Oleh:
UNIVERSITAS INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................3
DAFTAR TABEL....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II ISI................................................................................................................7
2.1 Pengertian.......................................................................................................7
2.2 Gejala..............................................................................................................7
2.3 Patofisiologis..................................................................................................8
2.4 Epidemiologi...................................................................................................8
2.5 Diagnosis......................................................................................................10
2.6 Pengobatan....................................................................................................11
2.7 Pencegahan...................................................................................................11
3.1 Kesimpulan.................................................................................................13
3.2 Saran...........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Laporan Tahunan Pertussis di Dunia................................................................................9
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Epidemiologi Pertussis di Asia Pasifik..............................................................................10
4
BAB I PENDAHULUAN
5
5. Bagaimana gambaran penyebaran pertussis di dunia dan Indonesia?
6. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit pertussis pada penderita?
7. Bagaimana cara pengobatan terhadap penderita pertussis?
8. Apa saja cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pertussis?
6
BAB II ISI
2.1 Pengertian
2.2 Gejala
Gejala pada pertusis biasanya seperti pilek, dengan hidung
beringus, rasa lelah dan adakalanya demam parah setelah masa inkubasi 7 –
10 hari. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti
dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah
setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka
mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan
7
mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk
yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan
(NSW Government, tanpa tahun).
2.3 Patofisiologis
Masa inkubasi pertusis 6–21 hari, rata-rata 7-10 hari. Manifestasi
klinis tergantung tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status
imunisasi. Perjalanan klinis penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium
kataralis berlangsung 1-2 minggu, stadium paroksismal atau spasmodik
berlangsung 2-4 minggu, dan stadium konvalesens selama 1-2 minggu
(Fakultas Kedokteran Unair, Tanpa tahun). Pertusis adalah penyakit yang
sangat menular yang hanya ditemukan pada manusia. Pertusis menyebar
dari orang ke orang. Orang dengan pertusis biasanya menularkan penyakit
kepada orang lain dengan batuk atau bersin atau ketika menghabiskan
banyak waktu di dekat satu sama lain di mana saat berbagi ruang bernapas.
Banyak bayi yang menderita pertusis terinfeksi oleh saudara kandung yang
lebih tua, orang tua, atau pengasuh yang bahkan mungkin tidak tahu mereka
menderita penyakit ini. Orang yang terinfeksi paling menular hingga sekitar
2 minggu setelah batuk dimulai. Antibiotik dapat mempersingkat waktu
seseorang menular (CDC, 2017).
2.4 Epidemiologi
Pertusis menjadi epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu
sebelum pertengahan 1940-an. Ketika sudah digunakannya vaksin DPT
secara rutin, pertussis bias dicegah dan morbiditas serta mortalitas pertussis
menurun drastis (Muloiwa et al, 2015). Menurut WHO pada tahun 2008,
pertussis tetap menjadi masalah kesehatan utama di kalangan anak-anak di
negara berkembang, dengan 195.000 kematian akibat penyakit tersebut.
Pada abad ke-20, pertussis adalah salah satu penyakit di masa kecil
yang menyebabkan kematian di Amerika Serikat. Sebelum ketersediaan
vaksin pada tahun 1940-an, lebih dari 200.000 kasus pertussis dilaporkan
8
setiap tahun. Sejak vaksin digunakan secara meluas, insiden telah menurun
lebih dari 80% dibandingkan sebelum menggunakan vaksin.
Sementara menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota
(2012), di seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus
pertussis, 95% diantaranya terjadi di Negara berkembang, dan
mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya. Menurut data
laporan tahunan kasus pertussis dari WHO (2018), kejadian pertussis di
dunia mengalami penurunan dari tahun 1990-2017 karena semakin banyak
vaksin DPT yang diberikan pada kelompok rentan terutama anak-anak.
9
Tabel 1. Epidemiologi Pertussis di Asia Pasifik
2.5 Diagnosis
Menurut Hospital Care For Children (2016), curiga pertusis jika
anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui
terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna, yaitu:
a. Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai
muntah
b. Perdarahan subkonjungtiva
c. Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
d. Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti
oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
e. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis perlu ditanyakan
riwayat kontak dengan pasien pertusis, riwayat imunisasi, dan serangan
paroksismal dan bunyi whoop yang khas. Gejala klinis tergantung dari
stadium saat pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaa laboratorium didapatkan
leukositosis 20.000- 50.000/Ul dengan limfositosis absolut yang khas pada
akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Diagnosis banding
yang harus dipikirkan adalah bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik
fibrosis, tuberkulosis, serta adanya benda asing. Infeksi B. Parapertussis
dan B bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.
10
Pertussis. Penyulit dapat terjadi terutama pada sistem saluran pernafasan
berupa pneumonia dan sistem saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,
dan hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inappropriate
diuretic hormon) (Fakultas Kedokteran Unair, tanpa tahun).
2.6 Pengobatan
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara
rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan
dirawat di rumah sakit (ICHRC, 2016). Pengobatan antibiotik dengan
eritromisisn (50 mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100 mg/kgBB/hari),
maksimum 2gram perhari diberikan selama 14 untuk mencegah relaps.
Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Terapi
suportif ditujukan untuk mengurangi serangan batuk, mengatur hidrasi dan
nutrisi (Fakultas Kedokteran Unair, tanpa tahun).
2.7 Pencegahan
Menurut Centers For Disease Controls and Prevention (2017) Cara
terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) di antara bayi, anak-anak,
remaja, dan orang dewasa adalah mendapatkan vaksinasi. Juga, jauhkan
bayi dan orang lain pada risiko tinggi untuk komplikasi pertusis dari orang
yang terinfeksi. Di Amerika Serikat, vaksin pertusis yang direkomendasikan
untuk bayi dan anak-anak disebut DTaP. Ini adalah vaksin kombinasi yang
membantu melindungi terhadap tiga penyakit: difteri, tetanus dan pertusis.
Perlindungan dengan vaksin untuk ketiga penyakit ini memudar seiring
waktu. Sebelum 2005, satu-satunya booster (disebut Td) yang tersedia berisi
perlindungan terhadap tetanus dan difteri. Vaksin ini direkomendasikan
untuk remaja dan dewasa setiap 10 tahun. Saat ini ada booster (disebut
Tdap) untuk praremaja, remaja, dan orang dewasa yang mengandung
perlindungan terhadap tetanus, difteri dan pertusis.
Di Indonesia juga berkomitmen pada lingkup ASEAN dan SEARO
untuk mempertahankan cakupan imunisasi DPT. Hasil Riskesdas tahun
2010 menunjukkan penurunan cakupan imunisasi DPT, kondisi ini diikuti
peningkatan jumlah kasus difteri pada tahun 2010-2012. Namun imunisasi
11
tahun 2012 dari Subdit Imunisasi menunjukkan peningkatan, hal ini diikuti
penurunan jumlah kasus difteri pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan
RI, 2014). Selain itu pencegahan juga dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan mengenai penyakit pertussis ke masyarakat luas.
12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Tingkat kejadian pertussis sangat berpengaruh kepada tingkat
pemberian vaksin DPT. Maka dari itu saran yang diberikan oleh penulis
yaitu perlunya aplikasi imunisasi DPT terhadap kelompok rentan yaitu
anak-anak yang merata di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Serta
pengobatan dan teknik diagnosa pertussis harus lebih canggih yang dapat
menyembukan dan mendeteksi seseorang terkena pertussis atau tidak. Hal-
hal tersebut dapat berkontribusi terhadap penurunan jumlah kejadian
pertussis di dunia. Serta perlunya sosialisasi kepada masyarakat luas
mengenai penyakit pertussis ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD (2015). The burden of pertussis
in low- and middle- income countries since the inception of the Expanded
Programme on Immunization (EPI) in 1974: a systematic review protocol.
Systematic Reviews (2015) 4:62
14
Negara, F. (2016). Kementerian BUMN. [online] Kementerian BUMN. Available
at: http://bumn.go.id/biofarma/berita/0-Kenali-Pertusis-dan-Ketahui-Cara-
Pencegahannya [Accessed 26 May 2019].
15