Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1


DAFTAR ISI .........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................
C. Tujuan ............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ..........................................................................................
B. Etiologi ..........................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

2
BAB I
PENDAHULUAN

Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum


ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis
cukup tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang
penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah
penduduk total.

Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka


mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Namun demikian penyakit
ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi-bayi
dibawah umur.

Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit
ini mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis
maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak
seumur hidup, kadang-kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian. Pada
saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa. Walaupun orang
dewas sering sebagai penyebab pertusis pada anak-anak, mungkin vaksin orang
dewasa dianjurkan untuk masa depan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT PERTUSIS


1. Pengertian Pertusis
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping
cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)

Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran


nafas yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi,
berakhir dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2003)

Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang


sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk
yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
(Rampengan, 1993)

Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap
pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak.
(Behrman, 1992)

Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn
batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di
dalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien
pertusis telah kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara
pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari
6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada
pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat
kelelahan setelah serangan batuk.

4
2. Etiologi Pertusis
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat
dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies
yaitu Bordetella pertusis, Bordetella Parapertusis, Boredetella
Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.

Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu


bakteri gram negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan
swab pada daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-
Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).

Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :


a) Berbentuk batang (coccobacilus).
b) Tidak dapat bergerak.
c) Bersifat gram negatif.
d) Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.
e) Tidak berspora, mempunyai kapsul.
f) Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º-
10ºC).
g) Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik.
h) Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhdap penicillin.
i) Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :
 Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).
 Endotoksin (lipopolisakarida).
j) Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan
adhesin yang dinamakan pertaktin.
k) Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :
o Toksin Pertusis (PT).
o Filamentous hemagglutinin (FHA).

5
o Pertactine 69-kDa OM
o Aglutinogen fimbriae
o Adenylcyclase
o Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)
o Tracheal cytotoxin
l) Dapat dibiakkan di media pembenihan yang disebut berdet gengou
(potato-blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk
menghambat pertumbuhan organisme lain.
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
 Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luarsel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-
HA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai


Bordetella Pertusis seperti Bordete

3. Patofisiologi Pertusis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT)
dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif
oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan
Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

6
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B.
Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian
menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane
sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek


mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga
akan menurunkn konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae
dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug
yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi
dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak


apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan toksin pertusis.

Cara penularan pertusis, melalui:


o Droplet infection

7
o Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
o Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
o Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang
dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.

Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat


menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk
dimulai.

4. Manifestasi Klinis Pertusis


Menurut Guinto-Ocampo H. (2006), periode inkubasi pertusis berkisar
antara 3-12 hari. Pertussis merupakan penyakit 6 minggu (a 6-week disease)
yang dibagi menjadi: stadium catarrhal, paroxysmal, dan convalescent.
a. Stadium 1
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga
catarrhal phase, stadium kataralis, stadium prodromal, stadium pre-
paroksismal.

Stadium ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran


pernafasan bagian atas dengan common cold, kongesti nasal, rinorea, dan
bersin, dapat disertai dengan sedikit demam (low-grade fever), tearing,
dan conjunctival suffusion.

Pada stadium ini, pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis


dapat tetap menular selama tiga minggu atau lebih setelah onset batuk.
Kuman paling mudah diisolasi juga pada stadium ini.

Menurut Rampengan (2008), masa inkubasi pertusis 6-10 hari


(rata-rata 7 hari), perjalanan penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu
atau lebih. Adapun manifestasi klinis pada stadium ini adalah:

8
o Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya
rinore dengan lendir yang cair dan jernih.
o Infeksi konjungtiva, lakrimasi.
o Batuk dan panas yang ringan.
o Kongesti nasalis
o Anoreksia

Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan
menjadi semakin hebat. Sekret banyak, menjadi kental dan lengket. Pada
bayi, lendir mukoid sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas, dimana
bayi terlihat sakit berat dan iritabel.

b. Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini
disebut juga paroxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium
paroksismal, stadium spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai
batuk berat yang tiba-tiba dan tak terkontrol (paroxysms of intense
coughing) yang berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia
kurang dari 6 bulan tidak disertai whoop yang khas namun dapat disertai
episode apnea (henti nafas sementara) dan berisiko kelelahan
(exhaustion).

Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:


o Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat
penderita menarik nafas di akhir serangan batuk.
o Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas, dan di akhir
serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga
terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
o Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau
sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah.
Juga tampak pelebaran pembuluh darah yang jelas di kepala dan leher,

9
petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan
ulserasi frenulum lidah.
o Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lendir kental.
o Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat

c. Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga
stadium konvalesens.

Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Garna H., et.al. (2005),


pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk
yang terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung selama
berminggu-minggu.

Dapat terjadi petekie pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva,


dapat terjadi ronki difus.

Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:


o Whoop dan muntah berhenti.
o Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3
minggu.
o Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali
dengan whoop dan muntah-muntah. Episode ini terjadi berulang
dalam beberapa bulan bahkan hingga satu atau dua tahun, dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.

5. Komplikasi Pertusis
a) Sistem pernafasan
Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis
yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema, bronkietaksis, dan
tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.
b) Sistem pencernaan

10
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi
kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena
tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena
tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga
stomatitis.
c) Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak,
mungkin pula terjadi perdarahan otak.

d) Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.

6. Pemeriksaan Diagnostik Pertusis


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnose pertusis yaitu :
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-
FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh
karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis
merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-
FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik
untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama
stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)

11
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis
pada apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan
sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial
edema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild
peribronchial cuffing, atau empiema. Konsolidasi (consolidation)
merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis
pneumonia (jarang). Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum,
atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.

Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital


(vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi,
heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.

7. Penatalaksanaan Pertusis
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a) Suportif
o Isolasi (1-2 minggu).
o Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
o Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
o Oksigen bila sesak nafas.
o Pengisapan lendir.
o Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b) Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
o Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.

12
o Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari.
o Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5
hari.
o Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama
14 hari.
o Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama
14 hari.
Sedangkan Guinto-Ocampo (2006) mengusulkan penatalaksanaan
pertusis sebagai berikut :
1. Antibiotik
a. Erythromycin
 Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab,
Erythrocin.
 Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
 Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg (ethylsuccinate)
PO q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base) q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat ditingkatkan
hingga 4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
 Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi 2
g/hari.
Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena penyerapan yang
lebih efektif.

13
b. Azithromycin
 Nama Dagang di Amerika: Zithromax
 Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
 Dosis dewasa:
500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari
berikutnya (total 5 hari)
 Dosis anak-anak
10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.

c. Clarithromycin
 Nama Dagang di Amerika: Biaxin
 Mekanisme kerja
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
 Dosis dewasa:
500 PO bid untuk 7-10 hari.
 Dosis anak-anak
15-20 mg/kg PO dibagi bid selama 5-7 hari; tidak melebihi g/hari.
d. Trimethoprin-sulfamethoxazole
 Nama Dagang di Amerika:Bactrim, Septra, Cotrim
 Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghambat sintesis
dihydrofolic acid. Obat alternatif, namun kemanjurannya (efficacy)
belum terbukti untuk pertusis.
 Dosis dewasa:
160 mg (trimethoprim component) / 800 mg (sulfamethoxazole
component) PO bid selama 7-10 hari (misalnya: 1 DS tab bid)
 Dosis anak-anak

14
<2 bulan: kontraindikasi.
>2 bulan: 6-10 mg/kg/hari (berdasarkan komponen trimethoprim)
PO dibagi q12h untuk 7-10 hari.
2. Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance) infeksi.
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang
bertindak sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi
antibodi dengan specific protective properties.

Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah menerima vaksin


pertusis. Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular direkomendasikan
dan biasanya dikombinasikan dengan diphtheria and tetanus toxoids
(DTaP). Vaksin tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun
terbukti dapat memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
a. DtaP
 Nama Dagang di Amerika: Tripedia, Certiva, Infanrix.
 Dosis Dewasa:
0,5 mL IM toksoid tetanus dan difteri (Td) dan dosis menurut
riwayat vaksin.
 Dosis anak-anak
0,5 mL IM pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun.
7-18 tahun jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM Td
untuk 3 dosis. Berilah jarak 4 minggu di antara dosis pertama dan
kedua, dan 6 bulan di antara dosis kedua dan ketiga; ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga (boleh mengganti Tdap
untuk dosis jika usia sesuai)
 Dosis booster remaja (10-18 tahun): Tdap 0,5 mL IM sekali, dosis
tunggal.
b. Tdap
o Nama Dagang di Amerika: Adacel, Boostrix.
o Dosis dewasa:

15
0,5 mL IM sekali sebagai dosis tunggal, diberikan melalui
musculus deltoideus. Booster dengan Td direkomendasikan q10y
Lebih dari 65 tahun: tidak diindikasikan.
o Dosis anak-anak
<10 tahun: tidak diindikasikan.
10-18 tahun: diberikan sesuai dengan dosis dewasa.
Pertussis-specific immune globulin merupakan produk investigational
yang mungkin efektif untuk mengurangi batuk paroksismal namun
masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

B. ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS

1. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama, TTL, umur, alamat, agama, suku bangsa, dll.
Diagnosa : Pertusis

2) Keluhan utama
Batuk rejan

3) Riwayat kesehatan
 Riwayat Penyakit Sekarang
An A tinggal bersama orang tuanya di tempat yang padat penduduk. Satu
minggu terakhir an A mengeluh pusing kepada ibunya. Ibu mengetahui an
A demam dan batuk yang timbul mula-mula malam hari. Setiap kali batuk
an A disertai rasa muntah, terkadang sampai muntah. Nafs makanan A
menurun karena seringnya batuk. Hingga karena batuknya semakin hebat,
ibunya memutuskan untuk di bawa kerumah sakit.
 Riwayat Penyakit dahulu : Tidak ada

16
 Riwayat Keluarga : Tidak Ada

4) Observasi dan pemeriksaan fisik


 Keadaan Umum : Baik, Kesadaran Kompos Mentis
 Tanda-Tanda Vital :
o S : 37,40
o N :102 x/mnt
o TD :110/80 mmHg
o RR : 30 x/mnt

5) Review per Sistem


 Pernafasan B1 (breath)
o Bentuk dada : normal
o Pola nafas : tidak teratur
o Suara napas : ronchi
o Batuk : ya, ada sekret
o Retraksi otot bantu napas : ada
o Alat bantu pernapasan : nasal kanul 3 lpm
 Kardiovaskular B2 (blood)
o Irama jantung : regular
o Nyeri dada : tidak
o Bunyi jantung ; normal
o Akral : panas
 Persyarafan B3 (brain)
o Keluhan pusing (+)
o Gangguan tidur (+)
o Penglihatan (mata) : anemia
o Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan
o Penciuman (hidung) : tidak ada gangguan
 Perkemihan B4 (bladder)
o Kebersihan : bersih
o Bentuk alat kelamin : normal

17
o Uretra : normal
 Pencernaan B5 (bowel)
o Nafsu makan : menurun
o Porsi makan : tidak habis, 3 kali sehari
o Mulut : bersih
o Mukosa : lembap
 Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Kemampuan pergerakan sendi : bebas
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
DS : - Pasien mengatakan sering batuk-batuk.
DO : -Tampak lemah.
b. Pola nutrisi dan metabolik
DS : - Nafsu makan hilang.
- Mual/muntah.
DO : - Turgor kulit buruk.
- Penurunan massa otot.
- Penurunan BB.
c. Pola eliminasi
DS : - BAB dan BAK lancar.
DO : - Urine berbau amoniak dan berwarna kuning.
d. Pola aktivitas dan latihan.
DS : Batuk panjang, kelelahan, demam ringan.
DO : Sesak, kelelahan otot dan nyeri.
e. Pola tidur dan istirahat
DS : - Mudah terbangun.
DO : - Gelisah
f. Pola persepsi kognitif
DS : - Pasien mengatakan komunikasi terhambat akibat batuknya.
DO : - Nyeri
- Mual
g. Pola persepsi dan konsep diri
DO : - Gelisah

18
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
DO : - dirawat di tempat khusus.
i. Pola reproduksi dan seksualitas
DS : - Penurunan gairah seksual.
DO: - Keadaan umum lemah, ketidakmampuan beraktivitas.
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
DS : - Pasien mengatakan stres terhadap batuk yang dialaminya.
DO : - Gelisah.
k. Pola sistem kepercayaan
DS : - Pasien mengatakan mengalami kesejahteraan spiritual.
DO : - Rajin beribadah.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang bisa muncul pada kasus pertusis :
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.
3) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.

3. Intervensi
No Diagnosa Intervensi NOC
1 Bersihan jalan  Status
napas tidak efektif  Buka jalan nafas pernafasan :
b/d peningkatan  Posisikan klien untuk ventilasi
produksi mucus. memaksimalkan ventilasi  Status
 Identifikasi klien pernafasan :
perlunya pemasangan potensi jalan
alat jalan nafas buatan nafas
 Keluarkan secret dengan  Control
batuk atau suction aspirasi
 Auskultasi suara nafas

19
 Atur intake cairan
 Monitor respirasi dan
status oksigen
2 Pola napas tidak Airway management  Status
efektif b/d tidak  Buka jalan nafas pernafasan :
adekuatnya  Posisikan klien untuk ventilasi
ventilasi. memaksimalkan ventilasi  Status
 Identifikasi klien pernafasan :
perlunya pemasangan potensi jalan
alat jalan nafas buatan nafas
 Keluarkan secret dengan  Control
batuk atau suction aspirasi
Terapi oksigen
 Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
 Pertahankan jalan nafas
yang paten
 Monitor aliran oksigen
 Observasi adanya tanda –
tanda hipoventilasi
 Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Management TTV
 Monitor TTV
 Catat adanya fluktuasi
TD
 Monitor TTV saat pasien
berbaring, duduk atau
berdiri
 Monitor TTV sebelum,
selama dan setelah

20
aktifitas
 Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit
 Identifikasi penyebab
perubahan TTV
3 Hyperthermy b/d Fever threathment Termoregulasi:
infeksi saluran  Monitor suhu sesering  Suhu tubuh
nafas. mungkin dalam rentang
 Monitor warna dan suhu normal
kulit  Nadi dan RR
 Monitor TTV dalam rentang
 Monitor penurunan tingkat normal
kesadaran -
 Monitor intake dan output
 Berikan antipiretik
 Kompres pada lipat paha
dan aksila
Monitor TTV
 Monitor TTV
 Catat adanya fluktuasi TD
 Monitor TTV saat pasien
berbaring, duduk atau
berdiri
 Monitor TTV sebelum,
selama dan setelah
aktifitas
 Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit
 Identifikasi penyebab
perubahan TTV
4 Gangguan Airway management  Status
pertukaran gas  Buka jalan nafas respirasi : gas

21
berhubungan  Posisikan klien untuk exchange
dengan memaksimalkan ventilasi  Status
ketidakseimbangan  Identifikasi klien perlunya respirasi :
perfusi-ventilasi. pemasangan alat jalan ventilasi
nafas buatan  TTV status
 Keluarkan secret dengan
batuk atau suction
Monitor respirasi
 Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan
usaha respirasi
 Catat pergerakan dada,
kesimetrisan, penggunaan
otot bantu pernasafan
 Monitor suara nafas
 Monitor pola nafas :
bradipnea, takipnea,
kussmual, hiperventilasi,
dhyna stokes, dll.
 Catat lokasi
 Tentukan kebutuhan
suction
5 Intoleransi aktivitas Terapi aktivitas Toleransi
berhubungan  Menentukan penyebab aktivitas
dengan kelemahan intoleransi aktivitas
umum.  Berikan periode aktivitas
selama beraktivitas
 Minimalkan kerja
kardiovaskular
 Pastikan perubahan posisi
klien secara perlahan dan
monitor gejala intoleransi

22
aktivitas
 Monitor intake nutrisis
untuk memastikan
kecukupan sumber energy
 Ajarkan pada klien
bagaimana menggunakan
teknik mengontrol
pernafasan ketika
beraktivitas
6 Kekurangan volume Management cairan Keseimbangan
cairan b/d intake  Monitor BB/hari volume cairan
klien yang kurang.  Pertahankan intake dan
output yang akurat
 Monitor status hidrasi
(membrane mukosa) yang
adekuat
 Monitor intake dan output
 Monitor status nutrisi
 Monitor status
hemodinamik
7 Ketidakseimbangan Management nutrisi Status nutrisi :
nutrisi kurang dari  Kaji adanya alergi intake makanan
kebutuhan tubuh makanan dan cairan
berhubungan  Anjurkan pasien untuk  BB sesuai
dengan mual meningkatkan intake Fe dengan TB
muntah.  Berikan substansi gula  Tidak ada
 Anjurkan pasien untuk tanda
meningkatkan protein dan malnutrisi
vitamin C  Tidak terjadi
 Diet tinggi serat penurunan BB
 Berikan makanan yang berarti
kesukaan dan terpilih  Mampu

23
 Monitor jumlah nutrisi dan mengidentifik
kandungan kalori asi kebutuhan
Monitor nutrisi nutrisi
 Ukur BB pasien
 Monitor adanya penurunan
BB
 Monitor mual muntah
 Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan Ht.
 Monitor makanan
kesukaan
 Monitor kalori dan intake
nutrisi

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah
sebagai berikut :

24
1. Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Bordotella pertusis.
2. Pertusis dapat mengenai semua golongan umurdan terbanyak mengenai anak
1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis,
paroksimal dan konvelesensi.
3. Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar adalah
menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis.

B. Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa keperawatan maupun pembacanya
dalam pembuatan dan memberi asuhan keperawatan kepada penderita pertusis.

DAFTAR PUSTAKA
Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta:Info Medika

25
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35517-Kep%20Respirasi-
Askep%20Pertusis.html
http://antondarmi.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-pertusis.html

26

Anda mungkin juga menyukai