Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum

WESTERN BLOTTING

Oleh :
Krisna Chandra
156070122011006

Program Magister Ilmu Biomedik


Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
MALANG
2016
LATAR BELAKANG

Elektroforesis adalah suatu metode yang digunakan untuk memisahkan molekul tertentu
dalam suatu larutan dengan memanfaatkan aliran listrik yang dialirkan melalui elektroda.
Elektroforesis pertama kali dikerjakan pada awal tahun 1950. Pada masa itu, jenis elektroforesis
yang dilakukan hanya zone electrophoresis (ZE), yang menggunakan solid support, seperti kertas dan
selulose, untuk melakukan separasi molekul. Sekitar setahun berikutnya, gel elektroforesis
ditemukan oleh Oliver Smithies. Pada awalnya, gel elektroforesis digunakan untuk analisis
bioanalitik, namun seiring dengan ditemukannya teknik untuk purifikasi biomolekul, teknik ini juga
sudah mulai digunakan untuk mengisolasi molekul tertentu. Molekul yang telah didapatkan tersebut
nantinya dapat diproses lebih lanjut, seperti dilakukan immunoblotting, spectrometry, PCR, atau
DNA sequencing.
SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate – PolyAcrylamide Gel Electrophoresis) adalah salah satu
jenis elektroforesis yang telah banyak digunakan untuk menganalisis suatu protein, terutama berat
molekul protein tersebut, dalam suatu ekstrak yang kompleks. SDS PAGE pertama kali diperkenalkan
oleh Laemmli (1970). Pada dasarnya, sistem ini menggunakan dua macam gel, yaitu running gel, dan
stacking gel. Pada stacking gel, protein yang akan dipisahkan ditempatkan / dikonsentrasikan di gel
tersebut terlebih, sedangkan pada running gel, protein akan dipisahkan berdasarkan berat
molekulnya. Perbedaan komposisi antara stacking gel, running gel, dan buffer elektroforesis
membentuk suatu sistem yang mampu memisahkan protein – protein berdasarkan berat
molekulnya. Nantinya, akan terbentuk band – band protein, yang dapat dianalisis, atau diisolasi,
sehingga dapat dilakukan pemrosesan lebih lanjut. Pada masa sekarang ini, penggunaan
elektroforesis, termasuk SDS PAGE, sudah sangat luas. Beberapa penggunaan yang penting
diantaranya seperti untuk analisis DNA, analisis protein, pengembangan antibiotik dan vaksin.
Western blot (juga dikenal dengan protein immunoblot) merupakan suatu teknik analisis
untuk mendeteksi protein spesifik pada sampel tertentu yang berasal dari homogenat atau ekstrak
jaringan. Western blot ini menggunakan gel elektroforesis untuk memisahkan protein dalam bentuk
naif dengan struktur tiga dimensinya, atau protein yang telah didenaturasi dengan panjang
polipeptidanya. Protein tersebut kemudian ditransfer ke sebuah membran, dapat berupa membran
nitroselulosa atau membran PVDF, dan kemudian akan diwarnai dengan antibodi spesifik terhadap
protein target. Dengan menganalisis lokasi dan intensitas dari reaksi spesifik, detail ekspresi dari
protein target pada homogenat sel atau jaringan dapat diketahui. Western blot dapat mendeteksi
protein target hingga 1 ng karena resolusi gel elektroforesis yang tinggi. Selain itu, sensitivitas dan
spesifisitas western blot ini juga tinggi, sehingga metode ini dapat mendeteksi protein meskipun
levelnya sangat rendah. Western blot ini telah digunakan pada berbagai bidang, seperti biologi
molekuler, biokimiawi, imunogenetika, dan ilmu biologi molekuler lainnya, termasuk bidang medis.
Beberapa penerapan western blot pada midang medis pada umumnya digunakan untuk
mendiagnosis penyakit tertentu. Seperti misalnya pada tes konfirmasi HIV, dimana western blot
dilakukan untuk mendeteksi antibodi anti-HIV dalam sampel yang berupa serum manusia. Selain itu,
western blot juga digunakan sebagai uji definitif terhadap penyakit bovine spongiform
encephalopathy, Lyme disease, hepatitis B, serta infeksi HSV-2.
PRINSIP DASAR

Separasi dengan menggunakan elektroforesis merupakan proses separasi dimana partikel –


partikel yang bermuatan bergerak ke arah elektroda yang berlawanan dibawah pengaruh dari
medan listrik. Elektroforesis ini digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan mobilitas
elektroforetiknya, yang bergantung pada muatan, ukuran molekul, dan struktur dari protein
tersebut. Gel poliakrilamid (polyacrylamide gel/PAG) merupakan suatu jalinan tiga dimensi yang
tersusun atas poliakrilamid dan metilen bisakrilamid, sebagai cross-linker, dengan katalis berupa
amonium persulfat. PAG merupakan matriks yang serbaguna, karena sifatnya yang hidrofilik, dan
memiliki sifat adsorpsi dan elektroosmosis yang minimal karena muatannya yang netral.
Poliakrilamid ini merupakan suatu matriks sintetis yang memiliki termostabilitas yang tinggi,
transparan, kuat, dan bersifat inert, serta dapat dipersiapkan dengan ukuran pori – pori matriks yang
bervariasi pula. Dengan keberadaan SDS, mobilitas elektroforesis hanya berdasarkan pada berat
molekul, tidak berdasarkan dengan muatan atau ukuran protein. SDS merupakan suatu deterjen
anionik yang dapat memutus ikatan hidrogen didalam dan antara molekul untuk melakukan
unfolding pada protein, serta memecah struktur sekunder atau tersier. Agen pereduksi yang kuat
seperti merkaptoetanol dan ditiotreitol (DTT) dapat memutus ikatan disulfida antar residu sistein.
SDS dan agen pereduksi ini diberikan pada sampel protein untuk ‘meluruskan’ protein dan untuk
memberikan suatu muatan negatif pada protein tersebut. Pada sebagian besar protein, SDS akan
memberikan rantai polipeptida muatan yang merata per unit massanya, sehingga muatau intrinsik
dari polipeptida tersebut dapat diabaikan apabila dibandingkan dengan muatan negatif yang
diberikan oleh SDS. Muatan negatif ini jauh lebih besar daripada muatan awal protein tersebut.
Sampel yang akan dianalisis akan diberikan SDS, kemudian larutan sampel-SDS tersebut akan
dihomogenkan, dan dipanaskan hingga suhu 60oC untuk mendenaturasi serta mendepolimerisasi
protein, sehingga membantu SDS untuk berikatan, serta membentuk ‘rod-shape formation’ dan
muatan negatif pada protein tersebut. Pewarna bromophenol blue dapat ditambahkan pada larutan
protein dalam gel selama running elektroforesis. Gliserol akan ditambahkan pada larutan sampel
untuk meningkatkan densitas, serta meningkatkan kecepatan migrasi protein dalam larutan
tersebut.
Suatu sistem buffer dengan nilai pH yang berbeda digunakan dalam proses elektroforesis.
Buffer yang digunakan sebaiknya memiliki pH dibawah pKA sistein, seperti bis-tris dengan pH 6,5,
serta dapat berperan sebagai agen pereduksi seperti natrium bisulfit. Penambahan buffer dengan
nilai pH yang rendah juga menjadikan gel akrilamid lebih stabil, sehingga gel tersebut dapat disimpan
untuk waktu yang lebih lama sebelum digunakan.
Saat muatan listrik diberikan pada gel yang telah membawa sampel protein tersebut, anion
dan molekul – molekul sampel yang bermuatan negatif, akan bergerak kearah anoda pada chamber
bagian bawah, yang mana ion Cl- sebagai leading ion, dan glisinat sebagai trailing ion. Partikel SDS-
protein tidak bergerak secara bebas antara Cl- dari gel buffer serta Gly- dari buffer katoda. Hal ini
disebabkan oleh karena terjadinya kompresi / stacking pada protein yang disebabkan karena voltage
drop antara Cl- dan buffer glisin. Protein dengan berat molekul yang rendah akan berpindah dengan
lebih cepat daripada protein dengan berat molekul yang tinggi, begitu juga sebaliknya.
Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) digunakan untuk menseparasi protein dengan
rentang ukuran antara 5 sampai 2000 kDa karena ukuran pori – pori gel poliakrilamid yang seragam.
Ukuran pori gel tersebut dapat dikontrol dengan mengendalikan konsentrasi akrilamid dan bis-
akrilamid dalam membentuk gel tersebut. Pada umumnya, separating gel akan dibuat dengan
konsentrasi 5%, 8%, 10%, 12%, dan 15%. Stacking gel dengan konsentrasi 5% dituangkan diatas
separating gel, dan dipasang gel comb untuk menciptakan cekungan – cekungan untuk meletakkan
protein sampel yang telah diberi perlakuan dengan SDS. Konsentrasi dari gel ini dipilih berdasarkan
ukuran protein yang akan diseparasi.
Pada tahap western blotting dan detection assay, terdapat lima tahapan utama yang
dilakukan, yaitu transfer, blocking, inkubasi antibodi primer, inkubasi antibodi sekunder, serta
deteksi protein dan analisis. Pada proses transfer, protein akan dipindahkan dari gel ke sebuah
membran yang dibuat dari nitroselulosa (NC) atau polyvinylidene difluoride (PVDF). Tanpa
preaktivasi, protein akan menempel pada membran nitroselulosa berdasarkan interaksi hidrofobik,
sehingga memiliki sedikit efek pada aktivitas protein. Selain itu membran nitroselulosa juga
membentuk suatu staining yang tidak spesifik. Membran nitroselulosa ini murah dan mudah
digunakan, akan tetapi protein dengan berat molekul rendah akan mudah hilang apabila diwashing.
Dengan afinitasnya yang tinggi, membran PVDF perlu direndam dalam metanol sebelum digunakan
untuk mengaktifkan muatan positif pada membran tersebut, sehingga meningkatkan afinitas protein
yang bermuatan negatif pada membran tersebut.membran NC spesifik dengan ukura pori – pori
yang berbeda sebaiknya dipilih berdasarkan berat molekul protein yang ditransfer, karena semakin
kecil ukuran pori – pori membran, maka akan semakin ketat pula kombinasi antara membran dan
protein dengan bera molekul rendah. Membran NC dengan ukuran pori 0,45μm dapat digunakan
untuk protein dengan berat molekul lebih dari 20 KD, sedangkan membran NC dengan ukuran pori
0,2 μm dapat dipilih untuk protein dengan berat molekul dibawah 20 KD. Membran PVDF dapat
digunakan untuk mendeteksi protein – protein dengan berat molekul yang rendah, karena membran
ini memiliki sensitivitas dan resolusi yang tinggi.
Metode transfer yang sering digunakan adalah metode semi-dry dan wet transfer. Semi-dry
transfer merupakan suatu metode dimana sandwich/tumpukan gel-membran-filter diletakkan
antara filter yang diberi transfer buffer. Proses transfer ini didasarkan pada muatan konduksi yang
diproduksi oleh transfer buffer. Semi-dry transfer memerlukan sedikit waktu dengan efisiensi yang
tinggi, karena muatan listrik bekerja secara langsung pada membran dan gel . Sedangkan pada wet
transfer, sandwich/tumpukan gel-membran-filter diletakkan dalam suatu tanki yang berisi transfer
buffer. Transfer protein dari gel ke membran dikendalikan oleh medan listrik dengan intensitas yang
tinggi yang dibentuk oleh plat elektroda yang diletakkan sejajar dengan sandwich tersebut. Dengan
waktu transfer yang lebih lama, protein yang ditransfer juga menjadi semakin efektif.
Pada western blot, bagian membran yang tidak memiliki protein setelah ditransfer perlu
diblok untuk mengurangi ikatan protein nonspesifik pada bagian – bagian tersebut. Blocking buffer
sebaiknya memblokir semua tempat yang tidak memiliki protein setelah ditransfer, dan blocking
buffer tidak boleh menggantikan protein target pada membran, tidak berikatan pada epitop dari
protein target, serta tidak bereaksi silang dengan antibodi atau reagen tertentu untuk mendeteksi.
Blocker yang paling umum digunakan adalah BSA, nonfat dry milk, kasein, gelatin, atau Tween-20.
Setelah dilakukan blocking, dilakukan inkubasi dengan menggunakan antibodi primer yang
spesifik terhadap protein target, sehingga protein tersebut akan berikatan dengan protein target
pada membran. Pada western blot, antibodi primer harus divalidasi terlebih dahulu sebelum
digunakan. Pemilihan antibodi didasarkan pada antigen apa yang akan dideteksi. Baik antibodi
monoklonal maupun poliklonal dapat digunakan untuk western blot. Antibodi monoklonal akan
mengenali epitop antigenik yang spesifik dari protein, sehingga memiliki spesifisitas yang tinggi dan
background yang lebih lemah. Sedangkan antibodi poliklonal akan mengenali lebih banyak epitop
dan antibodi ini biasanya memiliki afinitas yang lebih tinggi.
Setelah membilas membran untuk menghilangkan antibodi primer yang tidak berikatan
dengan protein target pada membran, selanjutnya membran akan diekspos dengan antibodi
sekunder yang telah dikonjugasi dengan enzim tertentu, dan antibodi sekunder ini akan berikatan
dengan antibodi primer yang telah bereaksi dengan protein target. Antibodi sekunder yang sering
digunakan seperti anti-mouse dan anti-rabbit immune globulin, karena spesies host dari antibodi
primer terutama adalah mencit dan kelinci. Kambing (goat) banyak digunakan untuk membentuk
antibodi poliklonal anti-mouse dan anti-rabbit, sehingga goat anti-mouse dan goat anti-rabbit
immune globulin merupakan antibodi sekunder yang paling banyak digunakan. Pemilihan antibodi
sekunder bergantung pada spesien hewan darimana mana antibodi primernya. Misalnya, apabila
antibodi primernya adalah antibodi monoklonal dari mouse, maka antibodi sekundernya harus
antibodi anti-mouse. Apabila antibodi primernya adalah antibodi poliklonal dari rabbit, maka
antibodi sekundernya harus antibodi anti-rabbit.
Setelah antibodi sekunder berhasil diinkubasi, maka akan dilakukan deteksi protein. Substrat
tertentu akan bereaksi dengan enzim yang berikatan dengan antibodi sekunder untuk mebentuk
substansi tertentu yang berwarnam sehingga akan terlihat band – band protein pada membran.
Level dari target protein pada sel atau jaringan akan dievaluasi melalui densitometri, serta melalui
lokasi dari band protein pada membran. Alkaline phosphatase (AP), dan horseradish peroxidase
(HRP) merupakan dua enzim yang paling sering digunakan. Substrat BCIP yang tidak berwarna akan
menjadi berwarna biru apabila dikatalisis oleh AP. Dengan keberadaan H2O2, 3-amino-9-etil
karbazol akan dioksidasi menjadi substansi yang berwarna coklat, dan 4-klorin naftol akan dioksidasi
menjadi substansi yang berwarna biru dengan bantuan HRP. Selanjutnya band – band tersebut akan
dibaca dengan Gel doc untuk dianalisis.
METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan


Alat :
1. Beaker glass 50 ml
2. Eppendorf tube
3. Mikropipet
4. Blue tip
5. SDS – PAGE Electrophoresis kit
6. Yellow tip
7. Kompor listrik
8. Panci
9. Shaker incubator
10. Gel doc / Gel imager
11. Kertas saring
12. Membran nitroselulosa
13. Shaker
Bahan :
1. DD H2O
2. Acrylamide – Bisacrylamide solution
3. SDS w/v 10%
4. Tris HCl 1,5 M pH 8,8 (Separating gel buffer)
5. Tris HCl 0,5 M pH 6,8 (Stacking gel buffer)
6. APS 10%
7. TEMED
8. Larutan sampel
9. Reducing Sample Buffer (RSB, mengandung SDS, β-mercaptoethanol, gliserol, dan
bromophenol blue)
10. Marker protein
11. Coomassie blue stain
12. Destaining buffer
13. Transfer buffer
14. TBS-Skim milk/blotto 5% dalam PBS
15. TBS-Tween 20 0,05%
16. Antibodi primer (rasio pengenceran 1:200-1:500 dalam TBS)
17. Antibodi sekunder (rasio pengenceran 1:1000-1:2500 dalam TBS)
18. Enzim SA-HRP (Streptavidin-Horse Radish Peroxidase)/AP (Alkaline phosphatase)
dengan rasio pengenceran 1:1000 dalam TBS
19. TMB (untuk konjugat peroksidase) atau Western blue (untuk konjugat alkaline
phosphatase)

Pembuatan Gel Acrylamide


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Membuat stacking gel (4%) dengan mencampurkan 3,05 ml DD H2O, 0,65 ml
acrylamide-bisacrylamide solution, 2,5 ml stacking gel buffer, dan 0,1 ml SDS w/v
10% dalam beaker glass
3. Mengaduk campuran stacking gel hingga merata (dapat menggunakan blue tip)
4. Membuat separating gel (12%) dengan mencampurkan 3,4 ml DD H2O, 4 ml
acrylamide-bisacrylamide solution, 2,5 ml separating gel buffer, dan 0,1 ml SDS w/v
10% dalam beaker glass
5. Mengaduk campuran separating gel hingga merata (dapat menggunakan blue tip)
6. Menambahkan 100 μl APS 10% dan 10 μl TEMED pada campuran separating gel,
kemudian mengaduk campuran tersebut
7. Memasukkan campuran separating gel pada gel cassette dengan menggunakan
mikropipet
8. Mendiamkan larutan tersebut dalam cassete hingga mengeras
9. Menambahkan 50 μl APS 10% dan 5 μl TEMED pada campuran stacking gel,
kemudian mengaduk campuran tersebut
10. Memasukkan campuran stacking gel pada gel cassette dengan menggunakan
mikropipet secara perlahan, dan menambahkan DD H2O untuk menyesuaikan
volume
11. Memasang comb ke dalam gel cassete, kemudian menunggu hingga stacking gel
mengeras
12. Melepaskan gel cassete dari gel casting, kemudian memasukkannya ke dalam
chamber
13. Menuangkan running buffer hingga gel cassete terendam seluruhnya

Persiapan Sampel
1. Menyiapkan sampel yang akan digunakan
2. Memasukkan 100 μl sampel dalam eppendorf tube
3. Menambahkan 100 μl RSB ke dalam eppendorf tube yang berisi sampel, kemudian
dihomogenkan dengan vortex
4. Melakukan denaturasi protein pada sampel dengan memanaskan campuran sampel
dan RSB dengan suhu 95 oC selama 10 menit

Running Gel
1. Memasukkan 10 μl marker protein ke dalam well stacking gel
2. Memasukkan sampel ke dalam masing – masing well stacking gel yang telah
tercetak, masing – masing 15 – 20 μl/well
3. Melakukan running gel selama 35 menit dengan tegangan 200 V constant voltage
4. Memperhatikan gerakan marker protein dan tracking dye
5. Menghentikan proses running apabila tracking dye sudah mencapai garis hijau pada
gel cassette

Staining Gel
1. Melepaskan gel dari gel cassette secara perlahan
2. Memasukkan gel ke dalam staining box
3. Menuangkan larutan staining buffer (Coomassie blue) hingga gel terendam
seluruhnya
4. Melakukan inkubasi selama 4 – 16 jam dalam shaker incubator
5. Mengganti larutan staining buffer dengan larutan destaining buffer
6. Melakukan inkubasi dalam shaker incubator hingga pita – pita protein tampak jelas
terlihat
7. Melakukan pembacaan gel dengan menggunakan gel doc, atau melanjutkan ke
proses western blotting
Western Blotting
Proses transfer pita protein dari gel SDS-PAGE ke membran nitroselulosa dengan semi dry trans blot
equipment
1. Meletakkan kertas saring yang telah dibasahi dengan larutan buffer
2. Meletakkan membran nitroselulosa yang telah direndam dalam larutan transfer buffer
selama 30 menit
3. Meletakkan gel SDS-PAGE yang telah direndam dalam larutan transfer buffer
4. Meletakkan kertas saring yang telah dibasahi larutan transfer buffer
5. Melakukan running selama 2 jam, dengan tegangan 20 V dan arus listrik 300 mA

Proses blocking non specific area


1. Mengangkat membran dan mencuci membran tersebut dengan DD H2O
2. Melakukan langah 1 sebanyak dua kali lagi
3. Memotong marker agar warnanya tidak hilang apabila dilakukan washing
4. Menginkubasi membran dalam larutan TBS-skim milk/blotto 5% pada suhu 4oC selama satu
malam

Proses inkubasi antibodi primer


1. Mengeluarkan membran dari inkubator dan meletakkannya pada suhu ruang
2. Membuang larutan skim, kemudian mencuci dengan larutan TBS-Tween 20 0,05% selama
lima menit sebanyak tiga kali sambil menggoyangkanya secara perlahan – lahan (atau
menggunakan shaker) hingga skim bersih
3. Menginkubasi antibodi primer yang telah diencerkan dalam pelarut TBS selama 2 jam dalam
suhu ruang, atau selama satu malam dalam suhu 4oC

Proses inkubasi antibodi sekunder


1. Melakukan washing dengan membran sebanyak tiga kali selama lima menit dengan larutan
TBS-Tween 20 0,05% sambil menggoyangkannya secara perlahan (atau menggunakan
shaker)
2. Menginkubasi antibodi sekunder yang telah diencerkan dalam pelarut TBS selama 2 jam
dalam suhu ruang
Inkubasi enzim SA-HRP (Streptavidin-Horseradish peroxidase) / AP (Alkaline phosphatase)
1. Melakukan washing pada membran sebanyak tiga kali selama lima menit sambil
menggoyangkannya secara perlahan (atau menggunakan shaker)
2. Menginkubasi enzim yang telah diencerkan selama 40 – 60 menit dalam suhu ruang

Inkubasi substrat
1. Melakukan washing pada membran sebanyak tiga kali selama lima menit dengan alrutan
TBS-Tween 20% 0,05% sambil menggoyangkannya perlahan – lahan (atau menggunakan
shaker)
2. Merendam membran dalam substrat TMB atau Western blue dalam ruangan yang gelap
3. Menginkubasi membran selama 30 – 60 menit
4. Menghentikan reaksi dengan menggunakan DD H2O
5. Mengangin – anginkan membran hingga kering
6. Melakukan scanning untuk menganalisis hasil western blotting
HASIL DAN PEMBAHASAN

Western blotting merupakan suatu metode yang dikerjakan dengan tujuan untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi protein tertentu yang spesifik dalam sampel. Western blotting ini
perlu dilakukan, mengingat dengan berat molekul tertentu, bukan berarti hanya terdapat satu
protein saja. Oleh karena itu, dengan dilakukannya western blotting protein yang diisolasi menjadi
jauh lebih spesifik, karena digunakan antibodi primer yang spesifik terhadap protein tersebut, yang
kemudian akan ditambahkan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan enzim tertentu yang
mampu merubah substrat tertentu yang tidak berwarna menjadi substrat lainnya yang berwarna,
sehingga bisa dibaca dan dianalisis.
Dalam praktikum ini telah dilakukan demonstrasi mengenai langkah – langkah dalam
melakukan western blotting. Western blotting memberikan kemudahan bagi peneliti untuk
mengisolasi protein tertentu dengan langkah yang tidak terlalu sulit dengan biaya yang cukup
terjangkau, sehingga pemahaman dan kemampuan untuk melakukan western blotting sangat
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Gelperin DM, White MA, Wilkinson ML et al. 2005. Biochemical and genetic analysis of the
yeast proteome with a movable orf collection. Genes Develop 19: 2816-2826
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of
bacteriophage T4. Nature 227: 680-685
Shapiro AL, Vinuela E, Maizel JV. 1967. Molecular weight estimation of polypeptide chains
by electrophoresis in SDS-polyacrylamide gels. Biochem Biophys Res Commun 28: 215-
820
Steinberg TH. 2009. Protein gel staining methods: An introduction and overview. Method
Enzymol 463: 542-563
SDS-PAGE (PolyAcrylamide Gel Electrophoresis).
http://www.bio.davidson.edu/courses/genomics/method/sdspage/sdspage.html .
Diakses tanggal 11 Mei 2016
SDS Polyacrylamide Gel Electrophoresis – Analysis of Purified Fluorescent Protein.
http://www.babec.org/files/GFP_Labs_2012/PAGEAnalysis_SV.pdf. Diakses tanggal 11
Mei 2016
Western Blot Principle. http://www.bosterbio.com/protocol-and-troubleshooting/western-
blot-principle. Diakses tanggal 14 Mei 2016
LAMPIRAN

Gambar 1. Alat dan bahan yang digunakan

Gambar 2. Skimmed milk untuk blocking


Gambar 3. Membran nitroselulosa

Gambar 4. Persiapan transfer ke membran nitroselulosa


Gambar 5. Persiapan running transfer ke membran nitroselulosa

Gambar 6. Proses running transfer ke membran nitroselulosa

Anda mungkin juga menyukai