A. Latar Belakang
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan penyakit defteri dan pertussis secara keseluruhan.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahuan proses asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit difteri
dan pertussis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Teori
Difteri adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri penghasil
toksin Corynebacterium diphtheriae dan ditularkan melalui tetesan pernafasan selama kontak
dekat, terutama yang menginfeksi faring, amandel dan hidung. Penyakit difteri dapat dengan
mudah dan tersebar secara cepat melalui percikan ludah penderita atau makanan. Difteri
adalah penyakit infeksi tenggorokan berat yang dapat menyebar ke jantung dan system syaraf
sehingga menimbulkan kematian.
Pertusis (batuk rejan atau batuk 100 hari ) adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis yang menyebabkan batuk berat dan lama,
dengan komplikasi yang berbahaya bila tidak di tangani dengan baik. Ordetella pertussis
adalah bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus, Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang
terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien
berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Bordetella pertussis merupakan jenis bakteri yang menginfeksi saluran pernafasan. Penyakit
pertusis ini di tandai dengan batuk yang berlangsung 28 hari sampai dengan 100 hari,
individu yang sangat rentan adalah bayi dan anak-anak muda (Zaidin Asyabah, 2018).
b) Etiologi
1. Defteri
Usia kurang dari atau sama dengan 15 tahun akan lebih rentan karena kelompok umur
anak sekolah cenderung lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Jenis kelamin wanita
lebih rentan terkena difteri karena daya imunitasnya lebih rendah. Kelembaban rumah yang
tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang yang selanjutnya akan
meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban
juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri di ruangan yang lebih lembab. Luas
ventilasi, Ventilasi berfungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap
segar, bebas dari bakteri, dan terjaga kelembaban optimum. Risiko penularan difteri pada
seseorang yang tidak memperoleh imunisasi jauh lebih besar daripada seseorang yang
mendapatkan imunisasi secara lengkap.
2. Pertusis
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya Bordetella pertussis (Hemophilis pertusis).
Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh Bordetella Parapertusis,
Bronchiseptiea dan virus. Adapun cirri-ciri organisme ini antara lain :1. Berbentuk batang
(coccobacilus).
a. Tidak dapat bergerak.
b. Bersifat gram negative.
c. Tidak berspora, mempunyai kapsul
d. Mati pada suhu 55 o C selama 1⁄2 jam, dan tahan pada suhu rendah (0o- 10o C)
e. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
f. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap
penicillin.
g. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
-Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
-Endotoksin (lipopolisakarida)
c) Manifestasi Klinis
1. Difteri
Penyakit defteri ini tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor primer adalah
imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan kuman membentuk
toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Tanda
dan gejala pada penyakit defteri yaitu :
1. Mengalami infeksi pada faring, laring, trakhea, atau kombinasinya.
2. Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran) yang tidak
mudah lepas pada tenggorokan, amandel, rongga mulut, atau hidung.
3. Pembengkakan kelenjar linfa pada leher (bullnek)
4. Demam yang tinggi (<38,50C)
5. Mengeluarkan bunyi saat menarik nafas
6. Kesulitan bernafas
2. Pertusis
Pada dasarnya batuk rejan ialah penyakit yang dimediasi oleh toksin yang memiliki tiga
fase gejala, yaitu:
a. Stadium Catarrha. Pada tahap awal ditandai dengan timbulnya pilek yang
berbahaya, bersin, demam ringan, dan batuk ringan. Pasien yang tidak diobati
dapat menularkan infeksi selama tiga minggu atau lebih setelah timbulnya
serangan batuk mengi (bunyi khas saat udara melwati saluran pernapasan yang
mengecil). Secara bertahap, batuk ini akan parah.
b. Stadium Spasmodik Tahap ini ditandai dengan batuk yang lebih sering dan
kejang. Pada tahap ini juga ditandai dengan semburan atau paroxysms, batuk
cepat yang banyak dikarenakan kesulitan mengeluarkan lender yang kental dari
trakeobronkial. Selama terinfeksi, pasien bisa menjadi sianotik (membiru). Pada
bayi dan anak-anak, pada fase ini akan tampak sangat sakit dan juga tertekan.
Kelelahan dan muntah juga ikut serta pada fase ini. Gejala-gejala yang ada fase
ini biasanya sering menyerang di waktu malam hari dengan rata-rata 15
serangan/24jam. Di setiap minggu berikutnya, serangan dan gejala yang ada fase
ini kian meningkat.
c. Stadium konvalesen, Tahap pemulihan ini ditandai dengan batuk yang lebih
jarang dan tidak terlalu parah. Biasanya pada tahap ini memulih secara bertahap.
Batuk mulai jarang menyerang terutama di malam hari.
d) Patofisiologi
1. Difteri
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada
mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheriatoxin
(dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan
menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis,
leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian
akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan
terkumpul fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin
sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area
tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat
menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian
memasuki peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan
jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis
pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis
dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.
Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan pernafasan.
2. Pertusis
Salah satu tahap awal sebelum terserang penyakit bernama tahap prepatogenesis. Pada
tahap ini, bakteri Bordetella pertussis masuk kedalam inangnya melalui mata, hidung, dan
mulut. Kebanyakan bakteri ini lebih sering masuk melalui hidung atau saluran pernapasan. Ia
menempel pada silia yang ada pada saluran pernapasan. Bakteri bordetella pertusis akan
tinggal di saluran pernafasan antara bronkus maupun trakea. Bakteri ini akan memperbanyak
diri dan memproduksi toksin yang dapat melemahkan kerja sel-sel yang bertugas untuk
membersihkan lendir-lendir yang ada pada dinding paru-paru. Hal ini menyebabkan
terjadinya penumpukan lendir pada saluran pernapasan dan membuat penderitanya
mengalami sesak. Seperti yang kita ketahui, bakteri pertusis dapat berpindah inang dan
menyebar dari orang ke orang. Ia akan masuk melalui mulut, hidung, atau mata.
Mekanismenya ialah saat orang yang terinfeksi sedang bersin atau batuk, bakteri yang ada
pada cairan akan bersatu ke udara. Ketika berada di sekitar orang yang terinfeksi, maka besar
kemungkinan akan ikut terinfeksi.
e) Pathway
f) Pemeriksaan penunjang
1. Difteri
a. Schick test
Tes kulit ini di gunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Untuk
pemeriksaan ini di gunakan dosis 1/50 MED. Yang di berikan intrakutan dalam bentuk.
Larutan yang telah di encerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat
positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji
schick dikatakan negative bila tidak di dapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan
dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi.
Positif palsu dapat terjadiakibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah : penurunan hemoglobin (Hb), penurunan jumlah leukosit,
eritrosit, dan kadar albumin.Pada urine terdapatnya albuminuria ringan.
2. Pertusis
a. Hapusan sekret dinasofaring posterior atau lendir yang dimuntahkan.
b. Hapusan darah tepi dijumpai leukositosis dengan nilai 20.000-30.000/mm3 dengan
limpositosis predominan terjadi sekitar 60% terutama stadium kataralis.
g) Komplikasi
1. Difteri
paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan
pneumonia. Pada pasien ini diduga mengalami komplikasi lain seperti miokarditis,
menyebabkan pelepasan CK-MB dan troponin. Troponin merupakan penanda spesifik dari
miokarditis, troponin lebih spesifik dibandingkan CK-MB dan terbukti sebagai penanda
miokarditis yang sensitif dan spesifik, kadar serum troponin jantung berhubungan dengan
mortalitas pasien yang tinggi. EKG berperan penting dalam menentukan keparahan
menunjukkan hasil yang meningkat yaitu 0,03, hal ini menunjukkan adanya kerusakan
2. Pertusis
Komplikasi dari pertusis ini dapat menyebabkan bronchitis nekrotikans, kerusakan
alveolus difus, edema fibrinosa, sesak nafas, hingga kematian.
1. Terapi
a. Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum
(ADS) dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus
tenggorok).
b. Penderita difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian
antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah pemberian antibiotik.
c. Untuk pemberian ADS kepada penderita maka perlu di konsultasikan dengan
Dokter Spesialis (Anak, THT, Penyakit Dalam).
d. Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita
difteri anak.
2. Antitoksin Difteri
Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin hanya menetralisir
toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat dengan jaringan. Pemberian yang
terlambat dapat meningkatkan resiko miokarditis dan neuritis. Tes sensitivitas dapat
dilakukan sebelum pemberian antitoksin difteri.14 Bila membran hanya terbatas pada nasal
atau permukaan saja maka Anti Difteri Serum (ADS) dapat diberikan 20.000 unit
intramuskular, bila sedang maka ADS dapat diberikan sebesar 60.000 unit intramuskular,
sedangkan pada membran yang telah meluas maka dapat diberikan ADS sebanyak 100.000-
120.000 unit intramuskular.
3. Antibiotik
Antibiotik pilihan adalah eritromisin atau penisilin. Rekomendasi pilihan antibiotik
sevagai berikut:
a. Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2 juta
unit/dosis (pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.
b. Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4 dosis.
Pemberian peroral dan parenteral.
c. Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena.
d. Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari.
i) Pengkajian Keperawatan
1. Biodata
- Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
- Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
- Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempattempat pemukiman yang
rapat-rapat, higien dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
- Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
- Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan
- Dahulu Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
- Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
- Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
- Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
- Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Fisik
- Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat
Suhu : ≤ 38°C
- Inspeksi :
Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
- Auskultasi : Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
- Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana
- Biakan hidung dan tenggorok
- Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria) c. Diikuti gejala
klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati
- Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria
j) Diagnosa Keperawatan
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang lazim muncul dalam pasien dengan kasus
difteri, antara lain:
1. Ketidak efektifan pola napas
2. Penurunan curah jantung
3. Gangguan menelan
4. Kelebihan volume cairan
5. Inkontinensia urine aliran berlebih
6. Ansietas
7. Resiko infeksi
8. Hambatan komunikasi verbal
k) Intervensi dan Implementasi
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Kasus
An.A usis 7 tahun di rawat sejak 3 hari yang lalu di RS Medika Respati, karena
sesak napas hingga dada terasa nyeri dan demam sejak seminggu yang lalu,
diikuti, serta bunyi melengking pada saat tarik nafas sejak 5 hari yang lalu, ibu
klien mengatakan klien sulit makan karena susah untuk menelan dan pasien
kesakitan, gelisah, sulit tidur, dan klien tampak melindungi dadanya. An.A pernah
di rawat di RS 2 tahun yang lalu karena demam berdarah, tidak memiliki penyakit
bantu pernapasan terlihat retraksi dinding dada, bradipnea, kesadaran anak An.A
B. IDENTITAS PASIEN
1. Biodata Pasien
Nama : An.A
Usia : 7 thn
Alamat : Maguwoharjo
Tanggal & Jam : 17 Desember 2022, Jam 20.00 WIB
Masuk RS
Nomor RM : 23
2. Penangung Jawab
Usia : 32 Thn
Alamat : Maguwoharjo
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
C. Keluhan Utama
Ibu klien mengatakan klien, Sesak dan demam tinggi, kesulita menelan nyeri saat
D. Riwayat Kesehatan
: Laki-Laki
: Perempuan
: Meninggal
: Pasien
E. ANALISA DATA
Jam 20:00 WIB mengatakan, klien napas (nyeri saat efektif (D.0005)
dan bunyi
melengking saat
menarik nafas.
DO : Wajah klien
tampak merah
kebiruan, terlihat
vena jugularis,
pasien tampak
terpasang Nasal
Kanul. 3 LPM
karena susah
menelan.
DO : Klien tampak
terpasang NGT
nyeri dada.
DO : Klien tampak
meringis dan
meindungi dadanya.
F. Prioritas Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif b.d Hambatan upaya napas (nyeri saat bernapas)
2. Nyeri Akut b.d Agen pencedera fisiologis (inflamasi)
3. Defisist Nutrisi b.d Ketidak mampuan menelan makanan
G. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tgl Diagnosis
Tujuan dan Kriteria
Tindakan Rasional
Hasil
Manajemen Jalan Napas
14- Pola napas Setelah dilakukan
( l. 01011)
tidak efektif tindakan
12- 1. Observasi : Observasi
b.d keperawatan 3x24
- Monitor pola - Untuk mengetahui
2022
Hambatan Pola Napas pada
napas (frekuensi, frekuensi, kedalaman,
upaya napas An. A membaik
kedalaman, dan usaha nafas.
dengan kriteria
usaha napas)
hasil :
1. Dispnea cukup
- Monitor bunyi - Untuk mengetahui
menurun
napas tambahan bunyi napas tambahan.
2. Penggunaan
(stidor)
otot bantu
napas sedang
3. Pemanjangan
2. Terapeutik : Terapeutik
fase ekspirasi
- Berikan oksigen - Agar memenuhi
sedang
dengan nasal kebituhan oksigen
4. Frekuensi
kanul 3 Lpm pada pasien, sehingga
napas sedang
sesak nafasnya
berkurang.
3. Edukasi : Edukasi
- Ajarkan teknik - Agar pasien
batuk efektif mengetahui teknik
batuk efektif dan dapat
mempraktikannya
secara mandiri.
4. Kolaborasi : Kolaborasi
- Kolaborasikan - Agar meredakan
pemberian penyempitan saluran
bronkodilator, pernapsan pada pasien
ekspektoran, atau sesak nafas setelah
mukolitik, jika dilakukan pemberian
perlu. bronkadilator.
cukup menurun
4. Gelisah cukup
menurun 2. Terapeutik : Terapeutik
bermain)
3. Edukasi : Edukasi
mengurangi rasa
nyeri.
4. Kolaborasi: Kolaborasi
- Kaborasi - Agar nyeri yang
perlu. dikurangi.
sedang badan
makanan
3. Edukasi : Edukasi :
4. Kolaborasi : Kolaborasi :
jenis nutrien
yang dibutuhkan
No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Nama/
TTD
D.0005 14, 1. Observasi : S: Klien mengatakan sulit
Desember 08.00 • Memonitor bernafas
2022 WIB frekuensi, O:
kedalaman, usaha 4. Frekuensi nafas 12x/menit
napas suara 5. Ada penggunaan otot bantu
nafas pernafasan ditandai dengan
Hasil: retraksi dinding dada.
frekuensi nafas 6. terdengar suara wheezing
lambat 12 7. Pasien terlihat sesak
x/menit dan napasnya sedikit berkurang
terlihat retraksi
dinding dada.
A:
• Memonitor bunyi
8. pola napas tidak efektif
napas tambahan
belum teratasi
Hasil: terdengar
suara wheezing
P: Intervensi dilanjutkan
2. Terapeutik
• Memonitor
- Memberikan
08.10 frekuensi,
oksigen dengan
WIB kedalaman, usaha
nasal kanul 3
napas.
Lpm
Memonitor bunyi
Hasil :
•
napas tambahan
Pasien terlihat
Memberikan
sesak napasnya •
oksigen dengan
berkurang
nasal kanul 3Lpm
3. Edukasi
-
08.15 4. Kolaborasi
WIB - Belum diberikan
pemberian
bronkodilator
karena pasien
sudah diberikan
oksigen dengan
nasal kanul.
15, 14.00
Desember WIB
2022 S:
1. Observasi :
Klien mengatakan sesak
- Memonitor
napasnya sedikit berkurang
frekuensi,
kedalaman, O: Frekuensi napas 14x/menit
14.20 3. Edukasi
WIB -
4. Kolaborasi
- Belum diberikan
pemberian
bronkodilator
karena pasien
sudah diberikan
oksigen dengan
nasal kanul.
16, 19.00
Desember WIB
S: Klien mengatakan sesak
2011 1. Observasi : napasnya sudah berkurang
Memonitor frekuensi, dan bisa lebih lega dalam
kedalaman, usaha napas menghembuskan napasnya.
suara nafas
O:
Hasil: frekuensi • frekuensi nafas
nafas mulai membaik 16x/menit
yaitu 16 x/menit dan • sedikit ada
sedikit terlihat retraksi penggunaan otot
dinding dada. bantu pernafasan
19.10 ditandai dengan
WIB sedikit terlihat
-Memonitor bunyi napas
retraksi dinding
tambahan
dada
Hasil: sedikit • sedikit terdengar
terdengar suara suara wheezing
wheezing • Pasien terlihat
sesak napasnya
sudah berkurang
19.20 A:
WIB
2. Terapeutik pola napas tidak efektif belum
- Memberikan teratasi
oksigen dengan
P: Intervensi dilanjutkan
nasal kanul 3
Lpm 1. Memonitor frekuensi,
Hasil : kedalaman, usaha napas.
Pasien terlihat 2. Memonitor bunyi napas
sesak napasnya tambahan
berkurang 3. Memberikan oksigen dengan
nasal kanul 3Lpm
3. Edukasi
4. Kolaborasi
- Tidak diberikan
pemberian
bronkodilator
karena pasien
sudah diberikan
oksigen dengan
nasal kanul.
D.007 14 08.15
7 Desember WIB
2022
dada
S : Skala 7 (0-10)
2. Terapeutik :
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri (terapi
bermain)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
Hasil :
- Pasien tampak
mengikuti terapi
bermain dengan
tertib tetapi
terkadang pasien
memengangi
bagian dadanya
di tengah-tengan
permainan.
- Pasien masih
kesulitan tidur.
3. Edukasi :
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
(terapi bermain)
untuk
mengurangi rasa
nyeri.
Hasil : Ibu klien
mengatakan mengerti
diintruksikan perawat,
sehingga menyiapkan
anaknya untuk
mengalihkan perhatian
terjadi.
4. Kolaborasi:
- Kaborasi
pemberian
analgetik
analgetik berupa
x sehari).
15
D.007 Desember
7 2022 S: Klien mengatakan nyeri masih
1. Observasi : terasa pada bagian dada, pasien
- Mengidentifikasi masih kesulitan tidur. Ibu klien
mengatakan sudah menerapkan
skala nyeri
terapi bermain dan mengikuti
Hasil : anjuran minum obat dengan 6 benar
P: Nyeri saat bergerak obat sesuai anjuran perawat.
Q: Rasanya seperti
O: Skala nyeri 5, terasa seperti
ditekan ditekan selama 4 menit secara
R: Nyeri terasa didaerah mendadak.
dada
A : Masalah belum teratasi
S : Skala 5 (0-10)
2. Terapeutik :
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri (terapi
bermain)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
Hasil :
- Pasien tampak
mengikuti terapi
bermain dengan
tertib tetapi
terkadang pasien
memengangi
bagian dadanya
di tengah-tengan
permainan.
- Pasien masih
kesulitan tidur.
3. Edukasi :
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
(terapi bermain)
untuk
mengurangi rasa
nyeri.
mengatakan sudah
menerapkan terapi
bermain untuk
mengalihkan nyeri
anaknya.
5. Kolaborasi:
- Kaborasi
pemberian
analgetik
Hasil: Klien
mengkonsumsi obat
analgetik berupa
anjuran perawat
berdasarkan 6 benar
obat.
16
Desember S: Klien mengatakan nyeri masih
1. Observasi :
D.007 2022 terasa pada bagian dada, pasien
7 Mengidentifikasi skala masih kesulitan tidur. Ibu klien
dirasakan klien
O: Skala nyeri 3, terasa seperti
saat bergerak
ditekan selama 3 menit secara
sudah berkurang mendadak.
- Q: Rasanya
A : Masalah teratasi sebagian
seperti ditekan
didaerah dada
- S : Skala 3 (0-10)
- T: Selama
Kurang lebih 2
menit secara.
2. Terapeutik
Berikan teknik
nonfarmakologis berupa
Hasil:
- Pasien tampak
mengikuti terapi
bermain dengan
tertib.
- kesulitan tidur
pasien berkurang.
3. Edukasi :
Ajarkan teknik
nonfarmakologis (terapi
bermain) untuk
Hasil :
bermain.
4. Kolaborasi:
Kaborasi pemberian
analgetik
Hasil:
Klien mengkonsumsi
anjuran perawat
berdasarkan 6 benar
obat.
14,
Desember S: Klien mengatakan tidak nyaman
1. Observasi :
2022 setelah dipasangkan selang
- Mengidentifikasi
D.001 nasogastrik.
perlunya
9
penggunaan O: Pasien terpasang Selang
Nasogastreik, tampak lemas dan
selang
Pasien tampak kooperatif saat
nasogastrik
dilakukan tindakan .
Hasil :
A: Masalah belum teratasi
Perlu dilakukan
nasogastrik kepada
mengeluh susah
menelan.
- Monitor berat
badan
Hasil :
19 kg dalam 3 hari.
2. Terapeutik
- Memberikan makanan
protein
Hasil :
- Memberikan
makanan tinggi
protein seperti
kebituhan nutrisi
pasien terpenuhi.
Pasien terlihat
lebih bertenaga.
- Memberikan
suplemen
makanan
Hasil :
plus.
3. Edukasi :
menggunakan selang
nasogastrik tidak
mengalami ekspirasi,
jika mampu.
Hasil :
Pasien kooperatif
perawat.
4. Kolaborasi
Hasil:
Klien mendapatkan 95
kkal dari sup ayam dan
PEMBAHASAN
Difteri adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri penghasil
toksin Corynebacterium diphtheriae dan ditularkan melalui tetesan pernafasan selama
kontak dekat, terutama yang menginfeksi faring, amandel dan hidung. Pertusis (batuk rejan
atau batuk 100 hari) adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertussis yang menyebabkan batuk berat dan lama, dengan komplikasi yang
berbahaya bila tidak di tangani dengan baik.
An.A usia 7 tahun di rawat sejak 3 hari yang lalu di RS Medika Respati, karena sesak
napas hingga dada terasa nyeri dan demam sejak seminggu yang lalu, diikuti serta bunyi
melengking pada saat tarik nafas sejak 5 hari yang lalu, ibu klien mengatakan klien sulit
makan karena susah untuk menelan dan pasien tampak menyisakan ½ porsi makanan
banyak dipiringnya sehingga mengalami penurunan berat badan dari 23 kg ke 19 kg selama
sakit, klien meringis menahan kesakitan, gelisah, sulit tidur, dan klien tampak melindungi
dadanya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan adanya penggunaan otot bantu
pernapasan terlihat retraksi dinding dada, bradipnea, kesadaran anak An.A compos mentis,
TD 90/60 mmHg, Suhu 38,4oC, Nadi 90 kali/menit, dan RR 28 kali/menit irreguler. An.A
terpasang NGT serta Nasal Kanul 3 Lpm.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus adalah Pola napas tidak efektif b.d
Hambatan upaya napas, Defisist Nutrisi b.d Agen pencedera fisiologis, Nyeri Akut b.d
ketidakmampuan menelan makanan. Intervensi yang dilakukan adalah manajemen pola
nafas, manajemen nyeri dan manajemen nutrisi.
Pada asuhan keperawatan berdasarkan teori dan asuhan keperawatan pada An.A
terdapat kesenjangan diantara keduanya. Dengan poin-poin sebagai berikut :
1. Tahap pengkajian riwayat kesehatan dahulu, pada teori didapatkan pasien mengalami
peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring dan laring sedangkan pada kasus klien
ngengalami DBD. Riwayat kesehatan sekarang pada teori klien menrasakan sakit kepala
sedangkan pada kasus klien mengalami demam. Jadi, pada pengkajian terdapat
kesenjangan antara teori dan kasus. Pada teori pasien terdapat riwayat penyakit keluarga
sedangkan pada kasus tidak. Hal itu tentunya antara teori dan kasus juga terdapat
kesenjangan. Karena jika ada anggota keluarga yang sudah pernah mengalami difteri itu
sangat mempengaruhi seseorang bisa lebih berisiko terkena difteri. Sebab difteri dengan
cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air ludah yang berterbangan saat
penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta kuman kuman difteri. Melalui
pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan
penyakit difteri dari seorang penderita kepada orang orang disekitarnya.
2. Berdasarkan teori diagnosa yang muncul setelah dilakukan pengkajian dan analisa data
adalah pola nafas tidak efektif , penurunan curah jantung, gangguan menelan, kelebihan
volume cairan, inkontinensia urine, aliran berlebih, anxietas, resiko infeksi dan
hambatan komunikasi verbal. Sedangkan pada kasus didapatkan diagnosa pola napas
tidak efektif, nyeri akut, dan defisit nutrisi. Karena pada kasus hasil dari pengkajian
seperti keluhan, riaway ksehatan sekarang dan terdahulu pada pasien tidak sama dengan
yang ada diteori sehingga pada kasus muncul diagnosa prioritas keperawatan pola napas
tidak efektif, nyeri akut, dan defisit nutrisi.
3. Berdasarkan teori intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang muncul di teori adalah
Manajemen jalan napas, manajemen nutrisi, manajemen berat badan, perawatan
inkontinensia urine. Sedangkan pada kasus intervensi yang diberikan adalah manajemen
jalan napas, manajemen nutrisi, dan manajemen nyeri. Intervensi dilakukan karena
adanya diagnosa keperawatan yang muncul, oleh sebab itu terdapat kesenjangan pada
intervensi antara teori dan kasus.
Jadi, berdasarkan teori dan kasus yang telah kita buat terdapat kesenjangan antara
keduanya. Hal itu bisa terjadi karena adanya perbedaan keluhan yang dialami pasien,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, serta riwayat penyakit keluarga yang
ada pada kasus dan teori. Sehingga hal tersebut juga mempengaruhi munculnya diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan, tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai, serta
intervensi keperawatan yang akan diberikan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri dan pertusis merupakan suatu penyakit yang berbeda. Difteri adalah suatu
penyakit yang disebabkan karena infeksi bakteri yang menyerang mukosa pada saluran
nafas, tenggorokan, dan kulit. difteri merupakan suatu penyakit yang sangat menular dan
dapat mengakibatkan kematian. Difteri ditularkan melalui udara pernafasan, percikan ludah,
atau melalui kontak langsung dengan ulkus penderita (jika terdapat pada kulit). Gejala yang
ditimbulkan difteri biasanya seperti demam tinggi, menggigil, nyeri menelan, terdapat
benjolan pada tenggorokan, muncul bercak abu abu pada tenggorokan, sesak dan sulit
bernafas. difteri memerlukan pemeriksaan dan pengobatan langsung dari dokter, sehingga
disarankan agar jika mendapati kecurigaan gejala seperti diatas maka segera periksakan diri
ke rumah sakit. Baik difteri dan pertusis dapat dicegah dengan melakukan imunisasi DPT.
Pertusis atau biasa disebut sebagai batuk rejan merupakan suatu infeksi bakteri pada
saluran nafas. Pertusis juga dapat menular dengan mudah. penularan pertusis biasaya
melalui udara pernafasan. pertusis biasnaya menyebabkan gejala seperti batuk terus menerus
yang diawali dengan tarikan nafas panjang dari mulut. setelah itu biasanya penderita
mengalami batuk terus menerus, batuk keras, demam tinggi, dan dapat disertai dengan sesak
nafas.
Oleh karena itu, pertusis dan difteri sama sama memerlukan suatu pengobatna
langsung dari dokter, dan penyakit tersebut dapat dicegah dengan melakukan imunisasi
DPT.
Berdasarkan teori dan kasus yang telah kita buat terdapat kesenjangan antara
keduanya. Hal itu bisa terjadi karena adanya perbedaan keluhan yang dialami pasien,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, serta riwayat penyakit keluarga yang
ada pada kasus dan teori. Sehingga hal tersebut juga mempengaruhi munculnya diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan, tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai, serta
intervensi keperawatan yang akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Famalasari, K. (2019). Gambaran Kasus Difteri Tahun 2009-August 2019 in the Bojonegoro
Regency. Jurnal Media Gizi Kesmas, Vol 8, No 2, Halaman: 67 - 76.
Isnaniyanti Fajrin Arifin, C. I. (2017). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KASUS DIFTERI ANAK DI USKESMAS BANGKALAN TAHUN 2016. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, hlm. 26-36.
RI, K. K. (2017). BUKU PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DIFTERI.
In d. J. Soepard, BUKU PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
DIFTERI (pp. 20-21). Jakarta.
Saputra, M. A. (2018). DIFTERI DALAM LINGKUP ASUHAN KEPERAWATAN. Jurnal
Kesehatan , 1-3.
SAPUTRA, M. A. (2018). DIFTERI DALAM LINGKUP ASUHAN KEPERAWATAN.
Jurnal Kesehatan, 3.
Zaidin Asyabah. (2018). PEMODELAN SIR UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT
PERTUSIS DENGAN VAKSINASI PADA POPULASI MANUSIA KONSTAN .
UNNES Journal of Mathematics, 7 (1).
Julius, P., Iriani, D.U. (2019). Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan
Individu Terhadap Kejadian Difteri di Kabupaten Tangerang. Journal of Religion
and Public Health Vol.1 No.1
Wigrhadita Dwi, R. (2019). Gambaran Karakteristik dan Status ImunisasiPenderita Difteri di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2018. Jurnal IKESMA Vol.15 No.1
Zakiyyudin. (2019). Optimalisasi Pencegahan Difteri Pada Bayi Melalui Program Imunisasi
DPT di Lung Mane. Jurnal Pengabdian Masyarakat Multidisiplin Vol.3 No.2
Hartoyo, E. (2018). Difteri Pada Anak. Jurnal Sari Pediatri Vol.19 No.5
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. 2017.
Kemenkes R. Profil Kesehatan RI 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. 2015. 125
p.