Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN RADIOLOGI Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Agustus 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ILEUS OBSTRUKSI

Oleh:
Musdalifah (C014172095)
Nor Nadzirah Bint Mat Rahim (C014172214)
Adhea Priyanka Indira (C014172155)
Wistanova Refialy (2011-83-017)
Eliot H. Tiven (2009-83-029)

Pembimbing Residen:
dr. Ryan Indra

Dosen Pembimbing:
dr. Sri Asriyani, Sp.Rad(K), M. Med. Ed

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. 1
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PRESENTASI KASUS
1. IDENTITAS PASIEN ...................................................................... 4
2. ANAMNESIS .................................................................................. 4
3. PEMERIKSAAN FISIK …………………………………................. 5
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ……………………………... 7
5. RADIOLOGI ……………………………………………….............. 8
6. DIAGNOSIS ………………………………………………............... 9
7. TERAPI …………………………………………………….............. 9
8. RESUME KLINIS ………………………………………………...... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI ...................................................................................... 11
2. ANATOMI......................................................................................... 12
3. ETIOLOGI......................................................................................... 14
4. PATOFISIOLOGI.............................................................................. 14
5. DIAGNOSIS...................................................................................... 16
6. TATALAKSANA............................................................................ 19
7. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS......................................................... 20
8. PROGNOSIS...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 30

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini


Nama / Stambuk : Musdalifah (C014172174)
Nor Nadzirah Bint Mat Rahim (C014172096)
Adhea Priyanka Indira (C014172155)
Wistanova Refialy (2011 83 017)
Eliot H. Tiven (2009 83 029)
Laporan Kasus : Ileus Obstruksi
Menyatakan bahwa telah menyelesaikan tugas dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin

Makassar, 27 Agustus 2018


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Ryan Indra

Konsulen,

dr. Sri Asriyani, Sp.Rad(K), M.Med


Mengetahui,
Ketua Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

3
BAB I
PRESENTASI KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Tanggal Lahir/Usia : 01 Juli 1947 /36 tahun

No. Rekam Medik : 852914

Pendidikan :-

Pekerjaan : Petani

Alamat : Dusun Tanete

Ruang Perawatan : Lontara 1 atas belakang

Tanggal MRS : 16 Agustus 2018

2. Anamnesis

Keluhan utama : perut membesar

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk rumah sakit dengan


keluhan perut membesar dialami sejak kurang lebih 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan perlahan-lahan. Tidak ada
nyeri perut. Pasien juga mengeluh mual dan muntah setiap kali
makan. Nafsu makan menurun. Demam tidak ada, sesak napas dan
nyeri dada tidak ada, batuk tidak ada. BAK lancar, nyeri tidak ada.
BAB berwarna coklat tua, konsistensi lunak.

Riwayat Penyakit Sebelumnya : Riwayat darah tinggi tidak ada,


riwayat gula tidak ada, riwayat sakit kuning tidak ada. Riwayat
penurunan berat badan dalam 4 bulan sekitar 3 kg.

4
Riwayat Kebiasaan : riwayat minum alkohol ada sejak 3 bulan yang
lalu, riwayat merokok ada sejak ± 20 tahun yang lalu.

C. Pemeriksaan Fisik

: Sakit sedang/gizi cukup/GCS 15 (compos


Keadaaan Umum
mentis)

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 kali/menit

Pernapasan : 22 kali/menit

Suhu : 37,2 oC

Sistem Respirasi

Jalan Napas : Bersih

Irama : Teratur

Kedalaman : Normal

Pola Napas : Normal

Batuk : Tidak ada

Sputum : Tidak ada

Clubbing Finger : Tidak ada

Trachea : Tidak deviasi

Pemeriksaan Kel. Getah


: Tidak
Bening/Massa

Ekspansi Dada : Simetris

5
Pengunaan Otot-Otot
: Tidak
Bantu Napas

Jejas/Trauma : Tidak

Massa : Tidak

Krepitasi : Tidak

Auskultasi : Vesikuler

Sistem Kardiovaskuler

Sianosis, Pucat : Tidak ada

Akral : Hangat

Irama Jantung : Teratur

Distensi Vena Jugularis : IV + 0 cmH2O

Abdomen

: Distended, darm contour ada, darm steifung


Inspeksi
ada.

: Peristaltik kesan meningkat, metallic sound


Auskultasi
tidak ada.

Palpasi : asites ada, shift dullness ada.

Perkusi : Hipertimpani ada

: Tonus spinter ani kuat, mukosa licin, ampulla


kosong, massa tumor tidak ada. Handscoen:
Rectal Touche
Tidak ada feses berwarna coklat, tidak ada
darah, tidak ada lendir, hemoroid eksterna ada.

Neurosensori

Pendengaran : Normal

6
Penglihatan : Normal

Pupil : Normal

Eliminasi

Defekasi : Via Anus, terganggu

Urin : Spontan

Palpebral Edema : Tidak ada

Mata Cekung : Tidak ada

Kult Kelamin

Warna Kulit : Normal

Turgor Kult : Elastis

Risiko Dekubitus : Tidak ada

Luka : Tidak ada

Ekstremitas

Kesulitan Pergerakan : Tidak ada

Keadaan Tonus Otot : Baik

Edem Kaki/Tungkai : Tidak ada

D. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal pemeriksaan: 16/08/2018

HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan Satuan


Darah Rutin
 WBC 8.11 x 03/uL 4-10 x
 RBC 4.56 x 103/uL

7
 HB 106/uL 4-6 x 106/uL
 HCT 12.5 g/dl 12-16 g/dl
 MCV 37.4 % 37-48 %

 MCH 82.0 fL 80-97 fL

 MCHC 27.4 pg 26,5-33,5 pg

 PLT 33.4 g/dl 31,5-35 g/dl


294 x 150-400 x
103/uL 103/uL
Koagulasi
• PT 11.4 10-14 detik
• INR 1.07 --
• APTT 32.5 22.0-30.0 detik
KIMIA DARAH Hasil Nilai Rujukan Satuan
Glukosa
• GDS 71 140 mg/dl
Fungsi Ginjal
• Ureum 38 10 – 50 mg/dl
• Kreatinin 0.70 L(< 1.3), P(<1.1) mg/dl
Fungsi Hati
• SGOT (AST) 60 <38 U/L
• SGPT (ALT) 30 <41 U/L
• Albumin 3.0 3,5 – 5,0 gr/dl
• Protein total 5.2 6.6 - 8.7 gr/dl
• Globulin 2.2 1.5-5 gr/dl
• Bilirubin total 1.52 dewasa (<1.1) mg/dl
• Bilirubin Direk 1.22 dewasa (<0.30) mg/dl
Elektrolit
• Natrium 127 136-145 mmol/l
• Kalium 4.1 3.5-5.1 mmol/l
• Klorida 93 97-111 mmol/l

8
Penanda Hepatitis Non
 HBs Ag (ICT) Reactive Non Reactive
 Anti HCV (ICT) Non Non Reactive
Reactive

E. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto BNO 3 Posisi, tanggal….

Gambar 1 Foto BNO 3 Posisi Posisi LLD

Gambar 2 Foto BNO 3 Posisi Erect dan Supine

9
Hasil Pemeriksaan :

- Udara usus terdistribusi minimal hingga ke distal


- Tampak dilatasi loop-loop usus halus disertai gambaran
herring bone dan multiple air fluid level yang memberikan
gambaran step ladder
- Tidak tampak udara bebas pada subdifragma
- Psoas line kanan sulit dievaluasi, psoas line kiri dan kedua
peritoneal fat line intak.
- Tulang-tulang intak

Kesan: Gambaran Ileus obstruksi.

2. USG Abdomen : tanggal…..

Gambar 3. USG Abdomen

10
Gambar 4. USG Abdomen
Telah dilakukan pemeriksaan USG Abdomen dengan hasil sebagai
berikut :
 Hepar: tampak beberapa massa dengan echo dominan
hiperechoic, batas tidak tegas, permukaan tegas.
 GB, Lien, Pancreas: ukuran dan echo normal, tidak terlihat SOL.
 Kedua ginjal: ukuran dan echo normal, tidak terlihat batu
maupun bendungan.
 VU: dinding tidak menebal, tidak terlihat batu.
 Tampak cairan bebas intraperitoneal.

Kesan :

11
3. MSCT-Scan Abdomen

Gambar 5. MSCT-Scan Abdomen

Gambar 6. MSCT-Scan Abdomen

12
Hasil Pemeriksaan:

- Hepar: ukuran membesar, densitas parenkim dalam batas

normal. Tidak tampak dilatasi ductus biliaris baik intrahepatik

maupun ekstrahepatik, tampak densitas udara bebas pada

duktus hepatikum intrahepatik, tidak tampak dilatasi vaskular.

Tidak tampak densitas SOL.

- GB: dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tidak tampak

densitas SOL/batu.

- Lien: ukuran membesar, densitas parenkim dalam batas normal.

Tidak tampak dilatasi ductus pankreatikus. Tidak tampak

densitas SOL.

- Kedua ginjal: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal.

Tidak tampak dilatasiPCS. Tidak tampak densitas batu/SOL.

- VU: dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tidak tampak

densitas batu/SOL.

- Tampak loop-loop usus, gambaran herring bone dan air fluid

level dengan penebalan (35 HU) dan penyempitan dinding ileum

1/3 distal yang menyangat postkontras (53 HU).

- Tampak densitas cairan bebas pada cavum peritoneum.

- Tidak tampak pembesaran KGB pada aorta abdominalis.

- Tulang-tulang yang terscan intak.

13
Kesan:

 Tumor metastasis ke lobus sinistra hepar suspek metastasis.

 Tumor ileum 1/3 distal disertai small bowel obstruction.

 Pneumobiller hepatiku, bilateral.

 Ascites.

F. Diagnosis Klinis

Ileus Obstruksi

G. Terapi

• IVFD Asering 20 tpm

• Vip albumin 2 cap/8 jam/oral

• Diet Hepar II

• Laparotomi-eksplorasi + colostomy

H. Resume Klinis

Seorang laki-laki berusia 36 tahun datang Pasien masuk rumah sakit

dengan keluhan perut membesar dialami sejak kurang lebih 3 bulan

sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan perlahan-lahan. Tidak

ada nyeri perut. Pasien juga mengeluh mual dan muntah setiap kali

makan. Nafsu makan menurun. BAK lancar, nyeri tidak ada. BAB

berwarna coklat tua, konsistensi lunak. Riwayat penurunan berat badan

14
dalam 4 bulan sekitar 3 kg. Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan

tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan 22 x/menit, dan

suhu 37,2oC. Pemeriksaan fisik ditemukan abdomen tampak distensi,

darm countour (+), darm steifung (+), asites (+), shiffting dullness (+), dan

hipertimpani. Dari hasil radiologi foto BNO 3 posisi menunjukan adanya

gambaran ileus obstruksi.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang me rupakan

tanda adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan

atau tindakan. Ileus ada 2 macam yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.

Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi

lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena

adanya sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam

lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan

vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose

segmen usus tersebut (Guyton A.C, Hall J. E. 2005). Ileus obstruksi dapat

dibedakan menjadi (Paulson EK, 2015) :

1. Obstruksi parsial dimana usus tertutup sebagian dan cairan serta

udara masih dapat lewat.

2. Obstruksi total (atau biasa disebut ileus obstruksi) adalah obstruksi

total dengan satu titik obstruksi.

3. Obstruksi strangulasi menandakan aliran darah yang terhambat

dan dapat menyebabkan iskemik usus, nekrosis, dan perforasi.

4. Loop tertutup, dimana usus tertutup pada dua tempat, hampir selalu

membutuhkan intervensi bedah segera.

16
B. Anatomi

Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang

membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup

panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat

relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung

proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm, tetapi semakin kebawah

lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm

(Guyton A.C, Hall J. E. 2005).

Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian

ini agak tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan

yang relatif lebih penting berdasarkan perbedaan fungsi (Guyton A.C, Hall

J. E. 2005).

Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai

kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh

ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus

dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan

duodenum dan jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum

suspensorium (penggantung). Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus

adalah jejenum, dan tiga perlima terminalnya adalah ileum. Jejenum

terletak di regio abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum

cenderung terletak di region abdominalis bawah kanan. Jejunum mulai

17
pada juncture denojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis

(Guyton A.C, Hall J. E. 2005) (Manif Niko, Kartadinata. 2008).

Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior

abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas

yang dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang

pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding

posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan dari

kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar

mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri

vena mesenterica superior antara kedua lapisan peritoneum yang

membentuk messenterium (Guyton A.C, Hall J. E. 2005) (Manif Niko,

Kartadinata. 2008).

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang

sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis

ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil.

Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus

semakin kecil (Guyton A.C, Hall J. E. 2005) (Manif Niko, Kartadinata.

2008). Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum

terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum.

Sekum menempati dekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.

Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon

dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid.

18
Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus

kanan hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai

hati, kolon ascendens membelok ke kiri membentuk fleksura koli dekstra

(fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio

umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra (Guyton

A.C, Hall J. E. 2005) (Manif Niko, Kartadinata. 2008).

Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke

bawah, membentuk fleksura kolisinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian

menjadi kolon descendens. 6 Kolon sigmoid mulai pada pintu atas

panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia

tergantung kebawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan.

Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum

menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan

oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan

pelvis dengan menembus dasar pelvis. Disisni rektum melanjutkan diri

sebagai anus dalam perineum (Guyton A.C, Hall J. E. 2005) (Manif Niko,

Kartadinata. 2008)..

C. Etiologi

Penyebab ileus obstruksi secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu :

1. Obstruksi yang berasal dari extraluminal (contoh : adhesi, herniasi,

carcinoma, dan abses).

19
2. Obstruksi dari dinding usus (contoh : malrotasi, tuberculosis,

crohn’s disease, dan neoplasma).

3. Obstruksi oleh benda asing di intraluminal (contoh : batu empedu,

enterolith, korpus alienum) (Bazaz R, Tiwari S, dkk. 2017).

Pada pasien yang sebelumnya pernah menjalani operasi abdomen,

penyebab tersering dari ileus obstruksi ialah adhesi, yang menyebabkan

70% dari seluruh kasus ileus obstruksi. Pada pasien yang tidak tidak

pernah menjalani operasi abdomen, penyebab tersering adalah herniasi

dan malignansi. Sekitar 20% dari obstruksi ileus disebabkan oleh tumor

metastasis, namun juga dapat disebabkan oleh tumor primer (Bowker, B.

2015).

Pada bayi baru lahir, penyebab obstruksi usus adalah cacat lahir atau

cacat bawaan, massa yang keras dari isi usus (ileus meconium) atau usus

yang berputar (volvulus). Pada masa anak, biasanya yang menyebabkan

ileus obstruksi adalah intususepsi dan hernia. Strangulasi merupakan

penyebab kematian tersering pada obstruksi usus (Sari N, Ismar, Elda N,

2015).

D. Patofisiologi

Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus

adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan

oleh penyebab mekanik atau non mekanik. Perbedaan utama adalah pada

obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada

20
obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,

dan akhirnya hilang (Ramnarine R, 2017).

Sekitar 6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap

hari. Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon.

Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah adanya lumen

usus yang tersumbat, ini menjadi tempat perkembangan bakteri sehingga

terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang tertelan). Akumulasi

gas dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Apabila

akumulasi terjadi di daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan

tekanan intra abdomen dan intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan

terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air dan

elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan

ekstravasasi menimbulkan retensi cairan di usus dan rongga peritoneum

mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan volume darah (Ramnarine

R, 2017).

Akumulasi gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan

kolapsnya usus sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan

pada vena mesenterika yang mengakibatkan kegagalan oksigenasi

dinding usus sehingga aliran darah ke usus menurun, terjadilah iskemi

dan kemudian nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin

sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya perforasi akan menyebabkan

21
bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi sepsis dan

peritonitis (Ramnarine R, 2017).

Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan

fungsi usus dan peningkatan sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra

lumen secara progresif yang akan menyebabkan terjadinya retrograde

peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini

tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan

dan elektrolit yang berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung

sehingga darah yang dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan

seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak, sel

dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel menyebabkan terjadinya

metabolisme anaerob yang akan meningkatkan asam laktat dan

menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan

menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada

ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus

prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen di

nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3- dan

penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya alkalosis metabolik (Ramnarine R, 2017).

22
E. Diagnosis

a. Diagnosis Klinis

Evaluasi awal setiap pasien dengan kecurigaan ileus

obstruksi adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada

anamnesis, pasien harus ditanya tentang riwayat neoplasia

abdominal, hernia atau hernia perbaikan dan penyakit radang

usus karena kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya

obstruksi. Tanda-tanda obstruksi usus termasuk nyeri perut kolik,

mual dan muntah, distensi abdomen, dan obstipasi (kurang atau

tidak adanya flatus dan gerakan usus). Obstruksi pada bagian

distal memberikan gejala nyeri dan distensi daripada emesis,

sedangkan pasien dengan obstruksi proksimal mungkin memiliki

distensi abdomen minimal tetapi lebih utama emesisnya (Patrick

G. J, Manish R, 2011).

Berdasarkan pemeriksaan fisis, perlu diperhatikan tanda-

tanda vital pasien seperti demam, takikardia, hipotensi, dan/atau

oliguria. Kehadiran hipotensi dan takikardia merupakan indikasi

terjadinya dehidrasi berat. Pada pemeriksaan abdomen, dari

inspeksi dan palpasi diperhatikan sekiranya ada bekas luka dan

seringkali ditemukan distensi abdomen, terutama pada obstruksi

distal di saluran pencernaan. Pada perkusi didapatkan bunyi

timpani dan dari auskultasi pasien dengan obstruksi awal

memberikan bunyi peristaltik kesan meningkat, sedangkan pada

23
obstruksi akhir dapat ditemukan bunyi peristaltic kesan

menurun/menghilang disebabkan saluran usus menjadi hipotonik.

Pemeriksaan ada tidaknya herniasi sangat penting karena ini

merupakan salah satu faktor resiko terjadinya obstruksi.

Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) selalu diperlukan untuk

memeriksa pendarahan internal dan keberadaan feses di ruang

penyimpanan. Pada pasien dengan iskemik usus atau perforasi,

sering didapatkan rigiditas dan tanda-tanda peritonitis (Bowker, B,

2016) (Patrick G. J, Manish R, 2011).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil laboratorium tidak diagnostik tetapi akan membantu

dalam menilai dan mengelola gangguan metabolik yang terkait

dengan obstruksi. Evaluasi laboratorium pada pasien yang

dicurigai obstruksi harus mencakup pemeriksaan darah lengkap

dan metabolik. Hipokalemi, alkalosis metabolik hipokloremik dapat

diperhatikan pada pasien dengan emesis berat. Kadar nitrogen

urea darah meningkat secara konsisten dengan dehidrasi, kadar

hemoglobin dan hematokrit juga mungkin dapat terjadinya

peningkatan. Jumlah sel darah putih (leukosit) dapat meningkat

jika bakteri usus berpindah ke aliran darah, menyebabkan respons

inflamasi sistemik atau sepsis. Perkembangan asidosis metabolik,

terutama pada pasien dengan peningkatan kadar laktat serum,

24
dapat menandakan iskemia usus (Paulson EK, William MT, 2015)

(Bowker, B, 2016).

c. Pemeriksaan Radiologi

Evaluasi awal pasien dengan tanda-tanda klinis dan gejala

obstruksi usus harus mencakup radiografi abdomen polos.

Radiografi dapat dengan cepat menentukan apakah perforasi

usus telah terjadi yang mana udara bebas dapat dilihat di atas hati

pada film tegak atau film dekubitus lateral kiri. Radiografi secara

akurat mendiagnosis obstruksi usus pada sekitar 60 persen kasus,

dan nilai prediksi positifnya mendekati 80 persen pada pasien

dengan obstruksi usus tingkat tinggi. Diagnosis osbtruksi usus

halus (SBO) meningkat secara substansial jika radiografi diperoleh

baik dalam pandangan dependen (supine atau prone) dan non-

dependen (tegak atau dekubitus). Pada pasien dengan obstruksi

usus kecil, pandangan supine menunjukkan pelebaran beberapa

loop usus kecil, dengan kurangnya udara di usus besar. Pasien

dengan obstruksi usus besar mungkin mengalami dilatasi usus

besar, sehingga menyebabkan usus halus dekompresi apabila

katup ileocecal masih kompeten. Film dalam posisi tegak atau

lateral dekubitus kiri dapat menunjukkan air-fluid level yang

mengalir. Temuan ini, disertai dengan kurangnya udara dan feses

di kolon distal dan rectum yang mana sangat sugestif pada

obstruksi usus mekanik (Patrick G, Jackson, Manish R, 2011).

25
Pemeriksaan foto polos harus dilakukan pada posisi supine,

erect (tegak), dan lateral decubitus kiri untuk menilai

pneumoperitoneum, dilatasi usus (>3 cm atau 2,5 cm), air-fluid

level dan distribusi udara ke colon dan rectum. Kehadiran air-fluid

level lebih dari 2,5 cm lebar dan air-fluid level yang berbeda lebih

dari 5 mm dari satu sama lain dalam lingkaran yang sama dari

usus kecil adalah temuan tambahan yang menunjukkan adanya

obstruksi usus kecil pada foto tegak. Jika diagnosis tidak dapat

ditegakkan dengan foto polos, CT scan dapat dilakukan untuk

menentukan lokasi dan derajat obstruksi. CT scan juga dapat

digunakan untuk melihat massa atau hernia (Mullan CP, Siewert B,

Eisenberg RL, 2012).

Gambaran Radiologi dari Ileus Obstruksi


Jenis Foto Gambaran Spesifik
Supine atau 1. Dilatasi usus berisi gas atau cairan (> 3cm)
Prone 2. Distensi abdomen
3. Dilatasi usus halus melebihi ukuran usus
besar
4. Stretch Sign
5. Tidak ada gas pada area rektum
6. Gasless Abdomen
7. Pseudotumor sign
Erect atau Left 1. Multiple air-fluid level
Lateral 2. Air-fluid level lebih panjang dari 2,5 cm
Decubitus 3. Air-fluid level dalam loop usus yang sama
dengan ketinggian yang berbeda

26
4. String or beads sign
Tabel 2. Gambaran radiologis ileus obstruksi (Paulson EK, William MT, 2015)

Gambar 7 Foto polos abdomen Gambar 8. Foto polos abdomen


posisi supine menunjukkan loop posisi tegak menunjukkan multiple
usus yang berdilatasi dan air-fluid level dan gambaran fluid
memberikan gambaran herring bone level yang berbeda ketinggian dalam
appearance (Paulson EK, William loop usus yang berdilatasi (step
MT, 2015).. ladder appearance) (Paulson EK,

27
Gambar 9. Foto polos abdomen pada Gambar 10. Foto polos abdomen pada
posisi tegak menunjukkan gelembung posisi tegak dengan gambaran stretch
udara dan air-fluid level yang sign (udara yang terperangkap di
memberikan gambaran string of pearls valvula conniventes) (Paulson EK,
(Paulson EK, William MT, 2015). William MT, 2015).

Kriteria mayor untuk penegakkan diagnosis ileus obstruksi

dengan menggunakan CT scan adalah dilatasi usus halus >2.5 cm

tanpa dilatasi colon (< 6 cm); terdapat titik transisi antara area usus

yang berdilatasi dan area yang tidak berdilatasi. Sedangkan kriteria

minor untuk penegakkan diagnosis ileus obstruksi dengan

menggunakan CT scan adalah air-fluid level dan kolon yang

terdekompresi. Keuntungan terbesar CT scan dibandingkan dengan

foto konvensional adalah terlihatnya titik transisi dimana usus yang

berdilatasi mengalami transisi ke area usus yang normal. Pada

area inilah dapat ditentukan lokasi dan penyebab dari obstruksi.

Selain itu, CT scan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi

dinding usus, pembuluh darah, dan mesenterium sehingga

28
memungkinkan identifikasi terjadinya iskemik atau infark usus. CT

juga sangat baik untuk mengevaluasi adanya perforasi usus dan

tanda-tanda gas pada extraluminal (Paulson EK, William MT,

2015).

Untuk menegakkan diagnosa secara radiologis pada ileus obstruktif

dilakukan foto abdomen 3 posisi. Yang dapat ditemukan pada

pemeriksaan foto abdomen ini antara lain (Indrayani MN, 2013).

1. Ileus obstruksi letak tinggi, bila mengenai usus halus (dari

gaster sampai ileum terminal):

- Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di

ileocecal junction) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan.

- Coil spring appearance

- Herring bone appearance

- Air-fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder

appearance)

Gambar 11. Small bowel obstruction (SBO) (Indrayani MN, 2013)


2. Ileus obstruksi letak rendah, bila mengenai usus besar (dari

ileum terminal sampai anus):

29
- Dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan di colon)

- Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi

- Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak

pada tepi abdomen

- Air-fluid level yang panjang-panjang di kolon.

Gambar 12. Large Bowel Obstruction (LBO) (Indrayani MN, 2013)

F. Tatalaksana (Non Bedah)


Pada keadaan tidak terdapatnya tanda-tanda strangulasi dan

riwayat muntah yang persisten, pasien dengan adhesive small

bowel obstruction (ASBO) dapat diterapi dengan terapi non operatif

yaitu dengan tube decompression. Dalam kasus apapun, tube

decompression bermanfaat dalam manajemen awal, di samping

upaya resusitasi cairan yang diperlukan dan koreksi

ketidakseimbangan elektrolit. Media kontras oral larut air juga

direkomendasikan sebagai alat diagnostik maupun terapi pada

pasien dengan terapi non operatif. Gastrografin adalah media

kontras yang paling umum digunakan yang mana merupakan

campuran natrium diatrizoat dan megluminediatrizoate,

30
osmolaritasnya adalah 2150 mOsm/L. Ini mengaktifkan gerakan air

ke lumen usus kecil. Gastrografin juga mampu menurunkan edema

dinding usus kecil dan juga dapat meningkatkan aktivitas kontraktil

otot polos sehingga dapat menghasilkan peristaltik yang efektif dan

mengatasi obstruksi. Terapi non operatif dapat diperpanjang hingga

72 jam pada keadaan tidak terdapatnya tanda-tanda strangulasi

atau peritonitis: operasi direkomendasikan setelah 72 jam terapi

non operatif tanpa resolusi. Operasi terbuka biasanya digunakan

untuk pasien dengan ASBO yang disertai strangulasi dan setelah

terapi konservatif gagal. Pada pasien yang tertentu, teknik

laparoskopi juga direkomendasikan. Asam hyaluronik:

carboxycellulose membrane dan icodextrin menurunkan insiden

adhesi dan icodextrin juga dapat menurunkan risiko obstruksi

berulang (Ramnarine R, 2017).

Di ruang gawat darurat, penatalaksanaan obstruksi usus

halus meliputi resusitasi cairan secara agresif, dekompresi usus

dengan menggunakan nasogastrik tube (NGT) untuk mengeluarkan

isi lambung dan mencegah aspirasi, pemberian analgesia dan

antiemetik apabila secara klinis diindikasikan, konsultasi operasi

secara awal dan pemberian antibiotik (antibiotik digunakan untuk

melawan bakteri gram negatif dan organisme anaerob), monitor

jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (ABC), monitor tekanan

darah, dan juga memonitor fungsi jantung khususnya pada pasien

31
lanjut usia atau pasien dengan kondisi komorbid (Ramnarine R,

2017).

G. Tatalaksana (Bedah)

Obstruksi strangulasi merupakan kasus emergensi. Pada

pasien dengan obstruksi total, resiko untuk terjadinya strangulasi

sangat besar dan tatalaksana bedah awal harus segera dilakukan.

Sebesar 25% dari pasien dengan ileus obstruksi akan memerlukan

operasi. Operasi harus segera dilakukan pada pasien dengan

tanda-tanda peritonitis, perforasi, atau iskemik usus. Jika pasien

dengan ileus obstruksi tidak pernah menjalani operasi abdomen

sebelumnya, pertimbangan untuk mengutamakan operasi

eksplorasi. Operasi juga harus dipertimbangkan pada pasien yang

tidak membaik setelah penanganan selama lebih dari 24 jam.

Kebanyakan dari pasien ini akan memerlukan adhesiolisis, namun

beberapa pasien mungkin memerlukan reseksi usus atau tumor

(Theodores et al, 2015).

Sampai saat ini, operasi terbuka merupakan metode pilihan

untuk tatalaksana bedah ASBO (pada pasien yang dicurigai

strangulasi atau setelah gagal manajemen konservatif) dan

laparaskopi hanya dilakukan pada kelompok penderita yang

tertentu (sebaiknya dalam kasus episode pertama ASBO atau

mengantisipasi single band adhesion). Namun, baru-baru ini,

penggunaan laparoskopi mendapat penerimaan luas dan menjadi

32
pilihan yang lebih disukai di pusat-pusat dengan keahlian khusus

dalam penanganan kasus ileus obstruksi karena pendekatan

laparoskopi adalah lebih aman daripada prosedur terbuka, tetapi

hanya di tangan ahli bedah laparoskopi yang berpengalaman dan

pada pasien tertentu (Catena et al, 2016).

Laparaskopi adhesiolisis untuk ileus obstruksi memiliki

beberapa keuntungan antara lain: nyeri-post operasi yang lebih

ringan, kembalinya fungsi usus yang lebih cepat, lama perawatan

yang lebih singkat, pemulihan yang lebih cepat, komplikasi yang

lebih sedikit, dan resiko adhesi post-operasi yang lebih rendah.

Namun. pemilihan pasien untuk dilakukan laparoskopi masih

menjadi isu kontroversial. Berdasarkan penelitian, rekomendasi

satu-satunya kriteria eksklusi mutlak untuk adhesiolisis laparoskopi

pada SBO adalah terkait pneumoperitoneum misalnya,

ketidakstabilan hemodinamik atau gangguan kardiopulmoner.

Kontraindikasi lainnya adalah relatif dan harus dinilai berdasarkan

kasus dan tergantung pada keterampilan laparoskopi dari ahli

bedah. Faktor prediktif yang dilaporkan untuk adhesiolisis

laparoskopi yang berhasil adalah jumlah laparotomi sebelumnya ≤

2, laparotomi sebelumnya non-median, appendektomi sebagai

perawatan bedah sebelumnya yang menyebabkan adhesi, adhesi

pita yang unik sebagai mekanisme patogenesis obstruksi usus

kecil, manajemen laparoskopi awal dalam 24 jam dari timbulnya

33
gejala, tidak ada tanda-tanda peritonitis pada pemeriksaan fisik,

dan pengalaman ahli bedah sendiri (Catena et al, 2016).

H. Differential Diagnosis
A. Ileus paralitik
Ileus paralitik adalah suatu keadaan patofisiologi dimana

terdapat hambatan motilitas pada traktus gastrointestinal dan tidak

terdapat obstruksi mekanik intestinal, yang merupakan suatu akibat

dari gangguan motilitas dan secara spesifik dapat diterangkan

sebagai ileus paralitik atau adinamik ileus.13 Ileus paralitik atau

ileus adinamik bisa disebabkan oleh pasca operasi dan bisa hasil

dari inflamasi intraperitoneal atau retroperitoneal (appendicitis,

diverticulitis, perforasi duodenal ulcer), retroperitoneal atau

intraabdominal hematoma, gangguan metabolik atau pengambilan

obat-obatan yang bisa mempengaruhi kontraksi di usus.14

Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca

operasi abdomen. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara

24-72 jam. Beratnya ileus paralitik pasca operasi bergantung pada

lamanya operasi, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus

berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam

lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan

menimbulkan paralisis usus.14

Pasien biasanya mengeluh perut kembung (oleh karena

distensi abdomen), anoreksia, mual, obstipasi dan mungkin disertai

34
muntah. Nyeri abdomen yang tidak begitu berat namun bersifat

kontinu dan lokasi nyeri yang tidak jelas.14

Pada pemeriksaan fisik, yakni perkusi abdomen dapat ditemukan

perkusi timpani. Pada palpasi, pasien menyatakan perasaan tidak

enak pada perut dan tidak dapat menunjuk dengan jelas lokasi

nyeri. Auskultasi harus dilakukan secara cermat oleh karena dapat

ditemukan bising usus yang lemah, jarang, dan bahkan dapat tidak

terdengar sama sekali. Dapat terdengar low pitched gurgle, suara

berdenting yang lemah yang kadang dapat dicetuskan dengan cara

menepuk perut pasien, atau dapat terdengar suara air bergerak

(succusion splash) saat pasien berpindah posisi.14 Pemeriksaan

radiologi :

Foto polos abdomen “ileus paralitik” 15

35
Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis, membedakan ileus paralitik dengan ileus

obstruksi dan untuk memahami penyebabnya. Sebagai awal, dapat

dilakukan pemeriksaan foto abdomen polos dengan posisi supine

dan tegak. Untuk membedakan ileus paralitik dan ileus obstruksi,

perlu diperhatikan derajat distensi abdomen, volume cairan dan gas

intraluminal. Pada ileus paralitik akan ditemukan Preperitoneal fat

tidak tampak jelas, distribusi udara diseluruh bagian usus, distensi

di seluruh bagian usus dan air fluid level berupa suatu gambaran

line up (segaris). Air fluid level lebih sedikit dibandingkan dengan

ileus obstruksi, bila ada berbentuk memanjang. Selain itu terdapat

gambaran steeplader pattern.13

B. Pseudo-Obstruksi

Acute colonic pseudo-obstruction yang juga dikenal dengan Ogilvie

syndrome. Ogilvie syndrome ini merupakan kondisi dimana terjadi

distensi colonic yang masif tanpa disertai adanya bukti obstruksi

mekanik. Ini berarti tidak ada masa atau penyempitan yang

menyebabkan obstruksi, bahkan usus besar sebenarnya melebar

(dilatasi) secara tidak normal, tampaknya muncul sebagai

konsekuensi dari disfungsi dari saraf yang mengendalikan motilitas

(Bernardi MP, Warrier S, Lynch AC, et al, 2015).

36
Perbedaan keduanya kadang sangat sukar dilakukan. Biasanya

kedua pasien mempunyai keluhan obstruktif yang hampir sama

seperti : mual, muntah dan nyeri abdomen serta distensi abdomen

yang merupakan gejala yang paling umum terjadi. Akan tetapi,

pada pasien dengan syndrome Ogilvie masih mengalami flatus

pada 40 – 50% kasus (De Giorgio R, Knowles CH, 2009).

Syndrome Ogilvie sulit didiagnosis berdasarkan gejala saja. Studi

pencitraan seperti X-Ray dan CT-Scan menggunakan kontras

seperti barium dan kolonoskopi adalah alat yang paling berguna

untuk mendiagnosis. Pemeriksaan radiologi pada syndrome

Ogilvie, dijumpai adanya dilatasi kolon yang masif (Erekson EA, Yip

So, Ciariegio MM, et al, 2011).

Frontal X-Ray. Dilatasi kolon difus


(https://radiopaedia.org/cases/ogilvie-syndrome)

37
CT-Scan. Dilatasi kolon difus tanpa
Bukti adanya distal organik
(https://radiopaedia.org/cases/ogilvie-syndrome)

C. Prognosis

Apabila tidak diatasi, obstruksi intestinal dapat menimbulkan

komplikasi serius dan mengancam nyawa. Apabila terjadi kongesti

pada usus maka kemampuan usus untuk menyerap makanan dan

minuman akan berkurang. Berkurangnya absorbsi akan menyebabkan

pasien muntah-muntah, dehidrasi dan bahkan dapat menimbulkan

syok yang akan menyebabkan gagal ginjal (Basson MD, 2008).

Obstruksi usus juga dapat memotong aliran darah yang menuju

kebagian-bagian usus dan apabila tidak diperbaiki kekurangan darah

38
dapat menyebabkan kematian dinding dan jaringan usus. Kematian

jaringan dapat menimbulkan robekan (perforasi) dinding intestinal

sehingga dapat terjadi peritonitis (Basson MD, 2008).

Peritonitis merupakan kondisi yang sangat mengancam nyawa

dan memerlukan tindakan medis serta pembedahan sesegera

mungkin. Gejala dan tanda dari peritonitis antara lain: nyeri abdominal,

pembengkakan abdomen, mual, muntah, demam, menggigil,

kehausan, output urin yang rendah, cairan pada abdomen,

ketidakmampuan pergerakan usus (tidak bisa flatus dan buang air

besar). Peritonitis juga menyebabkan kondisi pasien sangat rentan

terhadap terjadinya syok. Gejala dan tanda syok meliputi (Basson MD,

2008):

 Kulit yang dingin dan pucat

 Denyut nadi yang cepat dan lemah

 Pernapasan yang abnormal dapat berupa pernapasan yang

lambat dan dangkal atau sangat cepat

 Pupil berdilatasi

Pasien yang mengalami syok bisa berda dalam keadaan


sadar maupun tidak sadar dan syok merupakan keadaan emergensi
yang sangat memerlukan tindakan sesegera mungkin (Basson MD,
2017).

39
DAFTAR PUSTAKA

Basson MD. Colonic obstruction. 2008. Available at:

http//www.emedicine.com. Accessed Oct. 2017

Bazaz R, Tiwari S, Sodhi BS, Kokiloo J. Predictors of Intestinal

Ischemia in Small Bowel Obstruction - A Prospective Study. Int J Sci Stud

2017;5(4):119-124.

Behm B, Stollman N. Postoperative Ileus: Etiologies and Interventions.

Clinical gastroenterology and hepatology 2009;1:71-80. Available at:

http://www.usagiedu.com/articles/ileus/ileus.pdf

Bernardi MP, Warrier S, Lynch AC, Heriot AG. Acute and chronic p

seudoobstruction: a current update. ANZ J Surg. 2015 May 6.

Bowker, B. 2016. Small Bowel Obstruction. Journal American

Academy of Physician Assistants Volume 29 No. 5 May 2016.

40
Catena et al. 2016. Adhesive Small Bowel Adhesion Obstruction :

Evolutions in Diagnosis, Management, and Prevention. World J

Gastrointest Surg 2016 March 27; 8(3): 222-231

Churchill , James D Begg . 2006. Abdominal X-rays Made Easy 2nd

Edition. Elsevier.

De Giorgio R, Knowles CH.2009. Acute colonic pseudo-obstruction. B

r J Surg. 96(3):229-39

Erekson EA, Yip SO, Ciarlegio MM, Fried TR. 2011.Postoperative co

mplication after gynecology surgery. Obstet Gynecol; 118(4):785-93.

Fuller, MJ. 2011. Pnuemoperitoneum. Diunduh dari

http://www.wikiradiography.com/page/Pneumoperitoneum

Guyton A.C, Hall J. E. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-

9. Jakarta: EGC

Indrayani MN, 2013. Diagnosis Dan Tata Laksana Ileus Obstruktif.

Khan, Ali Nawaz. 2011. Pneumoperitoneum Imaging : A Journal

Diunduh dari http://emedicine.medscape.com, pada 23 Agustus 2018

Manif Niko, Kartadinata. 2008. Obstruksi Ileus . Cermin Dunia

Kedokteran. Available on URL:

http://www.portalkalbe.com/files/obstruksiileus.pdf

ME , Breen, Dorfman M, Chan SB. 2008. Pneumoperitoneum Without

Peritonitis: A Case Report. Am J Emerg Med, 26:841. e1-2

41
Mullan CP, Siewert B, Eisenberg RL, 2012. Small Bowel Obstruction.

American Roentgen Ray 1(1): 105-107

Patrick G. Jackson, Manish R, 2011. Evaluation and Management of

Intestinal Obstruction. American Family Physician 83(2): 161

Paulson EK, William MT. 2015. Review of Small Bowel Obstruction :

The Diagnosis and When to Worry. Radiology May 2015;275(2):332-342.

Porter, R.S. 2011. The Merck Manual 19th edition. New Delhi: Merck

Sharp and Dohme Corp.

Ramnarine R. 2017. Small-Bowel Obstruction. Emedicine

Sari N, Ismar, Elda N. 2015. Gambaran Ileus Obstruktif pada Anak di

RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Januari 2012 – Desember

2014. JOM FK Volume 2 No. 2 Oktober 2015.

Schwartz, Shires, Spencer. 2014. Principles of Surgery, Ten edition,

Silberberg , Phillip. 2006. Pneumoperitoneum. Kentucky, USA.

Summers RW. Approach to the patient with ileus and obstruction. In:

Yamada T, Owyang C, Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4th

edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. Pg: 829-842

Theodores et al. 2015. Common Surgical Disease : Third Edition. New

York : Springer

42
Tim Radiologi USU. 2015. Referensi Praktis Buku Kedokteran.

Retrieved May, 20, 2018, from

http/bukusakudokter.org/category/diagnostic-tools/x-ray

43

Anda mungkin juga menyukai