Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan sebagai batuk yang sangat berat atau intensif.
Pertusis disebabkan oleh mikroorganisme Bordetella pertussis dan juga penyebab lain adalah
bakteri Bordetella parapertussis. Nama lain untuk pertusis adalah whooping cough, batuk rejan
dan tussi quinta. Orang mengenal penyakit ini berupa batuk rejan, yaitu terjadi batuk selama 100
hari. Infeksi ini sering menyerang bayi, terutama anak perempuan (Rismayana, 2022).

Batuk rejan adalah suatu penyakit yang menyerang seseorang yang disebabkan oleh
bakteri akibat dari lemahnya sistem imun. Umumnya, batuk rejan akan mengganggu saluran
pernapasan sehingga orang yang terinfeksi akan menimbulkan gejala seperti kesulitan bernafas.
Batuk rejan memiliki sebutan lain yaitu pertusis, batuk seratus hari, tussis quinta, dan Whooping
Cough. Hal yang menyebabkan batuk rejan memiliki nama ”Batuk 100 hari” dikarenakan bakteri
ini menyerang saluran pernapasan selama 8-10 minggu.

Pada orang yang terinfeksi, batuk rejan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis
ini akan menimbulkan gejala seperti kesulitan bernafas, muntah, dan flu. Di negara berkembang,
bakteri ini paling sering menyerang anak-anak dan menjadi faktor kematian di kalangan bayi.
Batuk rejan juga pernah menjadi penyakit epidemic dikarenakan penyakit ini tidak hanya
menyerang negara berkembang, ia juga menyerang beberapa negara maju (Ismah, 2021).

Penyakit ini sangat menular dan dapat mempengaruhi segala usia. Semakin muda
menderita pertusis, semakin berbahaya dampaknya. Sebelum imunisasi ditemukan, kasus
terbanyak terjadi pada anak usia 1 tahun. Pertusis adalah penyakit yang paling banyak dikenal
anak-anak dan sumber utama kematian. (dinilai sekitar 300.000 kematian setiap tahun)
(Rismayana, 2022).

Bordetella pertussis adalah coccobacillus Gram-negatif yang menyebabkan batuk rejan,


juga dikenal sebagai pertussis, pada manusia. Infeksi saluran pernapasan sangat agresif pada
anak-anak kecil, yang lebih mungkin mengalami penyakit klasik pada pria, dibagi menjadi tiga
fase: fase pertama ditandai dengan gejala yang tidak spesifik, seperti coryza, demam, dan batuk
sesekali. Setelah dua minggu, batuk semakin parah dan menjadi konstan dan tak terkendali,
diikuti dengan inspirasi paksa yang menghasilkan suara rejan. Gejala dapat menurun secara
progresif ke fase pemulihan; namun, komplikasi seperti pneumonia sering terjadi dan
menyebabkan lebih dari 90% kematian disebabkan penyakit pada anak-anak muda dari usia 3
tahun (Correia,2019)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Pertusis adalah penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan oleh


mikroorganisme Bordetella pertusis. Penyebab lain dari pertusis diantaranya adalah
bakteri Bordetella parapertussis. Karena gejalanya yang khas, pertusis juga disebut
whooping cough (Udin,2019). Pertussis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif
Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas
(Umara,2021).

Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran pernapasan yang
sangat menular yang ditandai dengan suatu sindrom yang terdiri batuk bersifat spasmodic
dan paroksismal disertai nada yang meninggi. Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran
pernapasan yang mengenai pejamu rentan, tetapi paling serius dan sering terjadi pada
anak-anak (Umara,2021).

2.2 Epidemiologi

Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya


vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata
80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan
untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total (Umara,2021).

Satu kasus primer pertusis dapat menyebabkan 17 kasus baru pada subjek yang
rentan dan penularan terutama sering terjadi pada keluarga subjek. Reservoir utama dari
pathogen di alam dan sumber infeksi adalah tubuh manusia, terutama pada anak-anak
usia 3-6 tahun. Di Negara dengan 4 musim, musim gugur dan musim dingin adalah masa
penularan pertusis paling tinggi (Umara,2021).

Pada saat ini pertusis masih merupakan kasus endemic global walaupun sudah
tersedia vaksin. Insiden pertusis secara global pada tahun 2015 menurut WHO adalah
24,1 juta kasus, dimana 142.512 kasus berakhir dengan kematian. Walaupun bakteri
penyebab pertusis ditemukan di seluruh dunia, penyebaran dan mortalitas terdapat pada
wilayah atau Negara dengan cakupan imunisasi rendah, dan umumnya terjadi di Negara
berkembang. Di Indonesia belum terdapat data secara nasional untuk kasus pertusis,
namun pemerintah provinsi Jawa Tengah telah melaporkan 5 kasus yang terjadi antara
tahun 2011-2015. Kelima kasus terjadi pada tahun 2015, di mana 4 kasus ditemukan di
Kudus dan 1 kasus di Semarang (Umara,2021).

Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka


mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Namun demikian, penyakit ini
masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi-bayi dibawah
umur. Pertusis sangat infeksius pada orng yang tidak memiliki kekebalan, mudah
menyebar ketika penderita batuk, dan mudah menular bahkan bisa mengancam nyawa
pada bayi dan anak-anak (Umara,2021).

2.3 Etiologi

Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou.
Kemudian pada tahun 1906, kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media
buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies, yaitu Bordetella pertusis, Bordetella
parapertusis, Bordetella bronkiseptika, dan Bordetella avium. Bordetella pertusis adalah
salah satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negative, tidak bergerak, dan
ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan ditanamkan pada media
gara Bordet-Gengou. Adapun ciri-ciri dari organisme ini antara lain:

1. Berbentuk batang (coccobacilus)


2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative
4. Ukuran panjang 0,5-1 dan diameter 0,2-0,3 u.
5. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
6. Mati pada suhu 55oC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (00-100C).
7. Dengan pewarnaan Toluidin blue dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
8. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritromisin, tetapi resisten
terhadap penicillin.
9. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain:
a. Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (Lipopolisakarida)
10. Melekat ke epitel pernapasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesion
yang dinamakan pertaktin.
11. Menghasilkan beberapa antigen, antara lain:
a. Toksin pertusis (PT)
b. Filamentous hemaglutinin (FHA)
c. Pertactin 69-kDa OMP
d. Aglutinogen fimbriae
e. Adenylcyclase
f. Endotoksin (pertusis lipopolisakarida)
g. Tracheal cytotoxin.
12. Dapat dibiakkan di media pembenihan yang disebut dengan berdet gengou (potato
blood glycerol) yang diberi nama penisilin G 0,5 mikrogram/ml yang berfungsi
menghambat organisme lain.

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella Pertusis:

1. Toksin pertusis : histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting


factor, Islet activing protein (IAP).
2. Adenilat siklase luar sel.
3. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA), PT-HA (pertusis toxin-HA)
4. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin)
(Umara,2021).

2.4 Tanda dan Gejala

1. Stadium 1 : Catarrhal
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini tidak dapat dibedakan dengan
infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan common cold, kongesti nasal, dan
bersin. Dapat disertai dengan sedikit demam (low-grade-fever), tearing, dan
conjunctival suffusion. Pada stadium ini, pasien sangat infeksius atau menular tetapi
pertusis dapat tetap menular selama 3 minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman
paling mudah diisolasi pada stadium ini (Umara,2021).
Masa inkubasi pertusis adalah 6-10 hari atau rata-rata 7 hari, perjalanan
penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Adapun manifestasi klinis
pada stadium ini adalah:
a. Gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya
rhinorrhea dengan lender yang cair dan jernih.
b. Infeksi konjungtiva, lakrimasi.
c. Batuk dan panas yang ringan
d. Anoreksia

Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi
semakin hebat seiring berjalan waktu. Pada bayi, lender mukoid sehingga
menyebabkan obstruksi jalan nafas, di mana bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(Umara,2021).

2. Stadium 2 : Paroxysmal
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga
paroxyxmal phase, stadium akut paroksismal, stadium spasmodic. Penderita pada
stadium ini akan disertai batuk berat yang tiba-tiba dan tak terkontrol dan
berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak
disertai whoop yang khas namun dapat disertai episode apnea (henti nafas
sementara), dan beresiko kelelahan (exhaustion) (Umara,2021).
Manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
a. Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat
penderita menarik nafas di akhir serangan batuk.
b. Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernapas, dan diakhir
serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga
terdengar bunyi melengking dan diakhiri dengan muntah.
c. Selama serangan batuk, maka penderita menjadi merah, mata tampak
menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah. Juga akan tampak pelebaran
pembuluh darah yang jelas di kepala dan leher, petekie di wajah,
perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
d. Di akhir serangan penderita akan sering memuntahkan lender kental.
e. Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk akan semakin hebat.
3. Stadium 3 : Konvalesens
Stadium ini berlangsung selama 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga
dengan stadium konvalesens. Pada stadium ini, batuk dan muntah menurun.
Namun batuk yang terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung
selama berminggu-minggu dan terjadi petekie pada kepala atau leher, perdarahan
konjungtiva, dan dapat terjadi rhonki difus (Umara,2021).
Manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
a. Whoop dan muntah berhenti
b. Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3 minggu
c. Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali
dengan whoop dan muntah-muntah.

2.5 Patofisiologi

Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari


pasien yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang
suseptibel. Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, hygiene lingkungan dan
pribadi yang buruk, karena penyebaran tidak langsung juga terjadi dari pasien ke
lingkungan melalui sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan host yang baru akan
mentransfer kuman ini sehingga terjadi inokulasi di traktus respiratorius (Udin,2019).

Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis pathogenesis infeksi


tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan host, kerusakan local, dan
penyakit sistemik. Infeksi dimulai dari adanya perlekatan bakteri Bordetella pertussis
pada cilia dari sel-sel epitel bersilia di traktus respiratorius. Perlekatan ini difasilitasi oleh
pertactin, fimbriae 2 dan 3, pertussis toxin (PT), lipopolisakarida (LPS), tracheal
colonization factor (tcf), dan kemungkinan filamentous hemaglutinin (FHA) (Udin,2019).

Masa inkubasi selama 7-10 hari, akan tetapi pada beberapa kasus selama 6-21
hari. Tnda dan gejala yang muncul tergantung dari etiologinya, umur, dan status
imunisasi. Perjalanan klinis penyakit terdiri dari 3 stadium yaitu

a. Stadium kataral
Gejala prodromal yang berlangsung 1-2 minggu. Gejala klinisnya minimal
dengan/tanpa demam, rhinorea, anoreksia, frekuensi batuk bertambah.
b. Stadium paroksismal atau spamodik
Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan
aktivitas; fase inspiratory batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); post-
tussive vomiting. Dapat pula dijumpai muka merah atau sianosis, mata menonjol,
lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher selama serangan,
apatris, penurunan berat badan. Yang salah satu manifestasi khasnya terdapat
whooping cough, yang berlangsung 2-4 minggu.
c. Stadium konvalesens
Stadium konvalesens selama 1-2 minggu. Gejala akan berkurang dalam beberapa
minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekie pada kepala/leher,
perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
 Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas
 Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis
 Muntah-muntah sampai dehidrasi
 Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell,
tanpa disertai whoop.
(Udin,2019).

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis
Pada anamnesis perlu:
 Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat
 Batuk paroksisimal yang diikuti dengan whoop, muntah, sianosis, bahkan
apnea
 Demam ringan
 Riwayat imunisasi DPT (sekarang masuk program pentabio)
 Perdarahan subkonjungtiva
 Riwayat kontak dengan pasien pertusis
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk melihat apakah sudah ada tanda komplikasi
pneumonia dengan ditemukannya rhonki pada pemeriksaan auskultasi thorax.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang tinggi
20.000-50.000/UI dengan limfositosis yang khas pada akhir stadium kataral dan
selama stadium paroksisimal.
(Udin,2019).
Tes diagnostic yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit
pertusis.
1. Pemeriksaan sputum
2. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
3. ELISA
ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)”, dan toksin pertusis (TP). Nilai
IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositive
oleh karena menggambarkan repons imun primer dan dapat disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP
kurang sensitive daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural
dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertusis.
4. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama
stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
5. Didapatkan antibody IgG terhadap toksin pertusis.
6. Diagnosis pasti dengan ditemukannyan organisme Bordetella pertussis pada
apus nasofaring posterior.
7. Polymerase Chain Reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya
lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
8. Foto thorax
Infiltrat perihiler, edema, atelektasis, mild peribronchial cuffing, atau
empyema. Konsolidasi merupakan indikasi adanya infeksi bakteri skunder
atau pertussis pneumonia (jarang). Adanya pneumothorax,
pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital yang
normal. Pemeriksaan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan,
dan suhu tubuh (Umara,2021).

2.7 Diagnosis Banding

Bronkiolitis, pneumonia bacterial, sistik fibrosis, tuberculosis, serta adanya benda


asing. Infeksi B. parapertusis dan B. bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai
sindrom klinis B. Pertusis (Udin,2019).

2.8 Tatalaksana

- Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)


- Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea,
sianosis, atau hipoksia
- Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari
selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik
tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari
ke-5
- Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta-
2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis.
- Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia
dan/ atau dehidrasi.
(Umara,2021).

Pengobatan antibiotic

a. Eritromisin (12,5 mg/kgBB/pemberian-diberikan 4 kali sehari)


b. Ampisilin (10-15 mg/kgBB/pemberian-diberikan 3-4 kali sehari)
Maksimum 2 gram per hari diberikan selama 14 untuk mencegah relaps.
Pemberian antibiotic tidak memperpendek stadium paroksisimal. Terapi suportif
ditujukan untuk mengurangi serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi (Udin,2019).

2.9

Komplikasi

Penyulit dapat terjadi terutama pada system saluran pernapasan berupa pneumonia dan
system saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis, dan hipotermia terhadap SIADH
(syndrome of inappropriate diuretic hormone) (Udin,2019).

1. Sistem pernapasan
Dalam system pernapasan dapat terjadi otitis media, bronchitis,
bronkopneumonia, atelectasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema,
bronkiektasis, dan tuberculosis yang sudah ada dan bertambah berat.
2. Sistem pencernaan
Adanya muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis
(penderita anak menjadi kurus sekali), prolapses rectum atau hernia yang
mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah
karena tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga
stomatitis.
3. Susunan Saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat juga kongesti dan edema pada otak, dan
mungkin terjadi perdarahan pada otak.
4. Lain-lain
Dapat pula terjadi pendarahan lain seperti epistaksis, hemoptysis, dan
pendarahan subkonjungtiva (Umara,2021).

2.10 Prognosis

- Mortalitas terutama oleh karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia, dan


penyulit paru lain
- Pada anak besar --> prognosisnya baik
- Dapat timbul sekuele berupa wheezing pada saat dewasa
(Umara,2021).

2.11 Pencegahan

a. Kewaspadaan penularan melalui droplet:


 Sampai hari ke-5 pemberian antibiotik yang efektif
 Sampai minggu ke-3 setelah timbul batuk paroksismal, apabila tidak diberikan
antibiotik
b. Imunisasi
Terdapat 2 tipe vaksin pertusis, yaitu: 1) vaksin whole-cell (wP) dengan basis B.
pertussis yang dimatikan dan 2) vaksin acellular (aP) dengan komponen organisme
highly purified (Umara,2021).
DAFTAR PUSTAKA

Argondizo-Correia, C., Rodrigues, A. K. S., & de Brito, C. A. (2019). Neonatal immunity to


Bordetella pertussis infection and current prevention strategies. Journal of immunology
research, 2019.

Ismah, Z., Harahap, N., Aurallia, N. 2021. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Menular Jilid 1.
Medan : Yayasan Markaz Khidmat Al-Islam.

Rismayana., Nurmiaty., Admasari, Y., dkk. 2022. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan.
Padang : Global Eksekutif Teknologi.

Umara, A, F., Wulandari, I, S, M. 2021. Medikal Bedah Sistem Respirasi. Yogyakarta : Yayasan
Kita Menulis.

Anda mungkin juga menyukai