PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Masalah kesehatan saat ini
semakin kompleks dan rumit seiring dengan semakin berkembangnya berbagai
penyakit baru. Usia anak-anak dan balita merupakan usia yang sangat rentan terhadap
penyakit. Salah satu organ yang retan terhadap penyakit yaitu organ respirasi. Saat ini
ada beberapa penyakit saluran pernapasan yang banyak diderita oleh masyarakat yaitu
seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan pertusis.
ISPA merupakan infeksi bakteri pada sistem pernapasan yang banyak
menyerang pada bayi. Sekitar 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh
penyakit ini (anonim, 2009). Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 6 kali pertahun (rata-rata
4 kali pertahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek
sebanyak 3 6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui
bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota
yang lebih tinggi daripada di desa. (Widoyono, 2011)
Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang
kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Dari survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi
akibat pneumonia sebesar 42,2% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka
mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36%.
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2002 melaporkan hasil Survey Demografi
Kesehatan Insdonesia (SDKI) yang menyebutkan bahwa pravalensi ISPA adalah 9,8%
pada tahun 1991 dengan kelompok pravalensi tertinggi adalah 12 23 bulan. Angka ini
meningkat menjadi 10% pada tahun 1994 dengan pravalensi 6 35 bulan, kemudian
menurun menjadi 9% pada tahun 1997 dengan pravalensi 6 11 bulan, dan menurun
lagi menjadi 8% pada tahun 2002 dengan pravalensi 6 23 bulan.
Pertusis merupakan penyakit menular yang terjadi pada 80% anak dibawah usia
5 tahun. Pertusis sangat rentan pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Di seluruh
dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pravaksi tahun 1922-1948, pertusis merupakan penyebab utama kematian
dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.
Penggunaan vaksinasi yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang dramatis
(Nelson, 2000). Mengingat angka kematian akibat pertusis yang masih tinggi, maka
diperlukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah
dengan membentuk kekebalan tubuh terhadap bakteri pertusis melalui vaksinasi
(Vaksinasi 2010).
1.2
1.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ISPA dan Pertusis
2.1.1 Definisi ISPA
Pedoman Interim WHO (2007) menjelaskan bahwa Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular,
yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa
gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada
patogen penyebabnya,faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Namun demikian, di dalam
pedoman ini, ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya
gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya
meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas,
mengi atau kesulitan bernapas. Contoh patogen yang menyebabkan ISPA yang
dimasukkan dalam pedoman ini adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus,
paraininfluenzaenza virus, severe acute respiratory syndromeassociated coronavirus
(SARS-CoV), dan virus Influenza.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi dari
istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga
unsur penting yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai
berikut: Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan
adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun
untukbeberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.(Depkes,2004)
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang
bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh
berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ saluran pernapasan yang terlibat
adalah hidung, laring, tenggorok, bronkus, trakea, dan paru-paru, tetapi yang menjadi
fokus adalah paru-paru. Titik perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat
mortalitas radang paru-paru. (Widoyono, 2011)
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :
a. Bukan pneumonia : mencangkup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya adalah common
cold, faringitis, tonsilitis dan otitis.
b. Pneumonia : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas.
Diagnosis gejala ini berdasarkan usia. Batas frekuensi napas cepat pada anak
berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia <5
tahun adalah 40 kali permenit.
c. Pneumonia berat : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas
disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest
indrawing) pada anak usia dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak usia <2 bulan,
diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napad cepat yaitu frekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya terikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe chest indrawing).
2.1.2 Definisi Pertusis
Pertusis adalah penyakit saluran pernapasan di sebabkan oleh basil
Haemophilus Pertusis. Menyerang jalan napas bagian atas. Perjalanan penyakit masa
inkubasi 7-14 hari. Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran
pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari
batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
(Rampengan, 1993). Menurut Sarah S. Long, Pertusis merupakan infeksi saluran
pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Pravalensi di seluruh
dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Sy-denham yang pertamakali
menggunakan istilah pertusis (batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping-cough), karena kebanykan individu yang terinfeksi
tidak berteriak (whoop = berteriak). (Nelson, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi saluran napas akut yang terutama menyerang
anak. Arti kata pertusis adalah batuk yang intensif sehingga penyakit ini sering disebut
batuk rejan, whooping cough, tussin quinta, violent cough, atau batuk 100 hari karena
sifat batuknya yang lama dan khas. Penyakit ini sudah ditemukan sejak tahun 1578,
meskipun kuman penyebabnya sendiri baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan
Gengou. (Widoyono, 2011)
2.2 Etiologi
2.2.1 Etiologi ISPA
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan riketsia. Etiologi ISPA meliputi :
a. Bakteri : Diplococus pneumoniae, Pneumococus, Streptococuspyogenes,
Staphylococus auresus, Haemophilus influenzae, dan lain-lain.
b. Virus : influenxa, adenovirus, sitomegalovius
c. Jamur : Aspergillus sp., Candida albicans, histoplasma, dan lain-lain.
d. Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (biasanya minyak tanah),
cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian, mainan plastik kecil,
dan lain-lain)
2.2.2 Etiologi Pertusis
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis (Haemophilus pertussis).
B. perthussis termasuk kelompok kokobasilus. Gram-negatif, tidak bergerak, dan
tidak berspora. Bakteri ini memerlukan media untuk tumbuh seperti media darahgliserin-kentang (Bordet-Gengou) yang ditambah penisilin untuk menghambat
pertumbuhan organisme lainnya. Bakteri ini berukuran panjang 0,5 1 mikro meter
dan diameter 0,2 0,3 mikro meter.
Bordetella parapertussis menyebabkan penyakit parapertusis, yaitu penyakit
sejenis pertusis yang gejalanya lebih ringan. Parapertusis biasanya menyerang anak
usia sekolah dan relatif jarang terjadi. Perbedaan kedua penyakit tersebut adalah
dalam hal hasil pemeriksaan kultur, biokimia dan tes imunologi. (Widoyono, 2011)
2.3 Patofisiologi / WOC ISPA dan Pertusis
2.3.1 Patofisiologi / WOC ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh.Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau
dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring.Jika refleks tersebut gagal maka virus
merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kendig and Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.
Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk (Kendig and Chernick, 1983).Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri.Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas
seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang
mukosa yang rusak tersebut (Kendig dan Chernick, 1983).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan
dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif.Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan
dan malnutrisi.Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak
(Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang
lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam
saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi
apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah
apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan
batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh
dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.
WOC ISPA :
2.3.2
Bordetella merupakan kokobasili gram negative yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobic pada agar, darah, tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
nikotinamid, asam amino untuk energy, dan arang atau resin siklodekstrin untuk mnyerap
bahan-bahan berbahaya. Species Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gena virulen dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya B pertusis yang mengeluarkan toksin
pertusis, protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk b pertusis. Serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu. B pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis
banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dlam penyakit dan imunitas. Pasca
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran
tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa tanda dan gejala yang dialami klien dengan
ISPA adalah sebagai berikut :
a. Napas cepat bila anak usia :
1) <2 bulan
: 60 kali permenit atau lebih
2) 2 bulan sampai <1 tahun
: 50 kali permenit atau lebih
3) 1 tahun sampai 5 tahun
: 40 kali permenit atau lebih
b. Penentuan adanya tanda bahaya : jika terdapat satu atau lebih gejala di bawah ini
berarti ada tanda bahaya.
1) Tidak bisa minum
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Gizi buruk
6) Demam atau dingin (khusus untuk bayi berusia <2 bulan)
c. Klasifikasi penyakit :
1) Tanpa napas cepat artinya bukan pneumonia
2) Dengan napas cepat saja artinya pneumonia
3) Ada tanda bahaya artinya pneumonia berat
2.4.1.2 Cara Penularan ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease.
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa
kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar
penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi
yang melayangdi udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian
daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua, yakni
droplet nuclei dan dust.
Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa droplet yang
mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai cara, antara lain dengan melalui
evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga
dapat terbentuk dari aerolisasi materi-materi penyebab infeksi di dalam laboratorium.
Karena ukurannya yang sangat kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu
yang cukup lama dan dapat diisap pada waktu bernapas dan masuk ke alat pernapasan.
Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi
partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu
lantai/tanah.
2.4.2
Menurut dr. A. Krishna, Diagnosis ISPA dapat dilakukan oleh dokter dan
ditentukan berdasarkan beberapa pemeriksaan meliputi :
a.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan ISPA
Penatalaksanaan pada Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut tanpa pemberian
obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat
batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan
seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar
getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya
setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk
pemeriksasan selanjutnya (Rasmaliah,2005).
KLASIFIKASI
TINDAKAN
c. Teruskan pemberian
ASI dan berikan ASI
lebih sering
d. Bersihkan hidung bila
tersumbat
e. Anjurkan ibu untuk
kembali
kontrol,
bila :
f. Keadaan
bayi
memburuk
g. Napas menjadi cepat
h. Bayi sulit bernapas
i. Bayi sulit untuk
minum
USIA 2 BULAN SAMPAI <5 TAHUN
TANDA
a. Tarikan dinidng a. Tidak ada tarikan a. Tidak ada tarikan
dada
bagian
dinding
dada
dinding dada bagian
bawah ke arah
bagian bawah ke
bawah ke arah dalam
b.
Tidak ada napas
dalam
arah dalam
b. Napas cepat :
cepat :
1) 2 bulan <12 1) 2 bulan <12 bulan :
bulan : 50 kali
<50 kali permenit
2) 1 tahun <5 tahun :
permenit
2) 1 tahun <5 tahun
<40 kali permenit
: 40 kali permenit
KLASIFIKAS
PNEUMONIAS
PNEUMONIA
BUKAN
I
BERAT
PNEUMONIA
TINDAKAN
a. Rujuk segera ke
a. Nasihati ibu untuk a. Jika batuk
sarana kesehatan
melakukan
berlangsung selama
b. Beri antibiotik
perawatan
30 hari, rujuk untuk
satu dosis bila
dirumah
pemeriksaan lanjutan
jarak sarana
b. Beri antibiotik
b. Obati penyakit lain
kesehatan jauh
selama 5 hari
bila ada
c. Obati bila demam c. Anjurkan ibu
c. Nasihat ibu untuk
d. Obat bila ada
untuk kontrol
melakukan
wheezing
setelah 2 hari atau
perawatan di rumah
d. Obati bila demam
lebih cepat bila
e. Obati bila ada
keadaan anak
wheezing
memburuk
d. Obati bila demam
e. Obati bila ada
wheezing
Sumber : Depkes RI, Bimbingan ketrampilan dalam tata laksana penderita ISPA pada anak,
Jakarta, 1993
3
4
1) Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran sekret.
2) Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan lembut dan hati-hati.
3) Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau
dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
2.6.2.1 Pengobatan
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa pengobatan untuk menghentikan gejala
adalah :
a. Antibiotik : eritromisin atau penisilin
1) Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis.
Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam
2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek
kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan
pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan
menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk
pengobatan pertusis untuk bayi muda.
2) Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.
3) Lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.
b. Suportif : pengencer dahak, oksigen bila perlu, atasi dehidrasi dan berikan
nutrisi yang cukup
c. Immunoglobulin: Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian
immunoglobulin pada stadium kataralis
d. Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali; Luminal
sebagai sedative.
e. Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres
pernapasan.
f. Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk
paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui
penelitian kontrol. Dapat pula mencegah obstruksi bronkus dan mengurangi
lama whoop.
2.6.2.2 Pencegahan
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa pencegahan utama pertusis adalah
imunisasi. Kekebalan pasif dari ibu pascapersalinan ternyata tidak cukup melindungi
bayi dari serangan penyakit ini. Imunisasi diberikan sebanyak tiga kali, mulai usia dua
minggu dengan interval empat minggu. Di Amerika Serikat, usia yang
direkomendasikan adalah 2, 4, dan 6 bulan. Perlindungan imunisasi makin menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Biasanya anak usia >7 tahun tidak lagi
memerlukan imunisasi karena infeksi yang menyerang anak yang lebih besar biasanya
ringan.
Imunisasi vaksin ini perlu diberikan dengan hati-hati, komponen antigen
pertusis pada vaksis DPT dapat menimbulkan reaksi demam dan kejadian ikutan
pasca-imunisasi (KIPI). Imunisasi dapat ditunda bila anak mengalami demam karena
infeksi, namun anak dengan sakit ringan yang disertai demam atau tanpa demam
bukan merupakan kontraindikasi. Penundaan imunisasi sebaiknya tidak menunggu
sampai anak berusia lebih dari satu tahun.
Penyuluhan kepada masyarakat perlu dilakukan terutama pada orangtua bayi,
meliputi pendidikan bahayanya penyakit ini serta keuntungan imunisasi pertama pada
anak berusia tidak lebih dari dua bulan.
2.7 Komplikasi
2.7.1 Komplikasi ISPA
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri
5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya.Komplikasi yang dapat terjadi adalah
sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi.
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya
didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat
lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus
disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral.Bila didapatkan
pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa
sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya komplikasi
sinusitis.Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan
antibiotik.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat
menembus langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis
media akut (OMA).Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai
suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) kadang menyebabkan kejang
demam.
Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau
memegang telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan
menekan telinganya dan biasanya bayi akan menangis keras). Kadangkadang hanya ditemui gejala demam, gelisah, juga disertai muntah atau
diare. Karena bayi yang menderita batuk pilek sering menderita infeksi
pada telinga tengah sehingga menyebabkan terjadinya OMA dan sering
menyebabkan kejang demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT.
Biasanya bayi dilakukan parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan
antibiotika keadaan tidak membaik. Parasentesis (penusukan selaput
telinga) dimaksudkan mencegah membran timpani pecah sendiri dan
terjadi otitis media perforata (OMP).
Faktor-faktor OMP yang sering dijumpai pada bayi dan anak adalah :
sekret.
2) Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan
perembesan infeksi juga merintangi penyaluran sekret.
3) Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga tengah
walau jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke syaraf pusat
(meningitis).
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah
seperti laryngitis, trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia.Selain itu
dapat pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.
2.7.2 Komplikasi Pertusis
Komplikasi yang bisa terjadi adalah malnutrisi, bronkitis, hingga
bronkopneumonia dan kejang karena ensefalopati. Kematian karena pertusis biasanya
disebabkan oleh adanya komplikasi bronkopneumonia atau pneumonia (Widoyono,
2011).
Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat. Pneumonia
komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak karena infeksi
B.Pertussis sendiri, tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes). TBC laten dapat juga di aktifer. Selain itu,
atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Komplikasi panas
tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria. Di ikuti dengan
batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
Bahkan sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi. Komplikasi lainnya dapat pula terjadi konvulsi dan koma,
merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi
kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi. Komplikasi terakhir
yang mungkin terjadi adalah kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder
terhadap syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
(Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1997)
Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada penderita pertusis adalah
Pneumonia. Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang
disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang
menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam
dan terjadinya distres pernapasan secara cepat. Kedua, adalah Kejang. Hal ini bisa
disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau
ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri
antikonvulsan.
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang. Yang lainnya
yang mungkin terjadi adalah Perdarahan dan hernia; Perdarahan subkonjungtiva dan
epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus. Hernia umbilikalis
atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan
khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi
bedah setelah fase akut.
2.8 Prognosis ISPAdan Pertusis
2.8.1 Prognosis ISPA
Pada dasarnya, prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi
yang berat. Hal ini juga didukung oleh sifat penyakit ini sendiri, yaitu self limiting
disease sehingga tidak memerlukan tindakan pengobatan yang rumit.
Penyakit yang tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak
oleh karena infeksi bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit
> 10.000/ul, biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.
2.8.2 Prognosis Pertusis
Prognosis Pertusis bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama
komplikasi paru dan susunan saraf yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan
anak kecil. Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun
berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak: yang berusia dibawah 1 tahun meninggal.
Kematian terjadi karena kekurangan oksigen ke otak (ensefalon anoksia)
dan bronkopneumonia. Angka kematian telah menurun menjadi (10/1000).
Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi
paru-paru lain. Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan pada ISPA
A. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Umur
:Kebanyakan infeksi ini menyerang anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang dari 1 tahun.
Jenis kelamin : Angka kesakitan ISPA pada anak perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki
Alamat
: Kepadatan hunian diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan
penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara
didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik
maupun kimia.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama:
Klien mengeluh batuk, pilek
2) Riwayat penyakit sekarang:
Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan
lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit
tenggorokan.
3) Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang
4) Riwayat penyakit keluarga:
Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit
klien tersebut.
5) Riwayat sosial:
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat
penduduknya
c. Pemeriksaan Persistem
B1 (Breath)
:
1) Inspeksi:
- Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan
- Tonsil tanpak kemerahan dan edema
- Tampak batuk tidak produktif
- Tidak ada jaringna parut pada leher
- Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan,pernapasan cuping
hidung, tachypnea, dan hiperventilasi
2) Palpasi
- Adanya demam
- Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada
nodus limfe servikalis
- Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
3) Perkusi
Suara paru normal (resonance)
4) Auskultasi
Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
B2 (Blood) : kardiovaskuler Hipertermi.
B3 (Brain)
: penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga,
terjadi gangguan penciuman.
B4 (Bladder) : perkemihan Tidak ada kelainan.
B5 (Bowel) : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis Minum
sedikit, nyeri telan pada tenggorokan.
B6 (Bone)
: Warna kulit kemerahan (Benny:2010)
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
3) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Benny:2010).
B. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan proses inflamasi
2. Ansietas yang berhubungan dengan kesulitan bernapas, prosedur tidak familiar, dan
kemungkinan lingkungan ( rumah sakit )
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan obstruksi mekanik,
inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri
4. Risiko infeksi yang berhubungan dengan adanya organisme infektif
5. Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan 1 : Pasien akan menunjukkan fungsi pernapasan normal
Hasil yang Diharapkan :
1. Pernapasan tetap dalam batas normal
2. Pernapasan tanpa kesulitan
3. Anak beristirahat dan tidur dengan tenang
Intervensi Keperawatan:
INTERVENSI
Posisikan anak untuk mendapatkan ventilasi
yang maksimal
Beri posisi yang nyaman
RASIONAL
Membuka jalan napas dan memungkinkan
ekspansi paru maksimal
Posisi Tripod pada anak dengan epiglotis atau
pertahankan elevasi kepala sedikitnya 30
derajat
Menghindari penekanan diafragma
Memudahkan mobilisasi pernapasan
Mempertahankan jalan napas tetap terbuka
Memenuhi kebutuhan oksigen
RASIONAL
Memperoleh efisiensi ventilasi yang
maksimal
Memantau saturasi oksigen
Memenuhi kebutuhan oksigen
Diagnosa 2 : Ansietas yang berhubungan dengan kesulitan bernapas, prosedur tidak familiar,
dan kemungkinan lingkungan ( rumah sakit )
Tujuan 1 : Ansietas pasien menurun
Hasil yang Diharapkan :
1. Anak tidak menunjukkan tanda tanda gawat napas atau ketidaknyamanan fisik
2. Orang tua tetap bersama anak dan memberikan kenyamanan
3. Anak terlibat dalam aktivitas yang tenang sesuai dengan usia, minat, kondisi, dan
tingkat kognisi anak.
INTERVENSI
Jelaskan prosedur dan peralatan
menggunakan istilah yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak
Bina hubungan dengan anak dan orang
tua
RASIONAL
Anak tidak takut terhadap alat-alat
yang akan digunakan saat pemeriksaan
Menjalin komunikasi antara perawat
dengan klien atau keluiarga klien
Diagnosa 3 : Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan obstruksi mekanik,
inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri
Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan napas dan mengeluarkan sekret secara adekuat
Kriteria Hasil :
a. Jalan napas tetap bersih
b. Anak bernapas dengan mudah; pernapasan dalam batas normal 24x/menit
c. Anak-anak yang lebih besar mengeluarkan sekret tanpa stres dan keletihan
d. Anak yang masih kecil mampu melakukan batuk produktif
INTERVENSI
RASIONAL
Posisikan anak pada kesejajaran tubuh Memungkinkan ekspansi paru lebih
yang sesuai
baik dan memperbaiki pertukaran gas
serta mencegah aspirasi sekresi
(telungkup, semitelungkup, miring;
agar bayi tidak berisiko mengalami
aspirasi; gunakan posisi telentang atau
kebersihan
dan
menurunkan
tingkat
penyebaran infeksi.
Menjaga lingkungan pasien agar tetap
kondusif dan menurunkan tinggkat penyebaran
infeksi dari lingkungan luar.
Anak dan keluarga mengetahui tindakan yang
harus dilakukan
Jenis Kelamin
Alamat
: Angka kesakitan pertusis pada anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki
: Kepadatan hunian diketahui bahwa penyebab terjadinya pertusis dan penyakit
gangguan nafas lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah ataupun diluar
rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia
b. Anamnesa :
1. Riwayat alergi dalam keluarga, gangguan genetic
2. Riwayat pasien dengan disfungsi pernapasan sebelumnya
3. Adanya kontak dengan penderita pertusis
4. Riwayat Vaksinasi
c. Pemeriksaan Fisik :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : batuk panjang, kelelahan, demam ringan
Tanda : Sesak,kelelahan otot dan nyeri
2. Makanan/cairan
Gejala : Nafsu makan hilang, mual/muntah, penurunan BB
Tanda : Turgor kulit buruk, penurunan masa otot
3. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
4. Integritas ego
Tanda : Gelisah
5. Pernafasan
Gejala : Batuk, terikan nafas panjang
Tanda : muka merah, sianotik
1.Data subyek :
a. Paling banyak terdapat pada tempat yang padat penduduknya Usia yang paling
rentan terkena penyakit pertusis adalah anak dibawah usia 5 tahun
b. Cara penularanya yang sangat cepat
c. Imunisasi dapat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
oleh pertusis
d. Batuk ini disebabkan karena bordetella pertusis
e. Disalah satu Negara yang belum melaksanakan prosedur imunisasi rutin,
masih banyak terdapat penyakit pertusis
2. Data obyek :
a. Anak tiba-tiba batuk keras secara terus menerus
b. Batuk yang sukar berhenti
c. Muka menjadi merah
d. Batuk yang sampai keluar air mata
e. Kadang sampai muntah disertai keluarnya sedikit darah, karna batuk yang
sangat keras.
f. Biasanya terjadi pada malam hari
B. Diagnosa keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
9porad
2.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea
3.
Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Faktor resiko ketidakadekuatan
pertahanan utama
4.
5.
C. Intervensi keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi porad.
Tujuan : Status ventilasi saluran pernafasan baik, dengan cara mampu membersihkan
secret yang menghambat dan menjaga kebersihan jalan nafas.
Kriteria hasil :
a. Rata-rata pernafasan normal
b. Sputum keluar dari jalan nafas
c. Pernafasan menjadi mudah
d. Bunyi nafas normal
e. Sesak nafas tidak terjadi lagi
Intervensi :
INTERVENSI
RASIONAL
2. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas, mis., mengi, krekels, ronki.
dengan obstruksi jalan napas dan dapat /
tak dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventius, mis., penyebaran, krekels
basah ( bronchitis ); bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi ( emfisema ) ;
atau tak adanya bunyi napas ( asma
berat)
Catat adanya / deraja dispnea, mis., Disfungsi pernapasan adalah variable
keluhan gelisah, ansietas, distress yang tergantung kepada tahap proses
pernapasan. Penggunaan otot bantu
kronis selain proses akut yang
menimbulkan perawatan di rumah sakit,
mis., inspeksi, reaksi alergi.
Dorong / bantu latihan napas abdomen
atau bibir
Bantu pasien latihan napas sering.
Tunjukkan/ bantu pasien melakukan
batuk,misalnya menekan dada dan batuk
efektif.
Pertahankan
polusi
lingkungan
minimum, mis., debu, asap, dan bulu
bantal yang berhubungan dengan kondisi
individu
Kolaborasi pemberian obat sesuai Menurunkan sekresi Hporad dijalan
indikasi
napas dan menurunkan resiko keparahan
napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea
P
o
l
a
Tujuan : Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam
rentang normal dan paru jelas atau bersih
Kriteria hasil:
a. Frekuensi pernapasan normal
b. Bunyi paru jelas/bersih
c. Kedalaman paru dalam rentang normal
d. Bunyi napas normal
e. Pengembangan dada normal antara inspirasi dan ekspirasi
Intervensi :
INTERVENSI
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya
bunyi napas adventisius, seperti krekels,
mengi, gesekan pleural.
RASIONAL
Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan
napas obstruksi sekunder terhadap
perdarahan,bekuan atau kolaps jalan
napas kecil (atelaktasis). Ronki dan
mengi
menyertai
obstruksi
jalan
napas/kegagalan pernafasan
Tinggikan kepala dan bantu mengubah Duduk tinggi memungkinkan ekspansi
posisi. Bangunkan pasien turun tempat paru
memudahkan
pernapasan
tidur dan ambulasi sesegera mungkin
Pengubahan posisi dan ambulasi meningk
atkan pengisian udara
segmen
paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas
Observasi pola batuk dan karakter secret
kongesti alveolar mengakibatkan batuk
kering/iritasi. Sputum berdarahdapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan
(infark
paru)
atau
antikoagulan berlebihan
Dorong/bantu pasien dalam napas dalam
dan latihan batuk. Pengisapan peroral
atau naso trakeal bila diindikasikan
Kolaborasi dalam pemberian oksigen
tambahan bila diindikasikan.
3.
Intervensi :
INTERVENSI
Pantau
tanda
vital
dengan
ketat,khususnya selama awal terapi.
Anjurkan klien untuk memperhatikan
RASIONAL
Selama periode waktu ini, potensial
terjadi komplikasi
meskipun pasien dapat menemukan
pengeluaran
secret
(misalnya pengeluaran dan upaya infeksi atau
meningkatkan pengeluaran daripada menghindarinya, penting bahwa sputum
menelannya) dan melaporkan perubahan harus dikeluarkan dengan cara aman.
warna, jumlah dan secret.
Perubahan
karakteristik
sputum
menunjukkan terjadinya infeksi sekunder
Dorong teknik mencuci tangan baik
Menurunkan resiko penyebaran infeksi
Batasi pengunjung sesuai indikasi.
Menurunkan pajanan terhadap pathogen
infeksi lain
Kolaborasi berikan antimicrobial sesuai obat ini digunakan untuk membunuh
indikasi
dengan
hasil
kultur kebanyakan microbial
sputum/darah, misalnya eritromisin.
4. Nyeri berhubungan dengan batuk menetap
Tujuan : Mengurangi rasa nyeri
Kriteria hasil :
a. Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan rileks, istirahat/tidur, dan peningkatan aktivitas dengan tepat
Intervensi :
INTERVENSI
Tentukan karakteristik nyeri, mis., tajam,
konstan, ditusuk. Selidikiperubahan
karakter/lokasi/ intensitas nyeri
Pantau tanda vital
RASIONAL
Mengetahui tingkat skala nyeri yang
di alami klien
Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat Adanya kondisi kronis atau keterbatasan
badan dasar
keuangan dapat menimbulkan malnutrisi,
nutrisi, rendahnya tahanan terhadap
infeksi, dan atau lambatnya respons
terhadap terapi.
D. Evaluasi
1) Status ventilasi saluran pernafasan baik
2) Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang
normal dan paru jelas atau bersih
3) Tidak terjadi resiko infeksi
4) Pasien dapat tidur dan istirahat sesuai kebutuhannya
5) Kekurangan volume cairan tidak terjadi
6) Resiko kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi
7) Melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
BAB 4
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Penyakit saluran pernapasan akan sangat berbahaya apabila tidak mendapat
penanganan yang cepat dan tepat. Terlebih untuk penyakit infeksi seperti ISPA dan
Pertusis yang biasa terjadi pada anak-anak usia 1-5 tahun. Infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut
dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai
sebab (multifaktorial). Sedangkan Pertusis adalah penyakit infeksi saluran napas
akut yang terutama menyerang anak. Arti kata pertusis adalah batuk yang intensif
sehingga penyakit ini sering disebut batuk rejan, whooping cough, tussin quinta,
violent cough, atau batuk 100 hari karena sifat batuknya yang lama dan khas.
ISPA dan pertusis sama-sama di klasifikasikan sebagai penyakit infeksi,
namun infektor penyebab munculnya penyakit ini berbeda, perkembangan dalam
tubuh penderitanya pun berbeda. Pada ISPA infektor penyebabnya adalah Bakteri :
Diplococus pneumoniae, Pneumococus, Streptococuspyogenes, Staphylococus
auresus, Haemophilus influenzae, dan lain-lain. Virus penyebabnya dapat berupa
influenxa, adenovirus, sitomegalovius. Jamur : Aspergillus sp., Candida albicans,
histoplasma, dan lain-lain. Sedangkan pada penyakit pertusis, penyebab utamanya
adalah perkembangbiakan bakteri Bordetella pertussis (Haemophilus pertussis).
B. perthussis termasuk kelompok kokobasilus. Gram-negatif, tidak bergerak, dan
tidak berspora. Bakteri ini memerlukan media untuk tumbuh seperti media darahgliserin-kentang (Bordet-Gengou) yang ditambah penisilin untuk menghambat
pertumbuhan organisme lainnya. Bakteri ini berukuran panjang 0,5 1 mikro
meter dan diameter 0,2 0,3 mikro meter.
Baik ISPA maupun Pertusis adalah dua penyakit yang sering mengancam
sistem pernapasan pada anak (biasanya usia 1-5 tahun). Masalah akan sangat
rentan dan harus segera ditangani apabila terdapat gejala-gejala yang tidak normal
pada sistem pernapasannya. Setiap penyakit baik ISPA maupun Pertusis memiliki
penatalaksanaan (pencegahan dan pengobatan) yang berbeda, dan lama
penyebaran atau penguasaan penyakit yang berbeda pula.
4.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan
terhadap penderita ISPA dan Pertusis. Perawat juga harus mampu berperan sebagai
pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan pada orangtua mengenai. penyakit
ISPA dan Pertusis secara jelas dan lengkap. Terutama mengenai tanda-tanda ISPA dan
Pertusis, penanganan ISPA dan Pertusis, pencegahan ISPA dan Pertusis, dan cara
pengobatan pada penderita ISPA dan Pertusis anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Interim WHO : Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Kendig and Chernikck. (2012) . Disordes Of The Respiratory Tract In Children Eight
Edition. USA : Saunders Company
Rasmaliah., 2004. Infeksi Saluran Akut (ISPA) dan penanggulangan. Universitas Sumatera
Utara. Available from : http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmaliah9.pdf
Sarah S. Long . (1993) . Pertusis. Wahab A. Samid (Ed). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2
(hal 960). Jakarta : EGC
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1997). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, Jilid 2.
Widoyono. (2011) . Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga
Wong, Donna L. et al. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2. Jakarta: EGC
http://posyandu.org/pertusis-batuk-rejan.html
http://www.ichrc.org/47-pertusis