Tinjauan Pustaka
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi
setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan
pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat
menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup.
Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan
tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan
nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu.
Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan,
tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan
denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim
hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom
sel radang penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Pada nekrosis, perubahan terutama terletak pada inti. Memiliki tiga pola, yaitu
(Lestari, 2011):
1. Piknosis
Yaitu pengerutan inti, merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil, DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.
2. Karioreksis
Inti terfragmentasi (terbagi atas fragmen-fragmen) yang piknotik.
3. Kariolisis
Pemudaran kromatin basofil akibat aktivitas DNAse.
Macam-macam nekrosis:
1. Nekrosis koagulatif
Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang disebabkan oleh
hambatan kerja sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga
dihambat sehingga tidak terjadi penghancuran sel (proses autolisis minimal).
Akibatnya struktur jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada
tahap awal (Sarjadi, 2003).
Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah
yang terkena menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik.
Mikroskopik tampak inti-inti yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa
inti menghilang, sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai
beberapa minggu rangka sel masih dapat dilihat (Pringgoutomo, 2002).
Contoh utama pada nekrosis koagulatif adalah infark ginjal dengan
keadaan sel yang tidak berinti, terkoagulasi dan asidofilik menetap sampai
beberapa minggu (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
amorf,
tanpa
struktur
terlingkupi
dalam
cincin
inflamasi
berbagai enzim dan toksin yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi jaringan dan menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
3. Agen kimia
Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang berada dalam tubuh.
Namun ketika konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat
gangguan keseimbangan osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula
menimbulkan nekrosis ketika konsentrasinya rendah (Pringgoutomo, 2002).
Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda. Misalnya, sel epitel pada
tubulus ginjal dan sel beta pada pulau Langerhans mudah rusak oleh alloxan.
Gas yang digunakan pada perang seperti mustard dapat merusak jaringan
paru, gas kloroform dapat merusak parenkim hati serta masih banyak lagi
(Pringgoutomo, 2002).
4. Agen fisik
Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin), tenaga listrik, cahaya
matahari, dan radiasi dapat
menimbulkan
5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (kerentanan) pada seorang individu berbeda-beda.
Kerentanan ini dapat timbul secara genetik maupun didapat (acquired) dan
menimbulkan reaksi imunologik kemudian berakhir pada nekrosis. Sebagai
contoh, seseorang yang hipersensitif terhadap obat sulfat ketika mengonsumsi
obat sulfat dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal (Pringgoutomo,
2002).
Mekanisme Nekrosis
Seperti yang dijelaskan sejak awal, nekrosis merupakan kematian sel akibat
cedera (jejas) yang bersifat irreversible. Ketika sel mengalami gangguan, maka sel
akan berusaha beradaptasi dengan jalan hipertrofi, hiperplasia, atrofi, dan metaplasia
supaya dapat mengembalikan keseimbangan tubuh. Namun, ketika sel tidak mampu
untuk beradaptasi, sel tersebut akan mengalami jejas atau cedera. Jejas tersebut dapat
kembali dalam keadaan normal, apabila penyebab jejas hilang (reversible). Tetapi
ketika jejas tersebut berlangsung secara kontinu, maka akan terjadi jejas yang bersifat
irreversible (tidak bisa kembali normal) dan selanjutnya akan terjadi kematian sel
(Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
(katabolisator
protein
membran
dan
struktural),
ATPase
Kesimpulan
Nekrosis merupakan kematian sel yang disebabkan karena jejas irreversible.
Faktor pemicu nekrosis dapat berupa iskemia, agen biologik, agen fisik, agen kimia
dan juga hipersensitivitas (kerentanan). Perubahan yang mencolok terutama terlihat
pada inti sel yang mengalami piknosis, karioreksis, serta kariolisis. Apabila dalam
sediaan histologic tampak gambaran inti piknotik, karioreksis dan kariolisis, maka sel
tersebut dikatakan mengalami nekrosis (kematian sel).
10
Daftar Pustaka
Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi
Sel Piknosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66. Diakses
dari
http://ejournal.uin_malang.ac.id/index.php/NEUTRINO/article/download/165
8/pdf. Diakses 2 November 2013.
Pringgoutomo, S.; S. Himawan; A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I. Jakarta:
Sagung Seto.
Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.