I.
PENDAHULUAN
Pertusis, atau batuk rejan, adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
EPIDEMIOLOGI
Pada abad ke 20, pertusis adalah salah satu penyakit terbanyak pada anak-
anak dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas anak-anak di Amerika
Serikat. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis pada tahun 1940, lebih dari 200.000
kasus pertusis setiap tahunnya. Sejak penggunaan vaksin mulai dilakukan secara luas,
insiden dari penyakit ini menurun lebih dari 80% jika dibandingkan dengan pada
masa belum ditemukannya vaksin. (1, 2)
dihasilkan oleh bakteri pertusis dapat melindungi organisme tersebut agar terhindar
dari sistem imun host. Walaupun terdapat limfositosis, namun bisa terdapat kegagalan
pada kemotaksisnya. Hingga saat ini belum dipikirkan bahwa B. pertusis dapat
menginvasi jaringan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bakteri ini ditemukan
pada makrofag alveolar. (1, 2)
Penularan penyakit ini paling sering melalui droplet, atau melalui udara.
Penyakit ini tidak ada musimnya, namun kasus paling banyak pada musim semi dan
musim gugur. (4)
Bordetella pertussis menular dari orang satu ke orang lainnya dengan cara: (1)
Kontak langsung dengan sekresi dari nasopharyngeal penderita, atau melalui (2)
kontak dengan droplet dari sekresi nasopharyngeal penderita. Droplet dapat keluar
pada saat penderita batuk, bersin, ataupun berbicara dan dapat juga pada saat
melakukan tindakan medis seperti bronkoskopi atau pada saat melakukan suction.
Partikel-partikel ini dapat menular melalui udara dalam jarak sekitar 3 kaki. (5)
IV.
DIAGNOSIS(5)
Masa inkubasi pertusis paling sering selama 7-10 hari, dengan waktu antara 4-
21 hari, dan jarang lebih lama dari 42 hari. Gejala klinis yang tampak dibagi dalam
tiga stadium. (1, 2)
Tahapan stadium, adalah stadium kataral, ditandai dengan adanya onset
tersembunyi dari pilek, bersin-bersin, demam ringan hingga febril, kadang-kadang
ada batuk, lebih mirip dengan common cold. Batuk secara bertahap menjadi lebih
parah, dan setelah 1-2 minggu, masuk pada stadium kedua, atau disebut dengan
stadium paroxysmal. Demam menjadi seperti gejala utama pada penyakit ini. (1, 2)
Selama masa stadium paroxysmal, diagnosis pertusis biasanya sudah mulai
terlihat. Gejalanya adalah batuk yang diikuti dengan rasa terbakar, atau tiba-tiba, atau
batuk yang sering untuk beberapa kali, dan terlihat sulit untuk mengeluarkan lender
yang sangat kental dari daerah trakheobronkial. Pada akhir masa stadium paroxysmal,
usaha menarik nafas panjang pada saat inspirasi diikuti dengan suara yang nyaring.
Selama masa serangan tersebut, pasien biasa dapat saja menjadi sianosis (terlihat
membiru). Terutama pada anak-anak dan bayi yang masih kecil akan terlihat sangat
sakit dan terdapat distress. Mual dan anak terlihat lelah sering kali tampak ada pada
episode stadium ini. (1, 2)
Serangan paroksismal terjadi lebih sering pada malam hari, dengan rata-rata
serangan sebanyak 15 kali per 24 jam. Selama 1 minggu pertama dan 2 minggu
pertama stadium ini, frekuensi serangannya meningkat, dan akan bertahan begitu
hingga 2 hingga 3 minggu, dan akan menurun secara perlahan. Pada stadium
paroksismal biasanya berlangsung selama 1 hingga 6 minggu, namun dapat saja
berlanjut hingga 10 minggu. Pada bayi yang lebih kecil dari usia 6 bulan mungkin
tidak ada terlihat rejan, tapi mereka tetap memiliki gejala batuk yang muncul secara
tiba-tiba. (1, 2)
Pada masa penyembuhan, perbaikan keadaan terjadi secara bertahap. Batuk
yang tiba-tiba lebih sedikit berkurang dan menghilang pada 2 sampai 3 minggu.
Bagaimanapun, gejala batuk tiba-tiba ini sering kali berulang yang diikuti dengan
infeksi respiratory hingga beberapa bulan setelah onset pertusis. (1, 2)
Diagnosis pertusis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang tampak (batuk
lebih dari 2 mingu dengan diikuti oleh rejanan, tiba-tiba, dan posttussive vomiting
sama kualitasnya dengan pemeriksaan laboratorium (kultur, PCR, DFA, dan tes
serologi).(1, 2)
Kultur dianggap sebagai gold standar untuk test laboratorium dan merupakan
pemeriksaan laboratorium spesifik untuk pertusis. Namun, anak yang rewel membuat
dapat memberikan hasil positif pada PCR. Selanjutnya, kultur dapat dilakukan untuk
mengkonfirmasi hasil yang didapat dari pemeriksaan PCR.(1, 2)
Pemeriksaan DFA pada spesimen nasifaring dapat berguna sebagai
pemeriksaan screening yang cepat untuk pertusis. Penggunaan test DFA monoclonal
dapat meningkatkan spesifisitas, namun sensitifitas DFA masih sangat rendah dan
tidak dapat diandalkan sebagai patokan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. (1, 2)
Tes serologi sangat baik digunakan pada pasien dewasa dan remaja yang telah
lama mengalami batuk, dimana pada saat hasil kultur dan PCR negatif. Namun, tidak
ada produk pemeriksaan pada tes ini yang disetujui oleh FDA. Pemeriksaan serologis
yang ada saat ini adalah untuk mengukur kadar antibodi, baik yang didapat dari
infeksi ataupun dari vaksinasi, maka dari itu hasil positif pada pemeriksaan serologis
ini menunjukkan bahwa pasien pernah terekspos oleh bakteri pertusis baik dulu
ataupun sekarang, atau pernah mendapatkan vaksinasi pertusis baik dulu maupun
sekarang. Vaksinasi dapat menginduksi antibodi baik IgM maupun IgA (dan juga
IgG), namun dalam penjabarannya tidak dapat dibedakan antara disebabkan oleh
repon infeksi maupun respon vaksinasi. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis tidak
dapat dijadikan patokan untuk mengkonfirmasi kasus infeksi pertusis. (1, 2)
Meningkatnya jumlah sel darah putih dengan limfositosis biasanya terdapat
pada penyakit klasik pada bayi. Jumlah limfosit absolute biasanya mencapai 20.000
atau lebih. Bagaimanapun, bisa saja tidak terdapat limfositosis pada beberapa bayi
dan anak ataupun orang dewasa dengan infeksi pertusis. (1, 3)
V.
DIAGNOSIS BANDING
1. Bordetella Parapertusis
Penyakitnya lebih ringan, kira-kira 50% dari penderita pertusis. Dapat
diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi. (3)
2. Bordetella Bronchoseptica
Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering didapatkan
pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernafasan pada orang yang
kontak dengan binatang tersebut. (3)
3. Infeksi oleh Klamidia
Penyebabnya biasanya Klamidia trachomatis. Pada bayi menyebabkan
pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernafasan terjadi 212 minggu setelah lahir dengan gejala-gejala pernafasan cepat, batuk paroksismal,
tanpa demam, eosinofilia. Pada foto thorak terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi.
Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya Clamidia dari cairan saluran
pernafasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis. (3)
VI.
PENATALAKSANAAN
Penanganan kasus pertusis secara primer adalah terapi suportif, namun
antibiotik juga harus diberikan. Eritromisin merupakan drug of choice. Terapi dengan
antibiotik ini dapat memberasntas mikroba, dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
sputum setelah pengobatan, jika dimulai lebih awal, dapat merubah perjalanan
penyakit.(1, 3)
9
10
memproteksi tubuh dapat juga disebabkan oleh karena perubahan genetik dari B.
pertussis. (6)
VII.
PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
11
ini ditujukan kepada wanita yang belum pernah mendapatkan vaksin DTaP dan waktu
vaksinasi yang optimal pada akhir trimester kedua atau pada trimester ketiga
kehamilan (setelah usia gestasi 20 minggu). Dengan memberikan vaksinasi kepada
ibu hamil, dapat meningkatkan imunitas pasif dari antibodi maternal yang mana akan
ditransfer kepada janin. (2)
Riwayat kejang dalam keluarga merupakan kontraindikasi diberikannya
imunisasi DPT. Bila terdapat riwayat personal ataupun riwayat keluarga dengan
kejang demam dapat meningkatkan resiko timbulnya kejang demam, termasuk yang
disebabkan oleh imunisasi itu sendiri. Kejang yang disertai demam sangat jarang
terjadi pada usia-usia 6 bulan pertama kehidupan, dan paling sering muncul pada
semester kedua kehidupan. Setelah usia-usia rentang tersebut, sangat jarang terjadi
pada anak usia di atas 5 tahun. (7)
Jika anak pernah kejang yang didahului oleh demam sebelumnya, dan sudah
dipastikan tidak ada gangguan neurologis, imunisasi tetap direkomendasikan. (7)
Anak dengan riwayat ensefalopati atau ensefalitis setelah 7 hari setelah
pemberian imunisasi, ikuti tata cara pada chart 1, jika kondisi tersebut memang
disebabkan oleh vaksinasi, maka anak harus segera dirujuk ke spesialis. Imunisasi
ditunda hingga benar-benar dipastikan bahwa penyebab kondisi stabil dan anak baik
selama 7 hari kedepan. Jika anak membaik pada 7 hari setelahnya, imunisasi tetap
dianjurkan. (7)
12
13
DAFTAR PUSTAKA
1.
E WW, E RB, Kliegman R, M AA. Nelson Text Book Of Pediatric, Edisi
15, cetakan I. Hal: 960-965. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
2.
Atkinson W, Wolfe C, Hamborsky J. Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Disease. Pertussis. 2013.
3.
Ranuh I, Suyitno H, CB K, Soejatmiko I. Pedoman Imunisasi
Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI); 2005.
14
4.
Tami H S, Liang JL. Infectious Diseases Related To Travel. Pertussis
(Whooping Cough). 2013.
5.
Keopke R, Eickhoff J, Ayele R, Pettit A, Schauer S, Hopfensperger D,
et al. Pertussis (Also Known as Whooping Cought). VPD Surveillance and
Control Manual. 2012 February.
6.
Cherry JD. The Present and Future Control of Pertussis. Clinical
Infectious Disease 2010 June 14.
7.
SF B, L H, al e. Pertussis. The Green Book Centers of Diease Control
and Prevention. 2011.
8.
HE Q, TL S, KK M, PB M. Duration of Protection After First Dose of
Acellular Pertussis Vaccine in Infants. Pediatrics Epub. 2014.
9.
Housey M, Zhang F, Miller C, Callo SL, Faden JM, Garcia E, et al.
Vaccination with Tetanus, Diphteria, and Acellular Pertussis Vaccine of
Pregnant Women Enrolled in Medicaid - Michigan 2011-2013. Centers for
Disease Control and Prevention. 2014.
10.
Glanz JM, McClure DL, Magid DJ, Daley MF, France EK, Salmon D, et
al. Parental Refusal of Pertussis Vaccination Is Assosiated With an
Increased Risk of Pertussis Infection in Children. Pediatrics. 2009 May 30.
15