Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,

dan di China disebut batuk seratus hari. Definisi dari pertussis adalah Penyakit

infeksi saluran nafas akut yang ditandai dengan batuk hebat yang disebabkan

Bordetella pertussis. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis

(batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping

cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya

berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,

merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang

yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan

kekebalan yang menurun (Long, 2005).

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian

pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih

kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama

pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik

dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai

menurun (Heininger, 2010).

2.2 Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang

dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Secara
global, menurut WHO sudah ada 151.074 kasus pertussis yang dilaporkan,

dengan 89.000 kematian dari Pertusis pada anak berusia < 5 tahun di 2018,

dengan angka cakupan imunisasi 86%. Epidemi periodik pertusis terjadi

setiap dua sampai lima tahun (Yeung et al., 2017).

Gambar 2.1 Grafik Pelaporan Kasus Pertusis dan Cakupan Imunisasi DTP3 tahun 1980-
2018

Sejak awal 1980-an, kejadian Pertusis telah cenderung meningkat,

beberapa alasan untuk peningkatan ini meliputi fakta bahwa vaksin yang

diterima seorang anak pada akhirnya memudar, selain itu karena cakupan

imunisasi lengkap yang rendah pula menyebabkan kebanyakan remaja dan

orang dewasa rentan terhadap infeksi selama wabah; dan anak tidak

sepenuhnya kebal sampai mereka telah menerima setidaknya tiga suntikan


vaksin dalam periode usia yang direkomendasikan, menyebabkan bayi usia 6

bulan pada risiko tinggi terinfeksi. Perlindungan biasanya berkurang 3 sampai

5 tahun setelah vaksinasi dan tidak terukur setelah 12 tahun (Winter et al.,

2012).

Peningkatan kasus Pertusis yang dimulai pada tahun 1980-an terjadi

pada semua kelompok umur. Meskipun peningkatan terbesar dalam kasus

Pertusis terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, namun insiden

tahunan tertinggi yang dilaporkan adalah pada bayi berusia < 1 tahun.

Mayoritas kematian terjadi di kalangan bayi berusia < 3 bulan (CDC, 2005).

Pada 2012, tingkat penyakit tertinggi kedua, setelah bayi, diamati pada

anak usia 7 sampai 10 tahun. Tingkat Pertusis juga meningkat pada remaja

berusia 13 dan 14 tahun (CDC, 2015). Dalam sebuah studi tentang kasus

Pertusis di empat negara, dari 264 bayi dengan penyakit, ibu bayi adalah

sumber Pertusis di 32% kasus, antibodi dari ibu (transplasental) selama

kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertusis.

Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala

pertusis ringan. Anggota keluarga lain adalah sumber dalam 43% kasus

(Bisgard et al., 2004). Meskipun para ibu secara historis menjadi sumber

transmisi Pertusis yang paling umum untuk bayi mereka, data dari studi

terbaru menemukan bahwa sumber transmisi yang paling umum untuk bayi

adalah melalui saudara kandung mereka (Skwarecki, 2015).


2.3 Etiologi

Gambar 2.2 Bordetella pertussis

Pertusis disebabkan oleh bakteri aerob Bordetella pertusis. Bordetella

pertusis merupakan bakteri kokobasillus, gram negatif, tidak bergerak dan

tidak berspora. Bordetella pertusis memiliki protein antigenik diantaranya

pertactin (PRN), filamentous hemaglutinin (FHA) dan fimbria (FIM). Fimbria

merupakan komponen imunogenik yang berperan dalam aglutinasi.

Hemaglutinin berperan utama dalam perlekatan Bordetella. Pertaktin adalah

protein terluar membran yang berperan dalam pertahanan clearance yang

dilakukan oleh neutrofil di tubuh. B.Pertussis menghasilkan beberapa toxin

diantaranya pertussis toksin (PT), pembeda dengan Bordetella parapertussis,

adenilat siklase toksin (ACT) dan dermonecrotic toksin (DNT) dan trakeal

toksin (TCT). Toksin menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Selain itu,


B.Pertussis juga memiliki lipopolisakarida (LPS) pada dinding sel seperti

halnya bakteri gram negatif lain (Carbonetti, 2015).

Isolasi primer B.Pertussis membutuhkan medium Bordet-Gengou

(agar kentang darah gliserol) yang mengandung penisilin G 0,5 µg/mL dapat
O
digunakan. Cawan diinkubasi pada suhu 35-37 C selama 3-7 hari

dilingkungan yang lembap (misalnya kantong plastic yang disegel). Batang

gram negating kecil berwarna pucat diidentifikasi dengan pewarnaan

imunofluoresens (Jawetz, 2010).

2.4 Patogenesis
Gambar 2.3 Patogenesis Bordetella pertussis

B. Pertusis yang ditransmisikan melalui droplet kemudian melakukan

koloni pada epitel yang bersilia khususnya epitel saluran respirasi bagian

atas. Patogenesis dari B.pertussis meliputi empat tahap diantaranya;

perlekatan, perlawanan terhadap pertahanan pejamu, kerusakan jaringan

lokal dan timbulnya penyakit sistemik (Carbonetti, 2015).


B. Pertussis menghasilkan sejumlah faktor yang terlibat dalam

pathogenesis penyakit. Satu lokus kromosom B. Pertussis bertindak sebagai

sebuah regulator sentral gen-gen virulen. Lokus ini mempunyai dua gen

virulen Bordetella, bvgA dan bvgS. Produk lokus A dan S mirip dengan yang

dikenal sebagai system regulasi dua komponen. bvgS berespon terhadap

sinyal lingkungan sementara bvgA merupakan aktivator transkripsional gen-

gen virulen (Jawetz, 2007).

Hemaglutinin filamentosa memperantarai adhesi ke sel epitel bersilia,

toksin pertussis memicu limfositosis, sensitisasi terhadap histamine,

meningkatkan sekresi insulin, dan mempunyai aktivitas ribosilasi ADP

dengan struktur A/B, serta mekanisme kerja yang mirip dengan toksin kolera.

Hemglutinin filamentosa dan toksin pertussis adalah protein yang

disekresikan dan ditemukan diluar sel-sel B. Pertussis.Toksin adenilat

siklase, toksin dermonekrotik, dan hemolisin juga diatur oleh system bvg.

Sitotoksin trakeamenghambat sintesis DNA pada sel bersilia dan tidak

diregulasi oleh bvg. Pili mungkin berperan dalam pelekatan bakteri ke sel

epitel bersilia saluran pernapasan atas. Lipopolisakarida pada dinding sel

juga dapat berperan penting dalam menyebabkan kerusakan sel epitel

saluran pernapasan (Jawetz, 2007).

Infeksi diawali dengan melekatnya B.pertusis pada sel-sel epitel

bersilia yang difasilitasi oleh adhesin seperti FHA, FIM, dan PRN. PT dan

ACT berperan dalam modulasi aktif pertahanan pejamu. PT merupakan salah


satu faktor virulen utama yang menghasilkan aktivitas biologi beragam seperti

sensitisasi histamin, sekresi insulin dan disfungsi leukosit. PT mencegah

adanya migrasi limfosit dan makrofag di daerah terinfeksi sehingga

menghambat proses fagositosis. Hal inilah yang menyebabkan manifestasi

limfositosis pada pertusis. PT juga diduga sebagai pencetus batuk

paroksismal khas pertusis melalui stimulus bradikinin indirek. ACT terdiri atas

protomer A sebagai aktivator ADP-ribosyltransferase dan oligomer B sebagai

agen binding pada sel target. Domain adenilat siklase pada sel pejamu

memicu peningkatan cAMP sehingga terhambatnya proses fagositosis dan

terjadilah apoptosis sel-sel epitel. Akumulasi PT dan ACT tersebut penyebab

disfungsi sel dan kerusakan jaringan. Selain keduanya, terdapat pula peran

dari TCT melalui mekanisme kompleks interleukin-1 intraseluler dan nitrit

oksida dalam kerusakan jaringan yang kaitannya secara klinis belum

diketahui dengan jelas. Penyebaran sistemik pada pertussis jarang terjadi

namun masih terus ditelusuri mekanisme pasti B.pertusis terhadap

netralisasi sel-sel PMN (Hewlett et al., 2014).

B. Pertusis berkembangbiak pada epitel pernapasan, mulai di

nasofaring dan berakhir di bronkus dan bronkiolus. Pada saluran napas, akan

dijumpai adanya eksudat mukopurulen yang berwarna pink pucat disertai

adanya sel darah merah, yang dapat menekan saluran udara kecil (terutama

pada bayi) dan dapat menyebabkan terjadinya atelektasis, batuk, sianosis,


dan pneumonia (Bisgard, 2004). Parenkim paru dan aliran darah umumnya

tidak diserang; oleh karena itu, laboratorium kultur darah biasanya negatif.

2.5 Manifestasi Klinis

Pertussis umumnya terjadi pada anak-anak tanpa riwayat imunisasi

usia 1-10 tauhun. Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas 3 fase yaitu fase

catarrhal, fase paroksismal atau spasmodik dan fase kovalesens yang

berlangsung selama 6-12 hari. Masa inkubasi berlangsung selama 3-12 hari

(Skoff et al., 2015). Anak yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa mungkin

tidak menunjukkan tanda yang khas pada tiap tahapan yang berbeda. Gejala

pada pasien ini termasuk batuk terus menerus, perasaan tercekik atau

strangulasi, dan sakit kepala. Orang dewasa yang sudah divaksinasi

biasanya hanya bronkitis berkepanjangan, sedangkan orang dewasa yang

tidak divaksinasi lebih mungkin untuk memiliki rejan dan emesis posttussive

(Kline et al., 2013).


Gambar 2.4 3 Fase pada Pertussis

Fase katarrhal (1-2 minggu) diawali dengan gejala nonspesifik seperti

kongesti nasal, rhinorrhea, lakrimasi, batuk ringan, injeksi kojungtiva dan

suhu tubuh demam tidak tinggi. Pada fase ini diagnosis sukar dibedakan

dengan common cold. Kuman mudah diisolasi pada fase ini. Intensitas batuk

kuat yang meningkat dan berlangsung repetitif, hingga 5-10 kali,


menandakan onset dari fase paroksismal (2-6 minggu). Serangan batuk

dapat diikuti usaha inspirasi maksimal dengan bunyi melengking khas

(whooping), tampak dada anak membusung, lidah menjulur, mata menonjol

(bulging), wajah anak tampak kebiruan (cyanosis), salivasi, lakrimasi hingga

muntah (posttussive emeting). Serangan batuk dapat dipicu oleh aktivitas

seperti tertawa, menangis, menguap, makan dan minum. Episode

paroksismal terjadi berulang kali dalam beberapa hari maupun jam (peak

episode) baik pagi maupun malam sehingga penderita umumnya tampak

kelelahan dan dapat pula ditemukan adanya penurunan berat badan akibat

terganggunya asupan oleh karena episode batuk terus-menerus. Fase

kovalesens (1-2 minggu) ditandai dengan berhentinya episode paroksismal

yang lambat laun hilang akan tetapi komplikasi sekunder tetap dapat timbul

(Atkison et al., 2012).

Manifestasi klinis pada bayi <3 bulan tidak menunjukkan tanda-tanda

klasik. Fase catarrhal hanya berlangsung singkat sedangkan fase

paroksismal dan kovalesens cenderung lebih panjang ditandai dengan

episode batuk yang tidak menonjol atau di akhir fase kovalesens baru terlihat.

Batuk dapat diikuti dengan apnea maupun cyanosis yang mendadak atau

keduanya. Hal inilah yang membedakan pertusis dengan infeksi respiratory

synctial virus (RSV) pada neonatal. Pada dewasa maupun anak yang sudah

diimunisasi, ketiga fase tersebut memiliki durasi yang lebih pendek dengan

gejala yang sama akan tetapi setiap berlangsungnya posttusive emesis dan
episode paroksismal terdapat jeda berupa perbaikan kondisi penderita

selama beberapa jam yang merupakan ciri khusus dari diagnosis pertusis

pada dewasa (CDC, 2017).

2.6 Diagnosis

Diagnosis umumnya cukup ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik dengan tanda klinis khas (Waknine, 2013).

Gambar 2.5 Algoritme dalam Mendiagnosis Pertussis

Anamnesis

 Adanya riwayat batuk berat selama 2 minggu atau lebih

 Deskripsi batuk : serangan batuk khas whooping, ada tidaknya muntah

setelah batuk, injeksi subkonjungtiva, rhinorrhea. Bayi <1 tahun

dengan batuk yang disertai henti nafas (apneu) atau sianosis atau

nafas berhenti tanpa batuk

 Riwayat kontak dengan pasien pertusis


 Riwayat imunisasi

 Riwayat demam tinggi untuk tanda infeksi bakteri sekunder, riwayat

kejang

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tergantung pada gejala dari setiap stadium. Pasien

tampak sedikit demam atau tidak demam. Keadaan umum tampak lesu dan

tidak nafsu makan Dapat ditemukan stridor inspiratoir pada auskultasi. Bayi

<1 tahun gejala atipikal dengan episode apneu, batuk minimal atau gejala

gangguan respirasi lain.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pertama yang biasa dilakukan adalah

pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukositnya, pada pasien

pertussis kebanyakan akan ditemukan leukositosis 15.000-100.000/UI

dengan limfositosis pada fase katarhal. Namun hal tersebut tidak berkaitan

dengan prognosis pasien.

Menentukan siapa yang memiliki Pertusis bisa sulit. Bila

memungkinkan, klinisi harus memperoleh nasofaringeal (NP) Swab atau

menyedot dari semua orang dengan dugaan kasus. Sebuah NP yang

diperoleh dengan benar sangat penting untuk hasil yang optimal.

Jika kultur direncanakan, langsung yang NP Swab dikumpulkan

digoreskan di plate atau segera menempatkannya ke dalam medium.

Ilmuwan laboratorium harus meletakkan NP swab ke plate dalam 24 jam.


Spesimen yang sama dapat digunakan baik untuk kultur dan polymerase

chain reaction (PCR). Dengan PCR, tes yang paling cepat, idealnya

mengumpulkan spesimen selama 3 minggu pertama penyakit. Namun, PCR

dapat memberikan hasil yang akurat hingga 4 minggu. Kultur memiliki

spesifisitas yang lebih baik, tetapi membutuhkan waktu hingga 7 hari untuk

mendapatkan hasil. Untuk kuktur, klinisi idealnya perlu mengumpulkan

spesimen selama 2 minggu pertama penyakit.

Gambar 2.6 Cara Nasopharingeal Swab yang Benar

Klinisi umumnya menggunakan beberapa jenis tes laboratorium untuk

mendiagnosis Bordetella Pertusis. Para ilmuwan menganggap kulur

merupakan standar emas karena hanya 100% metode khusus untuk

identifikasi. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan antara lain PCR, serologi,

dan direct fruorescent antibody (DFA) staining.

a) Kultur
Pertumbuhan B. Pertusis dalam kultur rata-rata tiga sampai tujuh hari,

tetapi dapat memakan waktu hingga 10 hari. Kultur organisme juga

diperlukan untuk pengujian kerentanan antimikroba dan molecular typing.

Meskipun kultur bakteri spesifik untuk diagnosis, namun kultur relatif tidak

sensitif (< 60%). Keberhasilan dalam mengisolasi organisme menurun jika

pasien telah menerima terapi antibiotik sebelumnya yang efektif terhadap B.

pertussis, koleksi spesimen telah tertunda di luar dua minggu pertama

penyakit, pengangkutan spesimen ke laboratorium tertunda atau pasien telah

divaksinasi. Tingkat positif tertinggi diperoleh dari bayi. Hal ini tidak optimal

pada remaja dan orang dewasa (CDC, 2014).

Gambar 2.7 Sebuah photomicrograph dari Bakteri Bordetella Pertusis, Menggunakan


Teknik Pewarnaan Gram.

b) PCR

PCR lebih sensitif dan cepat daripada kultur. Meskipun

keunggulan ini, PCR dapat memberikan hasil false negative atau false

positive. Hasil false positive dapat terjadi dari spesimen cross-


contamination selama pengumpulan spesimen dan pengujian. Hasil

false negative meningkat dengan meningkatnya waktu dari onset

batuk (> 4 minggu setelah onset) atau setelah pengobatan antibiotik (>

5 hari).

Reaksi silang dengan spesies Bordetella lain dapat terjadi

karena tidak ada target gen tunggal khusus untuk B. pertussis.

Kombinasi dari beberapa target PCR diperlukan untuk membedakan

antara spesies Bordetella. Sekarang banyak laboratorium hanya

menggunakan PCR untuk mengkonfirmasi Pertusis. Namun, tidak ada

standar tes PCR untuk Pertusis di laboratorium. Selain itu, prosedur

assay, serta kepekaan dan spesifisitas, dapat sangat bervariasi antara

laboratorium (Tatti et al., 2011).

c) Serologi

Penelitian telah menunjukkan bahwa mengukur antibodi IgG titer

untuk toksin Pertusis adalah assay yang paling spesifik dan sensitif, tetapi

perlu dikalibrasikan ke standar referensi untuk single time point assay,

seperti WHO International Standard. Serologi berdasarkan antigen Pertusis

lain harus dihindari. Berbeda dengan penyakit lain, IgM tidak digunakan

untuk mendiagnosis kasus Pertusis karena kurangnya sensitivitas dan

spesifisitas yang memadai.

Serum tunggal harus dianggap positif dalam kombinasi dengan klinis

dicurigai Pertusis. IgG hadir dari 4–12 minggu setelah terjadinya batuk.

Serologi tidak dapat diandalkan pada bayi karena adanya antibodi ibu, dan
tidak peka terhadap anak usia ≤10 tahun. Selain itu, serologi tidak dilakukan

jika pasien melakukan vaksinasi Pertusis dalam tahun terakhir dari segala

usia karena kehadiran vaksin-induced IgG (Bettiol et al., 2010).

d) Direct Fluorescent Antibody (DFA) Staining

Pewarnaan langsung fluorescent antibodi (DFA) dari spesimen

nasofaringeal tidak dianjurkan karena tingginya tingkat false-positif dan

hasil negatif palsu.

Gambar 2.8 Ringkasan Pemeriksaan Penunjaang Berdasarkan Onset Batuk

e) Radiologi

Pada pemeriksaan foto polos thorax dapat ditemukan infiltrasi

perihilar atau edema dengan derajat bervariasi dari atelektasis.

Konsolidasi adalah indikasi infeksi bakteri sekunder atau, jarang,

pneumonia Pertusis. Terkadang, pneumothorax, pneumomediastinum,


atau udara dalam jaringan lunak dapat dilihat. Selain itu ditemukan

gambaran “Shaggy heart”.

Gambar 2.9 Gambaran Foto Polos Thorax pada Anak dengan Pertussis.

2.7 Diagnosis Banding

Penyakit yang meniru klinis Pertusis adalah sebagai berikut (Mattoo et

al., 2005) :

 Batuk spasmodik perlu dicurigai bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik

fibrosis dan penyakit lain dengan limfadenopati. Bronkiolitis tidak

ditemukan batuk dengan whooping dan kultur bakteri. Pneumonia ditandai

dengan adanya demam dan ronchi pada auskultasi serta infiltrat pada

rontgen dada

 Infeksi oleh Adenovirus menyebabkan pertussis-like-illness akan tetapi

ditandai dengan adanya demam, nyeri tenggorokan, dan konjungtivitis


 Infeksi oleh Mycoplasma pneumonia dibedakan dengan episode batuk

yang lebih pendek, adanya riwayat demam, nyeri kepala dan gejala

sistemik lain

Kondisi lain untuk dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial Pertusis

meliputi berikut ini:

 Pilek

 Influenza

 Fibrosis kistik

 Pneumonitis interstisial

 Bronchiolitis

 Croup (Laryngotracheobronitis)

 Dehidrasi

 Kejang demam

 Demam

 Gastroenteritis

 Intususepsi

 Takikardia

 Pneumonia aspirasi

 Pneumonia bakterial

 Virus pneumonia

 Tuberkulosis
Diagnosa diferensial :

 Sindrom pneumonia afebrile

 Asma

 Bronchiolitis

 Klamidia (Klamidial Genitourinary infeksi)

 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan emfisema dalam

pengobatan darurat

 Pengobatan yang muncul gastroenteritis

 Ensefalitis

 Infeksi Mycoplasma pediatrik

 Infeksi virus pernapasan Syncytial

 Trachea badan Asing

2.8 Tatalaksana

Non Farmakologis

Kasus ringan pada.anak-anak umur >6 bulan dilakukan secara rawat

jalan dengan perawatan penunjang. Bila mungkin, sangat penting untuk

memulai pengobatan antibiotik selama 1 untuk 2 minggu pertama sebelum

batuk paroxysms terjadi, semua gejala dapat dikurangi. Perawatan rawat inap

umumnya lebih untuk bayi, terutama yang berusia < 3 bulan; untuk bayi

prematur; untuk anak dengan dasar penyakit paru, jantung, atau


neuromuskular; untuk pasien lain yang mengalami mual dan muntah,

dehidrasi, kegagalan untuk berkembang, kejang, atau ensefalopati; atau

untuk pasien dengan hipoxemia berkelanjutan selama batuk paroxysms dan

yang membutuhkan oksigen (Walsh et al., 2011).

Berikut adalah tatalaksana penunjang non farmakologis (Bocka et al.,

2016) :

Oksigen :

 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas

atau batuk paroksismal berat.

 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,

karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih

dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.

 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak

ada lagi.

 Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada

pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua

sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas :

 Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih

rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi

muntahan dan membantu pengeluaran sekret.


 Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan

tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.

 Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan

manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Perawatan penunjang :

 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang

terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan

tenggorokan dan penggunaan NGT.

 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau

antihistamin.

 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.

 Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan

distres, berikan parasetamol/antipiertik lainnya

 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa

nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk

memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,

berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi

dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan

pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan

terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

Farmakologis
Secara umum, azitromisin adalah antibiotik yang paling

direkomandasikan untuk pasien dari segala usia dan merupakan andalan

pengobatan pada pasien dengan infeksi aktif, bersama dengan terapi gaya

hidup suportif. Agen antimikroba yang dianjurkan untuk pengobatan atau

kemoprofilaksis dari Pertusis adalah golongan makrolida (misalnya,

azitromisin; klaritromisin; dan Eritromisin). Trimethoprim-sulfametoksazol juga

dapat digunakan (Kline et al., 2013). Agen antimikroba yang dimulai awal

dapat mengurangi keparahan gejala dan penyebaran penyakit, serta

berfungsi untuk membantu mengurangi risiko penyebaran dan mencegah

atau meringankan infeksi sekunder (Bettiol et al., 2010).

Tabel 1.  Rekomendasi Agen Antimikrobial untuk Pengobatan dan Profilaksis Pasca
Pajanan untuk Pertussis, Berdasarkan Kelompok Usia (Tiwari et al., 2005)
Agen Primer
Clarithromycin
Usia Azitromisin Erythromycin TMP/SMX
(Biaxin)
(Zithromax)
Digunakan
apabila tidak
Agen yang paling
tersedian
direkomendasikan.
Bayi azitromisin.
Pemberiannya Tidak Kontraindikasi pada
usia <1 Diberikan 40-50
10mg/kg/hri dalam direkomendasikan kernicterus
bulan mg/kg/hari yang
dosis tunggal selama 5
terbagi menjadi 4
hari
dosis pemberian
selama 14 hari
Bayi Dosis pemberian 10 Diberikan 40-50 Dosis pemberian 15 Kontraindikasi pada
usia 1-5 mg/kg/hari dalam dosis mg/kg/hari yang mg/kg/hari yang bayi usia <2 bulan.
bulan tunggal selama 5 hari terbagi menjadi 4 terbagi menjadi 2 Pada bayi usa ≥2
dosis pemberian dosis pemberian bulan, TMP
selama 14 hari selama 7 hari diberikan dengan
dosis 8 mg/kg/hari
dan SMX diberikan
dengan dosis 40
mg/kg/hari yang
terbagi menjadi 2
dosis pemberian
selama 14 hari
TMP diberikan
Dosis pemberian 10
Diberikan 40-50 dengan dosis 8
Bayi mg/kg dalam dosis Dosis pemberian 15
mg/kg/hari mg/kg/hari dan SMX
usia ≥6 tunggal pada hari mg/kg/hari
(maksimal diberikan dengan
bulan pertama, dilanjutkan (maksimal 1 g/hari)
2g/hari) yang dosis 40 mg/kg/hari
dan dengan 5 mg/kg/hari yang terbagi menjadi
terbagi menjadi 4 yang terbagi
anak- (maksimal 500 mg) 2 dosis pemberian
dosis pemberian menjadi 2 dosis
anak mulai pada hari kedua selama 7 hari
selama 14 hari pemberian selama
hingga hari kelima
14 hari
TMP diberikan
Dosis pemberian 500
dengan dosis 320
mg dalam dosis Dosis pemberian Dosis pemberian 1
mg/hari dan SMX
tunggal pada hari 2 g/hari yang g/hari yang terbagi
dengan dosis 1600
Dewasa pertama, dilanjutkan terbagi menjadi 4 menjadi 2 dosis
mg/hari yang terbagi
dengan 250 mg pada dosis pemberian pemberian selama 7
menjadi 2 dosis
hari kedua hingg hari selama 14 hari hari.
pemberian selama
kelima
14 hari

TMP/SMX: trimethoprim/sulfamethoxazole.
TMP/SMX dapat digunakan sebagai agen alternative untuk makrolida pada pasien usia ≥2
tahun yang alergi pada makrolida

Eritromisin, klaritromisin, dan trimethoprim-sulfametoksazol adalah

inhibitor kuat dari CYP3A4 dan enzim CYP2C9, mereka dapat berinteraksi

dengan obat lain yang dikonsumsi oleh pasien. Efek samping yang umum

dari Trimethoprim-sulfametoksazol adalah gangguan pencernaan (yaitu,

mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan) (Tiwari et al., 2005). Untuk bayi

berusia < 1 bulan, azitromisin secara umum ditoleransi dengan baik dan lebih
disukai untuk profilaksis postexposure dan pengobatan karena tidak

menyebabkan infantile hypertrophic pyloric stenosis (Kline et al., 2013).

Golongan makrolida ini mampu menimbulkan risiko prolonged QT dan

mungkin perlu dihindari pada pasien dengan prolonged QT, atau yang

memiliki riwayat torsades de pointes, atau pasien yang mengonsumsi

antiaritmia kelas 1A atau kelas III (Kline et al., 2013). pada bayi usia ≥ 1

bulan, eritromisin, klaritromisin, dan azitromisin lebih disukai untuk

pengobatan pertusis. Trimethoprim-sulfametoksazol merupakan

kontraindikasi untuk bayi berusia < 2 bulan (Tiwari et al., 2005).

Pertimbangkan untuk penggunaan antibiotik postexposure untuk orang yang

berisiko tinggi terkena severe pertusis. Bayi berusia > 1 tahun yang batuk

dengan onset 3 minggu dan bayi berusia < 1 tahun harus divaksinasi

(Spector, 2013). Masih dikembangkan beberapa alternatif terapi pertusis

seperti imunoglobulin anti-PT, bronkodilator, antihistamin, agen leukodeplesi

dan ECMO (extracorporeal membrane oxygenation) untuk mencegah

terjadinya komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai