 WIB
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC
Smith’s. 2007. General Urology 17th ed. Lange.
Smith’s and Campbell. 2011. Urology Review. Elsevier: Saunders
Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s
General Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.
Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2. Jakarta:
Salemba Medika.
Taylor, Cynthia M, Ralph, Sheila Sparks. 2003. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana
Asuhan. Jakarta: EGC
Tanagho EA, McAnninch JW. 1976. Smith’s General Urologi Seventeenth Edition. United
States: The McGraw-Hill
Turk, C., et al. 2011. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology.
http://www.uroweb.org/gls/pdf/18_Urolithiasis.pdf. 02 Maret 2015 pukul 15.23 WIB
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Wolf J et al. 2012. Nephrolithiasis. Medscape.
http://www.scribd.com/doc/132398642/Komplikasi-Dari-Urolithiasis#scribd
diakses pada tanggal 01 Maret 2015 pukul 12.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai