Anda di halaman 1dari 15

PENYAKIT PERTUSSIS

 Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri


Bordetella pertussis. Bordetella pertussis adalah
penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat,
bakteri gram negative pleomorfik yang membutuhkan
lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga
disebut batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau
violent cough. Penularan pertusis melalui droplet
(Marcdante etal., 2011).
 Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas,
yang pertama kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan
menjadi penyakit endemis di Eropa pada tahun 1.600 an
(Altunaiji, 2012).
 Batuk rejan merupakan epidemi pada era
sebelum adanya vaksin, yaitu sebelum
pertengahan 1940 an).Pertussis bisa dicegah
dengan vaksinasi dan sejak adanya imunisasi
rutin, morbiditas dan mortalitas batuk rejan
telah menurun tajam. Meskipun sudah ada
vaksinasi, penyakit tersebut belum diberantas
dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian
selama dua dekade terakhir pada tahun 1990
an.
 Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah
penyebab pertussis dan biasanya menyebabkan
pertussis sporadic (Altunaiji, 2012).B.pertussis
adalah bakteri coccobacillus, menginfeksi saluran
nafas, dan sangat mudah menular melalui droplet
(Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012).
McGirr dan Fisman (2015) menyebutkan bahwa
B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang
menjadi patogen bagi manusia, dengan tidak
diketahui adanya reservoir hewan maupun
lingkungan.
 Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis,
yaitu: fase kataral, paroksismal, dan konvalesen. Fase
paling infeksius adalah fase kataral dan awal fase
paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik (Bolanos et al.,
2011). Masa inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari,
gejala klinis yang terjadi bergantung pada usia ketika
terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan terapi
antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012),
sementara menurut Altuniaji (2012), masa inkubasi
sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-21 hari) dan bisa
terjadi namun jarang, selama 42 hari.
 Manifestasi dari infeksi B.pertussis bermacam-macam
mulai dari asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai
batuk yang tak menentu sampai muntah pasca batuk.
Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti
riwayat infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis
bakteri, dan jenis kelamin. Pasien dengan riwayat
infeksi atau imunisasi tidak terjadi limfositosis dan
berbeda dengan pasien yang baru pertama kali
terinfeksi. Pada pasien pertusis demam bukan
manifestasi klinis utama kecuali terdapat infeksi
sekunder seperti pneumonia (Cherry dan Paddock,
2012). Stadium kataral
 Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama 1-2
minggu
 Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis yang berlangsung
selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi, sehingga pada anak kecil tidak
sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal ini terjadi karena epitel pada saluran
napas mengalami nekrotik selain itu terdapat cairan mukus yang kental yang
menambah keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan inhalasi
pada glottis yang mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal terjadi.
Seringkali pasien akan muntah pasca batuk.
 Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap sekitar 1-
2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara “whoop” juga sudah mulai
menghilang. Walaupun umumnya penyakit ini berlangsung selama 6-8 minggu
akan tetapi batuk masih dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress
fisik ataupun iritasi pada saluran pernapasan.
 Demam
 Batuk yang berat
 Rinorrhea
 Distress pernafasan
 Wheezing
 Kongesti faring
 Berdahak
 Vomitus
 Diare
 Asthenia
 Kongesti abdominal
 Nyeri abdomen
 Nyeri kepala
 Otalgia
 Myalgia
 Gejala klinis pada anak usia lebih dari 16 tahun biasanya tidak khas dan
sulit dibedakan dengan penyakit infeksi pernafasan lain (Miyasitha et al.,
2013).
 Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan
kultur dan uji molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al.,
2015). IsolasiB. pertussis pada spesimen klinis memiliki tingkat
spesifisitas yang tinggi sehingga banyak digunakan untuk
penegakan diagnosis, meskipun tingkat sensitifitasnya bergantung
dari berbagai macam faktor, seperti transportasi dan metode
pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia
pasien, status vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah diterima
sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan dari teknik kultur
tersebut, telah dikembangkan teknik amplifikasi DNA (seperti PCR)
untuk mendeteksi DNA pertusis dengan mentargetregio promoter
dari gen yang mengkode ptxA, elemen insersi IS481 and IS 1001,
gen adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et al., 2015).
 Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai
(Gabutti dan Rota, 2012) :
 Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
 Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama
lebih dari 2 minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
 Serangan batuk yang hebat
 Tarikan nafas yang keras/berat
 Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
 Kriteria laboratorum:
 Isolasi Bordatella pertussis
 Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada
pemeriksaan PCR
 Pemeriksaan serologi positif
 Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis
bila terjadi batuk ≥14 hari dengan minimal 1
dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
 Serangan batuk yang hebat
 Suara nafas keras/berat
 Muntah pasca batuk
 Kriteria laboratorium:
 Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen
klinis
 Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis
 Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan
bahwa terapi profilaksis pertussis memberikan
keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik berhubungan
dengan efek samping dan tidak secara signifikan
memperbaiki gejala klinis, whoop, batuk paroksismal,
jumlah kasus yang berkembang menjadi kultur positif
B. pertussis atau batuk paroksismal lebih dari 2
minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan
kematian pada bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi
lengkap, profilaksis kontak direkomendasikan untuk
keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya sama dengan
regimen terapi (Altuniaji, 2012).
 Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child
Health 7:3: 893–956

 Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD,
Lugg MM, Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With Diphtheria,Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP)
Vaccine andRisk of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA Pediatr. 167(11):1060-1064

 McGirr A, Fisman DN (2015). Duration of Pertussis Immunity AfterDTaP Immunization: A Meta-analysis. Pediatrics. 135 (2): 1-15

 Pérez-Bolaños C, Proenza-AlfonzoLL, Fando-Calzada R (2011). Epidemiology, reemergence of pertussis and vaccinedevelopment in Latin
America: an overview. Revista CENIC Ciencias Biológicas, 42 (3) :153-158

 Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose andPrevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12

 Jackson DW, Rohani P (2013). Review Article: Perplexities of pertussis: recent global epidemiological trends and their potential causes.
Epidemiol. Infect. 1-13.

 Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi E, Odongkara B, Babikako HM, Whalen CC, Okee M, Joloba ML, Musoke PM, Mupere E
(2015). Pertussis Prevalence and Its Determinantsamong Children with Persistent Cough inUrban Uganda, PLOS ONE, 2015: 1-12

 Heininger U (2012). Pertussis:What the Pediatric Infectious Disease Specialist Should Know. The Pediatric Infectious Disease Journal. 31
(1) : 78-79

 Skof Th, Kenyon C, Cocoros N, Liko J, Miller L, Kudish K, Baumbach J, Zansky S, Faulkner A, Martin SW (2015). Sources of Infant
Pertussis Infection inthe United States. Pediatrics, 136 (4) :1-9

Anda mungkin juga menyukai