Anda di halaman 1dari 14

Pertusis pada anak

Dr. Khairiyadi, M.Kes., Sp.A


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ulin Banjarmasin

Pendahuluan
Pertusis, juga dikenal sebagai "batuk rejan," adalah penyakit pernafasan akut
yang sangat menular yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Sydenham (1679)
menamakan pertusis dengan iistilah Latin yang berarti "batuk intens." Pertusis disebut
juga "batuk 100 hari." Manifestasi klinis klasik dari infeksi pertusis adalah batuk
paroksismal, ―whooping‖ inspiratif, dan emesis pasca-batuk sehingga disebut juga
sebagai ‗whooping cough‘ atau batuk rejan.1
Pertusis atau whooping cough (batuk rejan) merupakan penyakit yang menjadi
perhatian di seluruh dunia dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat bahkan di
negara-negara dengan tingkat vaksinasi yang tinggi. World Health Organization (WHO)
memperkirakan, pada tahun 2008, sekitar 16 juta kasus pertusis terjadi di seluruh dunia,
95% di antaranya berada di negara berkembang, dan bahwa sekitar 195.000 anak
meninggal karena penyakit ini, terutama pada bayi.2
Selama beberapa dekade, program imunisasi bayi di seluruh dunia dilaporkan
telah sangat berhasil mencegah pertusis parah pada bayi. WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2008 vaksinasi global terhadap pertusis mencegah sekitar 687.000 kematian.
Meskipun vaksinasi dapat mencegah pertusis pada remaja dan orang dewasa, namun
tidak cukup bukti bahwa penguat vaksinasi pertusis mengurangi risiko pertusis parah
pada bayi.2-3
Siklus epidemi pertusis terjadi setiap dua sampai lima tahun; Pola epidemi
siklik ini juga hadir di era pra-vaksin. Silkus epidemi ini telah dihubungkan pada
kejadian yang terus meningkat di Amerika Serikat dan banyak negara maju lainnya. Pola
siklus epidemi yang tidak berubah menunjukkan bahwa keseluruhan sirkulasi B.
pertussis pada populasi belum terpengaruh oleh vaksin tersebut.4
Orang dewasa yang berumur lebih dari 60 tahun mempunyai risiko yang relatif
lebih besar untuk rawat inap dibenadingkan dengan orang dewasa usia muda. Vaksinasi
pertusis masa kanak-kanak tidak memberi kekebalan seumur hidup. Kekebalan yang

1
dibentuk oleh vaksinasi berkurang setelah 5 sampai 10 tahun dan jarang berlangsung
lebih dari 12 tahun. Oleh karena itu, vaksinasi booster direkomendasikan untuk remaja
dan orang dewasa.11,12
Penyebab meningkatnya pertusis belum sepenuhnya dipahami. Penjelasan yang
mungkin menjelaskan hal tersebut adalah penurunan imunitas vaksin pada populasi
remaja dan penurunan kesadaran penggunaan vaksin pertusis. Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan peningkatan kesadaran dokter, peningkatan pelaporan kesehatan
masyarakat terhadap pertusis. Selain itu peningkatan ketersediaan tes diagnostik yang
lebih sensitif terutama polymerase chain reaction (PCR) sangat penting untuk deteksi
dini pertusis.4

Etiologi dan patogeneis


Pertusis disebabkan oleh suatu bakteri coccobacillus gram negatif, Bordetella
pertussis. Suatu mikrooreganisme patogen dimana manusia menjadi penjamu (host),
tanpa reservoir hewan atau lingkungan. Ini aerobik dan tumbuh paling baik pada suhu 35
° C sampai 37 ° C. Organisme ini sangat ‗fastidius‘, bertahan hanya beberapa jam di
sekret pernapasan, dan karenanya membutuhkan media khusus untuk kultur.5 Ada
delapan spesies Bordetella, yaitu: B. parapertussis hu, B. parapertussis ov (ovine-
adapted parapertussis), B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, B. trematum,
dan B. petrii. Tiga dari spesies ini (B. parapertussis, B. bronchiseptica, dan B. holmesii)
dapat menyebabkan penyakit pernafasan pada manusia. B. parapertussis dapat
menyebabkan spektrum penyakit mulai dari penyakit saluran pernapasan atas
nonspesifik sampai pertusis klasik (secara klinis tidak dapat dibedakan dari B. pertussis).
gejala klinis yang ditimbulkan penyakit B. Parapertussis, pada umumnya memiliki durasi
yang relatif lebih pendek dan lebih ringan.5 B. bronchiseptica menyebabkan infeksi
saluran pernafasan pada berbagai mamalia; Infeksi pada manusia dapat terjadi pada
hospes immunocompromised dengan paparan hewan.6 Infeksi B. holmesii ditemukan
pada keadaan septikemia dan infeksi pernapasan yaang secara klinis mirip pertusis
klasik.1,3,7
Bordetella pertussis bersifat aerobik dan tumbuh paling baik pada suhu 35 ° C
sampai 37 ° C. Spesies Bordetella, termasuk B pertussis dan B parapertussis. B pertusis
sangat sulit tumbuh di media yang biasanya digunakan di laboratorium untuk
menumbuhkan patogen pernapasan. B pertussis membutuhkan faktor pertumbuhan
tambahan termasuk arang, darah, dan pati. Media seperti Bordet-Gengou, yang

2
mengandung pati kentang, dan media Regan-Lowe yang berbasis arang digunakan di
laboratorium mikrobiologi untuk membiakkan organisme ini.5,7 berbeda dengan B
pertussis, B parapertussis tidak menghasilkan toxin dan gejala klinis yang diakibatkan
relatif lebih ringan dan lebih pendek durasinya.8-9
Bordetella pertussis hidup di mulut, hidung dan tenggorokan. Bakteri ini
menyebar dengan mudah dari orang ke orang, terutama melalui percik renik (droplet)
yang dihasilkan oleh batuk atau bersin. Mekanisme patogenesis infeksi oleh B pertussis
terjadi melalui 4 tahap. Yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
penjamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.6,8
B pertussis menyebabkan iritasi dan pembengkakan dengan cara menginfeksi
epitel saluran napas bersilia. Jaringan berikutnya nekrosis dan kerusakan sel epitel
merekrut makrofag, dan hiperplasia limfoid reaktif peribronkial dan trakeobronkial
kelenjar getah bening terjadi.6
Setelah terhirup, B pertussis tersebut menempel pada sel epitel pernafasan yang
bersilia dari saluran pernapasan bagian atas dan nasofaring. Bakteri ini memproduksi
molekul perlekatan (adhesin molecules), toksin dan faktor-faktor yang menganggu
mekanisme pertahanan host.6

Tabel 1. Senyawa aktif dan faktor-faktor penularan B. Pertussis


Molekul perlekatan (adhesi) Toksin Faktor yang mengganggu
pertahan host
- Filamentous Tracheal cytotoxin* Adenylate cyclase toxin*
hemagglutinin* Pertussis toxin* Pertussis toxin*
- Pertactin* Adenylate cyclase
- Pertussis toxin / toxin
Lymphositosis Dermonecrotic toxin
promoting factor Lipopolysaccharide
- Fimbriae
- Tracheal colonization
factor
Dikutip dari Mattoo S, Cherry JD. Molecular pathogenesis, epidemiology, and clinical manifestations of
respiratory infections due to Bordetella pertussis and other Bordetella subspecies. Clin Microbiol Rev 2005;
18:326.

3
Berbagai protein berperan dalam perlekatan B pertussis. Filamentous
hemagglutinin (FHA) dan lymphositosis promoting factor (LPF)/pertussis toxin (PT),
tracheal cytotoxin dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B pertussis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan B pertussis kemudian melakukan multifikasi dan menyebar ke
seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses perlekatan ini tidak invasif, sehingga
pertusis tidak menimbulkan bakteremia. Pertussis toxin yang dihasilkan selama
pertumbuhan B pertussis dan kerusakan sel epitel pernapasan, menyebabkan terjadinya
‗whooping cough‘. Pertussis Toksin ini mempunyai 2 sub unit, yaitu sub unit A dan sub
unit B. Toksin sub unit B berperan dalam ikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sub unit A yang aktif pad aderah aktivasi enzim membran sel. Migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi dihambat oleh LFP.6
Toksin Adenylate cyclase berfungsi mengatur sintesis protein di dalam sitoplasma
sel host, sehingga terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target, termasuk sel limfosit
yang menjadi lemah dan mati. Selain itu toxin ini menyebabkan peningkatan
pengeluaran histamin dan serotonin dan memblokir Beta adrenegik, serta meningkatkan
insulin sehingga kadar gula darah menurun (pada anak kecil). Adenylate siklase; Proses
destruktif ini, dengan hilangnya sel-sel pernapasan protektif, kemungkinan berperan
terhadap terjadinya batuk.11
Keradangan ringan dan hiperplasia jaringan limfoid peribronkial menyebabkan
jumlah mukos meningkat dan gangguan fungsi silia. Keadaa tersebut menyebabkan
mudah terjadi infeksi sekunder (yang tersering adalah S pneumonia, H influenza dan S
aureus). Penumpukan mukos di saluran napas dapat menyebabkan obstruksi saluran
napas yang selanjutnya menyebabkan kolaps paru.11
Dermonecrotic toxin (sitotoksin) menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh
darah dinding trakea yang dapat menimbulkan iskemia dan nekrosis trakea. Pertussis
lipopolysacharide (endotoksin) tidak terlalu penting perannya dalam patogenesis.
Hemagglutinin dan fimbriae adalah adhesins yang dibutuhkan untuk kolonisasi trakea.
Zat ini sangat imunogenik dan merupakan komponen utama vaksin asellular.3,7

Gejala Klinis
Pertusis mempunyai masa inkubasi 6-20 hari. Gejala pertama umumnya
muncul 7-10 hari setelah infeksi. Perjalanan penyakit ini biasanya berlangsung 6-8
minggu atau lebih. Pertusis mempunyai 3 stadium perjalanan penyakit, yaitu; stadium
kataralis, stadium akut paroksismal, dan stadium konvalesen. Perjalanan penyakit dan

4
termasuk demam ringan, pilek, dan batuk, yang dalam kasus tipikal berkembang menjadi
batuk paroksismal yang diikuti oleh rejan (karenanya nama umum batuk rejan). Pada
bayi yang paling muda, paroxysms dapat diikuti dengan periode apnea. Pneumonia
adalah komplikasi yang relatif umum; Kejang dan ensefalopati terjadi lebih jarang.
Pasien yang tidak diobati dapat menular selama tiga minggu atau lebih setelah awitan
batuk. Pertusis dapat dicegah dengan imunisasi.3
Gejala pada stadium kataral tampak mirip dengan "flu biasa", dengan batuk
ringan dan coryza, dan umumnya berlangsung satu sampai dua minggu. Demam jarang
terjadi, dan jika ada, biasanya kadar rendah. Pada stadium ini diagnosis pertusis belum
dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Stadium ini biasanya
berlangsung 1-2 minggu.3,9
Stadium paroksismal penyakit ini berlangsung dari minggu ke 2 sampai 6 (4
minggu). Batuk ‗khas‘ pertusis terjadi pada stadium ini. Fase ini ditandai dengan batuk
paroksismal. Batuk yang terjadi sebanyak 5-10 kali batuk kuat berturut-turut dan makin
meningkat atau ‗stacato‘ dalam 1 kali fase ekspirasi. Batuk ini kemudian diikuti dengan
inspirasi masif yang mendadak dengan suara yang melengking (‗whooping‘). Pada orang
tua dan bayi kurang dari 6 bulan, serangan batuk kuat dengan whooping ini sering tidak
terdengar. Selama serangan batuk muka menjadi merah dan anak tampak sianosis, mata
menonjol, terjadi lakrimasi, salivasi dan distensi pada vena leher. Batuk yang
paroksismal dapat menyebabkan anak muntah sehingga terjadipenurunan napsu makan
dan ampak lelah. Perdarahan pada konjungtiva bulbi dapat terjadi pada fase ini.3,9
Stadium konvalesen berlangsung 1-2 minggu. Pada stadium ini tampak gejala
batuk (dengan whooping) dan muntah berhenti. Batuk masih dapat menetap untuk
beberapa waktu dan aka menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien, dapat
timbul serangan batuk paroksismal kembali.3,9
Gejala atipikal pertusis dapat terjadi pada bayi dan pada anak-anak yang telah
divaksinasi. Pada bayi stadium kataral seringkali sangat singkat atau tidak ada pada bayi
muda. Gejala awal bisa termasuk kesulitan menyusui, takipnea, dan batuk. Paroxysms
batuk, dimana bayi dapat mengalami tersumbat, apnea, sianosis, dan bradikardia.
Whooping hanya terjadi pada 9 dari 24 bayi yang dirawat dengan pertusis.13 Penelitian
lain menunjukan batuk dengan whooping hanya terjadi 6 dari 44 bayi.11
Apnea terjadi hampir secara eksklusif pada bayi, dan terutama pada mereka
yang berusia kurang dari enam bulan. Biasanya berhubungan dengan paroxysm batuk,
tapi juga terjadi secara spontan, mungkin berhubungan dengan stimulasi vagal.22 Dalam

5
sebuah penelitian surveilans multisenter besar, apnea atau sianosis terjadi pada 16 persen
bayi berusia kurang dari enam bulan.12
Onset kejang pertama terjadi pada 1 sampai 2 persen kasus pertusis yang
dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada anak-anak di
bawah usia enam bulan antara 1997 dan 2003, dan 2 persen anak-anak di bawah usia dua
tahun dirawat di rumah sakit karena pertusis di Kanada. 13,14
Pertusis berat sering terjadi pada bayi di bawah usia di bawah 6 bulan, dengan
angka kematian 1%. Lebih dari 80% dari kematian infeksi pertusis terjadi pada bayi di
bawah usia 1 tahun, dengan lebih dari setengah kematian ini terjadi pada usia bayi <2
bulan.15

Komplikasi
Komplikasi pertusis meliputi apnea, pneumonia, kejang, ensefalopati, dan
kematian. Pneumonia mungkin primer atau sekunder akibat koinfeksi. Infeksi bersamaan
dengan organisme lain seperti influenza atau pernafasan Virus syncytial (RSV) dapat
menyebabkan klinis lebih parah Tentu saja.7 Pneumonia adalah salah satu komplikasi
pertusis yang paling sering terjadi. Pneumonia mungkin merupakan manifestasi utama
infeksi B. pertussis atau hasil infeksi bakteri sekunder.20
Batuk paroksismal dapat mengakibatkan komplikasi seperti pneumotoraks atau
pneumomediastinum, emfisema subkutan, bersifat dangkal perdarahan petechial, patah
tulang rusuk, rektum prolaps, dan bahkan perdarahan intrakranial. Bayi yang menderita
pertusis sering membutuhkan rawat inap untuk dukungan cairan, nutrisi, dan pernafasan.
19

Diagnosis
Isolasi bakteri bordotella pertussis dapat diperoleh dari swab atau aspirasi
sekret nasofaring. Kultur dengan media khusus adalah gold standard standar untuk
mendeteksi mikroorganisme ini. Hasil kultur yang dilakukan kemudian, bila gejala
klinisnya lebih jelas, rendah. Spesimen diperoleh setelah 3 minggu onset batuk
menghasilkan kultur yang positif hanya 1% sampai 3%. Waktu yang diperlukan untuk
kultur umumnya adalah 2 minggu. Kultur dapat tumbuh setelah 72 jam pada bayi yang
belum diimunisasi dengan jumlah bakteri banyak.3
Metode pemeriksaan dengan PCR sudah digunakan sebagai metode alternatif
untuk identifikasi mikroorganisme pertusis. Metode PCR untuk B pertussis

6
memungkinkan deteksi cepat, spesifik, dan sensitif, dan mungkin akan tetap positif
sampai akhir perjalanan penyakit. Bahkan dengan adanya pengobatan antibiotik.
Pemeriksaan PCR sudah diterima menjadi metode diagnosis untuk survailens pertusis di
Amerika Serikat.3

Tabel 2. Metode Laboratorium untuk Mendiagnosis Infeksi Pertusis


Pemeriksaan Sensitivitas Spesifisitas Waktu Kelebihan Kekurangan
(%) (%) optimal
Kultur 12–60 100 < 2 minggu Sangat Sensitivitas
setelah onset spesifik rendah;
batuk Keterlambatan
7-10 hari antara
pengumpulan
spesimen dan
diagnosis
Polymerase 70–99 86–100 < 4 minggu Tes cepat; Tidak ada tes
chain setalh onset lebih sensitif atau standarisasi
reaction batuk daripada FDA yang
(PCR) budaya; disetujui;
organisme potensi positif
tidak perlu palsu;
bertahan Kontaminasi
hidup; post silang DNA bisa
antibiotik menjadi
masih bisa masalah
positif
Paired sera 90–92 72–100 Pada onset efektif Keterlambatan
gejala dan 4- mengukur Diagnosis. tidak
6 minggu titer antibodi ada tes atau
kemudian standarisasi
yang disetujui
FDA
Single sera 36–76 99 Setidaknya 2 Berguna Tidak ada uji

7
minggu onset untuk atau standarisasi
postcough keterlambatan yang disetujui
postcough diagnosis FDA; mungkin
onset; atau dikacaukan oleh
idealnya 4-8 postantibiotik vaksinasi
minggu terbaru; cutoff
postcough diagnostik tidak
divalidasi

Pemeriksaan dengan menggunakan antibodi fluoresen pada sekresi nasofaring


pada beberapa penelitian menunjukkan sensitivitas dan spesitivitas yang rendah.
Pemeriksaan ini tidak dapat diandalkan sebagai kriteria untuk konfirmasi laboratorium.
Oleh karena itu, sebagian besar laboratorium menghentikan penggunaan tes antibodi
neon terhadap sekresi hidung untuk pertusis.3
Uji serologis untuk pertusis tidak terstandarisasi sehingga juga tidak boleh
diandalkan sebagai kriteria untuk konfirmasi laboratorium. Antibodi terhadap PT adalah
uji serologis yang paling umum dilakukan, umumnya menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay. Pemeriksaan Pertussis-specific immunoglobulin M tidak tersedia
secara rutin. Pada anak yang tidak diimunisasi, hasil tes imunoglobulin G positif yang
dilakukan selama fase kedua penyakit dianggap diagnostik. Pada anak yang sudah
memiliki kekebalan terhadap pertussis, kenaikan titer menggunakan 2 sampai 3 minggu
setelah onset penyakit klinis dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis serologis.3
Leukositosis dan limfositosis absolut yang ditemukan bersamaan pada
pemeriksaan darah perifer, merupakan temuan laboratorium yang bisa menjadi
pendukung diagnosis infeksi B pertussis. Temuan ini sering berkorelasi dengan tingkat
keparahan penyakit, terutama pada bayi yang sangat muda. Jumlah sel darah putih dapat
meningkat sampai 30-60 x103/mL. Pemantauan cairan dan elektrolit sangat diperlukan
pada bayi dengan penyakit berat. Pada keadaan ini evaluasi laboratorium untuk
menyingkirkan penyakit pernafasan lain sangat diperlukan.3

Diagnosis Banding
Batuk spamodik yang timbul karena penyakit atau patogen lain perlu
dipikirkan sebagai diagnosis banding Pertusis. Bronkiolitis akibat infeksi RSV, influenza
dan adenovirus harus dipertimbangkan menjadi diagnosis banding pertusis pada bayi

8
dengan batuk yang spasmodik. Chlamydia trachomatis dapat menimbulkan batuk pada
neonatus, namun biasanya menciptakan pola pneumonitis interstisial dan temuan saluran
pernapasan bagian bawah. Infeksi B parapertussis, B Bronkisepta dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis pertusis.20
Penyebab lain penyakit batuk yang berkepanjangan pada anak yang lebih tua
dan remaja termasuk Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.
Pemeriksaan serologi spesifik dapat dilakukan untuk organisme atipikal ini.20

Tatalaksana
Pada keadaan tanpa pengobatan umumnya B pertusis hilang secara spontan
dari nasofaring dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Pada sekret nasofaring bisa bertahan
selama 6 minggu atau lebih. Selama periode ini, individu dapat menularkan kuman
pertusis.7 Selama stadium Kataral, pemberian antibiotik bisa memperpendek dan
menurunkan tingkat keparahan pertusis. Antibiotiknya tidak efektif dalam mengubah
perjalanan penyakit karena manifestasi klinis penyakit disebakan oleh dimediasi oleh
efek toksin.7 Penggunaan antibiotik mempercepat pembersihan mikroorganisme dari
nasofaring (biasanya dalam 5 hari sejak awal terapi) dan dengan demikian dapat sangat
memperpendek periode menular.3
Azitromisin efektif untuk terapi antibiotik pertusis. Efek samping yang terkait
dengan gejala gastrointestinal lebih rendah dibandingkan dengan eritromisin. .
Eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan
pada bayi.21
Penggunaan trimetoprim-sulfametoksazol Kotrimoksasol juga terbukti efektif
dalam menghilangkan B pertussis pada nasofaring pengangkutan dan mungkin
merupakan alternatif yang tepat untuk individu usia> 2 bulan yang alergi dengan
makrolide Sebuah review Cochrane terbaru dari 13 uji klinis menunjukkan bahwa, terapi
7 hari terapi sama efektif dengan pemberian 14 hari dengan efek samping yang
minimal.22

9
Tabel 3. Regimen antibiotik untuk Pengobatan dan Profilaksis Pertusis
Nama obat Dosis dan regimen
Azitromisin*  Bayi berumur <6 bulan: 10 mg / kg selama 5 hari
 Bayi dan anak usia ‡ 6 bulan: 10 mg / kg (maksimum 500 mg)
pada hari ke-1, diikuti 5 mg / kg per hari (maksimum 250 mg)
pada hari ke 2-5
 Dewasa: 500 mg pada hari ke 1, diikuti 250 mg / hari pada hari ke
2-5
klaritromisin*  Bayi berusia <1 bulan: tidak dianjurkan
 Bayi dan anak-anak berusia> 1 bulan: 15 mg / kg per hari
(maksimum 1 g / hari) dalam 2 dosis terbagi setiap hari selama 7
hari
 Dewasa: 1 g / hari dalam 2 dosis terbagi selama 7 hari
Eritromisin  Bayi berusia <1 bulan: Azitromisin lebih disukai karena risiko
stenosis pilorus dengan eritromisin Jika erythromycin digunakan,
dosisnya 40-50 mg / kg per hari dalam 4 dosis terbagi. Bayi ini
harus dipantau secara ketat untuk stenosis pilorus.
 Bayi berusia> 1 bulan dan lebih tua: 40-50 mg / kg per hari
(maksimal 2 g / hari) dalam 4 dosis terbagi selama 14 hari
 Dewasa: 2 g / hari dalam 4 dosis terbagi selama 14 hari
TMP-SMX  Bayi berusia <2 bulan: kontraindikasi
(kotromoksol)  Bayi berusia> 2 bulan dan anak-anak: TMP 8 mg / kg per hari,
SMX 40 mg / kg per hari dalam 2 dosis terbagi selama 14 hari
 Dewasa: TMP 320 mg / hari, SMX 1.600 mg / hari dalam 2 dosis
terbagi selama 14 hari
TMP ¼rimrimoprim; SMX ¼ sulfametoksazol
* Bayi berusia <1mo harus dipantau secara ketat untuk stenosis pilorus bila diobati
dengan makrolida.
Diadaptasi dari CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and
postexposure prophylaxis of pertussis. MMWR. 2005;54(RR14):1–16.

10
Pencegahan
Antibiotik dan rejimen dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis pertusis
sama dengan pengobatan. Status vaksinasi seseorang sebelumnya mungkin tidak selalu
dapat memprediksi kerentanannya terhadap infeksi tidak boleh menjadi faktor saat
menentukan kebutuhan forprophylaxis. Pemberian antibiotik selama 14 hari
direkomendasikan pada semua kontak erat, tanpa melihat umur dan status imunisasi.
Pemberian antibiotik eritromisin sebaiknya diberikan selama 14 hari setelah kontak
diputuskan. Jika kontak tidak bisa diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai
pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapatkan eritromisin selama 7 hari. Anak
umur dibawah 7 tahun dengan imunisasi pertusis yang belum lengkap atau belum
diimunisasi harus dilengkapi imunisasinya. Vaksin pertusis monovelen dan eritromisin
diberikan pada waktu terjadi epidemi.3,8,23
Individu dengan pertussis yang dikonfirmasi atau yang dicurigai harus
menghindari kontak dengan siswa lain di sekolah atau tempat penitipan anak selama 5
hari terapi antibiotika. Jika tidak diobati dengan tepat, perorangan dengan pertusis harus
‗diisolasi‘ dari sekolah atau tempat penitipan anak sampai 21 hari setelah onset awitan
batuk.23

Tabel 4. Profilaksis pertusis : definisi kontak erat dan risiko tinggi


Kontak erat Risiko tinggi
Berada bersama orang yang terinfeksi Bayi dibawah 1 tahun
dalam satu ruangan tertutup selama 1jam
Kontak langsung dengan sekret Wanita hamil trimester ke-3
pernafasan, oral, atau nasal dari pasien
yang terinfeksi
Paparan tatap muka langsung dalam 3 kaki • Imunokompromis
pasien yang terinfeksi dari pasien yang • Individu dengan penyakit paru
terinfeksi (underlying lung disesase)
Dikutip dari CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and postexposure prophylaxis of pertussis. MMWR.
2005;54(RR14):1–16.

Pencegahan terbaik untuk penyakit ini adalah dengan imunisasi. Pemberian


imunisasi pasif dengan human hyperimmune globulin tidak efektif untuk mencegah
pertusis, sehingga saat tidak lagi diberikan. Pemberian imunisasi aktif pertusis diberikan

11
bersama-sama dengan vaksin diphteria dan tetanus diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
dengan jarak 8 minggu. Jika prevalens pertusis tinggi, imunisasi dapat dimulai pada
umur 2 minggu dengan jarak 2 minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tiadak
memerlukan imunisasi rutin. Vaksin pertusis monovalen (0,25ml im) telah dipakai untuk
mengontrol epidemi pada orang dewasa yang terpapar.24,25

DAFTAR PUSTAKA

1. Cornia P, Lipsky B. Microbiology, epidemiology, and pathogenesis of Bordetella


pertussis infection. Diunduh dari : http://www//uptodate 21.2
android/UpToDate/contents/ mobipreview.htm?20/27/20918
2. World Health Organization. Pertussis.
http://www.who.int/immunization/topics/pertussis/en/
3. Snyder J, Fisher D. Pertussis in childhood. Ped in Rev.2012.33:412-421
4. Mink CM, Cherry JD, Christenson P, et al. A search for Bordetella pertussis infection
in university students. Clin Infect Dis 1992; 14:464.
5. Bergfor E, trollfor B, taranger J, lagergard T, Sundh V, Zackrisson G. Parapertussis
and Pertussis: Differences and Similarities in Incidence, Clinical Course, and
Antibody Responses. Int J Infect Dis 1999; 3:140-146.
6. Mattoo S, Cherry JD. Molecular pathogenesis, epidemiology, and clinical
manifestations of respiratory infections due to Bordetella pertussis and other
Bordetella subspecies. Clin Microbiol Rev 2005; 18:326.
7. Woolfrey BF, Moody JA. Human infections associated with Bordetella
bronchiseptica. Clin Microbiol Rev 1991; 4:243.
8. Heininger U. Pertusssis and other Bordotella infection of respiratory tract. Dalam
Kendig‘s disorders of the respiratory tract in chldren 7th edition.543-9
9. Elisabet Bergfors, MD;* Birger Trollfors, MD;* John Taranger, MD;*Teresa
Lagerg&rd, PhD;+ Valter Sundh, BSc;‖ and Gunilla Zackrisson, MD*. Parapertussis
and pertussis differeces and similairity in incident, clinical course and antibody
response. Int J Infect Dis 1999; 3:140-146.
10. Smith C, Vyas H. Early infantile pertussis; increasingly prevalent and potentially
fatal. Eur J Pediatr 2000; 159:898.

12
11. Mikelova LK, Halperin SA, Scheifele D, et al. Predictors of death in infants
hospitalized with pertussis: a case-control study of 16 pertussis deaths in Canada. J
Pediatr 2003; 143:576.
12. Heininger U, Klich K, Stehr K, Cherry JD. Clinical findings in Bordetella pertussis
infections: results of a prospective multicenter surveillance study. Pediatrics 1997;
100:E10.
13. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Pertussis--United States, 1997-
2000. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2002; 51:73.
14. Halperin SA, Wang EE, Law B, et al. Epidemiological features of pertussis in
hospitalized patients in Canada, 1991-1997: report of the Immunization Monitoring
Program--Active (IMPACT). Clin Infect Dis 1999; 28:1238.
15. Haberling DL, Holman RC, Paddock CD, Murphy TV. Infant and maternal risk
factors for pertussis-related infant mortality in the United States, 1999 to 2004.
Pediatr Infect Dis J. 2009;28(3):194–198
16. Jenkinson D. Duration of effectiveness of pertussis vaccine: evidence from a 10 year
community study. Br Med J (Clin Res Ed) 1988; 296:612.
17. Liu BC, McIntyre P, Kaldor JM, et al. Pertussis in older adults: prospective study of
risk factors and morbidity. Clin Infect Dis 2012; 55:1450.
18. Crowcroft NS, Booy R, Harrison T, et al. Severe and unrecognised: pertussis in UK
infants. Arch Dis Child 2003; 88:802.
19. Centers for Disease Control and Prevention. QuickStats: rate of hospitalizations for
pertussis among infants aged <6 months—United States, 1994–1998 and 1999–2003.
MMWR. 2005;54(40):1027
20. Cherry JD, Heininger U. Pertussis and other Bordetella infections. In: Textbook of
Pediatric Infectious Diseases, 6th, Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ,
Kaplan SL (Eds), Saunders, Philadelphia 2009. p.1683.
21. Cooper WO, Griffin MR, Arbogast P, Hickson GB, Gautam S, Ray WA. Very early
exposure to erythromycin and infantile hypertrophic pyloric stenosis. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2002; 156(7):647–650
22. Altunaiji S, Kukuruzovic R, Curtis N, Massie J. Antibiotics for whooping cough
(pertussis). Cochrane Database Syst Rev. 2007;(3):CD004404
23. American Academy of Pediatrics. Pertussis (whooping cough). In: Pickering LK,
Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, eds. Red Book: 2009. Report of the Committee

13
on Infectious Diseases. 28th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of
Pediatrics; 2009:504–519
24. Anonim. Pertusis. Dalam Sudarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SR, Satari HI
(editor). Buku ajar infeksi dan pediatri tropis edisi kedua. Jakarta. Balai Penerbit
IDAI:331-46
25. Surridge J, Segedin ER, Grant CC. Pertussis requiring intensive care. Arch Dis Child
2007; 92:970.

14

Anda mungkin juga menyukai