Anda di halaman 1dari 8

Pertusis

1. definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1.500
an dan menjadi penyakitendemis di Eropa pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).Pertusis adalah
penyakit yang sangat menular, dapat dicegahdengan vaksin yang menargetkan saluran pernapasan,
yang disebabkanoleh bakteri Gram-negatif : Bordetella Pertusis dan pada tingkat paling rendah B.
Parapertusis. Namun, perubahan dalam penularan penyakitdiamati di daerah dengan cakupan vaksin
tinggi, menunjukanmemudarnya kekebalan protektif setelah vaksinasi dan/setelah infeksidan
membutuhkan penguat vaksin yang berulang (Zepp, et al, 2011).Menurut Bayhan et al. (2012),
pertussis atau disebut juga dengan
batuk rejan, “whooping cough”, adalah batuk yang ditandai denganadanya suara tarikan nafas yang
keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit
inimerupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis.

2. Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan biasanya menyebabkan pertussis
sporadic (Altunaiji, 2012). B.pertussisadalah bakteri coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan
sangatmudah menular melalui droplet (Espinoza, 2015). B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang
menjadi patogen bagi manusia, dengan tidakdiketahui adanya reservoir hewan maupun lingkungan.
Bordetella pertusis pertama kali ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun1906 (Malvin dan
Jeffrey, 2014). Spesies lain Bordetella,terutama Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica,
dapatmenyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi dalam ekspresi faktor pertusis
mempengaruhi virulensi (Malvin dan Jeffrey,2014).

3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pertussis dibagi menjadi 3 stadium, yaitu :kataral, paroksisismal, dan konvalesen.
Pada setiap stadium berakhirselama 2 minggu (total lama sakit 6 – 8 minggu). Dimulai dengan
masainkubasi 3 – 12 hari (Irianto, 2014).
A. Stadium kataralis (1 – 2 minggu)
Gejala tidak khas, ditandai dengan muncul gejala ineksi saluran pernapasan bagian atas, yaitu
dengan timbulnya rinoroe denganlendir yang cair dan jernih, infeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk dan
panas yang ringan, kongesti nasal, dan anoreksia. Stadium ini sukardibedakan dengan Common Cold ,
namun organisme terdapat dalamdroplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
di isolasi.
B. Stadium paroksisismal ( 1– 4 minggu atau lebih)
Batuk menjadi hebat yang ditandai dengan whoop yang terdengarsaat penderita menarik nafas pada
akhir serangan batuk. Kadangepisode batuk diakhiri dengan muntah. Pada anak
– anak yang lebihtua atau bayi yang lebih muda, bunyi whoop sering tidak terdengar,tetapi penderita
sering dalam keadaan lemas, lelah, apnea, sianosisdan muntah. Pada bayi kurang dari 3 bulan gejala
batuk kurangmencolok karena kekuatan ototnya lemah atau kelelahan, untukmenimbulkan tekanan
negative intratorakal secara mendadak.Stadium ini dapat berlangsung terus selama beberapa bulan
dandapat menjadi lebih berat. Selama serangan, muka penderita menjadilebih merah dan sianosis, mata
tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah, dapat disertai pelebaran pembuluh darah di
kepaladan leher sehingga terjadi perdarahan subkonjungtiva, petekie diwajah dan leher. Di luar
serangan, anak tampak seperti biasa. Setelah1 -2 minggu serangan batuk meningkat hebat, kemudian
menetapdan berlangsung 1 –
3 minggu, kemudian berangsur – angsur menurun dan menghilang.
C. Stadium konvalesen (1 – 2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop danmuntah, dimana serangan batuk
berangsur – angsur menghilang.Pada beberapa penderita dapat terjadi serangan paroksismal
kembalidiikuti stadium kovalesen berulang hingga beberapa bulan hinggatahun. Stadium ini dapat
terjadi berulang – ulang untuk beberapa bulan yang berhubungan dengan infeksi saluran napas bagian
atasdan bukan karena infeksi berulang atau reaktivitasiBordotella Pertusis. Anak yang diimunisasi
mengalami pemendekan padasemua stadium. Bayi kurang dari 3 bulan fase kataral biasanya
terjadiselama beberapa hari.

4. Patofisiologi
Mulainya penyakit, biasanya muncul sebagai akibat pilek tanpademam yang berlanjut dengan suatu
peningkatan jumlah serangan batukyang menjadi hebat dan paroksimal. Biasanya lebih lazim dimulai
padamalam hari, tetapi kemudian lebih banyak batuk selama siang haridengan 20 atau lebih serangan
dalam 24 jam. Anak membuat usaha kerasuntuk membersihkan jalah nafas dari lendir , dan bila ini
dipaksa keluar, maka akan diikuti dengan “rejan” yang khas dan sering muntah. Perkembangan
penyakit pertussis dimulai ketika B. pertussis masuksaluran napas. Bakteri ini melekat pada silia
mukosa saluran pernapasan..Organisme hanya akan berkembang biak jika behubungan dengan epitel
bersilia yang menimbulkan eksudasi mukopurulen. Tracheal cytotoxindan toxin lain diproduksi dan
dilepaskan oleh bakteri ini. Toxin inimerusak cilia dan Respiratory ephitalium sehingga muncul
peradangan.Efek lain munculnya Lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah selepitel torak disertai
infiltrat neutrofil dan makrofag. Lesi biasanyaterdapat pada bronkus dan bronkiolus namun mungkin
terdapat perubahan-perubahan pada selaput lendir trakea, laring dan nasofaring.

5. Pemeriksaan penunjang
Serologi biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi secararetrospektif dengan B. Pertusis pada
remaja atau orang dewasa batukselama lebih dari 3 minggu. Satu-satunya Teknik diagnistik
yangdirekomendasikan untuk mengukur kadar antibody anti-pertusis toksin(satu-satunya toksin
spesifik B. pertussis) adalah ELISA, sedangkanTeknik lan seperti : aglutinasi, fluoresensi tidak
langsung,immunoblotting atau fiksasi komplemen tidak dapat diandalkan. Serologimemiliki beberapa
keterbatasan karena tidak dapat membedakan antaravaksin dan infeksi-respon imunologi yang
diinduksi (infeksi sistomatikatau asimtomatik) dan tidak dapat mendeteksi infeksi B. pertussis (Koing,
2014).

6. komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit beratdan mengarah pada komplikasi seperti
apneu, sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. Menurut Bayhan et al. (2012),
komplikasidari pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis
media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat
(fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati,dan kematian.
Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius danmembutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif
untuk memasang alat bentu pernafasan.Menurut WHO, 2009. Komplikasi dari pertussis adalah sebagai
berikut :
1. Pneumonia
Komplikasi yang sering terjadi pada pertussis dan disebabkan olehinfeksi sekunder bakteri atau
akibat aspirasi muntahan. Tanda yangmenunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat
diantaraepisode batuk, demam dan terjadinya distress pernapasan secaracepat.
2. Kejang
Disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atausianotik, atau ensefalopati akibat
pelepasan toksin.
3.Gizi buruk
Anak dengan pertussis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkanoleh berkurangnya asupan
makan dan sering muntah. Cegah gizikurang dengan asupan makana adekuat.
4. Perdarahan dan hernia
Perdarahan subkonjungtiva terutama di bagian skela yang putih danepistaksis sering terjadi pada
pertussis.

7. Penatalaksanaan
Regimen antibiotik untuk terapi dan profilaksis pertusis (Snyder dan Fisher, 2012)
Obat Dosis dan Sediaan
Azitromisin - < 6 bulan : 10 mg/kg selama 5 hari
- > 6 bulan : 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg
selama 1 hari, kemudian 250 mg/hari selama 2-5 hari
- Dewasa : 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2-5
hari.
Claritromisin - <1 bulan : tidak direkomendasikan
- > 1 bulan : 15 mg/kg/hari (max 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7
hari
- Dewasa : 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan : 40-50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring tepat
karena beresiko stenosis pylorica)
- > 1 bulan : 40-50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari.
- Dewasa : 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
TMP-SMX - < 2 bulan : kontrainfdikasi
- > 2 bulan : TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2
dosis selama 14 hari
- Dewasa : TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan darinasofaring dalam waktu 2 sampai 4
minggu pasca infeksi. Ketika mulaidi awal perjalanan penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik
dapatmempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic
tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit.Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang
disebabkan olehtoksin Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh olehterapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudahdipengaruhi oleh pengobatan,
penggunaan antibiotik namun dapatmengurangi masa penularan (Snyder dan Fisher, 2012).Antibiotik
yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusisuntuk anak berusia lebih dari 1 tahun adalah
makrolid, sepertieritromisin, claritromisin, dan azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari
1 tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisinatau claritromisin intravena (Bayhan et al.,
2012).Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkanazitromisin adalah obat yang
memiliki efek samping gastrointestinalyang lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem sitokrom
P450.Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan
untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran.Sementara menurut Bayhan et al. (2012),
claritromisin sangat efektif danaman untuk terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan
kesulitanmakan.Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan pertussis
efektif dalam mengeliminasi B. pertussis agar tidakmenular tetapi tidak mengubah perjalanan klinis
dari penyakit. Regimenantibiotik yang efektif antara lain :
 Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBBsekali sehari pada hari kedua
hinga hari ke-15 terapi).
 Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
 Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
 Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Menurut WHO, 2009. Kasus ringan pada anak- anak umur ≥ 6 bulan dilaksanakan secara rawat jalan
dengan perawatan penunjang.Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan
pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama. Ataukebiruan setelah batuk.Pemberian
penatalaksanaan yang diberikan berupa :
1. Antibiotic
Berikan Eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10hari atau jenis makrolid
lainnya. Hal ini tidak akan memperpendeklamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.
2. Oksigen
Beri oksigen padan anak bila pernah terjadi sianosis atau berhentinapas atau batuk paroksismal
berat. Gunakan simple mask, jangnkateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu
batuk.Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mucus agar tidakmenghambat aliran oksigen.
Terapi dilanjutkan bila gejala tidak adalagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa simple
mask berada diposisi yang benar dan tidak tertutup oleh mucus dan bahwasemua sambungan
aman.Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan kepala lebihrendah dalam posisi telungkup,
atau miring, untuk mencegah aspirasimuntahan dan membantu pengeluaran secret. Bila anak
mengalamiepisode sianosis, isap lendir dari hidung dan tenggorokan denganlembut dan hati-hati. Bila
apnu, segerah bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan
berikan oksigen.
8. Kemungkinan Diagnosa Muncul
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresiyang tertahan.
b.Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upayanafas (nyeri saat bernafas)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis(inflamasi)
d. Defisit Nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis(keengganan untuk makan).
e. Hipertermia berhubungan dengan kejadian ikutan pasca imunisasi DPT

9. intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresiyang tertahan. Intervensi keperawatan :
1) Auskultasi bunyi nafas (misal : mengi)R/ untuk mengidentifikasi adanya obstruksi jalan
nafas yang membahayakan oksigenasi.
2) Kaji /pantau frekuensi pernafasan.R/ untuk mengetahui adanya penurunan dan
peningkatanfrekuensi pernafasan.
3) Berikan pasien posisi semi fowler.R/ untuk membantu memaksimalkan ekspansi paru.
4) Ajarkan pasien melakukan batuk efektif.R/ untuk membersihkan jalan nafas dan
membantukomplikasi pernafasan.
5) Anjurkan untuk minum air hangat. R/ untuk membantumengencerkan sekret.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obatantibiotik.R/ untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan meringankan batuk
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upayanafas (nyeri saat bernafas). Intervensi
keperawatan:
1) Auskultasi bunyi nafas (misal: mengi) R/ untuk mengidentifikasi adanya obstruksi jalan
nafas yangmembahayakan oksigenasi.
2) Kaji/pantau frekuensi pernafasanR/ untuk mengetahui adanya penurunan dan
peningkatanfrekuensi pernafasan.
3) Berikan pasien posisi semi fowlerR/ untuk membantu memaksimalkan ekspansi paru.
4) Ajarkan pasien melakukan batuk efektif R/ untuk membersihkan jalan nafas dan
membantumencegah komplikasi pernafasan.
5) Berikan obat sesuai indikasi seperti eritromisin, kodein,ampisilin, dan lain-lain.R/ untuk
memperpendek kemungkinan penyebaran infeksidan untuk meringankan batuk..
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis(inflamasi). Intervensi keperawatan :
1) Tentukan karakteristik nyeriR/ untuk membantu mengevaluasi tingkat nyeri
2) Berikan posisi yang nyamanR/ untuk mengurangi rasa nyeri
3) Dorong pasien untuk menyatakan perasaan nyeriR/ takut dapat meningkatkan tegangan
otot dan menurunkanambang persepsi nyeri
4) Berikan lingkungan yang tenangR/ untuk meningkatkan mekanisme koping
5) Berikan analgesik sesuai indikasi (kolaborasiR/ untuk memperbaiki fungsi pernafasan dan
menguranginyeri.
d.Defisit nutrisi berhubungan faktor psikologis (keengganan untukmakan. Intervensi keperawatan :
1) Timbang berat badan pasien secara rutinR/ untuk mengetahui adanya peningkatan berat
badan pasien.
2) Catat status nutrisi.R/ untuk mengetahui pemasukan makanan.
3) Awasi pemasukan/pengeluaran makanan secara periodik.R/ berguna dalam mengukur
jumlah nutrisi
4) Anjurkan untuk banyak istirahat.R/ membantu menghemat energi khususnya bila
metabolikmeningkat saat demam.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk meningkatkankomposisi diit.R/ memberi bantuan dalam
perencanaan diit.
e.Hipertermia berhubungan dengan kejadian ikutan pascaimunisasi DPT. Intervensi keperawatan :
1) Berikan buli-buli hangat pada daerah aksila dan lipatan pahaR/ untuk menurunkan deman pasca
imunisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics forwhooping cough (pertussis)
(Review). Evid.-Based Child Health7:3: 893 – 956

Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinicalcharacteristics and
treatment of pertussis patients in a tertiary center over afour-year period. The Turkish Journal of
Pediatrics, 54 : 596-60
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al(2015). BioMed Central
Infectious Disease, 15: 554

Irianto, Koes, 2014. Ilmu Kesehtanan Aank. Yogyakarta: Alfabeta.

Kumpulan Asuhan Keperawatan (Askep Pertusis), 2012.

Kusumawati, Endah dan Awang Teja Satria.2017.


Pengaruh Pemberian Buli-Buli Hangat pada Daerah Aksila dan Lipatan Paha Terhadap Penurunan
Demam Pasca Imunisasi DPT Hari ke-3 pada Bayi Usia 2-6 Bulan di Desa Wajak Kabupaten Malang
, Volume 5, No.1:25-32. Malang:Universitas Tribhuwana Tunggadewi.

Maimunah.2017.
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pelaksanaan Imunisasi Dasar pada Bayi di Desa Karang Sari Huta
3 Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun,
Volume 15, No.29:31-37.Medan:STIKES Flora.

Melvin, Jeffrey A (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and futurechallenges.

Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 : 412

Tjahjowargo, Sendy dan Hartono Gunardi.2017.


Laporan Kasus Berbasis Bukti Perbandingan Efektivitas dan Keamanan Vaksin Pertusis Aselular
danWhole-cell,Volume 18, No.5:403-408. Jakarta: Fakultas Kedokteran,Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai