Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Masalah kesehatan saat ini
semakin kompleks dan rumit seiring dengan semakin berkembangnya berbagai
penyakit baru. Usia anak-anak dan balita merupakan usia yang sangat rentan terhadap
penyakit. Salah satu organ yang retan terhadap penyakit yaitu organ respirasi. Saat ini
ada beberapa penyakit saluran pernapasan yang banyak diderita oleh masyarakat yaitu
seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan pertusis.
ISPA merupakan infeksi bakteri pada sistem pernapasan yang banyak
menyerang pada bayi. Sekitar 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh
penyakit ini (anonim, 2009). Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 6 kali pertahun (rata-rata
4 kali pertahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek
sebanyak 3 6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui
bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota
yang lebih tinggi daripada di desa. (Widoyono, 2011)
Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang
kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Dari survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi
akibat pneumonia sebesar 42,2% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka
mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36%.
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2002 melaporkan hasil Survey Demografi
Kesehatan Insdonesia (SDKI) yang menyebutkan bahwa pravalensi ISPA adalah 9,8%
pada tahun 1991 dengan kelompok pravalensi tertinggi adalah 12 23 bulan. Angka ini
meningkat menjadi 10% pada tahun 1994 dengan pravalensi 6 35 bulan, kemudian
menurun menjadi 9% pada tahun 1997 dengan pravalensi 6 11 bulan, dan menurun
lagi menjadi 8% pada tahun 2002 dengan pravalensi 6 23 bulan.
Pertusis merupakan penyakit menular yang terjadi pada 80% anak dibawah usia
5 tahun. Pertusis sangat rentan pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Di seluruh
dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pravaksi tahun 1922-1948, pertusis merupakan penyebab utama kematian
dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.
Penggunaan vaksinasi yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang dramatis
(Nelson, 2000). Mengingat angka kematian akibat pertusis yang masih tinggi, maka
diperlukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah
dengan membentuk kekebalan tubuh terhadap bakteri pertusis melalui vaksinasi
(Vaksinasi 2010).

1.2

1.3

Widoyono (2011) menjelaskan bahwa pada awal sampai pertengahan tahun


1900-an, pertusis merupakan salah satu penyebab kematian anak di Amerika Serikat.
Setelah ditemukan vaksinasi pada tahun 1940-an, angka kesakitan dan kematian
menurun drastis. Angka rata-rata mordibitas pada tahun 1922 1940 adalah 150 per
100.000 penduduk pada tahun 1980 1991. Dengan cakupan imunisasi yang tinggi di
Amerika Latin, jumlah kasus pertusis menurun dari 120.000 pada tahun 1980 menjadi
40.000 kasus pada tahun 1990. Akan tetapi, mulai tahun 1980-an insidensi pertusis
meningkat terutama pada remaja dan orang dewasa. Alasan yang logis masih belum
trlalu jelas, mungkin karena kemajuan di bidang diagnosis dan laporan kasus pada
remaja dan orang dewasa.
Di Indonesia sejak tahun 1991 kasus pertusis muncul sebagai kasus yang sering
dilaporkan di antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31) pada balita.
Pada tahun 1996 tercatat 7796 kasus pertusis dan itu merupakan kasus terbesar sejak
tahun 1976. Sekitar 40% kasus pertusis menyerang balita. Akhir-akhir ini dilaporkan
bahwa kasus pertusis pada orang dewasa dan KLB pada anak dan remaja semakin
meningkat.
Estimasi WHO menyebutkan bahwa sekitar 600.000 kematian terjadi karena
pertusis. Provinsi Jawa Barat melaporkan 4970 kasus pada tahun 1990 dengan tingkat
kematian 0,2%. Pemerintah telah melakukan beberapa tindakan untuk pencegahan
penyakit ISPA dan pertusis. Salah satunya yaitu dengan mengadakan imunisasi di
Posyandu. Vaksin DPT merupakan salah satu program wajib di Posyandu untuk
meningkatkan kekebalan tubuh balita dan anak-anak. Program pemberantasan ISPA
secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang
disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut
masih tetap tinggi (Rasmaliah, 2004).
Tujuan
1) Mengetahui dan memahami definisi ISPA dan Pertusis.
2) Mengetahui dan memahami etiologi ISPA dan Pertusis.
3) Mengetahui dan memahami manifestasi klinis ISPAdan Pertusis.
4) Mengetahui dan memahami patofisiologi ISPA dan Pertusis.
5) Mengetahui dan memahami penatalaksanaan ISPA dan Pertusis.
6) Mengetahui dan memahami WOC dari ISPA dan Pertusis.
7) Mengetahui dan memahami komplikasi dari ISPA dan Pertusis.
8) Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan ISPA dan
Pertusis.
Manfaat
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada kasus ISPA dan Pertusis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ISPA dan Pertusis
2.1.1 Definisi ISPA
Pedoman Interim WHO (2007) menjelaskan bahwa Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular,
yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa
gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada
patogen penyebabnya,faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Namun demikian, di dalam
pedoman ini, ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya
gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya
meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas,
mengi atau kesulitan bernapas. Contoh patogen yang menyebabkan ISPA yang
dimasukkan dalam pedoman ini adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus,
paraininfluenzaenza virus, severe acute respiratory syndromeassociated coronavirus
(SARS-CoV), dan virus Influenza.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi dari
istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga
unsur penting yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai
berikut: Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan
adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun
untukbeberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.(Depkes,2004)
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang
bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh
berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ saluran pernapasan yang terlibat
adalah hidung, laring, tenggorok, bronkus, trakea, dan paru-paru, tetapi yang menjadi
fokus adalah paru-paru. Titik perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat
mortalitas radang paru-paru. (Widoyono, 2011)
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :
a. Bukan pneumonia : mencangkup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya adalah common
cold, faringitis, tonsilitis dan otitis.
b. Pneumonia : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas.
Diagnosis gejala ini berdasarkan usia. Batas frekuensi napas cepat pada anak
berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia <5
tahun adalah 40 kali permenit.

c. Pneumonia berat : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas
disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest
indrawing) pada anak usia dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak usia <2 bulan,
diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napad cepat yaitu frekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya terikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe chest indrawing).
2.1.2 Definisi Pertusis
Pertusis adalah penyakit saluran pernapasan di sebabkan oleh basil
Haemophilus Pertusis. Menyerang jalan napas bagian atas. Perjalanan penyakit masa
inkubasi 7-14 hari. Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran
pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari
batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
(Rampengan, 1993). Menurut Sarah S. Long, Pertusis merupakan infeksi saluran
pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Pravalensi di seluruh
dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Sy-denham yang pertamakali
menggunakan istilah pertusis (batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping-cough), karena kebanykan individu yang terinfeksi
tidak berteriak (whoop = berteriak). (Nelson, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi saluran napas akut yang terutama menyerang
anak. Arti kata pertusis adalah batuk yang intensif sehingga penyakit ini sering disebut
batuk rejan, whooping cough, tussin quinta, violent cough, atau batuk 100 hari karena
sifat batuknya yang lama dan khas. Penyakit ini sudah ditemukan sejak tahun 1578,
meskipun kuman penyebabnya sendiri baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan
Gengou. (Widoyono, 2011)
2.2 Etiologi
2.2.1 Etiologi ISPA
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan riketsia. Etiologi ISPA meliputi :
a. Bakteri : Diplococus pneumoniae, Pneumococus, Streptococuspyogenes,
Staphylococus auresus, Haemophilus influenzae, dan lain-lain.
b. Virus : influenxa, adenovirus, sitomegalovius
c. Jamur : Aspergillus sp., Candida albicans, histoplasma, dan lain-lain.
d. Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (biasanya minyak tanah),
cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian, mainan plastik kecil,
dan lain-lain)
2.2.2 Etiologi Pertusis
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis (Haemophilus pertussis).
B. perthussis termasuk kelompok kokobasilus. Gram-negatif, tidak bergerak, dan
tidak berspora. Bakteri ini memerlukan media untuk tumbuh seperti media darahgliserin-kentang (Bordet-Gengou) yang ditambah penisilin untuk menghambat
pertumbuhan organisme lainnya. Bakteri ini berukuran panjang 0,5 1 mikro meter
dan diameter 0,2 0,3 mikro meter.
Bordetella parapertussis menyebabkan penyakit parapertusis, yaitu penyakit
sejenis pertusis yang gejalanya lebih ringan. Parapertusis biasanya menyerang anak

usia sekolah dan relatif jarang terjadi. Perbedaan kedua penyakit tersebut adalah
dalam hal hasil pemeriksaan kultur, biokimia dan tes imunologi. (Widoyono, 2011)
2.3 Patofisiologi / WOC ISPA dan Pertusis
2.3.1 Patofisiologi / WOC ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh.Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau
dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring.Jika refleks tersebut gagal maka virus
merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kendig and Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.
Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk (Kendig and Chernick, 1983).Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri.Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas
seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang
mukosa yang rusak tersebut (Kendig dan Chernick, 1983).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan
dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif.Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan
dan malnutrisi.Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak
(Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang
lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam
saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi
apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah
apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan
batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh
dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

WOC ISPA :

2.3.2

Patofisiologi / WOC Pertusis

Bordetella merupakan kokobasili gram negative yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobic pada agar, darah, tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
nikotinamid, asam amino untuk energy, dan arang atau resin siklodekstrin untuk mnyerap
bahan-bahan berbahaya. Species Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gena virulen dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya B pertusis yang mengeluarkan toksin
pertusis, protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk b pertusis. Serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu. B pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis
banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dlam penyakit dan imunitas. Pasca

penambahan aerososl hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen terutama FIM2


dan FIM3. Dan protein permukaan non fimbria 69-Kd yang disebut pertaktin penting untuk
perlekatan terhadap sel epitel bersiliasaluran pernapasan. Sitotoksin trachea, adenilat siklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan Hporadic. Sitoktosin trakea, faktor dermonekrotik
dan adenilat siklase di terima secra dominan menyebabkan cedera epitel local yang
menghasilkan gejal-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP tefbukti
mempunyai banyak aktivitas biolgis, beberapa darinya merupakam manisfestasi sistemik
penyakit.
WOC Pertusis :

2.4 Manifestasi Klinis


2.4.1 Manifestasi Klinis ISPA
2.4.1.1 Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau

stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran
tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa tanda dan gejala yang dialami klien dengan
ISPA adalah sebagai berikut :
a. Napas cepat bila anak usia :
1) <2 bulan
: 60 kali permenit atau lebih
2) 2 bulan sampai <1 tahun
: 50 kali permenit atau lebih
3) 1 tahun sampai 5 tahun
: 40 kali permenit atau lebih
b. Penentuan adanya tanda bahaya : jika terdapat satu atau lebih gejala di bawah ini
berarti ada tanda bahaya.
1) Tidak bisa minum
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Gizi buruk
6) Demam atau dingin (khusus untuk bayi berusia <2 bulan)
c. Klasifikasi penyakit :
1) Tanpa napas cepat artinya bukan pneumonia
2) Dengan napas cepat saja artinya pneumonia
3) Ada tanda bahaya artinya pneumonia berat
2.4.1.2 Cara Penularan ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease.
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa
kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar
penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi
yang melayangdi udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian
daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua, yakni
droplet nuclei dan dust.
Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa droplet yang
mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai cara, antara lain dengan melalui
evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga
dapat terbentuk dari aerolisasi materi-materi penyebab infeksi di dalam laboratorium.
Karena ukurannya yang sangat kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu
yang cukup lama dan dapat diisap pada waktu bernapas dan masuk ke alat pernapasan.
Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi
partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu
lantai/tanah.

2.4.2

Manifestasi Klinis Pertusis

Sarah S. Long (1993) menjelaskan bahwa manifestasi klinis dapat dijelaskan


sebagai penyakit yang memiliki durasi lama, dibagi menjadi stadium kataral,
paroksismal, dan konvalensen, masing-masing berakhir 2 minggu. Secara klasik, pascamasa inkubasi yang berkisar dari 3 sampai 12 hari, gejala kataral tidak khas, terjadi
kongesti dan rhinorrea, secara berbeda disertai dengan demam, bersin, lakrimasi, dan
penutupan konungtiva. Ketika gejala semakin berkurang, batuk baru dimulai sebagai
batuk pendek iritatif, kering, intermitten dan berkembang menjadi peroksismal yang
tidak berhenti-henti yang merupakan tanda khas pertusis. Pada fase ini bayi muda yang
tampak sehat mulai tercekik, menghembuskan napas pendek dan tungkai berjuntai, mata
berair dan cembung, muka merah. Batuk (dengkur ekspirasi [expiratory grunt]) mungkin
tidak ada, atau bahkan diperkirakan mencolok pada fase umur ini. Teriakan (hembusan
inspirasi yang kuat) jarang terjadi pada bayi berumur kurang dari 3 bulan yang kekuatan
ototnya lemah atau kurang untuk membuat tekanan intratorakss negatif mendadak.
Pada anak yang sedang belajar berjalan dan bermain-main yang tampak sehat
dengan provokasi yang sama tidak berarti secara mendadak mengungkapkan pancaran
muka kecemasan yang sama seperti yang terjadi pada bayi dan justru mungkin terlihat
mencengkeram orangtua sebelum mengeluarkan batuk yang keluar terus-menerus, dagu
dan dada nya terlihat membungkuk ke depan, lidah menonjol maksimal, mata
mencembung dan berair, muka berwarna merah. Sampai saat-saat terakhir mendekati
keadaan yang stabil, batuk berhenti dan teriakan kuat menyertai ketika udara inspirasi
melewati saluran napas yang sebagian masih tertutup. Episode ini dapat berakhir dengan
pengeluaran secara paksa (ekspulsi) sekresi penyumbat trakea yang kental, silia yang
lepas, dan epitel nekrotik.
Pada orang dewasa menggambarkan rasa pencekikan yang disertai dengan batuk
terus-menerus, rasa kekurangan napas, nyeri kepala penuh, kesadaran berkurang, dan
kemudian dorongan dada dan desakan udara ke dalam paru-paru, biasanya tanpa
teriakan. Muntah pasca batuk sering terjadi pada penderita pertusis pada semua umur dan
merupakan kunci utama untuk diagnosis pada remaja dan orang dewasa. Kelelahan pasca
batuk akan terasa menyeluruh pada bagian tubuh, terutama dada dan perut. Jumlah dan
keparahan paroksismal memburuk selama beberapa hari sampai satu minggu (lebih cepat
pada bayi yang masih muda) dan tetap pada plateau selama beberapa hari sampai
beberapa minggu (lebih lama pada bayi muda). Pada puncak stadium paroksismal,
penderita mungkin mengalami lebih dari satu episode perjam. Ketika stadium
paroksismal menghilang menjadi kovalesen, frekuensi, keparahan, dan lama episode
berkurang. Sebaliknya pada bayi dengan pertumbuhan dan bertambahnya kekuatan,
batuk dan rejan dapat menjadi lebih keras dan lebih klasik pada konvalesen.
Anak yang di imunisasi mengalami pemendekan semua stadium pertusis. Orang
dewasa tidak mempunyai stadium yang berbeda. Pada bayi dengan usia kurang dari 3
bulan fase kataral biasanya berlangsung dalam beberapa hari dan tidak bisa dikenali
sama sekali kapan periode apnea terjadi, tercekik, batuk ngorok yang menandai mulainya

penyakit; termsuk konvalesen batuk parooksismal intermitten selama umur tahun


pertama termsuk berulang dengan penyakit pernapasan selanjutnya; keadaan ini bukan
karena infeki berulang atau reaktivasi B.pertussiss. Pemeriksaan fisik biasanya tidak
informatif. Tanda-tanda penyakit saluran pernapadan bawah tidak diharapkan. Sering ada
perdaarahan konjungtiva dan petekie pada tubuh bagian atas. (Nelson, 2000)
Pertusis merupakan toxin-mediated disease, yaitu toksinnya melekat dan
melumpuhkan bulu getar (silia) saluran napas. Hal ini akan mengganggu aliran sekret.
Selanjutnya batuk terus-menerus yang diakhiri dengan whoop (inspirasi panjang dan
melengkung) akan terjadi dan berlangsung selama 1 10 minggu (Widoyono, 2011).
Ada 3 stadium Bordetella pertusis yang meliputi :
a. Stadium kataral (1-2 minggu)
Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak
begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius.
b. Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu)
Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat,
selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan
bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan
berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik.
Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit
yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
c. Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian
tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode
ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

2.5 Pemeriksaan Diagnosis


2.7.1 Pemeriksaan Diagnosis ISPA
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur/
biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan
jenis kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Victor dan Hans; 1997;
224).

Menurut dr. A. Krishna, Diagnosis ISPA dapat dilakukan oleh dokter dan
ditentukan berdasarkan beberapa pemeriksaan meliputi :
a.

Mendengarkan keluhan yang dirasakan oleh penderita dan memeriksa


badan terutama daerah hidung dan tenggorokan.
b.
Pemeriksaan swab hidung atau tenggorokan
c.
Apabila diperlukan pemeriksaan dahak/sputum juga bisa dilakukan
d.
Pemeriksaan rontgent biasanya dilakukan apabila ada kecurigaan infeksi
di daerah sinus atau bila dicurigai ISPA tersebut tidak sembuh dan
berlanjut menginfeksi pari-paru.
2.7.2 Pemeriksaan Diagnostik Pertusis
Pada stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic jumlah leukosit
meninggi kadang sampai 15.000-45000 per mm 3 dengan limfositosis, diagnosis, dapat
diperkuat dengan mengisolasi kuman dari sekresi jalan napas yang dikeluarkan pada
waktu batuk.Secara laboratorium diagnosis pertusis dapat ditentukan berdasarkan
adanya kuman dalam biakan atau dengan pemeriksaan imunofluoresen.
Sarah S. Long (1993) menjelaskan bahwa pertusis harus dicurigai pada setiap
individu yang mempunyai keluhan batuk murni atau dominan, termasuk yang jika
berikut ini tidak ada: demam, malaise, atau ialgia, eksantema dan anantema, nyeri
tenggorok, parau, takipnea, mengi dan ronki. Untuk kasus sporadik, definisi kasus
klinis batuk yang lamanya 14 hari atau lebih dengan sekurang-kurangnya disertai satu
gejala paroksismal, rejan atau muntah pascabatuk mempunyai sensitivitas 81% dan
spesifisitas 58% untuk konfirmasi biakan. Apnea atau sianosis (sebelum adanya
batuk) merupakan kunci pertanda pada bayi berusia 3 bulan yang mengalami
pertussiss.
Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi
yang sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai
manifestasi yang atipis. Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah
serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda
malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita
pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah
riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (20.000-50000/ul)
pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan
secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto
thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema. Diagnosis dapat
dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium
spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai
common cold.
Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis
fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan
penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella

bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis.


Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa diagnosis pertusis tidak mudah
ditegakkan, tergantung berat atau ringannya penyakit. Kriteria di bawah ini akan
memnbantu petugas lapangan untuk membuat diagnosis.
a. Kriteria menentukan
1) Terdapat perdarahan subkonjungtiva bukan karena trauma pada anak
dengan anamnesis pertusis.
2) Laboratorium : leukositosis (>30.000/mm2) dengan >60% limfosit.
b. Kriteria mayor
1) Serangan batuk yang diakhiri bunyi whoop (hup) yang khas,
kemudian diikuti dengan muntah
2) Serangan batuk biasanya menghebat pada malam hari
3) Laboratorium : leukositosis (>30.000/mm2) dengan 50 60%
limfosit.
c. Kriteria minor
1) Adanya serangan batuk hebat tanpa diakhiri dengan bunyi whoop atau
muntah
2) Terdapat edema periorbital
3) Keluar riak yang kental
4) Pernah kontak dengan penderita pertusis dalam 4 minggu terakhir
5) Laboratorium : leukositosis (15.000 30.000/mm2) dengan 50 60%
limfosit.
Diagnosis klinis pertusis dengan penunjang laboratorium apabila terdapat:
a. 1 kriteria menentukan
b. 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor
c. 4 kriteria minor
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan ditemukannya bakteri Bordetella
pertussis pada biakan isolasi.

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan ISPA
Penatalaksanaan pada Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut tanpa pemberian
obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat
batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan
seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar
getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya
setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk
pemeriksasan selanjutnya (Rasmaliah,2005).

Berdasarkan Buku Ajar Keperawatan pediatric, pentalaksanaan ISPA dikelompokkan


menjadi (Donna L. Wong, et al., 2009):
a. Nasofaringitis
Anak-anak yang menderita nasofaringitis dirawat di rumah. Tidak ada
pengobatan yang spesifik dan vaksin yang efektif. Antipiretik diberikan untuk demam
dan ketidaknyamanan ringan. Anak dianjurkan untuk beristirahat sampai bebas
demam minimal 1 hari. Untuk anak dan bayi berusia lebih dari 6 bulan dapat
diberikan dekongestan secara topical untuk mengecilkan saluran napas yang
membengkak. Perda batuk yang mengandung dekstrometorfan dapat diberikan untuk
batuk kering, tetapi preparat yang mengandung alcohol sampai 22% harus dihindari.
Antihistamin dan ekspektoran tidak efektif untuk menangani nasofaringitis. Dan
antibiotic biasanya tidak diindikasikan.
b. Faringitis
Jika terjadi infeksi tenggorokan akibat Streptococcu sp, penisilin oral dapat
diberikan dengan dosis yang cukup untuk mengendalikan manifestasi local akut dan
untuk menghilangkan organisme yang kemungkinan tertinggal sebagai penyebab
gejala. Penisilin biasanya dapat menimbulkan respon yang cepat dalam 24 jam,
namun beberapa pasien memerlukan pengobatan ulang jika organismenya tidak hilang
seluruhnya. Antibiotic lain yang digunakan adalah eritromisin, azitromisin,
klaritromisin, dan sefalosporin (Feder dkk, 1999 dalam Wong dkk, 2009). Kombinasi
penisilin dengan rifampin lebih efektif dalam menghilangkan streptokokus
dinbandingkan dengan penisilin itu sendiri dan direkomendasikan untuk karier dan
individu yang resisten terhadap penisilin.
c. Tonsilitis
Tonsillitis dapat sembuh sendiri, pengobatan faringitis viral bersifat
simtomatik. Infeksi virus dan streptokokus pada demam tonsillitis eksudatif harus
dibedakan untuk mengurangi kemungkinan pemberian antibiotic yang tidak perlu.
Tonsilektomi (pengangkatan tonsil palatin) diindikasikan hanya pada kasus
streptokokus kambuhan yang tercatat; jika terdapat abses peritonsilar, atau pada kasus
hipertrofi massif yang menyebabkan esulitan bernapas atau makan (Derkay, Darrow,
LeFebvre, 1995 dalam Wong dkk, 2009). Indikasi absolute adalah keganasan dan
obstruksi jalan napas. Adenoidektomi (pengangkatan adenoid) dianjurkan untuk anak
yang mengalami hipertrofi adenoid yang menyumbat pernapasan hidung
d. Influenza
Influenza tanpa komplikasi pada anak-anak biasanya hanya memerlukan
pengobatan simtomatik: asetominofen atau ibuprofen untuk demam, dekstrometorfan
untuk batuk (jika perlu), dan cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi.
Amantadin hidroklorida (Symmetrel) telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala
influenza tipe A jika diberikanS dalam 24 jam sampai 48 jam setelah awitan. Akan
tetapi obat ini tidak efektif terhadap influenza tipe B dan C atau virus lainnya. Obat
ini tidak boleh diberikan pada anak-anak berusia kurang dari 2 th namun dianjurkan
untuk divaksinasi pada anak-anak beresiko tinggi. Anak influenza tidak boleh
menerima aspirin karena adanya kemungkinan hubungan dengan Sindrom Reye.
e. Otitis Media

Pemberian antibiotic oral selama 5 atau 10 hari dengan amoksisilin,


amoksisilin klavulanat, sulfonamide, trimetoprim-sulfametoksazol, eritromisinsulfisoksazol, azitromisin, klaritromisin, atau sefalosporin (Montville & White, 1998
dalam Wong, 2009) injeksi seftriakson intramuscular dosis tunggal juga merupakan
pengobatan yang efektif. Antibiotic tersebut hanya diindikasikan pada anak yang
mengalami: lebih dai tiga infeksi telinga dalam setahun, kultur pernapasan positif dan
resiko tinggi mengalami infeksi bakteri karena immunosupresi, splenektomi, fibrosis
kistik dan penyakit sel sabit. Dengan terapi yang tepat, sebagian besar anak membaik
48 sampai 72 jam.
Miringotomi (insisi bedah pada gendang telinga) mungkin diperluakn untuk
mengurangi gejala pada sebagian anak-anak, terutama jika mengalami nyeri berat,
kehilangan pendengaran akibat Ostitis Media kambuhan atau kronis atau gagalnya
penatalaksanaan medis dengan antibiotic profilaktik (Williams dkk, 1997 dalam Wong
dkk, 2009). Anak-anak harus dilihat setelah tetrapi antibiotic untuk mengevaluasi
efektivitas pengobatan dan untuk mengidentifikasi komplikasi potensial seperti efusi
atau gangguan pendengaran. Analgesic atau obat antipiretik digunakan untuk
mengurangi rasa tidak nyaman dan menurunkan peningkatan suhu.
Tujuan utama penatalaksanaan OME adalah membentuk dan mempertahankan
aerasi telinga tengah bebas dari cairan dengan mukosa normal dan mencapai
pendengaran normal. Pemberian antibiotic tidak dianjurkan sebagai pengobatan awal
OME namun dapat diindikasikan untuk anak-anak yang menderita efusi persisten
selama lebih dari 3 bulan (Dowell dkk, 1998 dalam Wong dkk, 2009).
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa penatalaksanaan ISPA adalah sebagai
berikut :
1. Bukan pneumonia : perawatan di rumah
2. Pneumonia : diobati dan diberi nasihat tentang perawatan di rumah
3. Pneumonia berat : di rujuk ke rumah sakit untuk segera mendapat
penanganan.

Selengkapnya lihat tabel berikut :


TANDA

KLASIFIKASI
TINDAKAN

USIA <2 BULAN


a. Napas cepat : 60 kali a. Tidak
ada
napas
permenit
cepat : <60 kali
Atau
permenit
b. Tarikan dinding dada
Atau
bagian bawah ke arah b. Tidak ada tarikan
dalam yang kuat
dinding dada ke arah
dalam
PNEUMONIA BERAT BUKAN PNEUMONIA
a. Kirim segera ke a. Beri nasihat cara
sarana rujukan
perawatan di rumah:
b. Beri antibiotik satu b. Jaga agar bayi tidak
dosis
kedinginan

c. Teruskan pemberian
ASI dan berikan ASI
lebih sering
d. Bersihkan hidung bila
tersumbat
e. Anjurkan ibu untuk
kembali
kontrol,
bila :
f. Keadaan
bayi
memburuk
g. Napas menjadi cepat
h. Bayi sulit bernapas
i. Bayi sulit untuk
minum
USIA 2 BULAN SAMPAI <5 TAHUN
TANDA
a. Tarikan dinidng a. Tidak ada tarikan a. Tidak ada tarikan
dada
bagian
dinding
dada
dinding dada bagian
bawah ke arah
bagian bawah ke
bawah ke arah dalam
b.
Tidak ada napas
dalam
arah dalam
b. Napas cepat :
cepat :
1) 2 bulan <12 1) 2 bulan <12 bulan :
bulan : 50 kali
<50 kali permenit
2) 1 tahun <5 tahun :
permenit
2) 1 tahun <5 tahun
<40 kali permenit
: 40 kali permenit
KLASIFIKAS
PNEUMONIAS
PNEUMONIA
BUKAN
I
BERAT
PNEUMONIA
TINDAKAN
a. Rujuk segera ke
a. Nasihati ibu untuk a. Jika batuk
sarana kesehatan
melakukan
berlangsung selama
b. Beri antibiotik
perawatan
30 hari, rujuk untuk
satu dosis bila
dirumah
pemeriksaan lanjutan
jarak sarana
b. Beri antibiotik
b. Obati penyakit lain
kesehatan jauh
selama 5 hari
bila ada
c. Obati bila demam c. Anjurkan ibu
c. Nasihat ibu untuk
d. Obat bila ada
untuk kontrol
melakukan
wheezing
setelah 2 hari atau
perawatan di rumah
d. Obati bila demam
lebih cepat bila
e. Obati bila ada
keadaan anak
wheezing
memburuk
d. Obati bila demam
e. Obati bila ada
wheezing
Sumber : Depkes RI, Bimbingan ketrampilan dalam tata laksana penderita ISPA pada anak,
Jakarta, 1993

3
4

2.6.1.1 Pencegahan ISPA


Menurut Rahayu RA dan Bahar A. 2007, upaya pencegahan yang dapat
dilakukan guna menurunkan angka kejadian ISPA antara lain:
Menjaga keadaan gizi agar tetap baik sehingga tubuh memiliki daya tahan yang
optimal untuk melawan segala macam agen infeksi yang dapat menyebabkan
seseorang jatuh sakit.
Imunisasi. Vaksinasi juga dapat dilakukan dalam upaya pencegahan infeksi beberapa
jenis virus seperti influenza dan pneumonia. Namun, saat ini masih kontroversial
mengenai efektivitas pemberian vaksinasi pada usia lanjut yang berhubungan dengan
penurunan fungsi limfosit B pada kelompok geriatri.
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan akan mengurangi risiko terjadinya
penyebaran agen infeksi dari luar
Menghindari berhubungan dengan penderita ISPA untuk mencegah penularan infeksi
dari invidu satu ke individu lainnya.

2.6.1.2 Pengobatan ISPA


Cara pengobatan penyakit ISPA adalah sebagai berikut :
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, di berikan antibiotik melalui jalur infus,
di beri oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya Kotrimoksasol,
jika terjadi alergi / tidak cocok dapat diberikan Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik
2.6.2 Penatalaksanaan Pertusis
Kasus ringan pada anak-anak umur 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan
perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah
batuk.
a. Antibiotik
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis
makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan
menurunkan periode infeksius.
b. Oksigen
1) Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.
2) Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena
akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar
tidak menghambat aliran oksigen.
3) Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
4) Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada
posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan
aman.
c. Tatalaksana jalan napas

1) Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran sekret.
2) Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan lembut dan hati-hati.
3) Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau
dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
2.6.2.1 Pengobatan
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa pengobatan untuk menghentikan gejala
adalah :
a. Antibiotik : eritromisin atau penisilin
1) Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis.
Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam
2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek
kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan
pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan
menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk
pengobatan pertusis untuk bayi muda.
2) Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.
3) Lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.
b. Suportif : pengencer dahak, oksigen bila perlu, atasi dehidrasi dan berikan
nutrisi yang cukup
c. Immunoglobulin: Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian
immunoglobulin pada stadium kataralis
d. Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali; Luminal
sebagai sedative.
e. Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres
pernapasan.
f. Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk
paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui
penelitian kontrol. Dapat pula mencegah obstruksi bronkus dan mengurangi
lama whoop.
2.6.2.2 Pencegahan
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa pencegahan utama pertusis adalah
imunisasi. Kekebalan pasif dari ibu pascapersalinan ternyata tidak cukup melindungi
bayi dari serangan penyakit ini. Imunisasi diberikan sebanyak tiga kali, mulai usia dua
minggu dengan interval empat minggu. Di Amerika Serikat, usia yang
direkomendasikan adalah 2, 4, dan 6 bulan. Perlindungan imunisasi makin menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Biasanya anak usia >7 tahun tidak lagi
memerlukan imunisasi karena infeksi yang menyerang anak yang lebih besar biasanya
ringan.
Imunisasi vaksin ini perlu diberikan dengan hati-hati, komponen antigen
pertusis pada vaksis DPT dapat menimbulkan reaksi demam dan kejadian ikutan

pasca-imunisasi (KIPI). Imunisasi dapat ditunda bila anak mengalami demam karena
infeksi, namun anak dengan sakit ringan yang disertai demam atau tanpa demam
bukan merupakan kontraindikasi. Penundaan imunisasi sebaiknya tidak menunggu
sampai anak berusia lebih dari satu tahun.
Penyuluhan kepada masyarakat perlu dilakukan terutama pada orangtua bayi,
meliputi pendidikan bahayanya penyakit ini serta keuntungan imunisasi pertama pada
anak berusia tidak lebih dari dua bulan.
2.7 Komplikasi
2.7.1 Komplikasi ISPA
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri
5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya.Komplikasi yang dapat terjadi adalah
sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi.
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya
didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat
lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus
disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral.Bila didapatkan
pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa
sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya komplikasi
sinusitis.Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan
antibiotik.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat
menembus langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis
media akut (OMA).Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai
suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) kadang menyebabkan kejang
demam.
Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau
memegang telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan
menekan telinganya dan biasanya bayi akan menangis keras). Kadangkadang hanya ditemui gejala demam, gelisah, juga disertai muntah atau
diare. Karena bayi yang menderita batuk pilek sering menderita infeksi
pada telinga tengah sehingga menyebabkan terjadinya OMA dan sering
menyebabkan kejang demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT.
Biasanya bayi dilakukan parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan
antibiotika keadaan tidak membaik. Parasentesis (penusukan selaput
telinga) dimaksudkan mencegah membran timpani pecah sendiri dan
terjadi otitis media perforata (OMP).
Faktor-faktor OMP yang sering dijumpai pada bayi dan anak adalah :

1) Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus hingga merintangi penyaluran

sekret.
2) Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan
perembesan infeksi juga merintangi penyaluran sekret.
3) Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga tengah
walau jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke syaraf pusat
(meningitis).
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah
seperti laryngitis, trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia.Selain itu
dapat pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.
2.7.2 Komplikasi Pertusis
Komplikasi yang bisa terjadi adalah malnutrisi, bronkitis, hingga
bronkopneumonia dan kejang karena ensefalopati. Kematian karena pertusis biasanya
disebabkan oleh adanya komplikasi bronkopneumonia atau pneumonia (Widoyono,
2011).
Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat. Pneumonia
komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak karena infeksi
B.Pertussis sendiri, tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes). TBC laten dapat juga di aktifer. Selain itu,
atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Komplikasi panas
tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria. Di ikuti dengan
batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
Bahkan sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi. Komplikasi lainnya dapat pula terjadi konvulsi dan koma,
merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi
kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi. Komplikasi terakhir
yang mungkin terjadi adalah kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder
terhadap syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
(Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1997)
Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada penderita pertusis adalah
Pneumonia. Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang
disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang
menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam
dan terjadinya distres pernapasan secara cepat. Kedua, adalah Kejang. Hal ini bisa
disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau
ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri
antikonvulsan.

Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang. Yang lainnya
yang mungkin terjadi adalah Perdarahan dan hernia; Perdarahan subkonjungtiva dan
epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus. Hernia umbilikalis
atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan
khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi
bedah setelah fase akut.
2.8 Prognosis ISPAdan Pertusis
2.8.1 Prognosis ISPA
Pada dasarnya, prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi
yang berat. Hal ini juga didukung oleh sifat penyakit ini sendiri, yaitu self limiting
disease sehingga tidak memerlukan tindakan pengobatan yang rumit.
Penyakit yang tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak
oleh karena infeksi bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit
> 10.000/ul, biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.
2.8.2 Prognosis Pertusis
Prognosis Pertusis bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama
komplikasi paru dan susunan saraf yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan
anak kecil. Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun
berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak: yang berusia dibawah 1 tahun meninggal.
Kematian terjadi karena kekurangan oksigen ke otak (ensefalon anoksia)
dan bronkopneumonia. Angka kematian telah menurun menjadi (10/1000).
Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi
paru-paru lain. Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan pada ISPA
A. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Umur
:Kebanyakan infeksi ini menyerang anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang dari 1 tahun.
Jenis kelamin : Angka kesakitan ISPA pada anak perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki
Alamat
: Kepadatan hunian diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan
penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara
didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik
maupun kimia.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama:
Klien mengeluh batuk, pilek
2) Riwayat penyakit sekarang:
Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan
lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit
tenggorokan.
3) Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang
4) Riwayat penyakit keluarga:
Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit
klien tersebut.
5) Riwayat sosial:
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat
penduduknya
c. Pemeriksaan Persistem
B1 (Breath)
:
1) Inspeksi:
- Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan
- Tonsil tanpak kemerahan dan edema
- Tampak batuk tidak produktif
- Tidak ada jaringna parut pada leher
- Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan,pernapasan cuping
hidung, tachypnea, dan hiperventilasi
2) Palpasi
- Adanya demam
- Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada
nodus limfe servikalis
- Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
3) Perkusi
Suara paru normal (resonance)

4) Auskultasi
Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
B2 (Blood) : kardiovaskuler Hipertermi.
B3 (Brain)
: penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga,
terjadi gangguan penciuman.
B4 (Bladder) : perkemihan Tidak ada kelainan.
B5 (Bowel) : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis Minum
sedikit, nyeri telan pada tenggorokan.
B6 (Bone)
: Warna kulit kemerahan (Benny:2010)
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
3) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Benny:2010).
B. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan proses inflamasi
2. Ansietas yang berhubungan dengan kesulitan bernapas, prosedur tidak familiar, dan
kemungkinan lingkungan ( rumah sakit )
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan obstruksi mekanik,
inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri
4. Risiko infeksi yang berhubungan dengan adanya organisme infektif
5. Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan 1 : Pasien akan menunjukkan fungsi pernapasan normal
Hasil yang Diharapkan :
1. Pernapasan tetap dalam batas normal
2. Pernapasan tanpa kesulitan
3. Anak beristirahat dan tidur dengan tenang
Intervensi Keperawatan:
INTERVENSI
Posisikan anak untuk mendapatkan ventilasi
yang maksimal
Beri posisi yang nyaman

Periksa posisi anak dengan sering untuk


memastikan bahwa anak tidak merosot
Hindari pakaian atau selimut yang terlalu ketat
Gunakan bantal dan bantalan
Berikan peningkatan kelembapan dan

RASIONAL
Membuka jalan napas dan memungkinkan
ekspansi paru maksimal
Posisi Tripod pada anak dengan epiglotis atau
pertahankan elevasi kepala sedikitnya 30
derajat
Menghindari penekanan diafragma
Memudahkan mobilisasi pernapasan
Mempertahankan jalan napas tetap terbuka
Memenuhi kebutuhan oksigen

suplemen oksigen dengan menempatkan anak


di tenda kecil atau hood ( bayi ) atau berikan
melalui kanula nasal atau masker
Tingkatkan istirahat dan tidur dengan
menjadwalkan aktivitas dan periode istirahat
yang tepat
Anjurkan teknik relaksasi
Ajarkan pada anak dan keluarga tindakan
untuk mengurangi upaya pernapasan
Gunakan AC (pendingin ruangan)di kamar
anak dengan suhu yang sesuai
Ciptakan uap panas dengan mengalirkan air
panas di kamar mandi yang tertutup

Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur

Meningkatkan rasa nyaman dan tenang


Anak dan keluarga mengetahui tindakan yang
harus dilakukan
Meningkatkan rasa nyaman
Memberikan efek relaksasi yang ditimbulkan

Tujuan 2 : Menerima suplai oksigen yang maksimal


Hasil yang Diharapkan :
1. Anak bernapas dengan mudah
2. Pernapasan tetap dalam batas normal
3. Saturasi oksigen 95 % atau lebih
INTERVENSI
Posisikan anak untuk mendapatkan
ventilasi yang maksimal
Gunakan oksimeter nadi
Berikan oksigen sesuai resep dan / atau
seperlunya

RASIONAL
Memperoleh efisiensi ventilasi yang
maksimal
Memantau saturasi oksigen
Memenuhi kebutuhan oksigen

Diagnosa 2 : Ansietas yang berhubungan dengan kesulitan bernapas, prosedur tidak familiar,
dan kemungkinan lingkungan ( rumah sakit )
Tujuan 1 : Ansietas pasien menurun
Hasil yang Diharapkan :
1. Anak tidak menunjukkan tanda tanda gawat napas atau ketidaknyamanan fisik
2. Orang tua tetap bersama anak dan memberikan kenyamanan
3. Anak terlibat dalam aktivitas yang tenang sesuai dengan usia, minat, kondisi, dan
tingkat kognisi anak.
INTERVENSI
Jelaskan prosedur dan peralatan
menggunakan istilah yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak
Bina hubungan dengan anak dan orang
tua

RASIONAL
Anak tidak takut terhadap alat-alat
yang akan digunakan saat pemeriksaan
Menjalin komunikasi antara perawat
dengan klien atau keluiarga klien

Tetap bersama anak dan orang tua


selama prosedur
Tampilkan sikap tenang dan
meyakinkan
Dampingi dengan sering anak dan
orang tua selama fase akut
Lakukan tindakan kenyamanan yang
disukai anak
Sediakan benda benda yang lekat
dengan anak
Anjurkan pelaksanaaan perawatan
berpusat pada keluarga dengan
meningkatkan kehadiran orang tua dan,
jika mungkin, keterlibatan orang tua
Jangan melakukan apapun yang
membuat anak semakin cemas atau
takut
Usahakan untuk menghindari prosedur
intrusif dan menimbulkan rasa nyeri
Perhatikan siklus atau pola
tidur/istirahat anak dalam
merencanakan aktivitas keperawatan
Beri aktivitas pengalihan yang sesuai
dengan kemampuan kognitif dan
kondisi anak
Beri obat yang dapat memperbaiki
ventilasi

Menjaga kondisi psikologis anak


sehinga anak menjadi tenang dalam
pelaksanaan prosedur
Memberikan rasa nyaman
Mengontrol perkembangan kondisi
klien
Memberikan rasa nyaman dan tenang
pada klien
Memudahkan perawat untuk
melakukan pemeriksaan terhadap klien
Memberikan kenyamanan pada kondisi
psikologis anak dalam tindakan
kepertawatan yang diberikan.
Mengurangi efek stres dan cemas pada
anak
Mengurangi rasa takut dan stress pada
anak
Mengetahui pola tidur / istirahat klien

Memberikan rasa nyaman dan tenang


selama anak berada dalam perawatan
Memperbaiki saluran pernafasan klien

Diagnosa 3 : Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan obstruksi mekanik,
inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri
Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan napas dan mengeluarkan sekret secara adekuat
Kriteria Hasil :
a. Jalan napas tetap bersih
b. Anak bernapas dengan mudah; pernapasan dalam batas normal 24x/menit
c. Anak-anak yang lebih besar mengeluarkan sekret tanpa stres dan keletihan
d. Anak yang masih kecil mampu melakukan batuk produktif
INTERVENSI
RASIONAL
Posisikan anak pada kesejajaran tubuh Memungkinkan ekspansi paru lebih
yang sesuai
baik dan memperbaiki pertukaran gas
serta mencegah aspirasi sekresi
(telungkup, semitelungkup, miring;
agar bayi tidak berisiko mengalami
aspirasi; gunakan posisi telentang atau

miring untuk tidur


Beri posisi telentang dengan kepala Menghindari hiperekstensi leher
pada posisi menarik napas dan leher
sedikit
ekstensi
serta
hidung
menghadap langit-langit
Bantu anak latihan napas dalam efektif Posisi duduk memungkinkan ekspansi
dan batuk dengan posisi duduk tinggi paru
maksimal
dan
penekanan
dan menekan daerah insisi
menguatkan upaya batuk untuk
memobilisasi dan membuang sekret.
Auskultasi dada untuk karakter bunyi Pernapasan
bising,
ronki,
dan
napas dan adanya sekret
menunjukkan tertahannya sekret dan
obstruksi jalan napas
Observasi jumlah dan karakter sputum Peningkatan jumlah sekret tak berwarna
atau aspirasi sekret, selidiki perubahan (atau bercak darah)/berair awalnya
sesuai indikasi
normal harus menurun sesuai kemajuan
penyembuhan. Adanya sputum yang
tebal, atau purulen diduga terjadi
sebagai masalah sekunder. Misalnya
dehidrasi, edema paru, perdarahan
lokal, atau infeksi yang memerlukan
perbaikan atau pengobatan.
Pastikan asupan cairan yang adekuat
Mengencerkan sekret
Ciptakan suasana lembab
Mencegah pembentukan krusta dari
sekret
hidung
dan
pengeringan
membrane mukosa
Jelaskan pentingnya pengeluaran sekret Anak dan keluarga mengetahui
pada anak dan keluarga
tindakan yang harus dilakukan.
Diagnosa 4 : Risiko infeksi yang berhubungan dengan adanya organisme infektif
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi sekunder dan tidak menyebarkan
infeksi ke orang lain
Kritera Hasil :
a. Anak tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Orang lain tetap bebas dari infeksi
INTERVENSI
RASIONAL
Pertahankan lingkungan aseptic, gunakan Menghindari dan mengurangi tingkat infeksi
kateter peghisap steril dan cuci tangan dengan yang akan terjadi
baik
Isolasi anak sesuai indikasi
Mencegah penyebaran infeksi nosokomial
Beri antibiotic
Mencegah atau mengobati infeksi
Beri diet bergizi sesuai kesukaan anak dan Mendukung pertahanan tubuh alami
kemampuan mengonsumsi makanan
Auskultasi dada untuk karakter bunyi napas Pernapasan bising, ronki, dan menunjukkan
dan adanya sekret
tertahannya sekret dan obstruksi jalan napas
Ajarkan pada anak yang sakit metode-metode Mendukung perilaku anak untuk menjaga

protektif untuk mencegah penyebaran infeksi


(mis. Mencuci tangan, membuang tisu kotor)
Batasi
jumlah
pengunjung/anggota
keluarga/saudara kandung dan skrining adanya
penyakit lain pada pengunjung
Jelaskan pada anak dan keluarga tentang
manifestasi penyakit

kebersihan
dan
menurunkan
tingkat
penyebaran infeksi.
Menjaga lingkungan pasien agar tetap
kondusif dan menurunkan tinggkat penyebaran
infeksi dari lingkungan luar.
Anak dan keluarga mengetahui tindakan yang
harus dilakukan

Diagnosa 5 : Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia


Tujuan : Nutrisi kembali seimbang
Kriteria Hasil :
1) Antropometri:
- Berat badan, tinggi badan, lingkar lengan.
- Berat badan tidak turun (stabil).
2) Biokimia:
- Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl dan perempuan 12-16 g/dl)
- Albumin normal (dewasa 3,5-5,0 g/dl).
3) Clinis:
- Tidak tampak kurus
- Rambut tebal dan hitam
- Terdapat lipatan lemak subkutan
4) Diet:
- Makan habis satu porsi
- Pola makan 3X/hari
INTERVENSI
RASIONAL
Berikan porsi makan kecil tapi sering Nafsu makan dapat dirangsang pada
dalam keadaan hangat.
situasi
rileks,
bersih,
dan
menyenangkan.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Metode makan dan kebutuhan kalori di
memberikan diet sesuai kebutuhan dasarkan pada situasi atau kebutuhan
klien.
individu untuk memberikan nutrisi
maksimal.
D. Evaluasi
1. Status ventilasi saluran pernasan baik
2. Menunjukkan pola nafas efektif
3. Pasien dapat tidur dan istirahat sesuai kebutuhannya
4. Risiko kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi.
5. Tidak terjadi risiko infeksi
3.2 Asuhan Keperawatan pada Pertusis
A. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Umur
: Kebanyakan infeksi ini menyerang anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang
dari 1 tahun

Jenis Kelamin
Alamat

: Angka kesakitan pertusis pada anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki
: Kepadatan hunian diketahui bahwa penyebab terjadinya pertusis dan penyakit
gangguan nafas lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah ataupun diluar
rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia

b. Anamnesa :
1. Riwayat alergi dalam keluarga, gangguan genetic
2. Riwayat pasien dengan disfungsi pernapasan sebelumnya
3. Adanya kontak dengan penderita pertusis
4. Riwayat Vaksinasi
c. Pemeriksaan Fisik :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : batuk panjang, kelelahan, demam ringan
Tanda : Sesak,kelelahan otot dan nyeri
2. Makanan/cairan
Gejala : Nafsu makan hilang, mual/muntah, penurunan BB
Tanda : Turgor kulit buruk, penurunan masa otot
3. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
4. Integritas ego
Tanda : Gelisah
5. Pernafasan
Gejala : Batuk, terikan nafas panjang
Tanda : muka merah, sianotik
1.Data subyek :
a. Paling banyak terdapat pada tempat yang padat penduduknya Usia yang paling
rentan terkena penyakit pertusis adalah anak dibawah usia 5 tahun
b. Cara penularanya yang sangat cepat
c. Imunisasi dapat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
oleh pertusis
d. Batuk ini disebabkan karena bordetella pertusis
e. Disalah satu Negara yang belum melaksanakan prosedur imunisasi rutin,
masih banyak terdapat penyakit pertusis
2. Data obyek :
a. Anak tiba-tiba batuk keras secara terus menerus
b. Batuk yang sukar berhenti
c. Muka menjadi merah
d. Batuk yang sampai keluar air mata
e. Kadang sampai muntah disertai keluarnya sedikit darah, karna batuk yang
sangat keras.
f. Biasanya terjadi pada malam hari
B. Diagnosa keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
9porad
2.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea
3.
Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Faktor resiko ketidakadekuatan
pertahanan utama

4.
5.

Nyeri berhubungan dengan batuk menetap


Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
risiko peningkatan kebutuhan poradic sekunder terhadap demam dan proses infeksi

C. Intervensi keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi porad.
Tujuan : Status ventilasi saluran pernafasan baik, dengan cara mampu membersihkan
secret yang menghambat dan menjaga kebersihan jalan nafas.
Kriteria hasil :
a. Rata-rata pernafasan normal
b. Sputum keluar dari jalan nafas
c. Pernafasan menjadi mudah
d. Bunyi nafas normal
e. Sesak nafas tidak terjadi lagi
Intervensi :

INTERVENSI
RASIONAL
2. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas, mis., mengi, krekels, ronki.
dengan obstruksi jalan napas dan dapat /
tak dimanifestasikan adanya bunyi napas
adventius, mis., penyebaran, krekels
basah ( bronchitis ); bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi ( emfisema ) ;
atau tak adanya bunyi napas ( asma
berat)
Catat adanya / deraja dispnea, mis., Disfungsi pernapasan adalah variable
keluhan gelisah, ansietas, distress yang tergantung kepada tahap proses
pernapasan. Penggunaan otot bantu
kronis selain proses akut yang
menimbulkan perawatan di rumah sakit,
mis., inspeksi, reaksi alergi.
Dorong / bantu latihan napas abdomen
atau bibir
Bantu pasien latihan napas sering.
Tunjukkan/ bantu pasien melakukan
batuk,misalnya menekan dada dan batuk
efektif.

Pengisapan sesuai indikasi

Tingkatkan masukan cairan sampai 3000


ml/hari
sesuai
toleransi
jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan
masukan cairan sebagai pengganti
makan.

Memberikan pasien beberapa cara untuk


mengatasi dan mengontrol dispnea dan
menurunkan jebakan udara
Napas dalam memudahkan ekspansi
maksimum paru-paru / jalan napas lebih
kecil.
Batuk
adalah
mekanisme
pembersihan jalan napas alami,membantu
silia untuk mempertahankan jalan napas
paten.
Penekanan
menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
memungkinkan upaya napas lebih dalam
dan kuat
Merangsang batuk atau pembersihan
jalan napas secara mekanik pada pasien
yang tak mampu melakukannya sendiri
Hidrasi
membantu
menurunkan
kekentalan
secret,
mempermudah
pengeluaran. Penggunan cairan hangat
dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan
selama
makan
dapat
meningkatkan distensi gaster dan tekanan
pada diafragma.
Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan
yang mentriger episode akut

Pertahankan
polusi
lingkungan
minimum, mis., debu, asap, dan bulu
bantal yang berhubungan dengan kondisi
individu
Kolaborasi pemberian obat sesuai Menurunkan sekresi Hporad dijalan
indikasi
napas dan menurunkan resiko keparahan
napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea

P
o
l
a

Tujuan : Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam
rentang normal dan paru jelas atau bersih
Kriteria hasil:
a. Frekuensi pernapasan normal
b. Bunyi paru jelas/bersih
c. Kedalaman paru dalam rentang normal
d. Bunyi napas normal
e. Pengembangan dada normal antara inspirasi dan ekspirasi
Intervensi :
INTERVENSI
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya
bunyi napas adventisius, seperti krekels,
mengi, gesekan pleural.

RASIONAL
Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan
napas obstruksi sekunder terhadap
perdarahan,bekuan atau kolaps jalan
napas kecil (atelaktasis). Ronki dan
mengi
menyertai
obstruksi
jalan
napas/kegagalan pernafasan
Tinggikan kepala dan bantu mengubah Duduk tinggi memungkinkan ekspansi
posisi. Bangunkan pasien turun tempat paru
memudahkan
pernapasan
tidur dan ambulasi sesegera mungkin
Pengubahan posisi dan ambulasi meningk
atkan pengisian udara
segmen
paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas
Observasi pola batuk dan karakter secret
kongesti alveolar mengakibatkan batuk
kering/iritasi. Sputum berdarahdapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan
(infark
paru)
atau
antikoagulan berlebihan
Dorong/bantu pasien dalam napas dalam
dan latihan batuk. Pengisapan peroral
atau naso trakeal bila diindikasikan
Kolaborasi dalam pemberian oksigen
tambahan bila diindikasikan.
3.

Mengeluarkan sputum dimana gangguan


ventilasi dan ditambah ketidak nyamanan
upaya bernafas
Memaksimalkan
bernapas
dan
menurunkan kerja napas

Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Faktor resiko ketidak


adekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia)
Tujuan : Tidak terjadi resiko infeksi
Kriteria hasil :
a. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
b. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi

Intervensi :
INTERVENSI
Pantau
tanda
vital
dengan
ketat,khususnya selama awal terapi.
Anjurkan klien untuk memperhatikan

RASIONAL
Selama periode waktu ini, potensial
terjadi komplikasi
meskipun pasien dapat menemukan

pengeluaran
secret
(misalnya pengeluaran dan upaya infeksi atau
meningkatkan pengeluaran daripada menghindarinya, penting bahwa sputum
menelannya) dan melaporkan perubahan harus dikeluarkan dengan cara aman.
warna, jumlah dan secret.
Perubahan
karakteristik
sputum
menunjukkan terjadinya infeksi sekunder
Dorong teknik mencuci tangan baik
Menurunkan resiko penyebaran infeksi
Batasi pengunjung sesuai indikasi.
Menurunkan pajanan terhadap pathogen
infeksi lain
Kolaborasi berikan antimicrobial sesuai obat ini digunakan untuk membunuh
indikasi
dengan
hasil
kultur kebanyakan microbial
sputum/darah, misalnya eritromisin.
4. Nyeri berhubungan dengan batuk menetap
Tujuan : Mengurangi rasa nyeri
Kriteria hasil :
a. Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan rileks, istirahat/tidur, dan peningkatan aktivitas dengan tepat
Intervensi :
INTERVENSI
Tentukan karakteristik nyeri, mis., tajam,
konstan, ditusuk. Selidikiperubahan
karakter/lokasi/ intensitas nyeri
Pantau tanda vital

RASIONAL
Mengetahui tingkat skala nyeri yang
di alami klien

Perubahan frekuensi jantung atau TD


menunjukkan bahwa pasien mengalami
nyeri, khususnya bila alasan lain untuk
perubahan tanda vital telah terlihat
Berikan tindakan nyaman, mis., pijatan Tindakan non-analgesik diberikan dengan
punggung, perubahan posisi, Hpora sentuhan lembut dapat menghilangkan
tenang / perbincangan, relaksasi / latihan ketidaknyamanan dan memperbesar efek
napas
terapi analgesik
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor risiko
peningkatan kebutuhan poradic sekunder terhadap demam dan proses infeksi
Tujuan : meningkatkan nutrisi dan berat badan menjadi normal.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan peningkatan napsu makan
b. Mempertahankan / meningkatkan berat badan
Intervensi :
INTERVENSI
RASIONAL
Identifikasi faktor yang menimbulkan Pilihan intervensi tergantung pada
mual / muntah, mis., sputum banyak, penyebab masalah
pengobatan aerosol, dispnea berat, nyeri
Berikan makan porsi kecil dan sering dan Tindakan ini dapat meningkatkan
/ atau makanan yang menarik untuk masukan meskipun napsu makan
pasien
mungkin lambat untuk kembali

Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat Adanya kondisi kronis atau keterbatasan
badan dasar
keuangan dapat menimbulkan malnutrisi,
nutrisi, rendahnya tahanan terhadap
infeksi, dan atau lambatnya respons
terhadap terapi.
D. Evaluasi
1) Status ventilasi saluran pernafasan baik
2) Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang
normal dan paru jelas atau bersih
3) Tidak terjadi resiko infeksi
4) Pasien dapat tidur dan istirahat sesuai kebutuhannya
5) Kekurangan volume cairan tidak terjadi
6) Resiko kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi
7) Melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas

BAB 4
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Penyakit saluran pernapasan akan sangat berbahaya apabila tidak mendapat
penanganan yang cepat dan tepat. Terlebih untuk penyakit infeksi seperti ISPA dan
Pertusis yang biasa terjadi pada anak-anak usia 1-5 tahun. Infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut
dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai
sebab (multifaktorial). Sedangkan Pertusis adalah penyakit infeksi saluran napas
akut yang terutama menyerang anak. Arti kata pertusis adalah batuk yang intensif
sehingga penyakit ini sering disebut batuk rejan, whooping cough, tussin quinta,
violent cough, atau batuk 100 hari karena sifat batuknya yang lama dan khas.
ISPA dan pertusis sama-sama di klasifikasikan sebagai penyakit infeksi,
namun infektor penyebab munculnya penyakit ini berbeda, perkembangan dalam
tubuh penderitanya pun berbeda. Pada ISPA infektor penyebabnya adalah Bakteri :
Diplococus pneumoniae, Pneumococus, Streptococuspyogenes, Staphylococus
auresus, Haemophilus influenzae, dan lain-lain. Virus penyebabnya dapat berupa
influenxa, adenovirus, sitomegalovius. Jamur : Aspergillus sp., Candida albicans,
histoplasma, dan lain-lain. Sedangkan pada penyakit pertusis, penyebab utamanya
adalah perkembangbiakan bakteri Bordetella pertussis (Haemophilus pertussis).
B. perthussis termasuk kelompok kokobasilus. Gram-negatif, tidak bergerak, dan
tidak berspora. Bakteri ini memerlukan media untuk tumbuh seperti media darahgliserin-kentang (Bordet-Gengou) yang ditambah penisilin untuk menghambat
pertumbuhan organisme lainnya. Bakteri ini berukuran panjang 0,5 1 mikro
meter dan diameter 0,2 0,3 mikro meter.
Baik ISPA maupun Pertusis adalah dua penyakit yang sering mengancam
sistem pernapasan pada anak (biasanya usia 1-5 tahun). Masalah akan sangat
rentan dan harus segera ditangani apabila terdapat gejala-gejala yang tidak normal
pada sistem pernapasannya. Setiap penyakit baik ISPA maupun Pertusis memiliki
penatalaksanaan (pencegahan dan pengobatan) yang berbeda, dan lama
penyebaran atau penguasaan penyakit yang berbeda pula.
4.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan
terhadap penderita ISPA dan Pertusis. Perawat juga harus mampu berperan sebagai
pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan pada orangtua mengenai. penyakit
ISPA dan Pertusis secara jelas dan lengkap. Terutama mengenai tanda-tanda ISPA dan
Pertusis, penanganan ISPA dan Pertusis, pencegahan ISPA dan Pertusis, dan cara
pengobatan pada penderita ISPA dan Pertusis anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Interim WHO : Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Kendig and Chernikck. (2012) . Disordes Of The Respiratory Tract In Children Eight
Edition. USA : Saunders Company
Rasmaliah., 2004. Infeksi Saluran Akut (ISPA) dan penanggulangan. Universitas Sumatera
Utara. Available from : http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmaliah9.pdf
Sarah S. Long . (1993) . Pertusis. Wahab A. Samid (Ed). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2
(hal 960). Jakarta : EGC
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1997). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, Jilid 2.
Widoyono. (2011) . Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga
Wong, Donna L. et al. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2. Jakarta: EGC
http://posyandu.org/pertusis-batuk-rejan.html
http://www.ichrc.org/47-pertusis

Anda mungkin juga menyukai