Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PENYAKIT SIFILIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DI SUSUN OLEH:
INAYATUL ILLA RIFAH (2130015024)
TANSA SINTA (21300150)
ZULVA NUR AYDA (2130015030)

DOSEN PENGAMPU:
NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016

HALAMAN JUDUL
PENYAKIT SIFILIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DI SUSUN OLEH:
INAYATUL ILLA RIFAH (2130015024)
TANSA SINTA (21300150)
ZULVA NUR AYDA (2130015030)

DOSEN PENGAMPU:
NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, Segala puji bagi Allah SWT, berkat rahmat


dan karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah epidemiologi penyakit. Dalam
penyusunan makalah , kami selaku penulis banyak mendapat bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
Dosen pendamping kami Nurul Jannatul Firdausi, S.KM., M.PH
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada kami dalam
rangka penulisan karya tulis ilmiah ini
kedua orang tua kami yang memberikan semangat dan motivasi kepada
kami.
Semoga semua amal kebaikannya diterima dan dapat imbalan pahala dari
Allah SWT. Dalam penyusunan makalah ini kami mengharap kritik dan saran
untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya.

Surabaya, 1 Maret 2017


Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan........................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi penyakit sifilis ................................................................3
2.2 Penyebab penyakit sifilis.............................................................7
2.2 Cara penularan penyakit sifilis .....................................................7
2.3 .......................................................................................................7
2.4 Patofisiologis...................................................................................
2.5 Epidemiologi...................................................................................
2.6 Diagnosis.........................................................................................
2.7 Patogenesis......................................................................................
2.8 Komplikasi .....................................................................................
2.9 Pencegahan dan pengobatan ..........................................................
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Tingkat Kesakitan, Kejadian Penyakit......................10
3.2 Pelaksanaan Surveilans...............................................................13
BAB 4. PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................15
3.2 Saran...........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-
bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita
Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga
kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat
Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus
difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan
mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
1.2.2 Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
1.2.3 Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
1.2.4 Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.3.2 Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
1.3.3 Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
1.3.4 Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
1.3.5 Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama penularannya
melalui kontak seksual; infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama
kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital.
Penyakit lain yang diderita manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum
termasuk yaws (subspesies pertenue), pinta(sub-spesies carateum), dan bejel
(sub-spesies endemicum).

2.2 Penyebab
Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo
Spirochaetales dan Genus Treponema spesiesTreponema pallidum. Pada Tahun
1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema
pallidum. Treponema berupa spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter
0,009-0,5 mikron, setiap lekukan gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata
setiap bakteriterdiri dari 8- 14 gelombang dan bergerak secara aktif, karena
spiralnya sangat halus maka hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap
dengan menggunakan teknik immunofluoresensi. Kuman ini bersifat anaerob dan
diantaranya bersifat patogen pada manusia (CDC, 2010)
Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan
panas, polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25C,
Treponema pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari
dalam perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat,
sistein, ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini sukar diwarnaidengan zat warna lilin
tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat
pada permukaan sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara pembelahan
melintang. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam (J Todd et.al, 2001).
2.3 Cara Penularan
Secara umum periode masa inkubasi dari 10 hari sampai 3 (tiga) minggu
dari biasanya. WHO menyatakan ada perbedaan waktu antara sifilis dini dan
sifilis laten yakni selama 2-4 tahun. Sifilis primer terjadi antara 9 sampai 10 hari
setelah terinfeksi dan gejalanya timbul berupa luka nyeri pada alat kelamin.
Penularan Sifilis diketahui dapat terjadi melalui (WHO, 1999) : a. Penularan
secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98% infeksi
terjadi melalui jalur ini, penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis. b.
Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama
penderita sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara
bersama-sama seperti handuk, selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang
terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum. c. Melalui Kongenital yaitu
penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak diobati dimana kuman
treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam janin melalui sirkulasi
darah. Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita
sifilis laten pada donor darah pasien, namun demikian penularan melalui darah ini
sangat jarang terjadi.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke
pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa
inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan
pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama
minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan
ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah
robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka
lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan
invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal
pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan
exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan
sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa
menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang
menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk
kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang
lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari
kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran
sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan
nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena
membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran
rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui
porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi
toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi
kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis
dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak
mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang
biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Diagnosis terhadap penyakit sifilis sangat penting untuk dilakukan karena
penyakit ini merupakan penyakit yang menular.Studi menyebutkan bahwa
diagnosis dini dapat membantu pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Pada
umumnya dilakukan dengan 3 cara yaitu:
Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan mewawancarai pasien dengan
menanyakan keluhan dan gejala pasien.
b. Pemeriksaan secara Klinis Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat gejala
klinis yang muncul pada penderita yang dikenal dengan pemeriksaan sindromik.
Penggunaan manajemen sindromik ini terutama dirancang untuk keterbatasan
sumber daya dan telah terbukti layak diterima di beberapa negara (Lambert et al,
2005, Brown et al, 2010). STI skrining antara MSM juga layak dan dapat diterima
dan dapat menjangkau kelompok yang sering memiliki akses terbatas dalam
mendapatkan pemeriksaan IMS yang teratur dan konseling di pelayanan
kesehatan formal.Namun demikian pemeriksaan ini tetap harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium untuk hasil yang lebih akurat.
c. Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada
umumnya dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik langsung maupun
pemeriksaan serologik.
d. Pemeriksaan Mikroskopik Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak
kuman Treponema dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap.
Pemeriksaan Treponema secara mikroskopik dilihat dengan teknik
imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan jaringan atau eksudat pada
kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum anti treponema yang
dilabel fluoresein sehingga pada lapangan pandang gelap akan terlihat fluoresensi
yang khas dari kuman Treponema (CDC, 2010).
e. Pemeriksaan Serologis Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain
untuk menentukan apakah seseorang memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi
terjadi, tubuh memproduksi antibodi sifilis yang dapat dideteksi oleh tes darah.
Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan hasil
pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan : 1. Tes Non Treponema :
kardiolipin, lesitin dan kolesterol 2. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup /
mati Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan : 1. Sensitivitas : % individu yang
terinfeksi yangmemberi hasil positif 2. Spesifivitas : % individu yang tidak
infeksi yang memberikan hasilnegatif Menurut Irwin, et. al., (2003) Pemeriksaan
kuantitatif Serologi Sifilis memungkinkan dokter untuk : 1. Mengevaluasi
efektivitas pengobatan 2. Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi
menular 3. Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang 4. Melihat adanya
reaksi sebagai jenis seroresistant 5. Membedakan antara benar dan biologis positif
palsu reaksi serologis.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38 C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor
lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita
pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan
trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
2.7 Patogenesis
Treponema dapat masuk (porte dentre) ke tubuh calon penderita melalui
selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran
darah dari semua organ dalam tubuh.Penularan terjadi setelah kontak langsung
dengan lesi yang mengandung treponema.34 minggu terjadi infeksi, pada tempat
masuk
Treponema pallidum timbul lesi primer (chancre primer) yang bertahan 15
minggu dan sembuh sendiri. Tes serologik klasik positif setelah 14 minggu.
Kurang lebih 6 minggu (2 6 minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan
selaput lendir dan kulit yang pada awalnya menyeluruh kemudian mengadakan
konfluensi dan berbentuk khas. Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 26
minggu. Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik
sifilis positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps.
Penderita tanpa pengobatan akan mengalami sifilis lanjut (Sifilis III 17%,
kordiovaskular 10%, Neurosifilis 8%). Banyak orang terinfeksi sifilis tidak
memiliki gejala selama bertahun- tahun, namun tetap berisiko untuk terjadinya
komplikasi akhir jika tidak dirawat. Gejalagejala yang timbul jika terkena
penyakit ini adalah benjolan-benjolan di sekitar alat kelamin. Timbulnya benjolan
sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada tulang, mirip seperti gejala
flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat menghilang dengan sendirinya
tanpa pengobatan.
Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena selama
jangka waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala
mengkhawatirkan. Namun, setelah 5-10 tahun sifilis baru akan
memperlihatkan keganasannya dengan menyerang sistem saraf,
pembuluh darah, dan jantung. Gejala klinis penyakit sifilis menurut
klasifikasi WHO sebagai berikut (CDC, 2010) :
a. Sifilis Dini 1. Sifilis Primer Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90
hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama berupa makula atau papula
merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre), dengan pinggir keras,
dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering disertai
dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi
chancre sering pada genitalia tetapi bisa juga ditempat lain seperti bibir,
ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre serta
ditemuiTreponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan
mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan
sediaan langsung negatif, pemeriksaan harus diulangi lagi selama tiga
hari berturut-turut dan bila tetap negatif, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan serologis. Selamadalam pemeriksaan
sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan larutan garam faal
fisiologis.
2. Sifilis Sekunder (S II) Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada
beberapa kasus keadaan S II ini sering masih disertai S I. Pada S II
dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia,
angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut
dan genitalia, kelenjar getah bening dan alat dalam. Kelainan pada kulit
yang kita jumpai pada S II ini hampir menyerupai penyakit kulit yang lain,
bisa berupa roseola, papel-papel, papulo skuamosa, papulokrustosa dan
pustula. Pada SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada
telapak tangan dan kaki. Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak
merah (mucous patch) yang disertai perasaan sakit pada tenggorokan
(angina sifilitica eritematosa). Pada genitalia sering kita jumpai adanya
papul atau plak yang datar dan basah yang disebut kondilomata
lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut
alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh
berwarna putih, suram ataupun terjadi peradangan (paronikia sifilitaka).
Kelainanmata berupa uveitis anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi
hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus ringan. Kelainan selaput
otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah dan pada
pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan
protein. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga
diperlukan pemeriksaan serologis. 3. Sifilis Laten Dini Gejala klinis tidak
tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.Tes yang
dilanjutkan adalah VDRL dan TPHA.

b. Sifilis Lanjut (CDC, 2010) Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan


sikatrik bekas S I pada genitalia atau makula atrofi bekas papul-papul S II.
Pemeriksaan tes serologi sifilis positif. 1. Sifilis Tersier (S III) Lesi pertama
timbul 3-10 tahun setelah S I berupa gumma yang sirkumskrip. Gumma
sering perlunakan dan mengeluarkan cairan seropurulen dan kadang-
kadang disertai jaringan nekrotik sehingga terbentuk ulkus. Gumma
ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan organ dalam terutama hati.
Dapat pula dijumpai kelainan pada tulang dengan keluhan, nyeri pada
malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat kelainan pada tibia,
fibula, humerus, dan tengkorak berupa periostitis atau osteitis
gummatosa. Pemeriksaan TSS positif. 2. Sifilis Kardiovaskuler Timbul 10-
40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10% kasus
lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan berdasar gejala klinis, foto sinar X dan pemerikasaan
pembantu lainnya. Sifilis kardiovaskuler dapat dibagi dalam 3 tipe: Sifilis
pada jantung, pada pembuluh darah, pada pembuluh darah sedang. Sifilis
pada jantung jarang ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus
atau guma pada jantung. Pada pembuluh darah besar, lesi dapat timbul di
aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal dari
aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu juga
pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya
aorta serebralis dan aorta medulla spinalis paling sering terkena. Selain
itu aorta hepatitis dan aorta
femoralis juga dapat diserang (J Todd, 2001). 3. Sifilis Kongenital Dini
Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervarasi, dan menyerupai
sifilis stadium II.Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak
dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat
dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pulakelainan
sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa (Saravanamurthy,
2010): a. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat b. Kelainan membra
mukosa: mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, larings
dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang
khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi
bertambah pekat, purulen dan hemoragik. c. Kelainan kulit: makula,
papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar
secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki, makula, papula
atau papuloskuamosa tersebar secara generalisata dan simetris. d.
Kelainan tulang: osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang- tulang
panjang merupakan gambaran yang khas. e. Kelenjar getah bening:
limfadenitis generalisata. f. Alat-alat dalam. g. Mata : koreoretinitis,
galukoma dan uveitis. h. Susunan saraf pusat: meningitis sifilitika akuta.
Universitas Sumatera Utara 4.Sifilis Kongenital Lanjut Kelainan umumnya
timbul setelah 720 tahun. Kelainan yang timbul : a. Keratitis interstisial b.
Gumma c. Neurosifilis d. Kelainan sendi: yaitu artralgia difusa dan
hidatrosis bilateral (cluttons joint). 5. Stigmata Lesi sifilis kongenital dapat
meninggalkan sisa, berupa jaringan parut dan deformitas yang
karakteristik yaitu (Saravanamurthy, 2009) : 1. Muka: saddle nose terjadi
akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulangtulang hidung.
Buldog jawakibat maksila tidak berkembang secara normal sedangkan
mandibula tidak terkena. 2. Gigi: pada gigi seri bagian tengah lebih
pendek dari pada bagian tepi dan jarak antara gigi lebih besar
(Hutchinsons teeth). 3. Regade: terdapat disekitar mulut 4. Tulang:
osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan
radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa
frontal bossing. 5. Tuli: kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif 6.
Mata: keratitis interstisialis
2.9 Pencegahan dan Pengobatan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan sifilis melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Adapun bentuk
pencegahan yang dapa dilakukan sebagai berikut : a. Pencegahan Primer Sasaran
pencegahan terutama ditujukan kepada kelompok orang yang memiliki resiko
tinggi tertular sifilis. Bentuk pencegahan primer yang dilakukan adalah dengan
prinsip ABC yaitu : 1. A (Abstinensia), tidak melakukan Pengaruh seks secara
bebas dan bergantiganti pasangan. 2. B (Be Faithful), bersikap saling setia dengan
pasangan dalam Pengaruh perkawinan atau Pengaruh perkawinan atau Pengaruh
jangka panjang tetap. 3. C (Condom), cegah dengan memakai kondom yang benar
dan konsisten untuk orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B. 4. D
(Drug), tidak menggunakan narkoba/napza. 5. E (Education), pemberian
informasi kepada kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk tertular sifilis
dengan memberikan leaflet,brosur, dan stiker.
Pencegahan Sekunder Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada
mereka yang menderita (dianggap suspect) atau terancam akan menderita.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan dengan cara mencari
penderita sifilis, meningkatkan usaha surveilans, dan melakukan pemeriksaan
berkala kepada kelompok orang yang memilik resiko untuk terinfeksi sifilis.
Bentuk pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara : Melakukan cek darah
untuk mengetahui infeksi sifilis. 2. Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzil
penicilin untuk menyembuhkan infeksi sifilis.
c. Pencegahan Tersier Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita
tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat/kelainan
permanen, mencegah agar jangan bertambah parah/ mencegah kematian karena
penyakit tersebut. Bentuk pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah : 1.
Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan untuk menurunkan
kadar titer sifilis dalam darah. 2. Melakukan tes HIVuntuk mengetahui status
kemungkinan terkena HIV. Cara paling pasti untuk menghindari penularan
penyakit menular seksual, termasuk sifilis, adalah untuk menjauhkan diri dari
kontak seksual atau berada dalam Pengaruh jangka panjang yang saling
monogami dengan pasangan yang telah diuji dan diketahui tidak terinfeksi.
Menghindari penggunaan alkohol dan obat juga dapat membantu mencegah
penularan sifilis karena kegiatan ini dapat menyebabkan perilaku seksual berisiko.
Adalah penting bahwa pasangan seks berbicara satu sama lain tentang status HIV
mereka dan sejarah PMS lainnya sehingga tindakan pencegahan dapat diambil.
Dalam Guidelines pengobatan CDC (2010) salah satu cara yang dilakukan untuk
upaya pencegahan dan pengobatan adalah melalui suatu program yang disebut
Management of Sex Partners atau dikenal dengan istilah Manajemen Mitra
Seks. Penularan Treponema pallidum diperkirakan terjadi hanya ketika lesi sifilis
mukokutan yang hadir. Meskipun manifestasi tersebut jarang terjadi setelah tahun
pertama infeksi, orang yang terkena seksual kepada pasien yang memiliki sifilis
pada setiap tahap harus dievaluasi klinis dan serologis dan diobati dengan rejimen
yang disarankan, sesuai dengan rekomendasi berikut: a. Orang yang terpapar
dalam waktu 90 hari sebelumdiagnosis primer, sifilis laten sekunder, atau awal
pasanganseks mungkin terinfeksi bahkan jika seronegatif, karena itu,
orangtersebut harus dianggap sebagai suspect. b. Orang yang terkena lebih dari 90
hari sebelum diagnosis primer, sekunder sifilis laten, atau pagi-pasangan seks
harus diperlakukan sebagai suspect apabila hasil tes serologis tidak tersedia segera
dan kesempatan untuk tindak lanjut c. Sebagai informasi bagi mitra dan
pengobatan terhadap suspect atau dugaan dari pasangan seks yang diduga
memiliki risiko, pasien dengan sifilis yang tidak diketahui statusnya dan dengan
disertai uji serologi nontreponemal dengan titer yang tinggi (yaitu diatas titer
1:32) dapat diasumsikan memiliki sifilis awal.
Namun demikian untuk tujuan menentukan rejimen pengobatan, titer
serologi hendaknya tidak boleh digunakan untuk membedakan sifilis awal dari
sifilis laten melainkan membutuhkan uji serologis lain yaitu pemeriksaan antibodi
treponemal. d. Pasangan seks jangka panjang dari pasien dengan sifilis latenharus
dievaluasi secara klinis dan serologis segera untuk diobati berdasarkan temuan
evaluasi. e. Pasangan seksual dari pasien yang terinfeksi harus dipertimbangkan
telah memiliki risiko dan segera diberikan pengobatan jika mereka memiliki
kontak seksual dengan pasien dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk
pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer, durasi 6 bulan plus gejala bagi
mereka dengan sifilis sekunder dan 1 tahun untuk pasien dengan sifilis laten dini
serta dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien yang didiagnosis
dengan sifilis primer. Penyakit ulkus kelamin, seperti sifilis, dapat terjadi di kedua
daerah kelamin laki-laki dan perempuan yang ditutupi atau dilindungi oleh
kondom lateks. Penggunaan kondom lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta
herpes genital dan chancroid, hanya bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan
potensi dilindungi. WHO (2011) juga menyebutkan bahwa konsistensi
penggunaan kondom dapat mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan IMS
sebesar 42%. Penyakit Sifilis hampir seperempatnya akan kambuh bila tidak di
obati, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%.
Kegagalan terapi sebanyak 5% pada SI dan SII. Kambuh klinis umumnya terjadi
setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut , tenggorok, dan regio
perianal.
Menurut CDC STD Treatment Guidelines (2011) disebutkan bahwa
Benzatin penisilin G, Bicillin adalah obat pilihan terbaik untuk pengobatan semua
tahap sifilis dan merupakan satu-satunya pengobatan dengan keberhasilan yang
digunakan untuk sifilis pada masa kehamilan.Penisilin memang tetap merupakan
obat pilihan utama karena murah dan efektif. Berbeda dengan gonokokus, belum
ditemukan resistensi treponema terhadap penisilin. Konsentrasi dalam serum
sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun menetap dalam darah
selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten.
Pada penderita sifilis yang alergis terhadap penisilin dapat diberikan pada sifilis
S.I dan S.II: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg per oral selama 15 hari. Pada Late sifilis (> 1 tahun) sama seperti dosis
diatas selama 4 minggu: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari atau
Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari

USAHA PD3I DIFTERI


Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu
untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit
difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat
suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan
prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka


pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu
konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam
penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan
bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk
melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai
memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang
diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi
tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog
Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
1. BLF (Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak
yang berumur 1 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2
tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization).
BLF tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan
imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan
atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan
kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan
pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri.
Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di
wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB terjadi.

Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana


temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak
berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif
untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus
dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar
sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai
penularan.
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada
kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat
kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun
kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri
tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi
berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)
dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua
diberikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal
yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya
harus dibatasai pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan
seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi
Schick.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi
DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan
sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada
tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang
imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi
dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan
dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaandengan tetanus yaitu
DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun
setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster
(DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system
kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan
vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk
menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti
difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus
menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan
makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di
luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya
dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi
sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan
untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh
kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri
satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan
toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri
difteri dan menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus
tiduran di tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan
vaksin DPT (vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan.
Untuk pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1
1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin
atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk
mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit
ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg /
hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,
intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan
600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan
ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit
untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit
untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah
sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit
auntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya
akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest :
2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah
dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat
dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih
muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang
terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya
masih positif dan imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan
membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria
Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil
saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.
Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi
3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-
40mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis
Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan
tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi
DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,
pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya
diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT
pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya
yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya
diberikan pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat
menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang
pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran
sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak.
Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40
tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri
difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke
jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini
dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur,gagal
jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah
sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma,
serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi
indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma.
Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat
bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-
tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh.
Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun
umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu
pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
2.8 Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria
diantaranya :
1. Cakupan imunisasi, artinya dimana ada bayi yang kurang
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan DT yang
tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari pada anak
yang status imunisasi DPT danDT lengkap.
2. Kualitas vaksin, artin ya pada saat proses pemberian vaksinasi
k u r a n g menjaga Coldcainsecara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas
vaksin.
3. Faktor Lingkungan, artin ya lingkungan yang buruk dengan
s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri.Letak rumah
yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria bila ada
sumber penularan.
4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana
p e n g e t a h u a n a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa
mengenali secaradini gejala-gejala penyakit difteria.
5. Akses pelayanan kesehatan yang rendah, dimana hal ini dapat
d i l i h a t dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya
di Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum
tercapai program imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan
Kedungsolo Jabon.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6
bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian
imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling sedikit
4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah dasar yaitu
kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan
umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak,
mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan
menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain,
Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
Cakupan imunisasi
Kualitas vaksin
Lingkungan
Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
Akses pelayanan kesehatan yang rendah
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan


dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,
2007, Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,


2003, Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,


2005,Jakarta

Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular,


CV. Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di


Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,

Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Anonim, 2003, The Complete Genome Sequence and Analysis


of Corynebacterium diphtheria NCTC 13129, www.google.com, diakses tanggal
7 Mei 2008.
Anonim, 2007, Difteri. www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5
Januari 2008.

Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi.


www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses tanggal 7 Mei 2008.

Anda mungkin juga menyukai