Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN SURVEILANS WABAH PENYAKIT PERTUSIS

( TUGAS )

Disusun Oleh :
Larassati, S.Ked
G1A219112

Puskesmas :
Paal Merah 1 Kota Jambi

Dosen Pembimbing :
dr. Wahyu Indah Dewi Aurora, M.Km

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2020
BAB I
PPENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertusis (whooping coughAatuk rejan/batuk seratus hari) adalah penyakit
menular pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.
Di dunia terjadi sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan
kematian pada 300.000 kasus (data dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada
anak berusia di bawah 1 tahun. Sembilan puluh persen kasus ini terjadi di negara
berkembang. Serangan pertusis yang pertama tidak selalu memberikan kekebalan
penuh. Jika terjadi serangan pertusis kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu
dikenali sebagai pertusis. Estimasi dari WHO menyatakan bahwa pada tahun 2008
terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia 95% diantaranya terjadi di
Negara berkembang dan mengakibatkan sekitar 19a ribu kematian.
Di Indonesia, angka kesakitan yang disebabkan pertusis dari tahun 2010-2011
berdasarkan laporan STP (SurveiIans Terpadu Penyakit) rata-rata insiden kumulatif 2,
5 per 100.000 penduduk. Bila dilihat dari data tersebut. Kasus pertusis terjadi pada
semua golongan umur, namun kasus tersebar hampir merata pada usia balita (1-4
tahun) hingga dewasa (4-54 tahun). Kasus terbanyak dijumpai pada golongan umur
1-4 tahun.

B. Epidemiologi Penyakit
1. Penyebab Penyakit
Penyebab dari pertusis adalah Bordetella pertussis, yang merupakan suatu
coccobaciłlus gram negative yang bersifat fastidious (sulit dibiak). Selain itu terdapat
parapertusis yang juga bisa menyebabkan penyakit yang mirip pertusis namun tidak
terlalu berbahaya seperti pertusis.
2. Distribusi Penyakit
Penyakit ini sering menyerang anak-anak (khususnya usia dini) tersebar di
seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. Terjadi
penurunan yang nyata dari angka kesakitan pertusis selama empat decade terakhir,
terutama pada masyarakat dimana program imunisasi berjalan dengan baik serta
tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik. Pada anak yang lebih
besar, remaja dan dewasa pertusis sering kali tidak dikenali karena gejalanya sering
kali tidak khas.
3. Reservoir
Reservoir pertusis sampai sekarang manusia dianggap sebagai satu-satunya
hospes (pejamu).
4. Cara Penularan
Penularan terutama melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir
saluran pernapasan dari orang yang terinfeksi lewat udara kepada orang yang rentan,
kemungkinan juga penularan terjadi melalui percikan ludah.
Pada stadium catarria/ pertusis sangat menular dengan angka serangan sekunder
mencapai 90% pada orang-orang yang tidak imun. Penderita yang tidak diobati bisa
menularkan selama 3 minggu atau lebih sejak mulai timbulnya gejala pertusis
meskipun setelah stadium catarrhal potensi penularan menurun. Sedangkan penderita
yang mendapatkan pengobatan antibiotika yang efektif masih bisa menularkan
hingga 5 hari sejak pengobatan dimulai. Pertusis jarang menjadi pembawa kronis
(Chronic carrier). Remaja dan dewasa merupakan sumber transmisi pertusis yang
bermakna kepada bayi
5. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pertusis umumnya 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari). Pertusis
yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa
inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan
hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu
ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat
berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan
setelah terjadinya penyakit. Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari
setelah terinfeksi.
6. Masa Penularan
Penularan pertusis pada stadium kataral awal sebelum stadium paroxysmal
sangat tinggi. Selanjutnya tingkat penularannya secara bertahap menurun dan dapat
diabaikan dalam waktu 3 minggu untuk kontak bukan serum ah, walaupun batuk
spasmodic yang disertai “Whoop” masih tetap ada. Untuk kepentingan
penanggulangan, stadium menular diperluas dari awal stadium kataral sampai dengan
3 minggu setelah munculnya batuk paroxysma/ yang khas pada penderita yang tidak
mendapatkan terapi antibiotika.
7. Gambaran Klinis
Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan
sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi
kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan :
 Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 9-10 hari setelah
terinfeksi) gejalanya menyerupai liur ringan, bersin-bersin, mata berair,
nafsu makan berkurang, lesu, batuk (pada awalnya hanya timbul di malam
hari kemudian terjadi sepanjang hari).
 Tahap Paroksismal (mulai timbul da am waktu 10-14 hari setelah
timbulnya gejala awal). Batuk 5-1 kali diikuti dengan menghirup nafas dalam
dengan nada tinggi (whooping). Setelah beberapa kali bernafas normal, batuk
kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi lagi.
Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan
oleh bayi/anak-anak atau tampaksebagai gelembung udara di hidungnya.
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada
bayi, apneu (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan
dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
 Tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala
awal). Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak
merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya
akibat iritasi saluran pernafasan.
Komplikasi dari pertusis yang pernah dilaporkan adalah bronchopneumonia, kejang,
ensepalopati. Angka kematian di Negara berkembang diperkirakan sebesar 4% pada
anak kurang dari 1 tahun dan 1% pada anak umur 1-4 tahun.
8. Diagnosis
Tanda diagnostik yang paling berguna :
 Batuk paroksisma diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah
 Perdarahan subkonjungtiva
 Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
 Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh
berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk Periksa anak
untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Diagnosis etiologis ditegakkan berdasarkan ditemukannya 8 B. Pertusis dari
specimen nasofaring yang diambil selama fase kataral atau paroksimal awal.
Selain itu pemeriksaan penunjang bisa dilakukan dengan :
 Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang
ditandai dengan sejumlah besar limfosit)
 Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis dengan ELISA
 PCR (Polymerase Chain Reaction) Selanjutnya dapat dilihat pada Pemeriksaan
Laboratorium
9. Pengobatan
- Antibiotik
Pengobatan dengan antibiotika jenis makrolid misalnya eritromisin, azithromisin,
clarithromisin, akan mencegah atau meringankan gejala klinis pertusis bila diberikan
selama masa inkubasi atau stadium kateral awal.
1. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dapat
menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari (rata-rata 3-4 hari)
dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga
menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan
menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan
pertusis untuk bayi muda.
2. AmpisiIin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.
3. Lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin
Bila diberikan pada fase paroksimal obat antibiotika tidak akan mengubah perjalanan
klinis penyakit tapi bisa menghilangkan bakteri dari nasofaring sehingga mengurangi
penularan
- lmunoglobulin
Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium
kataralis.
- Ekspektoransia dan mukolitik
Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali.
- Luminal sebagai sedative.
- Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik.
- Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi
- Betametasol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi
batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.
10. Komplikasi
a) Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia
bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres
pernapasan secara cepat.
b) Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2
menit, beri antikonvulsan
c) Gizi Kurang
Anak dengan pertusisdapat mengalami gizi kurang yang
disebabkanberkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang
dengan asupan makanan adekuat, seperti yang sudah dijelaskan pada perawatan
penunjang.
d) Perdarahan dan Hernia
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada
terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan,
tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

C. Aspek Imunisasi
Imunisasi untuk pencegahan penyakit pertusis di rikan dalam kombinasi dengan
antigen penyakit lain berupa DPT-HB-Hib yang mencakup 5 penyakit (pentavalen)
yaitu Dipteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, dan Haemofilus Influenzae tipe B.
Imunisasi yang diberikan merupakan imunisasi rutin yang dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal dan diberikan pada bayi usia < 1 tahun dan diberikan booster
pada anak usia 18 bulan.
Anak-anak yang tidak diimunisasi umumnya rentan terhadap infeksi. Tidak ada
imunitas trans Placental pada bayi. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak.
Angka insidensi penyakit yang dilaporkan tertinggi pada anak umur dibawah 5 tahun.
Kasus yang ringan atau kasus atypic yang tidak terdeteksi terjadi pada semua
kelompok umur. Setelah infeksi pertusis alami akan terbentuk antibodi pada 80-85%
penderita. Infeksi alami tidak memberikan perlindungan jangka panjang terhadap
pertusis, dan dapat terjadi serangan kedua (diantaranya disebabkan oleh B.
parapertussis).
Vaksin pertusis (dalam kombinasi dengan dipteri dan tetanus) telah menjadi
bagian dari perluasan program imunisasi WHO (exPanded program on immunization)
sejak diperkenalkan tahun 1974, dan pada tahun 2008 sekitar 82% bayi di dunia telah
mendapat 3 dosis vaksin pertusis, dan berhasil mencegah 687.000 kematian.
Selama beberapa dekade program vaksinasi pertusis telah berhasil mencegah
penyakit pertusis yang parah diseluruh dunia. Terdapat 2 macam vaksin pertusis
yaitu :
1. Vaksin whole-cell (wP) yang berasal dari organisme B. Pertusis yang dimatikan.
2. Vaksin ace//u/agaP) yang berasal dari komponen tertentu bakteri yang
dimurnikan.
Reaksi lokal imunisasi pertusis oenderung meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur dan jumlah suntikan. Karenanya vaksin yang mengandung
pertusis tidak direkomendasikan untuk remaja atau dewasa. Berdasarkan
rekomendasi dari iTAG , pemberian vaksin pertusis whole-cell dibatasi sampai
dengan usia 3 tahun. Program imunisasi di Indonesia memberikan imunisasi pertusis
dalam kombinasi dengan difteri, tetanus, Hepatitis B dan Haemofilus influenzae tipe
b (pentavalen) yang diberikan sebanyak 3 kali pada umur 2,d, 4 bulan dan booster
pada usia 18 bulan.

D. Pengertian
Definisi kasus klinis adalah kasus yang didiagnosa oleh dokter atau orang dengan
batuk lebih dari 2 minggu dan dengan salah satu gejala berikut :
- Batuk Paroksismus (batuk terus-menerus)
-Whooping
- Muntah setelah batuk tanpa sebab yang lain
- Apnea dengan atau tanpa sianosis (hanya untuk usia kurang dari 1 tahun)
Sedangkan kriteria untuk kasus konfirmasi laboratorium adalah sebagai berikut :
- Isolasi Bordetella pertussis atau
- Deteksi sekuens genom atau
- Positif paired serology

Karena itu, klasifikasi kasus terdiri atas :


 Konfirmasi Klinis : kasus dengan gejala klinis tanpa konfirmasi laboratorium
 Konfirmasi Laboratorium : kasus dengan gejala klinis dan juga disertai oleh
konfirmasi laboratorium
Definisi kasus klinis dirancang untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus
pertusis bila pemeriksaan lab tidak dilakukan atau negative. Hasil lab bisa negatif
walaupun seseorang benar menderita pertusis.
Pada situasi endemik dan sporadik kasus yang memenuhi kriteria klinis sudah
cukup memadai untuk menentukan kasus pertusis.
Pada situasi KLBbatasan kasus klinis adalah cukup dengan batuk yang berlangsung
selama 2 minggu atau lebih tanpa gejala Iain
BAB II
KEGIATAN SURVEILANS PERTUSIS

Di Tingkat Puskesmas
A. Penemuan Kasus
Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke puskesmas
harus dicari gejala tambahan dan ditentukan apakah memenuhi kriteria klinis pertusis.
Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan untuk
dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala tambahan pertusis lainnya. Bila
kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam format laporan pertusis seperti
dalam lampiran ( ) dan lakukan penyelidikan epidemiologi untuk mencari kasus
tambahan. Bila memenuhi kriteria KLB maka dilakukan penyelidikan KLB
B. Pengambilan Spesimen
Kasus pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil
sampel berupa hapus tenggorok (cara pengambilan lihat di bab laboratorium).
C. Pencatatan dan Pelaporan
Puskesmas mencatat setiap kasus pertusis ke dalam format list pertusis dan
dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota setiap bulan. Contoh format bisa dilihat
dalam lampiran.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Puskesmas melakukan analisis data pertusis yang meliputi antara Iain :
 Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 9 tahun, > 10
tahun)
 Status imunisasi DPT- HB, Hib atau DPT - HB penderita Angka CFR total dan
menurut kelompok umur
 Angka insidensi menurut kelompok umur dan jenis kelamin berdasarkan bulan
dan tahun
BAB III
KLB Pertusis dan Penanggulangannya

A. Definisi Operasional KLB Pertusis


Kriteria KLB Pertusis sesuai dengan kriteria penetapan KLB pada Permenkes No.11
tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat menimbulkan wabah
dan upaya penanggulangan.

B. Penyelidikan Epidemiologi Pertusis


Penyelidikan Epidemiologi dilakukan untuk mengetahui gambaran kelompok rentan
dan penyebaran kasus agar mendapatkan arah upaya penanggulangan. Petugas
membuat kurva epidemi dibuat dalam harian dan mingguan kasus dan atau kematian,
sampai KLB dinyatakan selesai. Tabel dan grafik dapat menjelaskan gambaran
epidemiologi angka serangan (attack rate) dan case fatality rate menurut umur, jenis
kelamin dan wilayah tertentu. Area map dan spot map dapat menggambarkan
penyebaran kasus dan kematian dari waktu ke waktu.
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kasus
lain, terutama pada kelompok rentan dengan cara :
 Kunjungan dari rumah ke rumah seluas perkiraan penularan
 Kunjungan sekolah/tempat kerja kasus
 Mengisi format investigasi/penyelidikan epidemiologi terhadap kasus dan
kontak (semua umur)

C. Penanggulangan KLB Pertusis


 Pengobatan
Kasus klinis/konfirmasi laboratorium diberikan antibiotika eritromisin selama
7-14 hari (maks 3 minggu) dengan dosis untuk anak-anak 40-5 mg/kgbb/hari,
dewasa 2 gram/hari yang masing-masing dibagi dalam 4 dosis.
 Lakukan pemisahan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau yang
tidak diimunisasi lengkap. Pemisahan tersebut berlaku sampai dengan 21 hari
sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak
sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.
 Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan yang belum mendapatkan 4 dosis
DPT-HB atau yang tidak mendapat DPT dalam 3 tahun terakhir harus segera
diberikan suntikan satu dosis setelah terpapar. Dianjurkan pemberian
erythromycin selama 14 hari bagi anggota keluarga dan kontak dekat tanpa
memandang status imunisasi dan umur. Lakukan Investigasi terhadap kontak dan
sumber infeksi : Lakukan pencarian kasus secara dini, cari juga kasus yang tidak
dilaporkan dan kasus-kasus atipik. Oleh karena bayi-bayi dan anak tidak
diimunisasi mempunyai risiko tertular.
 Pengobatan spesifik : Pengobatan dengan erythromycin memperpendek masa
penularan, namun tidak mengurangi gejala kecuali bila diberikan selama masa
inkubasi, pada stadium kataral atau awal stadium Paroxysmal.
Dalam suatu kendisi KLB selain peningkatan cakupan imunisasi pertusis perlu
diberikan antibiotic propilaksis pasca paparan (Post exposure antimicrobial
Propilaksis /PEP) kepada Kontak serumah dari pertusis Orang yang beresiko tinggi
dalam waktu 21 hari sejak terpapar dengan kasus pertusis, yaitu :
- Bayi dan wanita hamil trimester ke-3
- Semua Orang yang kondisi kesehatannya bisa diperburuk oleh infeksi
pertusis misalnya Orang dengan imunocompromised atau penderita dengan
pengobatan asma sedang atau berat
- Kontak erat dari orang-orang di atas
- Masyarakat sekitar yang lebih luas bita KLB terjadi pada lingkungan yang
terbatas dan kasusnya sedikit namun bila KLB meluas tidak dianjurkan
pemberian propilaksis ke masyarakat luas melainkan melakukan monitoring
kepada kontak untuk melihat tanda dan gejala pertusis selama 21 hari.
BAB IV
Pemberian Nomor EPID

A. Pemberian Nomor Epid Kasus Individu di Puskesmas


Setiap kasus pertusis diberi nomer Epid di tingkat puskesmas, caranya sama
dengan cara penomoran kasus AFP, tetapi didahului dengan huruf P dan ditambah
dengan nomor urut puskesmas. Pemberian nomor Epid berurutan selama 1 tahun, dan
pada tahun berikutnya penomoran dimulai kembali dari nomor satu.
Cara penulisan nomor Epid sebagai berikut :
 Digit 1 dan 2 kode provinsi
 Digit 3 dan 4 kode kabupaten/kota
 Digit 5,6 dan 7 kode puskesmas di kabupaten/kota tersebut
 Digit 8 dan 9 kode tahun
 Digit 10, 11, dan 12 kode kasus yang dimulai dengan 001
Contoh :
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kota Banda Aceh, Puskesmas “X” dilaporkan
kasus pertama Pertusis tahun 2012 maka penomoran epid nya adalah : P 12 011 21
BAB V
LABORATORIUM SURVEILANS PERTUSIS

Konfirmasi laboratorium penting karena kuman pathogen lain bisa juga


menyebabkan gejala yang sama dengan pertusis. Kultur B. Pertusis adalah test
diagnostik yang paling spesifik. Semua penderita batuk dengan culture B. Pertusis
yang positif harus dilaporkan sebagai kasus konfirmasi laboratorium (confirme)
walaupun batuknya masih kurang dari 14 hari. Pemeriksaan PCR lebih sensitif
dibanding kultur.

A. Peran Laboratorium
Peran laboratorium pada surveilans pertusis :
- Membantu menegakkan diagnosis pertussis dengan ditemukannya Bordettella
pertussis
- Menentukan tipe pertussis : B. pertussis and B. parapertussis.

B. Penatalaksanaan Spesimen Laboratorium (Pengambilan, Penyimpanan dan


Pengiriman Spesimen) Pertusis
Prinsip keberhasilan pemeriksaan bakteriologi sangat ditentukan dari teknik
pengambilan, penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen.
Seringkali ditemukan proses awal penanganan spesimen yang salah yang berdampak
pada proses pemeriksaan laboratorium. Sebaik apapun metode yang kita gunakan
dalam mendeteksi pemeriksaan laboratorium pertusis akan menjadi sia-sia apabila
penanganan spesimen dilakukan dengan tidak benar. Idealnya pengambilan spesimen
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih karena pengambilan spesimen yang
representatif dan sesuai standar sangat diperlukan untuk kualitas hasil yang
dikeluarkan. Spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah
nasopharyngeal swabs (NPS) atau nasopharyngeal aspirates (NPA). Setelah spesimen
diambil harus segera dibawa ke laboratorium rujukan untuk dilakukan pemeriksaan
atau bila ditunda harus menggunakan medium transport.

- Prinsip pengumpulan spesimen -


Prinsip keberhasilan pemeriksaan bakteriologi sangat ditentukan dari teknik
pengambilan, penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen.
Seringkali ditemukan proses awal penanganan spesimen yang salah yang berdampak
pada proses pemeriksaan kultur. Sebaik apapun metode yang kita gunakan dalam
mendeteksi pemeriksaan kultur difteri, akan menjadi sia-sia apabila jika penanganan
spesimen dilakukan dengan tidak benar. Idealnya pengambilan spesimen dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Pengambilan spesimen yang representatif dan
sesuai standar sangat diperlukan untuk kualitas hasil yang dikeluarkan. Untuk
pengambilan kasus pertusis, sampel nasopharyngeal swabs (NPS) atau
nasopharyngeal aspirates (NPA) setelah pengambilan harus segera dibawa ke
aboratorium rujukan untuk dilakukan pemeriksaan atau bila ditunda harus
menggunakan medium transport.
Medium Transport
Medium transport digunakan bila spesimen yang diambi tidak langsung
dilakukan pemeriksaan segera untuk menjaga viabilitas bakteri dan menjaga
pertumbuhan over grow bakteri lainnya. Media yang sering digunakan sebagai
medium transport sebagai berikut :
 Medium Arnie s dengan charcoal
 Medium Casein hydrolysate 0.5 - 1% : spesimen dalam medium ini dapat
bertahan < 2 jam.
 Medium Regan Lowe (RL) berisi Glycerol,serum,peptones, Charcoal agar
dengan darah kuda dan Cephelaexin, medium dalam medium ini dapat
bertahan lebih dari 24 jam tapi kurang dari 3 hari.
Tangkai swab pada medium amies harus terbuat dari polyester plastik karena jika
menggunakan tangkai dari kayu akan menyebabkan toksik bagi bakteri dan
menghambat pada waktu pemeriksaan PCR.

Persiapan Pengambilan Spesimen


Bahan dan peralatan yang di perlukan untuk pengambilan spesimen dilapangan :
- Peralatan Pelindung diri (APD)
- Jas Lab Sarung tangan Masker
- Tutup Kepala (jika diperlukan) Kantong Biohazard Desinfektan (alkohol 7%)

Peralatan Pengambilan Spesimen :


- Media Transport ( amies, Casein hydrolysate, regan lowe)
- Swab kapas steril (terbuat dari polyester )
- Spatula
Pengiriman Spesimen :
- Ice Pack
- Cool Box
Label Pengiriman
Tissue
Jenis spesimen pemeriksaan :
- Nasopharyngeal Swabs (NPT)
- Nasopharyngeal Aspirates (NPA)

- Cara Pengambilan Spesimen -


Pengambilan spesimen NPS atau NPA harus diupayakan semaksimal mungkin
untuk menghindari kontaminasi sampel dan penularan. Spesimen untuk pemeriksaan
kultur diambi da am kurun waktu kurang dari 2 minggu setelah onset, sementara
pemeriksaan yang dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
dilakukan kurang dari 4 minggu setelah onset.
a) Nasopharyngeal swabs (NPS)
 Pengambilan spesimen pertusis untuk Nasopharyngeal swabs sama dengan
pengambilan difteri
 Siapkan tempat ruangan untuk pengambilan sampel
 Siapkan Transport media Amies/ Medium Casein hydrolysate 0.5-1% /
Medium reagan lowe (RL) (yang sudah diberi label identitas penderita ) dan
kapas swab polyester yang steril
 Gunakan APD (masker, sarung tangan, jas lab) yang telah disiapkan
 Penderita duduk (kalau anak-anak dipangku) atau tidur, kepala
ditengadahkan sampai muka menghadap keatas, petugas berdiri disamping
penderita dan memegang bagian belakang kepala penderita.
 Masukkan swab kapas ke dalam lubang hidung bagian luar nares anterior
usapkan swab dengan memutar dan merata sepanjang rongga hidung sampai
dinding faring, diamkan 2-3 detik agar cairan meresap kekapas. Jangan
menekan kapas swab pada lubang hidung apabila dirasa ada sumbatan .
 Lalu tarik kapas swab keluar dengan hati-hati, masukkan ke dalam medium
transport
 Segera kirim ke spesimen ke laboratorium rujukan

b) Nasopharyngeal aspirates (NPA)


 Siapkan tempat ruangan untuk pengambilan sampel
 Siapkan bahan pengambilan seperti saline 0.9% sebanyak 6 mL, Sterile
feeding tube #8 French dengan panjang 16”, disposible syringe steril untuk
mengambi saline, dan container steril
 Ambil cairansaline steril sebanyak 3 mL menggunakan disposible syringe.
 Kemudian pasang sterile feeding tube #8 French.
 Tekan cairansaline yang ada didisposible syringe secara perlahan melalui
tube feeding sampai ujung selang
 Gunakan APD ( masker, sarung tangan, jas lab ) yang telah disiapkan
 Rebahkan pasien/responden untuk posisi pengambilan spesimen, sampaikan
ke pasien / responden supaya tahan napas
 Masukan ujung selang melalui lubang hidung sampai dengan nasopharing
 Tekan secara perlahan ujung syringe, kemudian tarik kembali, lakukan 2 kali
proses aspirate tersebut.
 Kemudian isi syringe berupa aspirate dimasukan ke dalam kontainer
sterildengan Segera kirim ke spesimen ke laboratorium rujukan
Gambar pengambilan Nasopharyngeal aspirates (NPA)
(sumber California Department of Public Health , February 2011)

- Labeling spesimen -
Tiap spesimen yang diambil harus diberi label /etiket berupa Nama Pasien.
- Penyimpanan -
Apabila sampel Nasopharyngeal swabs (NPS) dan Nasopharyngeal aspirates (NPA)
tidak segera diperiksa dalam 2 jam maka specimen dalam medium transport atau
container harus disimpan pada suhu 2-4°C di lemari es (refrigerator).
- Pengemasan dan pengiriman spesimen -
Pengemasan.
a) Tutup tabung media yang berisi usap tenggorok (NPTI)
b) Masing-masing tabung dibungkus tissue kemudian dimasukkan dalam kantung
plastik klip atau dapat disusun rapi posisi tegak lurus dalam kotak cryo vial/ rak
tabung.
c) Disusun rapi dalam box es (cool box) dan antara tabung spesimen diberi sekat
dengan kertas koran/stereo form untuk menghindarkan benturan selama
perjalanan. Waktu pengemasan harus diperhatikan posisi spesimen (bagian atas
dan bawahnya), jangan sampai terbalik. Jangan ada celah antara tabung. Kotak
pengiriman sebaiknya terdiri dari 2 buah kotak yang berfungsi sebagai kotak
primer dan kotak sekunder dan bagian luar kotak diberi label alamat pengirim
dan alamat yang dituju dengan lengkap, dan label tanda jangan dibalik.
d) Disertakan juga dokumen pendukung data formulir kontak dan data investigasi
serta formulir W1.
e) Untuk spesimen dengan menggunakan Media slicagel packed dapat dikirimkan
pada suhu kamar (Tanpa menggunakan hePack) dengan menggunakan toolbox
yang sama.

Gambar pengepakan spesimen


(Laboratory Biosafety Manual, WHO)

- Pemeriksaan Laboratorium -

Pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan pertusis dapat dilakukan dengan


cara Kultur (ditunjang dengan pemeriksaan miikroskopik, uji biokimia, dan
aglutinasi), pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) Pemeriksaan serologi.
Ketika pemeriksaan kultur dan PCR menunjukkan hasil negatif, pemeriksaan
serologi sangat bermanfaat dimana penderita telah lebih 3 minggu sejak onset
pertusis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk deteksi lgG dan lgA

- Pengiriman Hasil Laboratorium -

Laporan tentang hasil segera dikirimkan ke instansi pengirim, untuk ditindak


lanjuti oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Subdit
Surveilans dan subdit terkait Ditjen P2PL melalui fax/e-mail/pos/SMS

BAB VI
INDIKATOR KINERJA

Indikator kinerja surveilans pertusis :

Kelengkapan Laporan Puskesmas = > 90%

Ketepatan Laporan Puskesmas = 80%

Kelengkapan Laporan Surveilans Aktif Rumah Sakit = >9%

Spesimen Adekuat untuk pemeriksaan laboratorium = >0%


BAB VII
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai