TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di China disebut batuk seratus hari. Definisi dari pertussis adalah Penyakit
infeksi saluran nafas akut yang ditandai dengan batuk hebat yang disebabkan
(batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya
berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang
yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai
2.2 Epidemiologi
dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Secara
global, menurut WHO sudah ada 151.074 kasus pertussis yang dilaporkan,
dengan 89.000 kematian dari Pertusis pada anak berusia < 5 tahun di 2018,
Gambar 2.1 Grafik Pelaporan Kasus Pertusis dan Cakupan Imunisasi DTP3 tahun 1980-
2018
beberapa alasan untuk peningkatan ini meliputi fakta bahwa vaksin yang
diterima seorang anak pada akhirnya memudar, selain itu karena cakupan
orang dewasa rentan terhadap infeksi selama wabah; dan anak tidak
5 tahun setelah vaksinasi dan tidak terukur setelah 12 tahun (Winter et al.,
2012).
tahunan tertinggi yang dilaporkan adalah pada bayi berusia < 1 tahun.
Mayoritas kematian terjadi di kalangan bayi berusia < 3 bulan (CDC, 2005).
Pada 2012, tingkat penyakit tertinggi kedua, setelah bayi, diamati pada
anak usia 7 sampai 10 tahun. Tingkat Pertusis juga meningkat pada remaja
berusia 13 dan 14 tahun (CDC, 2015). Dalam sebuah studi tentang kasus
Pertusis di empat negara, dari 264 bayi dengan penyakit, ibu bayi adalah
kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertusis.
Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala
pertusis ringan. Anggota keluarga lain adalah sumber dalam 43% kasus
(Bisgard et al., 2004). Meskipun para ibu secara historis menjadi sumber
transmisi Pertusis yang paling umum untuk bayi mereka, data dari studi
terbaru menemukan bahwa sumber transmisi yang paling umum untuk bayi
adenilat siklase toksin (ACT) dan dermonecrotic toksin (DNT) dan trakeal
(agar kentang darah gliserol) yang mengandung penisilin G 0,5 µg/mL dapat
O
digunakan. Cawan diinkubasi pada suhu 35-37 C selama 3-7 hari
2.4 Patogenesis
Gambar 2.3 Patogenesis Bordetella pertussis
koloni pada epitel yang bersilia khususnya epitel saluran respirasi bagian
sebuah regulator sentral gen-gen virulen. Lokus ini mempunyai dua gen
virulen Bordetella, bvgA dan bvgS. Produk lokus A dan S mirip dengan yang
dengan struktur A/B, serta mekanisme kerja yang mirip dengan toksin kolera.
siklase, toksin dermonekrotik, dan hemolisin juga diatur oleh system bvg.
diregulasi oleh bvg. Pili mungkin berperan dalam pelekatan bakteri ke sel
bersilia yang difasilitasi oleh adhesin seperti FHA, FIM, dan PRN. PT dan
paroksismal khas pertusis melalui stimulus bradikinin indirek. ACT terdiri atas
agen binding pada sel target. Domain adenilat siklase pada sel pejamu
disfungsi sel dan kerusakan jaringan. Selain keduanya, terdapat pula peran
nasofaring dan berakhir di bronkus dan bronkiolus. Pada saluran napas, akan
adanya sel darah merah, yang dapat menekan saluran udara kecil (terutama
tidak diserang; oleh karena itu, laboratorium kultur darah biasanya negatif.
usia 1-10 tauhun. Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas 3 fase yaitu fase
berlangsung selama 6-12 hari. Masa inkubasi berlangsung selama 3-12 hari
(Skoff et al., 2015). Anak yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa mungkin
tidak menunjukkan tanda yang khas pada tiap tahapan yang berbeda. Gejala
pada pasien ini termasuk batuk terus menerus, perasaan tercekik atau
tidak divaksinasi lebih mungkin untuk memiliki rejan dan emesis posttussive
suhu tubuh demam tidak tinggi. Pada fase ini diagnosis sukar dibedakan
dengan common cold. Kuman mudah diisolasi pada fase ini. Intensitas batuk
paroksismal terjadi berulang kali dalam beberapa hari maupun jam (peak
kelelahan dan dapat pula ditemukan adanya penurunan berat badan akibat
yang lambat laun hilang akan tetapi komplikasi sekunder tetap dapat timbul
episode batuk yang tidak menonjol atau di akhir fase kovalesens baru terlihat.
Batuk dapat diikuti dengan apnea maupun cyanosis yang mendadak atau
synctial virus (RSV) pada neonatal. Pada dewasa maupun anak yang sudah
diimunisasi, ketiga fase tersebut memiliki durasi yang lebih pendek dengan
gejala yang sama akan tetapi setiap berlangsungnya posttusive emesis dan
episode paroksismal terdapat jeda berupa perbaikan kondisi penderita
selama beberapa jam yang merupakan ciri khusus dari diagnosis pertusis
2.6 Diagnosis
Anamnesis
dengan batuk yang disertai henti nafas (apneu) atau sianosis atau
kejang
Pemeriksaan Fisik
tampak sedikit demam atau tidak demam. Keadaan umum tampak lesu dan
tidak nafsu makan Dapat ditemukan stridor inspiratoir pada auskultasi. Bayi
<1 tahun gejala atipikal dengan episode apneu, batuk minimal atau gejala
Pemeriksaan Penunjang
dengan limfositosis pada fase katarhal. Namun hal tersebut tidak berkaitan
chain reaction (PCR). Dengan PCR, tes yang paling cepat, idealnya
spesifisitas yang lebih baik, tetapi membutuhkan waktu hingga 7 hari untuk
identifikasi. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan antara lain PCR, serologi,
a) Kultur
Pertumbuhan B. Pertusis dalam kultur rata-rata tiga sampai tujuh hari,
Meskipun kultur bakteri spesifik untuk diagnosis, namun kultur relatif tidak
divaksinasi. Tingkat positif tertinggi diperoleh dari bayi. Hal ini tidak optimal
b) PCR
keunggulan ini, PCR dapat memberikan hasil false negative atau false
batuk (> 4 minggu setelah onset) atau setelah pengobatan antibiotik (>
5 hari).
c) Serologi
untuk toksin Pertusis adalah assay yang paling spesifik dan sensitif, tetapi
lain harus dihindari. Berbeda dengan penyakit lain, IgM tidak digunakan
dicurigai Pertusis. IgG hadir dari 4–12 minggu setelah terjadinya batuk.
Serologi tidak dapat diandalkan pada bayi karena adanya antibodi ibu, dan
tidak peka terhadap anak usia ≤10 tahun. Selain itu, serologi tidak dilakukan
jika pasien melakukan vaksinasi Pertusis dalam tahun terakhir dari segala
e) Radiologi
Gambar 2.9 Gambaran Foto Polos Thorax pada Anak dengan Pertussis.
al., 2005) :
dengan adanya demam dan ronchi pada auskultasi serta infiltrat pada
rontgen dada
yang lebih pendek, adanya riwayat demam, nyeri kepala dan gejala
sistemik lain
Pilek
Influenza
Fibrosis kistik
Pneumonitis interstisial
Bronchiolitis
Croup (Laryngotracheobronitis)
Dehidrasi
Kejang demam
Demam
Gastroenteritis
Intususepsi
Takikardia
Pneumonia aspirasi
Pneumonia bakterial
Virus pneumonia
Tuberkulosis
Diagnosa diferensial :
Asma
Bronchiolitis
pengobatan darurat
Ensefalitis
2.8 Tatalaksana
Non Farmakologis
batuk paroxysms terjadi, semua gejala dapat dikurangi. Perawatan rawat inap
umumnya lebih untuk bayi, terutama yang berusia < 3 bulan; untuk bayi
2016) :
Oksigen :
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
ada lagi.
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.
Perawatan penunjang :
antihistamin.
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
Farmakologis
Secara umum, azitromisin adalah antibiotik yang paling
pengobatan pada pasien dengan infeksi aktif, bersama dengan terapi gaya
dapat digunakan (Kline et al., 2013). Agen antimikroba yang dimulai awal
Tabel 1. Rekomendasi Agen Antimikrobial untuk Pengobatan dan Profilaksis Pasca
Pajanan untuk Pertussis, Berdasarkan Kelompok Usia (Tiwari et al., 2005)
Agen Primer
Clarithromycin
Usia Azitromisin Erythromycin TMP/SMX
(Biaxin)
(Zithromax)
Digunakan
apabila tidak
Agen yang paling
tersedian
direkomendasikan.
Bayi azitromisin.
Pemberiannya Tidak Kontraindikasi pada
usia <1 Diberikan 40-50
10mg/kg/hri dalam direkomendasikan kernicterus
bulan mg/kg/hari yang
dosis tunggal selama 5
terbagi menjadi 4
hari
dosis pemberian
selama 14 hari
Bayi Dosis pemberian 10 Diberikan 40-50 Dosis pemberian 15 Kontraindikasi pada
usia 1-5 mg/kg/hari dalam dosis mg/kg/hari yang mg/kg/hari yang bayi usia <2 bulan.
bulan tunggal selama 5 hari terbagi menjadi 4 terbagi menjadi 2 Pada bayi usa ≥2
dosis pemberian dosis pemberian bulan, TMP
selama 14 hari selama 7 hari diberikan dengan
dosis 8 mg/kg/hari
dan SMX diberikan
dengan dosis 40
mg/kg/hari yang
terbagi menjadi 2
dosis pemberian
selama 14 hari
TMP diberikan
Dosis pemberian 10
Diberikan 40-50 dengan dosis 8
Bayi mg/kg dalam dosis Dosis pemberian 15
mg/kg/hari mg/kg/hari dan SMX
usia ≥6 tunggal pada hari mg/kg/hari
(maksimal diberikan dengan
bulan pertama, dilanjutkan (maksimal 1 g/hari)
2g/hari) yang dosis 40 mg/kg/hari
dan dengan 5 mg/kg/hari yang terbagi menjadi
terbagi menjadi 4 yang terbagi
anak- (maksimal 500 mg) 2 dosis pemberian
dosis pemberian menjadi 2 dosis
anak mulai pada hari kedua selama 7 hari
selama 14 hari pemberian selama
hingga hari kelima
14 hari
TMP diberikan
Dosis pemberian 500
dengan dosis 320
mg dalam dosis Dosis pemberian Dosis pemberian 1
mg/hari dan SMX
tunggal pada hari 2 g/hari yang g/hari yang terbagi
dengan dosis 1600
Dewasa pertama, dilanjutkan terbagi menjadi 4 menjadi 2 dosis
mg/hari yang terbagi
dengan 250 mg pada dosis pemberian pemberian selama 7
menjadi 2 dosis
hari kedua hingg hari selama 14 hari hari.
pemberian selama
kelima
14 hari
TMP/SMX: trimethoprim/sulfamethoxazole.
TMP/SMX dapat digunakan sebagai agen alternative untuk makrolida pada pasien usia ≥2
tahun yang alergi pada makrolida
inhibitor kuat dari CYP3A4 dan enzim CYP2C9, mereka dapat berinteraksi
dengan obat lain yang dikonsumsi oleh pasien. Efek samping yang umum
mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan) (Tiwari et al., 2005). Untuk bayi
berusia < 1 bulan, azitromisin secara umum ditoleransi dengan baik dan lebih
disukai untuk profilaksis postexposure dan pengobatan karena tidak
mungkin perlu dihindari pada pasien dengan prolonged QT, atau yang
antiaritmia kelas 1A atau kelas III (Kline et al., 2013). pada bayi usia ≥ 1
berisiko tinggi terkena severe pertusis. Bayi berusia > 1 tahun yang batuk
dengan onset 3 minggu dan bayi berusia < 1 tahun harus divaksinasi
terjadinya komplikasi.