Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018

UNIVERSITAS PATTIMURA

DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh:

Gyztatika P. Patadungan

NIM. 2017-84-010

Pembimbing:

dr. Robby Kalew, Sp. A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018

362
BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit
akibat infeksi oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, Nyamuk ini adalah
nyamuk rumah yang biasanya menggigit pada siang hari.1
Nyamuk ini mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan
den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan
dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak. DBD dapat berkembang
menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome =
DSS ) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian cukup
tinggi.1
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan
kematian lebih besar dibanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada
manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue
yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari
aktifitas epidemiknya.2
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, DBD dapat
ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan hampir setiap tahun menyebabkan
epidemi pada musim hujan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara
lain adanya semua serotipe virus dengue di Indonesia, iklim tropis yang
mendukung kehidupan virus dan vektor nyamuk, masih adanya air bersih yang
tertampung sebagai media pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti serta
peningkatan curah hujan.3
Manifestasi klinisnya biasanya berupa demam, nyeri otot dan atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, trombositopeni, dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Dengue

362
Shock Syndrome adalah demam berdarah dengue yang disertai syok atau
renjatan.4
Penatalaksanaan DBD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan
suportif, dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS. Timbulnya
DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan pemeriksaan hematokrit
dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS, penatalaksanaannya
diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi
“leakage” plasma (kebocoran plasma).5
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.

363
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut
yang disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai
genus Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu
jenis serotipe tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe
lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak
menimbulkan manifestasi klinis yang berat.6,7

1.2. Epidemiologi

Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah
menyebar di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena
penyakit ini di daerah endemik. Meski kasus pertama DBD di Indonesia
dicurigai di Surabaya pada tahun1968, konfirmasi virologis baru diperoleh
pada pada tahun 1970. Saat kejadian luar biasa (KLB) berlangsung pada
tahun 1988, 1039 pasien dirawat di RSCM dengan case-fatality rate (CFR)
mencapai 13%. Pada KLB di tahun 2004, dilaporkan 64.000 kasus terjadi di
Indonesia (Iincidence rate 29,7 per 100.000 penduduk) dengan angka
kematian sebanyak 724 orang (case fatality rate/CFR 1,1%). Data bagian
rekam medik RSCM tahun 2006-2011 menunjukkan 1167 kasus dengue,
dengan CFR kasus Sindrom Syok Dengue (SSD) sebanyak 3,3%.1,3

1.3. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x10.6 Virus ini termasuk genus flavivirus

364
dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan
kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan
terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah
endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada
siang hari. Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor
penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor
utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan
Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti
adalah:

a) Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih


b) Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air
seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain
c) Jarak terbang ± 100 meter
d) Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
e) Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.

1.4. Patofisiologi

Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu
febris, kritis, dan recovery (penyembuhan):7

365
Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.7
a) Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-
kadang suhu tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan
obat penurun panas. Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan
diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan
nyeri tenggorokan atau mata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk
membedakan dengue dengan penyakit lainnya secara klinis pada fase awal
demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan
kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan
parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak
gawat. Oleh karena itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning
signs) dan parameter lain sangat penting untuk mengenali progresi ke arah
fase kritis.7,8 Warning signs meliputi:7
 Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, pembesaran hati >2 cm
 Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.

366
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul
pada hari-hari pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3
hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur
dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi
walau lebih jarang.7 Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet
positif, menandakan adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal
perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai hasil positif.7,8
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari
demam. Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di
bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus.
Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan
progresif leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue.7
b) Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat
demam mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh,
maka hal ini harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam
mulai turun hingga dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke
3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini
berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran
plasma yang signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam.8
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat
merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat
bervariasi. Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada
derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan
hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.7,8
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka
kritis akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs.
Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien

367
menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Saat terjadi
syok berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami
gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi
intravaskular diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan hebat
sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat.7
Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun
dapat dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien
dapat berkembang menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan
demam sehingga pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.7,8
c) Fase Penyembuhan (Recovery)
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis,
reabsorpsi gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam.
Keadaan umum pasien membaik, nafsu makan kembali, gejala
gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan diuresis
normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi
area kemerahan disekitarnya dan pruritus generalisata. Bradikardia dan
perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan pada fase ini.
Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang
disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat
segera setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian.
Pemberian cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan
akan menimbulkan edema paru atau gagal jantung kongestif.7,8

1.5. Manifestasi klinis


Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegaly, dan
kegagalan peredaran darah (circulatory failure). Fenomen patofisiologi
utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD
ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya
volume plasma, trombositopenia, dan diathesis hemoragik.9,10

368
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar,
dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang
tersebar dianggota gerak, muka, aksila, seringkali ditemukan pada masa dini
demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi disetiap organ
tubuh. Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan
saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan
subkonjungtival kadang kadang ditemukan. Pada masa konvalesen
seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki.10

1.6. Diagnosis

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan


laboratorium menurut WHO 2011:7
1. Kriteria klinis:7
a) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari
b) Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
c) Pembesaran hati
d) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah.

2. Kriteria laboratorium: 7
a) Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
b) Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20% menurut
standar umur dan jenis kelamin.

369
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:7
a) Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit 20%.
b) Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
c) Dijumpai tanda perembesan plasma
d) Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
e) Hipoalbuminemia

1.7. Pemeriksaan Penunjang

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik


melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku
emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta
biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan
adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue.1,11
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima
setelah onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang.
Kadar IgM meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2
minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi
IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi
IgG lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun
dalam sirkulasi, bahkan seumur hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder,
kadar IgG meningkat lebih banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum
atau bersamaan dengan IgM. IgG merupakan antibodi predominan pada
infeksi sekunder.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari

370
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai
hari ke 5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh
karena itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji
dini terbaik untuk pelayanan primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus
kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama
pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi
dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan USG.11

1.8. Tatalaksana

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi


kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan
pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat
pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil,
sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank
darah yang senantiasa siap bila diperlukan.7

Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi


lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A),
membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan
membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).7

1. Kelompok-A
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat
dimotivasi untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya
sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat
demam mereda.7

371
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah
progresi hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat
dipulangkan setelah dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali
ke rumah sakit apabila warning signs muncul. Apabila warning signs
muncul maka tindakan selanjutnya adalah:7
a) Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang
hilang akibat demam.
b) Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
c) Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan
keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).

2. Kelompok-B
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada
fase kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:7
a) Adanya warning signs
b) Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum,
hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
c) Perdarahan
d) Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
e) Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
f) Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia
hemolitik, overweight/ obese, bayi, dan usia tua
g) Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa
transpor memadai.

372
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus
dilakukan adalah:7
a) Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu
kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi
2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
b) Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–
10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan
periksa kecepatan cairan infus berkala.
c) Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin
output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus
berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal
ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht
menurun.
d) Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap
1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum
dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah,
dan fungsi organ sesuai indikasi.

Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:7


a) Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9%
atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk
pasien obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan
volume minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-
48 jam.
b) Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin
output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan
trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

373
3. Kelompok-C
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila
mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi
darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat
penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran
plasma atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht
sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah
meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia berkurang, tekanan
darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT
<2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin
output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).

374
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : An. P.T
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 4 tahun
Tempat tinggal : Galala
Pekerjaan :-
Agama : Kristen Protestan
Tanggal masuk rumah sakit : 05 Juni 2018

B. Anamnesis
Keluhan utama : Demam
Anamnesis terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan demam yang sudah dialami sejak 5 hari
sebelum masuk RS, demam dialami pasien terus-menerus. Tidak ada nyeri
kepala, flu (-), batuk (-). Ibu pasien mengaku pasien mengeluh nyeri pada
perut tengan atas sejak kemarin dan pasien juga sempat muntah sebanyak
2x. Nafsu makan pasien berkurang namun minum masih baik. Pasien juga
sempat BAB encer sebanyak 2x, tidak ada lendir maupun darah. Riwayat
bintik-bintik merah pada tangan (-), riwayat mimisan (-), perdarahan gusi
(-). Pasien sempat dirawat di RS Bhayangkara kemarin karena demam
namun hanya diberi infuse 1 kolf lalu pasien disuruh pulang. Keesokan
harinya pasien kembali ke tempat praktek dokter spesialis anak dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium kemudian pasien dirujuk ke RSUD
DR. M. Haulussy untuk dirawat inap.
Riwayat penyakit dahulu : tidak ada riwayat penyakit sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang memiliki
keluhan yang sama.

375
Riwayat pengobatan : pasien sudah diberikan paracetamol oleh ibunya
untuk menurunkan panasnya, namun panas turun sebentar dan kemudian
naik lagi.

C. Pemeriksaan Fisik
Berat Badan : 14 kg status gizi : gizi baik
Tanda-tanda vital : TD : 100/80mmHg, S : 37,7˚C, N : 114x/menit, RR :
36x/menit
Kesadaran : kompos mentis
Wajah : Pucat (-), Ikterik (-)
Mata : Conjungtiva anemis (-)
Telinga : dextra : nyeri tekan (-), nyeri tarik (-), otore (-)
Sinistra : nyeri tekan (-), nyeri tarik (-), otore (-)
Kelenjar limfa : pembesaran KGB (-)
Thorax : Normochest
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Perkusi : sonor
Palpasi : krepitasi (-)
Auskultasi : vesikuler
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : hepatomegali (+)
Perkusi : timpani
Ekstremitas : petekie (-), akral hangat (+/+), Uji Tourniquet (+)

D. Hasil pemeriksaan laboratorium


Hemoglobin : 15,7 gr/dL
Leukosit : 9,1x103/mm3
Trombosit : 11x103/mm3 (trombositopenia)
Hematokrit : 46,0% (hemokonsentrasi)

376
NS1 : Positif (+)
IgG : Positif (+)
IgM : Positif (+)

E. Diagnosis : DBD gr.II


F. Diagnosis Banding
1. Morbili
2. ITP
3. Demam Tifoid
4. Malaria
G. Terapi
IVFD RL 23 tpm
Observasi ketat TTV
H. Anjuran pemeriksaan
Pemeriksaan DR (Tromobosit, leukosit, Hb)
Pemeriksaan rontgen thoraks
I. Resume:
An. P.T, 4 tahun datang dengan keluhan demam, dialami sejak 5 hari
sebelum masuk RS, demam dialami pasien terus-menerus. Pasien juga
mengeluh nyeri pada perut tengah atas sejak kemarin dan sempat muntah
sebanyak 2x. Nafsu makan pasien berkurang, BAB encer sebanyak 2x.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemas, TD:
100/80mmHg, suhu : 37,7˚C, hepatomegali (+), Uji Tourniquet (+),
dengan hasil laboratorium Trombosit: 11x103/mm3 (trombositopenia),
Hematokrit: 46,0% (hemokonsentrasi).
Hasil laboratorium lainnya : NS1 : Positif (+), IgG : Positif (+), IgM :
Positif (+).

377
Tabel 3.1 Follow Up
Hari/tanggal S O A P
Rabu, 06-06- Demam (-), TD: 100/80 DBD grade II IVFD RL
2018 nyeri perut mmHg, 5ml/kgBB/jam
tengah atas (+), S: 36,2˚C Psidii 3x1 cth
makan masih RR: 30x/m Obsevasi ketat tanda-
kurang, minum N: 100x/m tanda vital
sedikit-sedikit. Hepatomegali
(+) Laboratorium: (07.33)
Hematokrit: 35,3%
Trombosit: 18x103
Laboratorium: (14.02)
Hematokrit: 31,8%
Trombosit: 18x103
Kamis, 07-06- Demam (-), TD: 110/80 DBD grade II IVFD RL
2018 nyeri perut mmHg, 3ml/kgBB/jam
tengah atas S: 36,6˚C Psidii 3x1 cth
berkurang, RR: 32x/m
makan sedikit, N: 90x/m Laboratorium: (08.25)
minum sudah Hepatomegali Hematokrit: 34,5%
mulai banyak. (+) Trombosit: 25x103
Ekstremitas :
eritema pada
kedua tungkai
bawah.
Jumat, 08-06- Demam (-), TD: 100/60 DBD grade II Aff infuse
2018 nyeri perut mmHg, Psidii 3x1 cth
tengah atas (-), S: 36,5˚C Pasien boleh pulang
makan sedikit, RR: 28x/m
minum banyak. N: 86x/m Laboratorium: (07.33)
Hepatomegali Hematokrit: 31,6%
(+) Trombosit: 128x103
Ekstremitas :
eritema pada
kedua tungkai
bawah mulai
menghilang.

378
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini pasien anak laki-laki usia 4 tahun datang dengan

keluhan demam dialami sudah 5 hari, demam terus-menerus. Hal ini sejalan

dengan fase febris pada klinis pasien dengan DBD yakni pasien akan mengeluh

demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi hingga

40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas dan biasanya akan bertahan

selama 2-7 hari.7 Selain itu pasien juga mengeluh adanya nyeri pada perut bagian

tengah atas yang disertai dengan muntah dan pada pemeriksaan fisik didapati

adanya pembesaran hepar (hepatomegali). Berdasarkan teori ada yang disebut

dengan warning sign, yang merupakan parameter lain yang juga penting untuk

mengenali progresi ke arah fase kritis. Warning sign tersebut diantaranya adalah

nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, pembesaran hati >2 cm.

Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya penemuan klinis yakni,

pada pemeriksaan uji tourniquet positif, walaupun tidak didapati perdarahan

spontan lainnya. Berdasarkan teori, pada pasien DBD terdapat perdarahan kulit,

uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah

vena. Petekia halus yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila, seringkali

ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat

terjadi disetiap organ tubuh. Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai,

sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya

379
timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti

perdarahan subkonjungtival kadang kadang ditemukan. Pada masa konvalesen

seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki.10 Hal ini sejalan

dengan kondisi pasien setelah hari ke-2 perawatan. Bahwa didapati kedua tungkai

bawah anak muncul eritema.

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium

Trombosit 11x103/mm3 (trombositopenia), hematokrit 46,0% (hemokonsentrasi).

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut mengarah pada DBD,

dimana pada anak yang dicurigai DBD pada hasil laboratoriumnya akan muncul

trombositopenia (trombosit ≤100.000/mikroliter) serta hemokonsentrasi, dilihat

dari peningkatan hematokrit ≥ 20% menurut standar umur dan jenis kelamin.7

pemeriksaan penunjang lainnya yakni pemeriksaan serologi NS-1, IgG, dan IgM

juga menunjukkan hasil yang positif. Menurut teori pada infeksi primer, antibodi

IgM dapat terdeteksi pada hari kelima setelah onset penyakit, yakni setelah jumlah

virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan cepat dan mencapai

puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3

bulan. Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak

dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM.11 Antigen

nonstructural protein 1 (NS1) dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari

pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke

5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).11

380
Terapi pasien DBD adalah terapi suportif, yaitu mengatasi kehilangan

cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat

perdarahan.7 Namun pada kasus dapat dilihat bahwa tidak adanya tanda-tanda

yang membahayakan yang akan membawa anak ke kondisi syok. Namun anak

tetap diawasi dan diobservasi agar apabila terlihat tanda-tanda yang

membahayakan (warning sign) dapat dilakukan tatalaksana yang tepat.

381
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis,


Pencegahan dan Pengendalian. Jakarta. EGC: 1997
2. World Health Organization: Strengthening implementation of the global
strategy for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and
control. Report of the Informal Consultation. World Health Organization.
Geneva: 2000
3. Yolanda N. Waspada demam berdarah dengue. Indonesian pediatric
society. Commited in improving the health of Indonesian children. IDAI;
2016
4. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.
Saunders: 2004
5. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J
Infect Dis 8:69, 2004
6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
7. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.
World Health Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
8. Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever. World Health
Organization Sudan, 2005. Diunduh dari
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
9. Prober, Charles G. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jilid 2, edisi bahasa
Indonesia. Ed.15. Jakarta: 1999
10. Sumarmo S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi Dan Penyakit
Tropis. Ed. Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2002
11. Epstein, Judith E, Stephen Hoffman. Tropical Infection Disease
Principles, Pathogens, and Practice: Typhoid Fever. Elsevier Inc; 2006

382

Anda mungkin juga menyukai