PERTUSIS
Disusun oleh:
Natalia J. Tetelepta
NIM. 2011-83-033
Pembimbing:
dr. Robby Kalew, Sp. A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan
refarat dengan judul “Pertusis” ini dengan baik. Refarat ini dibuat dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura Ambon tahun 2018.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga
refarat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian pembuatan refarat ini.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk 100 hari.1 Pertusis adalah suatu penyakit akut
saluran pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang
tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan infeksi kuman gram
negatif bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut
yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi
atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Kuman penyebab baru diketahui
pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou.2,3
Pertusis masih merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan kesakitan
pada anak terutama di negara berkembang. World Health Organization) WHO
memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama
pada bayi yang tidak diimunisasi. Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke
tiga penyebab kematian pada anak balita. Imunisasi dapat mengurangi risiko
terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Menurut perkiraan WHO hanya 30%
anak-anak negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT sebanyak 3
dosis. Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan
kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan
kematian, tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan waktu lama (8
minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup
tinggi.2
Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia
kurang dari 5 tahun dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus
fatal pada bayi usia kurang dari 1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2
sampai 11 bulan.3
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Gambar 1. Bordetella pertusis5
2.4 Patofisiologi
Bordetella pertussis ditansmisikan melalui sekresi udara pernafasan, dan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tahap yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik.6
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/
pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertussis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi
dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak
invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan
5
Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan
penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat
menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin pertussis
mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan
reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktifasi
enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke daerah
infeksi.6,7
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsengtrasi gula darah.7
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan
kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang
reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.7
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia
dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan
siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysacharida (endotoksin)
tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang Bordetella
pertussis hanya menyebakan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin
pertusis.7
6
Gambar 2. Perlekatan B. pertusis pada silia traktus respitatorius5
7
paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis
tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia
kurang dari 2 tahun terdapat pada tabel 1.8
Whoops 60-70%
Emesis 66-80%
Dispnea 70-80%
Kejang 20-25%
Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama
sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang lebih
dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B.parapertussis
atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih
pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.8
8
Gamb
ar 2. Manifestasi klinis pertusis
9
2. Stadium Paroksismal (2-4 minggu)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang
berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir
serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-
10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang dihisap melalui glotis
yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk
hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk
paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang.
Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan
stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan
batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas, di kepala dan leher, bahkan
terjadi petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi
frenulum lidah.6
Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi
tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada
pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya
ada batuk yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat
terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular.6
10
Ga
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan
seperti biasa. Setelah 1-2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen,
kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1-3 minggu dan berangsur-angsur
menurun sampai whoop dan muntah menghilang.6
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis : Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak
dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.8
11
b. Pemeriksaan Fisik : Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik
tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.8
12
2.7 Diagnosis Banding
Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh
Respiratory Syncitial Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia bakterial,
sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.9
1. Asma Bronchiale
2. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya mendadak dan dapat
dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi)
3. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai
sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab,
pemeriksaan serologis, dan biasanya gejalanya lebih ringan
4. Infeksi Chlamydia trachomatis pada bayi menyebabkan pneumonia, oleh
karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2-12 minggu
setelah lahir dengan gejala-gejala pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa
demam, eosinofilia. Pada foto toraks terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi.
Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya klamidia dari cairan saluran
pernapasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat,
dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam.10
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,
pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh
13
personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian
makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut
lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,
atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak
atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespon.10
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut:
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin,
40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2
mg/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.(2) Beberapa pakar
lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur.
Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50
mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24
jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98%
anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan kedua
tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin
untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan
kemanjuran yang terbukti.10
2. Kortikosteroid dan Salbutamol
14
Dapat mengurangi batuk paroksismal walaupun belum terbukti dalam penelitian
kontrol.10
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untuk
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang
tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunoglobulin pertusis telah pada
anak kurang dari 2 tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3-5 dosis) tidak bermakna, oleh
karena itu tidak direkomendasikan.10
2.9 Komplikasi
1. Pneumonia: Komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
2. Kejang: Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
3. Gizi kurang: Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang
disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
4. Perdarahan: Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada
pertusis. Tidak ada terapi khusus.
5. Hernia: Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran
pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.11
2.10 Pencegahan
Tindakan kesehatan masyarakat:12
a. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang
imunisasinya belum lengkap.
15
b.Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.
c. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari
untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau
tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis.
Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5 sampai
16
10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada
akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis ditularkan melalui
aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa pengobatan, penderita pertusis
dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain mulai awal batuk sampai
berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti, namun dapat menjadi tidak
infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20
hari (rata-rata 7 sampai 10 hari).2
Stadium klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala
seperti infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk
berat 5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/
atau muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak
muntah lagi.6
Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang
(limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam 2
sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak
meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama untuk
menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi pertusis terutama
pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat (ensefalopati dan
kejang).9
Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua. Siapa saja dapat terkena
pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih tua. Infeksi pada bayi lebih serius
dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6
bulan efektif untuk mencegah infeksi yang berat, namun tidak memberikan kekebalan
yang permanen. Oleh karena itu, perlu diberikan booster dan profilaksis eritromisin
pada anak usia kurang dari 7 tahun yang kontak erat dengan penderita pertusis.
Efek samping vaksinasi pertusis adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
17
hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari,
kolaps atau hipotensif hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2
hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler
memberi efek samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah
dibandingkan dengan vaksin pertusis sel penuh.12
DAFTAR PUSTAKA
18
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders,
2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079.
4. Mansjoer Arif, Suprohaita dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III
(jilid2). Jakarta: Media Aesculpius FKUI.
5. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease. Wiley
Blackwell; USA: 2012
6. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.
Jilid 2. h: 564-566.
7. Bocka J. Pertussis. 28 april 2014. [serial online]. Diakses dari URL:
[http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview]
8. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
9. James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115
No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. Diakses dari URL :
[http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422]
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Ed.2.
Badan penerbit IDAI; Jakarta: 2010
11. S. Long, Sarah. 2005. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC.
12. World health organization. Country office for Indonesia. Dalam pedoman
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama
kabupaten/kota. Ed.1 bahasa Indonesia; Jakarta: 2009.
19