Anda di halaman 1dari 19

PERTUSIS

DEFINISI

• Pertusis adalah infeksi saluran pernaf
asan akut yang disebabkan
oleh berdetellah pertusis. Pertusis
adalah penyakit saluran nafas yang
disebabkan oleh berdetella
pertusisa, nama lain penyakit ini
adalah Tussisi Quinta, whooping
cough, batuk rejan. 
ETIOLOGI
• Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram negative
• tidak berspora
• Berkapsul
• dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi bertahan pada suhu 0-10 derajat C. 
• Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari pasien yang
batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang suseptibel.
• Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, higiene lingkungan dan pribadi yang
buruk, karena penyebaran tidak langsung bisa juga terjadi dari pasien ke lingkungan melalui
sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan host yang baru akan mentransfer kuman ini
sehingga terjadi inokulasi di traktus respiratorius.
EPIDEMIOLOGI

• Angka kematian penyakit ini di negara maju seperti di USA sebesar 5 dari
1000 bayi lahir hidup, sedangkan di negara berkembang sejak tahun 1980,
berdasarkan Expanded Programme on Immunization (EPI) tahun 1992 angka
kematian pertusis anak lebih dari 7 per 1000 kelahiran. Bagaimanapun
angka kesakitan dan kematian setelah usaha EPI 1992 berkurang 60%.
USIA
FAKTOR RESIKO

IMUNISASI DPT
YANG TIDAK
LENGKAP
FAKTOR RESIKO

RIWAYAT KELUARGA

SOSIAL EKONOMI
YANG RENDAH
GEJALA KLINIS
1. STADIUM KATARALIS (1-2 MINGGU)
• Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih,
infeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi.
• Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah
besar oprganisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius.
2. STADIUM PROKSIMAL / STADIUM SPASMODIK
• Frekuemsi dan derajat batuyk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuto oleh usaha
inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), iudara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar.
• Selama serangan wajah merah, sianosis, mata meninjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahsan
sampai terjadi petekiae di wajah (terutama di konjungtiva bulbi.
• Episode batuk proksimal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop
3. STADIUM KONVALENSES (1-2 MINGGU)
• Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentyinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang
berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu.
PATOFISIOLOGI
DIAGNOSIS
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika
penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
• Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai
muntah
• Perdarahan subkonjungtiva
• Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
• Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti
oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
• Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Banding Pertusis Pada Bayi Perlu Dipikirkan
• Bronkiolitis
• Pneumonia Bakterial
• Sistik Fibrosis
• Tuberkulosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk memastikan kondisi
pasien. Pemeriksaan tersebut meliputi:
• Pengambilan sampel lendir dari hidung atau tenggorokan, untuk
melihat apakah dahak penderita mengandung bakteri Bordetella
pertussis.
• Tes darah, untuk melihat apakah terjadi peningkatan sel darah putih
(leukosit) (peningkatan >20.000), yang mengindikasikan adanya infeksi.
• Rontgen dada, untuk melihat kondisi paru-paru dan saluran
pernapasan, termasuk melihat tanda peradangan, seperti infiltrat atau
penumpukan cairan.
PENATALAKSANAAN
Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis
Eritromisin (drug of • < 1 bulan: 40 – 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring ketat karena
choice) beresiko stenosis pylorica
• > 1 bulan: 40 – 50 mg/kgBB/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis selama 14
hari
Azitromisin • < 6 bulan: 10 mg/kgBB selama 5 hari
• ≥6 bulan: 10 mg/kgBB (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama 1
hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari
Claritromisin • < 1 bulan: tidak direkomendasikan
• > 1 bulan: 15 mg/kgBB/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Trimethroprim- • < 2 bulan: kontraindikasi
Sulfamethoxazol • >2 bulan: TMP 8 mg/kgBB/hari, SMX 40 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis
(TMP-SMX) selama 14 hari
Kortikosteroid dan Bronkodilator

• Berguna dalam pengobatan pertusis terutama pada bayi muda dengan


stadium paroksimal
• Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari , 7 – 10 hari. Dan bila gejala sudah
membaik dapat di hentikan (jika penggunaan lebih dari 2 minggu:
tappering off)
• Salbutamol 0,3 – 0,5mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Untuk
mengurangi gejala pada stadium paroksimal. (sebagai mucus cilliar
clearing)
Terapi Suportif

1. Oksigenasi
• Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.
2. Nutrisi
• Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makananyang
berbentuk cair.
• Beri ASI atau cairan per oral
3. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral
4. Tatalaksana jalan nafas
• Selama batuk paroksimal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret.
• Bila anak mengalami episode sianotik, suction( hidung dan tenggorokan)
• Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan
pompa ventilasi dan berikan oksigen.
Pemantauan

• Monitor kemungkinan gangguan respirasi, kesadaran, dehidrasi, serta


anoreksia pada kasus yang memerlukan tindakan rawat di Rumah Sakit
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Amati apakah demam tidak membaik atau bahkan bertambah buruk
setelah terapi hari ke-3, karena mungkin terjadi infeksi sekunder
• Isolasi terhadap kasus sampai hari ke-5 pemberian antibiotik
• Pemberian antibiotik profilaksis kepada kontak erat
PENCEGAHAN
Imunisasi

• Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan
untuk mendapatkan imunisasi aktif.
• Vaksinasi pertusis diberikan bersama – sama dengan vaksin difteri dan tetanus (DPT). Dosis pada
imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
• Anak berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin.
• Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis :
a. anak yang mengalami enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,
b. kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
c. menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari,
d. kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari,
e. Panas ataupun suhu >40,500C dalam 2 hari.
KOMPLIKASI
• Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh
infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
• Kejang
Kejang dapat disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau
enselopati akibat pelepasan toksin.
• Gizi Kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan
makanan dan sering muntah.
• Perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
• Hernia
Hernia Umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
PROGNOSIS

• Mortalitas terutama oleh karena kerusakan otak (ensefalopati),


pneumonia, dan --penyulit paru lain
• Pada anak besar ----> prognosisnya baik
• Dapat timbul sekuele berupa --wheezing pada saat dewasa
REFERENSI
• S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.
• Behram, klieman & Nelson. 2000. ” Ilmu kesehatan anak ”. Jakarta : EGC
• Mansjoer, Arif. 2000.Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
• Top KA. Halperin SA. Pertussisn and Other Bordetella Infection. Dalam: Kasper DL. Hauser SL. Jameson JL. Fauci AS. Longo DL.
Loscalzo J. Penyunting. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th edition. NewYork : McGrawHill
• Sariadji, K. et al. (2016) ‘Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian Luar Biasa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah
yang Dideteksi dengan PCR’, Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 5(1), pp. 51–56. doi: 10.22435/jbmi.v5i1.5151.
• Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology 26th
edition. New York : McGrawHill
• Yeh S, et al. Pertussis infection in infants and children: Clinical features and diagnosis [Artikel dari internet]. [Dikutip Oktober
2017]. Dapat diakses melalui [URL]:
https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-infants-and-children-clinical-features-and-diagnosis
• World Health Organization. Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the management of common childhood
illnesses. 2nd ed. 2013.
• Anonymous. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi-II; 2011. p. 224-228.
THANK YOU!

Anda mungkin juga menyukai