PENYAKIT SIFILIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DI SUSUN OLEH:
INAYATUL ILLA RIFAH (2130015024)
TANSA SINTA (21300150)
ZULVA NUR AYDA (2130015030)
DOSEN PENGAMPU:
NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016
HALAMAN JUDUL
PENYAKIT SIFILIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DI SUSUN OLEH:
INAYATUL ILLA RIFAH (2130015024)
TANSA SINTA (21300150)
ZULVA NUR AYDA (2130015030)
DOSEN PENGAMPU:
NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR
1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-
bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita
Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga
kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat
Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus
difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan
mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.
1.3 Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.3.2 Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
1.3.3 Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
1.3.4 Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
1.3.5 Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama penularannya
melalui kontak seksual; infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama
kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital.
Penyakit lain yang diderita manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum
termasuk yaws (subspesies pertenue), pinta(sub-spesies carateum), dan bejel
(sub-spesies endemicum).
2.2 Penyebab
Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo
Spirochaetales dan Genus Treponema spesiesTreponema pallidum. Pada Tahun
1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema
pallidum. Treponema berupa spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter
0,009-0,5 mikron, setiap lekukan gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata
setiap bakteriterdiri dari 8- 14 gelombang dan bergerak secara aktif, karena
spiralnya sangat halus maka hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap
dengan menggunakan teknik immunofluoresensi. Kuman ini bersifat anaerob dan
diantaranya bersifat patogen pada manusia (CDC, 2010)
Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan
panas, polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25C,
Treponema pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari
dalam perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat,
sistein, ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini sukar diwarnaidengan zat warna lilin
tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat
pada permukaan sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara pembelahan
melintang. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam (J Todd et.al, 2001).
2.3 Cara Penularan
Secara umum periode masa inkubasi dari 10 hari sampai 3 (tiga) minggu
dari biasanya. WHO menyatakan ada perbedaan waktu antara sifilis dini dan
sifilis laten yakni selama 2-4 tahun. Sifilis primer terjadi antara 9 sampai 10 hari
setelah terinfeksi dan gejalanya timbul berupa luka nyeri pada alat kelamin.
Penularan Sifilis diketahui dapat terjadi melalui (WHO, 1999) : a. Penularan
secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98% infeksi
terjadi melalui jalur ini, penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis. b.
Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama
penderita sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara
bersama-sama seperti handuk, selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang
terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum. c. Melalui Kongenital yaitu
penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak diobati dimana kuman
treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam janin melalui sirkulasi
darah. Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita
sifilis laten pada donor darah pasien, namun demikian penularan melalui darah ini
sangat jarang terjadi.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke
pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa
inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan
pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama
minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan
ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah
robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka
lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan
invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal
pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan
exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan
sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa
menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang
menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk
kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang
lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari
kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran
sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan
nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena
membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran
rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui
porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi
toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi
kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis
dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak
mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang
biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Diagnosis terhadap penyakit sifilis sangat penting untuk dilakukan karena
penyakit ini merupakan penyakit yang menular.Studi menyebutkan bahwa
diagnosis dini dapat membantu pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Pada
umumnya dilakukan dengan 3 cara yaitu:
Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan mewawancarai pasien dengan
menanyakan keluhan dan gejala pasien.
b. Pemeriksaan secara Klinis Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat gejala
klinis yang muncul pada penderita yang dikenal dengan pemeriksaan sindromik.
Penggunaan manajemen sindromik ini terutama dirancang untuk keterbatasan
sumber daya dan telah terbukti layak diterima di beberapa negara (Lambert et al,
2005, Brown et al, 2010). STI skrining antara MSM juga layak dan dapat diterima
dan dapat menjangkau kelompok yang sering memiliki akses terbatas dalam
mendapatkan pemeriksaan IMS yang teratur dan konseling di pelayanan
kesehatan formal.Namun demikian pemeriksaan ini tetap harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium untuk hasil yang lebih akurat.
c. Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada
umumnya dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik langsung maupun
pemeriksaan serologik.
d. Pemeriksaan Mikroskopik Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak
kuman Treponema dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap.
Pemeriksaan Treponema secara mikroskopik dilihat dengan teknik
imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan jaringan atau eksudat pada
kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum anti treponema yang
dilabel fluoresein sehingga pada lapangan pandang gelap akan terlihat fluoresensi
yang khas dari kuman Treponema (CDC, 2010).
e. Pemeriksaan Serologis Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain
untuk menentukan apakah seseorang memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi
terjadi, tubuh memproduksi antibodi sifilis yang dapat dideteksi oleh tes darah.
Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan hasil
pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan : 1. Tes Non Treponema :
kardiolipin, lesitin dan kolesterol 2. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup /
mati Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan : 1. Sensitivitas : % individu yang
terinfeksi yangmemberi hasil positif 2. Spesifivitas : % individu yang tidak
infeksi yang memberikan hasilnegatif Menurut Irwin, et. al., (2003) Pemeriksaan
kuantitatif Serologi Sifilis memungkinkan dokter untuk : 1. Mengevaluasi
efektivitas pengobatan 2. Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi
menular 3. Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang 4. Melihat adanya
reaksi sebagai jenis seroresistant 5. Membedakan antara benar dan biologis positif
palsu reaksi serologis.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38 C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor
lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita
pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan
trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
2.7 Patogenesis
Treponema dapat masuk (porte dentre) ke tubuh calon penderita melalui
selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran
darah dari semua organ dalam tubuh.Penularan terjadi setelah kontak langsung
dengan lesi yang mengandung treponema.34 minggu terjadi infeksi, pada tempat
masuk
Treponema pallidum timbul lesi primer (chancre primer) yang bertahan 15
minggu dan sembuh sendiri. Tes serologik klasik positif setelah 14 minggu.
Kurang lebih 6 minggu (2 6 minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan
selaput lendir dan kulit yang pada awalnya menyeluruh kemudian mengadakan
konfluensi dan berbentuk khas. Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 26
minggu. Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik
sifilis positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps.
Penderita tanpa pengobatan akan mengalami sifilis lanjut (Sifilis III 17%,
kordiovaskular 10%, Neurosifilis 8%). Banyak orang terinfeksi sifilis tidak
memiliki gejala selama bertahun- tahun, namun tetap berisiko untuk terjadinya
komplikasi akhir jika tidak dirawat. Gejalagejala yang timbul jika terkena
penyakit ini adalah benjolan-benjolan di sekitar alat kelamin. Timbulnya benjolan
sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada tulang, mirip seperti gejala
flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat menghilang dengan sendirinya
tanpa pengobatan.
Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena selama
jangka waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala
mengkhawatirkan. Namun, setelah 5-10 tahun sifilis baru akan
memperlihatkan keganasannya dengan menyerang sistem saraf,
pembuluh darah, dan jantung. Gejala klinis penyakit sifilis menurut
klasifikasi WHO sebagai berikut (CDC, 2010) :
a. Sifilis Dini 1. Sifilis Primer Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90
hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama berupa makula atau papula
merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre), dengan pinggir keras,
dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering disertai
dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi
chancre sering pada genitalia tetapi bisa juga ditempat lain seperti bibir,
ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre serta
ditemuiTreponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan
mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan
sediaan langsung negatif, pemeriksaan harus diulangi lagi selama tiga
hari berturut-turut dan bila tetap negatif, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan serologis. Selamadalam pemeriksaan
sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan larutan garam faal
fisiologis.
2. Sifilis Sekunder (S II) Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada
beberapa kasus keadaan S II ini sering masih disertai S I. Pada S II
dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia,
angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut
dan genitalia, kelenjar getah bening dan alat dalam. Kelainan pada kulit
yang kita jumpai pada S II ini hampir menyerupai penyakit kulit yang lain,
bisa berupa roseola, papel-papel, papulo skuamosa, papulokrustosa dan
pustula. Pada SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada
telapak tangan dan kaki. Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak
merah (mucous patch) yang disertai perasaan sakit pada tenggorokan
(angina sifilitica eritematosa). Pada genitalia sering kita jumpai adanya
papul atau plak yang datar dan basah yang disebut kondilomata
lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut
alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh
berwarna putih, suram ataupun terjadi peradangan (paronikia sifilitaka).
Kelainanmata berupa uveitis anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi
hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus ringan. Kelainan selaput
otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah dan pada
pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan
protein. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga
diperlukan pemeriksaan serologis. 3. Sifilis Laten Dini Gejala klinis tidak
tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.Tes yang
dilanjutkan adalah VDRL dan TPHA.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6
bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian
imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling sedikit
4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah dasar yaitu
kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan
umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak,
mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan
menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain,
Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
Cakupan imunisasi
Kualitas vaksin
Lingkungan
Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
Akses pelayanan kesehatan yang rendah
DAFTAR PUSTAKA