Anda di halaman 1dari 15

PERTUSIS

I.

PENDAHULUAN
Pertusis, atau batuk rejan, adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

bakteri Bordetella pertusis. Perjangkitan pertusis pertama kali dikemukakan pada


abad ke 16, dan organismenya pertama kali ditemukan pada tahun 1906. (1, 2)
Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernafasan yang banyak
menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah usia
satu tahun yang disebabkan oleh infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit
infeksi saluran pernafasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat
penualarannya. Tindakan penanggulangan penyakit ini adalah melalui imunisasi.
World Health Organization (WHO) menyarankan sebaiknya anak pada usia satu
tahun telah mendapatkan imusisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval
sekurang-kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada usia 15-18 bulan dan 4-6
tahun untuk mempertahankan nilai proteksinya. Di Netherland, pemberian imunisasi
dasar pada umur 3-6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan cakupan
imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian
banyak terjadi hambatan, antara lain tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga
kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini terutama banyak
didapat di negara-negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT
sebanyak 3 dosis.(1)

Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada


anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan
pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara
dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun.
Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan pemberian imunisasi dasar
DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada
pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia
beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang
memadai, sedang syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase
target yang harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman
patogen dapat diputuskan. (3)
II

EPIDEMIOLOGI
Pada abad ke 20, pertusis adalah salah satu penyakit terbanyak pada anak-

anak dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas anak-anak di Amerika
Serikat. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis pada tahun 1940, lebih dari 200.000
kasus pertusis setiap tahunnya. Sejak penggunaan vaksin mulai dilakukan secara luas,
insiden dari penyakit ini menurun lebih dari 80% jika dibandingkan dengan pada
masa belum ditemukannya vaksin. (1, 2)

Pertusis menyumbangkan gangguan kesehatan yang besar bagi anak-anak


pada di negara berkembang, dimana terdapat 294.000 kematian yang diakibatkan
oleh penyakit ini pada tahun 2002 (berdasarkan data World Health Organization). (1, 2)
Pertusis juga merupakan penyakit endemic di seluruh dunia, sekalipun di
daerah dengan rasio vaksinasis yang cukup tinggi. Dari 2004 hingga 2010, kasus
pertusis yang tercatat di Amerika Serikat sekitar 8.000 hingga 27.000 kasus. Penyakit
ini lebih banyak menyerang anak-anak yang ada di daerah kurang perhatian terhadap
vaksinasi. (4)
III.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Orang dewasa muda dan dewasa tua merupakan pembawa Bordetella pertusis

dan biasanya menjadi sumber infeksi bagi bayi. (4)


Bordetella pertusis adalah bakteri aerobik, bersifat gram negatif, berbentuk
batang. Bordetella pertusis dapat menghasilkan multiple antigenik dan produk akitf,
aglutinogen, adenilate cyclase, pertactin, dan tracheal sitotoksin. Produk-produk ini
yang berperan dalam gejala klinis dan menghasilkan respon imunologi yang
menyebabkan munculnya berbagai infeksi. (1, 2)
Pertusis merupakan penyakit toxin-mediated. Bakteri menempel pada silia di
sel epitel saluran nafas, menghasilkan toxin yang menyebabkan paralisisnya silia-silia
pada epitel saluran nafas, hal ini menyebabkan inflamasi pada saluran pernafasan,
yang menghambat sekresi pulmonal guna membersihkan saluran nafas. Antigen yang
3

dihasilkan oleh bakteri pertusis dapat melindungi organisme tersebut agar terhindar
dari sistem imun host. Walaupun terdapat limfositosis, namun bisa terdapat kegagalan
pada kemotaksisnya. Hingga saat ini belum dipikirkan bahwa B. pertusis dapat
menginvasi jaringan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bakteri ini ditemukan
pada makrofag alveolar. (1, 2)

Penularan penyakit ini paling sering melalui droplet, atau melalui udara.
Penyakit ini tidak ada musimnya, namun kasus paling banyak pada musim semi dan
musim gugur. (4)
Bordetella pertussis menular dari orang satu ke orang lainnya dengan cara: (1)
Kontak langsung dengan sekresi dari nasopharyngeal penderita, atau melalui (2)

kontak dengan droplet dari sekresi nasopharyngeal penderita. Droplet dapat keluar
pada saat penderita batuk, bersin, ataupun berbicara dan dapat juga pada saat
melakukan tindakan medis seperti bronkoskopi atau pada saat melakukan suction.
Partikel-partikel ini dapat menular melalui udara dalam jarak sekitar 3 kaki. (5)
IV.

DIAGNOSIS(5)
Masa inkubasi pertusis paling sering selama 7-10 hari, dengan waktu antara 4-

21 hari, dan jarang lebih lama dari 42 hari. Gejala klinis yang tampak dibagi dalam
tiga stadium. (1, 2)
Tahapan stadium, adalah stadium kataral, ditandai dengan adanya onset
tersembunyi dari pilek, bersin-bersin, demam ringan hingga febril, kadang-kadang
ada batuk, lebih mirip dengan common cold. Batuk secara bertahap menjadi lebih
parah, dan setelah 1-2 minggu, masuk pada stadium kedua, atau disebut dengan
stadium paroxysmal. Demam menjadi seperti gejala utama pada penyakit ini. (1, 2)
Selama masa stadium paroxysmal, diagnosis pertusis biasanya sudah mulai
terlihat. Gejalanya adalah batuk yang diikuti dengan rasa terbakar, atau tiba-tiba, atau
batuk yang sering untuk beberapa kali, dan terlihat sulit untuk mengeluarkan lender
yang sangat kental dari daerah trakheobronkial. Pada akhir masa stadium paroxysmal,
usaha menarik nafas panjang pada saat inspirasi diikuti dengan suara yang nyaring.
Selama masa serangan tersebut, pasien biasa dapat saja menjadi sianosis (terlihat
membiru). Terutama pada anak-anak dan bayi yang masih kecil akan terlihat sangat

sakit dan terdapat distress. Mual dan anak terlihat lelah sering kali tampak ada pada
episode stadium ini. (1, 2)
Serangan paroksismal terjadi lebih sering pada malam hari, dengan rata-rata
serangan sebanyak 15 kali per 24 jam. Selama 1 minggu pertama dan 2 minggu
pertama stadium ini, frekuensi serangannya meningkat, dan akan bertahan begitu
hingga 2 hingga 3 minggu, dan akan menurun secara perlahan. Pada stadium
paroksismal biasanya berlangsung selama 1 hingga 6 minggu, namun dapat saja
berlanjut hingga 10 minggu. Pada bayi yang lebih kecil dari usia 6 bulan mungkin
tidak ada terlihat rejan, tapi mereka tetap memiliki gejala batuk yang muncul secara
tiba-tiba. (1, 2)
Pada masa penyembuhan, perbaikan keadaan terjadi secara bertahap. Batuk
yang tiba-tiba lebih sedikit berkurang dan menghilang pada 2 sampai 3 minggu.
Bagaimanapun, gejala batuk tiba-tiba ini sering kali berulang yang diikuti dengan
infeksi respiratory hingga beberapa bulan setelah onset pertusis. (1, 2)
Diagnosis pertusis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang tampak (batuk
lebih dari 2 mingu dengan diikuti oleh rejanan, tiba-tiba, dan posttussive vomiting
sama kualitasnya dengan pemeriksaan laboratorium (kultur, PCR, DFA, dan tes
serologi).(1, 2)
Kultur dianggap sebagai gold standar untuk test laboratorium dan merupakan
pemeriksaan laboratorium spesifik untuk pertusis. Namun, anak yang rewel membuat

tindakan kultur sulit dilakukan. Jamur dapat mempengaruhi kultur, diakibatkan


karena penyimpanan yang kurang baik, transportasi, dan tekhnik isolasi yang kurang
baik. Spesimen dapat diambil dari nasofaring posterior, bukan pada tenggorokan,
didapatkan dari apusan dengan menggunakan Dacron atau kalsium alginate. Kultur
dapat positif (30%-50%) pada awal 3 hingga 4 minggu (stadium catarrhal dan
stadium paroksismal). Hasil kultur dapat saja tidak sesuai apabila kultur dilakukan
setelah batuk rejan (2 minggu setelah gejala batuk) atau spesimen yang didapatkan
dari penderita yang telah menerima antibiotik atau pula pada pasien yang baru saja
menerima vaksin.(1, 2)
Banyak laboratorium menggunakan PCR karena tingginya tingkat sensitifitas
dan hasilnya yang cepat. PCR seharusnya digunakan sebagai pemeriksaan tambahan,
bukan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Tidak ada produk-produk PCR yang di
terima oleh Food and Drug Administration (FDA), dan tidak ada protokol standar,
reagen, dan format laporan untuk pemeriksaan pertusis dengan PCR. Oleh sebab itu,
laporan essay PCR berbeda pada setiap laboratorium. Spesifisitasnya terkadang
buruk, karena banyaknya hasil negatif palsu pada beberapa laboratorium. Seperti
halnya kultur, PCR juga dapat saja mempengaruhi spesimen yang akan diperiksa.
Tekhnik apusan nasofaring yang tidak benar akan memberikan hasil negatif baik pada
pemeriksaan kultur maupun pada PCR. PCR jarang berpengaruh terhadap pengobatan
antibiotik sebelumnya, dikarenakan tidak harus terdapat organisme bakteri untuk

dapat memberikan hasil positif pada PCR. Selanjutnya, kultur dapat dilakukan untuk
mengkonfirmasi hasil yang didapat dari pemeriksaan PCR.(1, 2)
Pemeriksaan DFA pada spesimen nasifaring dapat berguna sebagai
pemeriksaan screening yang cepat untuk pertusis. Penggunaan test DFA monoclonal
dapat meningkatkan spesifisitas, namun sensitifitas DFA masih sangat rendah dan
tidak dapat diandalkan sebagai patokan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. (1, 2)
Tes serologi sangat baik digunakan pada pasien dewasa dan remaja yang telah
lama mengalami batuk, dimana pada saat hasil kultur dan PCR negatif. Namun, tidak
ada produk pemeriksaan pada tes ini yang disetujui oleh FDA. Pemeriksaan serologis
yang ada saat ini adalah untuk mengukur kadar antibodi, baik yang didapat dari
infeksi ataupun dari vaksinasi, maka dari itu hasil positif pada pemeriksaan serologis
ini menunjukkan bahwa pasien pernah terekspos oleh bakteri pertusis baik dulu
ataupun sekarang, atau pernah mendapatkan vaksinasi pertusis baik dulu maupun
sekarang. Vaksinasi dapat menginduksi antibodi baik IgM maupun IgA (dan juga
IgG), namun dalam penjabarannya tidak dapat dibedakan antara disebabkan oleh
repon infeksi maupun respon vaksinasi. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis tidak
dapat dijadikan patokan untuk mengkonfirmasi kasus infeksi pertusis. (1, 2)
Meningkatnya jumlah sel darah putih dengan limfositosis biasanya terdapat
pada penyakit klasik pada bayi. Jumlah limfosit absolute biasanya mencapai 20.000

atau lebih. Bagaimanapun, bisa saja tidak terdapat limfositosis pada beberapa bayi
dan anak ataupun orang dewasa dengan infeksi pertusis. (1, 3)
V.

DIAGNOSIS BANDING

1. Bordetella Parapertusis
Penyakitnya lebih ringan, kira-kira 50% dari penderita pertusis. Dapat
diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi. (3)
2. Bordetella Bronchoseptica
Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering didapatkan
pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernafasan pada orang yang
kontak dengan binatang tersebut. (3)
3. Infeksi oleh Klamidia
Penyebabnya biasanya Klamidia trachomatis. Pada bayi menyebabkan
pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernafasan terjadi 212 minggu setelah lahir dengan gejala-gejala pernafasan cepat, batuk paroksismal,
tanpa demam, eosinofilia. Pada foto thorak terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi.
Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya Clamidia dari cairan saluran
pernafasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis. (3)
VI.

PENATALAKSANAAN
Penanganan kasus pertusis secara primer adalah terapi suportif, namun

antibiotik juga harus diberikan. Eritromisin merupakan drug of choice. Terapi dengan
antibiotik ini dapat memberasntas mikroba, dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
sputum setelah pengobatan, jika dimulai lebih awal, dapat merubah perjalanan
penyakit.(1, 3)
9

Antibiotik-antibiotik yang dapat mengobati pertusis (seperti azithromisin,


eritromisin, atau trimetoprim-sulfamethoxazole) harus diberikan kepada seluruh
orang yang kontak dengan penderita pertusis, tanpa harus memperhatikan usia dan
status vaksinasi. Perbaikan pengobatan dan rekomendasi terapi profilaksis
postexposure telah dipublikasikan pada Desember 2005, semua orang yang kontak
dengan penderita pertusis dengan usia lebih muda dari 7 tahun yang mana
sebelumnya tidak harus memenuhi empat dosis primer pengobatan, kini harus
melengkapi dosis primer dengan interval minimal. (Lihat tabel Appendix A). Anak
yang berdekatan dengan pasien pertusis yang usianya 4-6 tahun yang belum
mendapatkan dosis booster kedua (biasanya dosis ke 5 dari DPT) harus mendapatkan
vaksinasi. Bagi usia 10 tahun hingga 64 tahun yang terekspos dengan penderita
pertusis bukan merupakan kontraindikasi, namun keberhasilan penggunaan DPT
setelah terekspos dengan pertusis belum diketahui. (1, 3)
Ada beberapa alasan yang dilaporkan mengenai bangkitan kasus pertusis pada
beberapa tahun terakhir. Alasan-alasan tersebut termasuk; perubahan genetic dari B.
pertussis, berkurangnya potensi vaksin pertusis, menurunnya kemampuan vaksin
yang dimediasi oleh imunitas, berkurangnya kesadaran akan bahaya pertusis, dan
penyediaan pemeriksaan laboratorium yang lebih baik. Dari keseluruhan faktor-faktor
yang telah disebutkan, kesadaran akan bahaya pertusis memegang peranan yang
sangat penting dalam kasus meningkatknya kejadi pertusis. Kegagalan vaksin dalam

10

memproteksi tubuh dapat juga disebabkan oleh karena perubahan genetik dari B.
pertussis. (6)
VII.

PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak

laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis dengan adanya


pelaksanaan program imunisasi. (2)
a. Imunisasi pasif
Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa penelitian di
klinik tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan
atau pengobatan pertusis. (2)
b. Imunsasi Aktif
Diberikan vaksis pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella pertusis yang telah
dimatikan untuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersamasama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU
dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa vaksin pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan
hasil yang baik sedangkan waktu epidemic dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada
umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. (2)
Pada Oktober 2011, Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
untuk pertama kalinya merekomendasikan imunisasi rutin untuk tetanus, difteri, dan
aselular pertusis (DTaP) selama masa kehamilan, sebagai salah satu strategi untuk
melindungi bayi dari pertusis (yang disebut juga dengan batuk rejan). Rekomendasi

11

ini ditujukan kepada wanita yang belum pernah mendapatkan vaksin DTaP dan waktu
vaksinasi yang optimal pada akhir trimester kedua atau pada trimester ketiga
kehamilan (setelah usia gestasi 20 minggu). Dengan memberikan vaksinasi kepada
ibu hamil, dapat meningkatkan imunitas pasif dari antibodi maternal yang mana akan
ditransfer kepada janin. (2)
Riwayat kejang dalam keluarga merupakan kontraindikasi diberikannya
imunisasi DPT. Bila terdapat riwayat personal ataupun riwayat keluarga dengan
kejang demam dapat meningkatkan resiko timbulnya kejang demam, termasuk yang
disebabkan oleh imunisasi itu sendiri. Kejang yang disertai demam sangat jarang
terjadi pada usia-usia 6 bulan pertama kehidupan, dan paling sering muncul pada
semester kedua kehidupan. Setelah usia-usia rentang tersebut, sangat jarang terjadi
pada anak usia di atas 5 tahun. (7)
Jika anak pernah kejang yang didahului oleh demam sebelumnya, dan sudah
dipastikan tidak ada gangguan neurologis, imunisasi tetap direkomendasikan. (7)
Anak dengan riwayat ensefalopati atau ensefalitis setelah 7 hari setelah
pemberian imunisasi, ikuti tata cara pada chart 1, jika kondisi tersebut memang
disebabkan oleh vaksinasi, maka anak harus segera dirujuk ke spesialis. Imunisasi
ditunda hingga benar-benar dipastikan bahwa penyebab kondisi stabil dan anak baik
selama 7 hari kedepan. Jika anak membaik pada 7 hari setelahnya, imunisasi tetap
dianjurkan. (7)

12

Imunisasi DPT memberikan proteksi yang baik dalam melawan penyakit


pertusis pada tahun pertama kehidupan pada dosis pertama. Namun, tanpa dosis
booster, keefektifannya 3 dosis DPT tersebut akan berkurang, yaitu pada usia 2
hingga 4 tahun, dan pada usia > 6 tahun walaupun telah mendapatkan 5 dosis DPT. (8)
VIII. KESIMPULAN
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis , bakteri gram negatif, yang ditemukan dalam apusan nasofaring. Pertusis
terutama terjadi pada anak usia 4 tahun yang tidak mendapatkan imunisasi DPT.
Pertusis sering dikenal dengan sebutan batuk rejan. (9)
Gejala klinis pada saluran pernafasan atas ini mulai 7-10 hari (selama 6-12 hari)
setelah terpapar, diikuti dengan seringnya batuk. Batuk mulai terdengar keras dan
diikuti dengan muntah. Demam dapat saja tidak ada, ataupun minimal. Gejala klinis
yang dapat menegakkan diagnosis adalah batuk paroksismal selama > 2 minggu,
terdapat rejan, atau muntah. (9)
Penyakit pada bayi di bawah 6 bulan dapat terlihat tidak bergejala, dengan
stadium kataral yang singkat, sesak, atau apneu sebagai manifestasi awal. (9)
Anak dari orang tua yang menolak untuk diberikan imunisasi pertusis
memiliki resiko tinggi terhadap infeksi pertusis, dibandingkan dengan anak yang
mana orang tuanya setuju akan pemberian imunisasi. Anak dengan resiko tinggi ialah
usia 2 hingga 20 bulan. Imunitas yang didapat dari ibunya tidak cukup kuat menjaga
anak dari penyakit pertusis. Edukasi sangat penting diberikan kepada para orang tua,
agar mereka benar-benar mengerti manfaat dari imunisasi itu sendiri. (10)
{Glanz, 2009 #17}

13

DAFTAR PUSTAKA
1.
E WW, E RB, Kliegman R, M AA. Nelson Text Book Of Pediatric, Edisi
15, cetakan I. Hal: 960-965. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
2.
Atkinson W, Wolfe C, Hamborsky J. Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Disease. Pertussis. 2013.
3.
Ranuh I, Suyitno H, CB K, Soejatmiko I. Pedoman Imunisasi
Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI); 2005.

14

4.
Tami H S, Liang JL. Infectious Diseases Related To Travel. Pertussis
(Whooping Cough). 2013.
5.
Keopke R, Eickhoff J, Ayele R, Pettit A, Schauer S, Hopfensperger D,
et al. Pertussis (Also Known as Whooping Cought). VPD Surveillance and
Control Manual. 2012 February.
6.
Cherry JD. The Present and Future Control of Pertussis. Clinical
Infectious Disease 2010 June 14.
7.
SF B, L H, al e. Pertussis. The Green Book Centers of Diease Control
and Prevention. 2011.
8.
HE Q, TL S, KK M, PB M. Duration of Protection After First Dose of
Acellular Pertussis Vaccine in Infants. Pediatrics Epub. 2014.
9.
Housey M, Zhang F, Miller C, Callo SL, Faden JM, Garcia E, et al.
Vaccination with Tetanus, Diphteria, and Acellular Pertussis Vaccine of
Pregnant Women Enrolled in Medicaid - Michigan 2011-2013. Centers for
Disease Control and Prevention. 2014.
10.
Glanz JM, McClure DL, Magid DJ, Daley MF, France EK, Salmon D, et
al. Parental Refusal of Pertussis Vaccination Is Assosiated With an
Increased Risk of Pertussis Infection in Children. Pediatrics. 2009 May 30.

15

Anda mungkin juga menyukai