Anda di halaman 1dari 19

Air Sungai di Indonesia Tercemar Berat

ANUNG WENDYARTAKA

29 April 2016 16:45 WIB 1436 dibaca 0 komentar

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015
hampir 68 persen atau mayoritas mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam status
tercemar berat.

Penilaian status mutu air sungai itu mendasarkan pada Kriteria Mutu Air (KMA) kelas II yang
terdapat pada lampiran Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air atau PP 82/2001. Berdasarkan kriteria tersebut sekitar 24 persen
sungai dalam status tercemar sedang, 6 persen tercemar ringan dan hanya sekitar 2 persen yang
masih memenuhi baku mutu air.

Apabila dilihat perkembangan dari tahun sebelumnya, mutu air sungai yang tercemar berat
mengalami penurunan. Di tahun 2014 tak kurang ada 79 persen sungai statusnya tercemar berat.
Seiring dengan penurunan tersebut, persentase sungai yang dalam status tercermar sedang dan
ringan otomatis mengalami kenaikan di tahun 2015.

Kendati sungai yang masuk kategori tercemar berat mengalami penurunan, namun persentasenya
masih sangat tinggi. Hal ini terutama terjadi di sungai-sungai yang terletak di wilayah regional
Sumatera (68 persen), Jawa (68 persen), Kalimantan (65 persen) dan Bali Nusa Tenggara (64
persen). Sementara itu, persentase sungai yang tercemar berat di wilayah regional Indonesia
Timur, yakni di Sulawesi dan Papua relatif lebih kecil, yakni 51 persen.

Data di atas menunjukkan bahwa kualitas air sungai di semua lokasi di negeri ini sebagian besar
dalam kondisi tercemar berat. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat air sungai hingga saat
ini merupakan sumber utama air bersih yang dikonsumsi mayoritas penduduk di Indonesia.
Sumber air yang kualitasnya buruk akan mengancam kondisi kesehatan masyarakat maupun
makhluk hidup lain yang mengkonsumsi air tersebut.

Limbah domestik

Menurut Budi Kurniawan, Kasubdit Inventarisasi dan Alokasi Beban Pencemaran Dirjen
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, sumber utama pencemar air
sungai di Indonesia sebagian besar berasal dari limbah domestik atau rumah tangga. "Selama ini
kebanyakan masyarakat salah mengira bahwa sumber utama pencemar sungai adalah limbah
industri, padahal bukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sungai-sungai yang dijadikan
titik pantau, limbah domestik yang paling berperan sebagai pencemar air sungai," kata Budi.

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur pekan lalu (21/4/2016) melalui Kepala Sub
Bidang Komunikasi Dyah Larasayu dalam sebuah diskusi Festival Brantas mengatakan bahwa
kondisi air sungai Brantas sekarang ini dalam status waspada. Pencemaran airnya dalam batas
ambang mengkhawatirkan. Limbah domestik diyakini sebagai penyumbang terbesar pencemaran
air Sungai Brantas. Limbah domestik itu di antaranya tinja, bekas air cucian dapur dan kamar
mandi, termasuk sampah rumah tangga dibuang ke sungai. Selain itu, penyebab pencemaran air
Sungai Brantas adalah limbah peternakan, industri, limbah pertanian.

Akhir tahun lalu, tidak berbeda dengan yang terjadi di Sungai Brantas, Kepala Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Atih Witartih menyatakan, limbah
domestik yang dibuang ke Sungai Citarum merupakan yang terbanyak, jika dibandingkan limbah
lain seperti limbah industri, pertanian dan peternakan. Limbah domestik sumbangan dari rumah
tangga itu mencapai 70 persen. Limbah domestik memberikan kontribusi terbesar terhadap
pencemaran Sungai Citarum.

Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa limbah domestik atau rumah tangga yang umumnya
berupa tinja, deterjen bekas cucian dapur maupun pakaian hingga sampah, baik organik maupun
anorganik, menjadi penyumbang terbesar pencemaran pada air sungai. Hasil Sensus Penduduk
tahun 2010 mengungkapkan, ada 26 persen atau 16 juta rumah tangga di Indonesia yang tidak
memiliki fasilitas tempat buang air besar dan langsung membuang limbah tinja ke lingkungan
(sungai, kebun, dan lain-lain). Sebanyak 74 persen rumah tangga menggunakan jamban, dan 14
persen di antaranya tidak dilengkapi dengan tangki septik. Setiap hari diperkirakan sebanyak
14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik urine dibuang ke sumber air yang menyebabkan75
persen sungai tercemar berat dan 70 persen air tanah di perkotaan tercemar bakteri tinja.

Penurunan kualitas air

Limbah domestik, limbah peternakan maupun industri yang dibuang ke sungai berpengaruh
terhadap penurunan kualitas air. Parameter penurunan kualitas air tersebut umumnya
berdasarkan kandungan fecal coli, total coliform, BOD (Biological Oxygen Demand), COD
(Chemical Oxygen Demand) dan H2S yang terdapat di dalam air sungai. Limbah tinja berperan
dalam meningkatkan kadar fecal coli atau bakteri E coli dalam air. Di kota-kota besar seperti
Jakarta, Yogyakarta di beberapa wilayahnya kandungan E coli melebihi ambang batas tak hanya
di sungai melainkan hingga ke air sumur di permukiman penduduk. Hal ini sangat
membahayakan kesehatan penduduk dan tidak layak untuk dikonsumsi.

Air sungai yang tercemar oleh sampah organik biasanya akan berbau tidak sedap. Ini disebabkan
karena naiknya kadar BOD. Kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme untuk mengurai sampah
organik akan meningkat jika volume sampah meningkat. Hal ini akan meningkatkan kadar BOD
dalam air. Jika kadar BOD tinggi atau melebihi ambang batas, dampaknya adalah tumbuhan atau
hewan-hewan yang tumbuh di air akan sulit hidup bahkan akan mati karena kekurangan oksigen.

Untuk mengatasi pencemaran air sungai yang berasal dari limbah domestik, agar kualitas air bisa
memenuhi standar baku mutu air, perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran.
Langkah-langkah itu antara lain mengubah kebiasaan membuang sampah di sungai, memantau
kualitas air sungai maupun membangun instalasi pengolahan air limbah rumah tangga (IPAL).
Dalam hal IPAL rumah tangga, Indonesia masih sangat ketinggalan dibandingkan negara-negara
lain. "Jangankan dibandingkan dengan Thailand atau Malaysia, dibandingkan dengan negara
kecil seperti Kamboja saja kita masih kalah dalam hal jumlah dan volume fasilitas instalasi
pengolahan air limbah. Padahal jumlah penduduk kita jauh lebih besar," kata Budi. Karena itu,
pembangunan unit IPAL menjadi salah satu program Kementerian LHK untuk mengatasi
pencemaran air sungai karena limbah domestik.

Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan penduduk untuk tidak membuang sampah atau limbah
rumah tangga ke sungai-sungai. Namun, hal itu mutlak dilakukan jika tidak ingin sumber utama
air penduduk menjadi semakin tercemar dan tidak layak dikonsumsi. Jika hal itu terjadi, maka
kualitas hidup masyarakat akan semakin rendah.

(Litbang Kompas).

Baca Juga

Baku Mutu Air Terpantau Meningkat

20 Maret 2016

JAKARTA, KOMPAS Pemantauan kualitas air sungai di Indonesia menunjukkan adanya


peningkatan persentase kualitas air yang memenuhi baku mutu. Sementara itu, kondisi
sungai yang tercemar berat menunjuk

Permukaan Air Berbusa, BLH Kota Surabaya Periksa Air Kali Wonorejo

27 April 2015 15:52 WIB

SURABAYA, KOMPAS Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya mengerahkan tim


untuk mengambil sampel air di Kali Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, yang tercemar
limbah domestik, Senin (27/4) siang. Mereka sekal

Sungai Berbusa akibat Limbah

27 April 2015

Surabaya, Kompas Limbah rumah tangga, terutama dari detergen, mencemari sungai-
sungai di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pencemaran paling parah terlihat di Kali
Wonorejo. Air di sungai itu kini mengeluark

Makassar Terapkan Layanan Terjadwal

8 Agustus 2015
MAKASSAR, KOMPAS Kota Makassar, Sulawesi Selatan, akan menguji coba layanan
penyedotan limbah tinja rumah tangga secara terjadwal, Sabtu (8/8) ini. Layanan untuk
meminimalkan potensi pencemaran limbah

Konsumsi Rumah Tangga Melemah

7 Mei 2016

JAKARTA, KOMPAS Perekonomian Indonesia tumbuh 4,92 persen pada triwulan I-


2016 secara tahunan. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sebagai sumber pertumbuhan
tertinggi, diikuti komponen pembentukan mo

Jambi Galakkan Gas Rumah Tangga

25 April 2015

JAMBI, Kompas Tingginya harga gas dinilai semakin memberatkan masyarakat. Apalagi
ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar itu untuk kebutuhan rumah tangga
semakin tinggi. Itu sebabnya, mulai d

KOMENTAR

Ayo sampaikan pendapat Anda tentang artikel ini!


Login untuk submit komentar.

LOGIN DAFTAR
Kembali ke Atas
http://print.kompas.com/baca/2016/04/29/Air-Sungai-di-Indonesia-Tercemar-Berat
6.6.1 DAS Brantas

Berdasarkan Pola Pengelolaan Sumberdaya Air WS Brantas merupakan Wilayah Sungai terbesar
kedua di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Timur pada 11030 BT sampai 11255 BT dan
701 LS samp ai 815 LS. Sungai Brantas mempunyai panjang 320 km dan memiliki luas
wilayah sungai 14.103 km2 yang mencakup 25% luas Propinsi Jawa Timur atau 9% luas
Pulau Jawa. WS Brantas terdiri dari 4 (empat) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Brantas,
DAS Tengah dan DAS Ringin Bandulan serta DAS Kondang Merak. Peta lokasi wilayah sungai
Brantas dapat dilihat pada Gambar 6.51.

Gambar 6.51. Wilayah Sungai Brantas Sumber: BBWS, 2010

Dalam pembahasan mengenai potensi sumberdaya air ini menggunakan satuan DAS. DAS
Brantas berada di dalam wilayah administrasi 9 Kabupaten dan 6 Kota, yaitu: Kab. Nganjuk,
Kab. Tulungagung, Kab. Malang, Kab. Blitar, Kab. Sidoarjo, Kab. Mojokerto, Kab. Jombang,
Kab. Probolinggo, Kab. Lumajang, Kota Surabaya, Kota Sidoarjo, Kota Malang, Kota Blitar,
Kota Kediri, dan Kota Pasuruan. DAS brantas sendiri memiliki luas lebih kurang 11.988 km2,
yang terdiri dari 6 Sub DAS dan 32 basin block.

A. Karakteristik Lingkungan Fisik

Untuk membekali informasi mengenai potensi sumberdaya air DAS Brantas, beberapa informasi
mengenai karakteristik lingkungan fisik akan sangat membantu. Karakteristik lingkungan fisik
yang cukup penting untuk disajikan antara lain:

Geologi dan Geomorfologi

- Geologi

Geologi DAS Brantas dijelaskan secara spasial berdasarkan Peta Geologi yang terlihat pada
Gambar 6.52.

Gambar 6.52.Peta Geologi DAS Brantas (Sumber : BP DAS Brantas)

Informasi mengenai geologi DAS Brantas memberikan penjelasan bahwa kawasan DAS brantas
terbentuk oleh formasi geologi yang terdiri dari:

Alluvium, berada di daratan yang meliputi Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, Kab.
Mojokerto, Kab. Jombang, Kota Kediri, dan Kota Tulungagung.
Andesit, banyak ditemukan di utara DAS Brantas terutama di sekitar Sub DAS Bluwek.
Hasil Gunung Api Kwarter Muda, tersebar di sekitar Gunung Kelud, Gunung Kawi,
Gunung Butak, dan Gunung Penanggungan.
Hasil Gunung Api Kwarter Tua, tersebar di sisi timur DAS secara lokal antara lain di
daerah Gunung Arjuno, Jabung, Poncokusumo dan di lereng timur Gunung
Penanggungan.
Hasil Gunung Api Tak Terurai, merupakan hasil erupsi Gunung Api Wilis yang berada
di sisi Barat DAS.
Miosen Fasies Batu Gamping, batuan gamping berumur miosen terdapat di sisi selatan
DAS dan tersebar di sebagian Kab. Tulungagung, Kab. Blitar, dan Kab. Malang.
Miosen Fasies Batu Sedimen, sedikit berada di Kab. Boyolali
Pliosen Fasies Batu Gamping, tersebar secara lokal di antara geologi pleistosen fasies
Gunung Api yang berada di Sub DAS Bluwek.
Pliosen Fasies Batu Sedimen, sedimen hasil pengendapan berumur pliosen banyak
terdapat di daerah dataran Trenggalek.
Pleistosen Fasies Gunung Api, berada di sekitar Sub DAS Bluwek.
Pleistosen Fasies Batu Sedimen, batuan hasil pengendapan berumur pleistosen banyak
terdapat di lereng-lereng di Sub DAS Bluwek.

- Geomorfologi

Gunungapi-gunungapi yang ada mempengaruhi pembentukan lahan di DAS Brantas antara lain :
Gunung Kawi, Gunung Butak, Gunung Kelud, Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro, Gunung
Arjuno, Gunung Welirang, Gunung Penanggungan, Gunung Semeru, dan sedikit bagian dari
Gunung Bromo. Hasil erupsi gunungapi tersebut kemudian mengalami proses erosi dan
sedimentasi sehingga menghasilkan bentuklahan asal proses vulkanik yang berupa perbukitan,
pegunungan, dataran, maupun lembah.

Selain proses geomorfologi, kondisi permukaan DAS Brantas juga dipengaruhi oleh kondisi
relief, topografi, dan kemiringan lahan. Secara umum kemiringan lahan DAS Brantas sangat
kompleks dan terbagi dalam lima (5) kelas. (1) Kemiringan lereng 0 8 % (datar) yang terdapat
di dataran aluvial gunungapi. (2) Kemiringan lereng 8 15 % (landai) yang membentuk lereng
kaki dan lereng bawah gunungapi. (3) Kemiringan Lereng 15 25 % (agak curam) yang
dijumpai pada lereng tengah gunungapi. (4) Kemiringan lereng 25 40 % (curam) dan (5)
kemiringan lereng > 40 % yang membentuk lereng atas gunungapi. Secara spasial kemiringan
lahan di DAS Brantas tergambar pada Peta Kelas Kemiringan lahan (Gambar 6.53).

Daerah-daerah dengan kemiringan tingga (>40%) terutama di sub DAS Borek Glidik, sedangkan
daerah yang berada di kemiringan rendah/datar (<8%) banyak terdapat di sub DAS Widas dan
Lahar. Berikut ini ditampilkan ikhtisar kemiringan lahan dengan lokasinya (Tabel 6.27).

Tabel 6.27. Klas Kemiringan Lahan di Wilayah DAS Brantas

Gambar 6.53. Peta Klas Kemiringan Lahan DAS Brantas (Sumber : BP DAS Brantas)

Jenis Tanah

Kondisi tanah di DAS Brantas sangat kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh kompleksnya batuan
penyusun DAS Brantas sebagai bahan induk tanah yang berasal dari sumber yang berbeda dan
adanya pengaruh iklim dan waktu pembentukan yang berbeda. Tipe tanah yang terdapat di DAS
Brantas secara umum antara lain :
1. Alluvial
Tanah alluvial termasuk tanah muda, belum mengalami diferensiasi horison. Sifat tanah ini
dipengaruhi langsung oleh bahan asalnya yaitu aluvium. Material aluvium ini menampakkan
morfologi berlapis lapis karena adanya periodisasi pengendapan. Keterdapatan tanah jenis ini
berada pada topografi dataran dengan solum tanah yang dalam. Tanah ini berpotensi untuk
pengembangan pertanian dan perikanan.

Gambar 6.54. Peta Jenis Tanah DAS Brantas (Sumber : BP DAS Brantas)

2. Litosol
Tanah berbatu-batu. Bahan pembentuknya berasal dari batuan keras yang belum mengalami
pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini juga disebut tanah azonal. Tanaman yang dapat
tumbuh di tanah litosol adalah rumput ternak, palawija, dan tanaman keras

3. Latosol
Merupakan jenis tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut, sehingga telah terjadi
pencucian unsur basa, bahan organik dan silika dengan meninggalkan sekuioksida sebagai sisa
berwarna merah. Tekstur geluh lempung berpasir, struktur remah sampai gumpal lemah,
konsistensi gembur, Terdapat selubang lempung pada agregat tanah bawah. Kesuburan tanah
rendah sedang dan tidak mudah tererosi maupun longsor.

4. Grumusol
Tanah Grumusol atau disebut juga tanah margalith adalah tanah yang terbentuk dari material
halus berlempung. Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam dan bersifat subur. Tanaman yang
tumbuh di tanah grumusol adalah padi, jagung, kedelai, tebu, kapas, tembakau, dan jati.

5. Regosol
Jenis tanah ini belum mengalami diferensiasi horison meskipun pada tanah regosol tua horison
sudah mulai terbentuk dengan horison Al lemah berwarna kelabu. Tekstur kasar, struktur kersai
atau remah, konsistensi lepas-lepas sampai gembur. Pada jenis tanah ini belum terbentuk agregat
sehingga mudah tererosi, dalam hal ini erosi oleh angin. Tanah regosol dapat dijumpai di daerah
pesisir dengan bahan induk batuan vulkanik. Daya simpan air pada jenis tanah ini kecil.

6. Andosol
Tanah andosol berasal dari abu gunungapi. Tanah andosol di DAS Brantas berasosiasi dengan
tanah regosol hasil erupsi gunungapi yang belum mengalami pelapukan.

7. Mediteran
Merupakan hasil pelapukan batuan kapur keras dan batuan sedimen. Warna tanah kemerahan
hingga coklat. Jenis tanah ini kurang subur tetapi cocok untuk tanaman palawija, jati, tembakau,
dan jambu mete. Keseluruhan jenis tanah yang ditemui di DAS Brantas dengan perkiraan
luasnya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 6.28. dan gambaran sapasial distribusi jenis
tanah DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar 6.55.

Tabel 6.28. Jenis Tanah di Wilayah DAS Brantas


Hidrologi
Neraca air DAS Brantas menunjukkan bahwa dengan catchment area 11.800 Km2 DAS Brantas
memiliki potensi air permukaan dan airtanah sebesar 16.472,46 (106 m3). Kebutuhan air
(pasisiva) domestik sebesar 2.308,56 (106 m3), pertanian 2.770,39 (106 m3), dan industri 50,26
(106 m3). Total kebutuhan air di berbagai sektor tersebut sebesar 31,14% dari potensi air yang
dimiliki DAS Brantas.

Kondisi hidrologi permukaan DAS Brantas dapat dilihat dari sungai-sungai yang mengalir di
wilayah Sungai Brantas, baik pada orde 1,2,3 dari sungai utama. Terdapat 40 sungai yang
bermuara di Sungai Brantas. Sungai-sungai besar seperti K. Lesti, K. Metro, K. Dawir, K. Parit
Agung, K. Ngasinan, K. Konto, K.Widas, dan K.Kuncir berpotensi membawa air dari hulu
dalam jumlah yang besar sehingga mempengaruhi debit sungai utama (K.Brantas). Sungai-
sungai tersebut membentuk pola aliran dendritik. Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran pada
sungai-sungai di DAS Brantas berpotensi untuk mengerosi lahan di sekitarnya.

Tabel 6.29. Debit Sungai DAS Brantas yang Dikelola Perum Jasa Tirta I

Pemanfaatan Lahan
Penggunaan lahan di DAS Brantas per Kabupaten/Kota tersaji dalam tabel. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa secara umum pemanfaatan lahan di wilayah-wilayah kabupaten lebih
dominan dimanfaatkan sebagai sawah, lahan kering, dan hutan. Sedangkan di daerah perkotaan
(Kota Kediri, Blitar, Malang, dan Mojokerto) pemanfaatan yang dominan adalah sawah, lahan
kering, dan non pertanian. Hampir tidak terdapat hutan di kota-kota tersebut. Penggunaan lahan
non pertanian, pada umumnya berupa permukiman, sarana perkotaan dan kawasan industri.

Tabel 6.30. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan per Kabupaten/Kota

Penggunaan lahan DAS Brantas secara spasial dapat dilihat pada gambar 6.55. Penggunaan lahan
sebagai hutan dapat dijumpai pada lereng atas Gunungapi Kawi, Gunungapi Butak, Gunungapi
Kelud, Gunungapi Wilis, Gunungapi Arjuno, Gunungapi Anjasmoro, Gunungapi Wilerang,
Gunungapi Bromo, Gunungapi Semeru, dan lereng atas perbukitan-perbukitan yang tersebar di
DAS Brantas. Pada puncak gunung atau perbukitan terdapat rumput dan semak belukar. Di
bawah lereng atas gunungapi yang memiliki topografi curam, lahan di manfaatkan sebagai lahan
kebun. Sedangkan lereng bawah dengan topografi landai hingga agak curam dimanfaatkan
sebagai lahan tegalan. Topografi datar pada dataran aluvial banyak dimanfaatkan sebagai pusat
pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan empang.

Gambar 6.55. Peta Penggunaan Lahan DAS Brantas Tahun 2009 (Sumber : MIH-KLH)

B. Potensi Sumberdaya Air

Berdasarkan data SLHD Provinsi Jawa Timur tahun 2011, Perkiraan kepadatan penduduk Jatim
Th. 2010-2011 adalah 781 jiwa/km2. Dengan luas DAS sebesar 11.988 km2, maka perkiraan
jumlah penduduk yang tinggal di wilayah DAS Brantas adalah: 9.362.628 jiwa. Berdasarkan
laporan BMKG setempat, secara menyeluruh kawasan ini memiliki curah hujan rata-rata sekitar
2.000 mm/th. Sementara itu pada sumber data lainnya menyebutkan bahwa total potensi debit air
permukaan sebesar 373,64 m3/detik atau 11.783,2 juta m3/th.

Pada umumnya fluktuasi debit air tahunan di semua DAS di Indonesia cukup tinggi. Saat terjadi
musim hujan, sungai utama mengalami kelebihan air dan berakibat banjir pada kawasan dengan
elevasi rendah. Sementara itu, saat terjadi musim kemarau, terjadi kekeringan di sebagian
wilayah catchment areanya. Untuk mengurangi tingginya fluktuasi debit, salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan membangun waduk atau bendungan. Ada bendungan utama yang telah
dibangun di DAS Brantas terlihat pada Tabel. 6.31.

Tabel 6.31. Bendungan di DAS Brantas

Gambar 6.56. Bendungan-bendungan yang ada di DAS Brantas

Jika dilihat dari luasnya daerah tangkapan air (catchment area) masing-masing kabupaten dan
kota yang terdapat di dalam wilayah DAS Brantas, dapat diketahui besarnya pengisian air
(potensi air) yang masuk ke dalam DAS. Potensi besarnya pengisian air di masing-masing
catchment area secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.32. Potensi Pengisian Air Tahunan DAS Brantas

Potensi sumberdaya air yang besar secara kumulatif dalam satu tahun sebagaimana tergambar
pada tabel di atas, pada dasarnya tidak seluruhnya termanfaatkan secara efektif. Yang terpenting
adalah ketersediaan air pada suatu waktu tertentu, sesuai dengan kebutuhan. Walaupun dalam
hitungan terlihat bahwa sumberdaya air dalam kurun satu tahun itu melimpah, namun pada
kenyataannya tidak semua termanfaatkan. Buktinya, ketika musim hujan air begitu melimpah
hingga terbuang percuma dan bahkan menjadi perusak. Sementara ketika musim kemarau, pada
daerah tertentu, air begitu sulit di dapatkan. Air dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik (rumah
tangga dan perkotaan) juga digunakan untuk pertanian dan industri. Berikut ini tertera tabel
mengenai proyeksi kebutuhan air untuk domestik dan industri, hingga tahun 2030.

Tabel 6.33. Proyeksi Kebutuhan Air untuk Penggunaan Industri di DAS Brantas

Potensi sumberdaya air yang besar secara kumulatif dalam satu tahun sebagaimana tergambar
pada tabel di atas, pada dasarnya tidak seluruhnya termanfaatkan secara efektif. Yang terpenting
adalah ketersediaan air pada suatu waktu tertentu, sesuai dengan kebutuhan. Walaupun dalam
hitungan terlihat bahwa sumberdaya air dalam kurun satu tahun itu melimpah, namun pada
kenyataannya tidak semua termanfaatkan. Buktinya, ketika musim hujan air begitu melimpah
hingga terbuang percuma dan bahkan menjadi perusak. Sementara ketika musim kemarau, pada
daerah tertentu, air begitu sulit di dapatkan. Air dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik (rumah
tangga dan perkotaan) juga digunakan untuk pertanian dan industri. Berikut ini tertera tabel
mengenai proyeksi kebutuhan air untuk domestik dan industri, hingga tahun 2030.

Tabel 6.33. Proyeksi Kebutuhan Air untuk Penggunaan Industri di DAS Brantas

Tabel 6.34. Proyeksi Kebutuhan Air untuk Penggunaan Domestik di DAS Brantas
Selain air permukaan, DAS Brantas juga menyimpan potensi air tanah yang sangat besar. DAS
Brantas merupakan cekungan yang tersusun dari litologi batuan yang berbeda antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Batuan penyusun tersebut berpotensi menyimpan dan melewatkan air
dalam jumlah tertentu. Formasi batuan ini disebut dengan sistem akuifer. Berdasarkan peta
hidrogeologi DAS Brantas, akuifer yang terdapat di DAS Brantas memiliki potensi yang rendah,
sedang, tinggi, dan airtanah langka.

a. Potensi air tanah rendah.

Terdapat pada daerah dengan akuifer produksi kecil setempat (aliran celah) dan akuifer yang
menutupi akuifer produksi tinggi dengan penyebaran aliran setempat (aliran ruang). Penyebaran
potensi airtanah rendah terdapat di lereng atas dan puncak (puncak Gunungapi Kawi, Gunungapi
Butak, Gunungapi Kelud, Gunungapi Wilis, Gunungapi Arjuno, Gunungapi Anjasmoro,
Gunungapi Wilerang, Gunungapi Penanggungan, Gunungapi Bromo, dan Gunungapi Semeru).

b. Potensi airtanah sedang.

Terdapat pada akuifer produksi sedang (aliran rekah, celah, saluran, ruang antar butir).
Penyebaran akuifer ini terdapat pada lereng tengah gunungapi dengan kemiringan lereng yang
curam dan airtanah dalam. Muncul mataair terutama pada daerah tekuk lereng.

c. Potensi airtanah tinggi.

Akuifer produksi tinggi penyebaran luas, aliran ruang antar butir, celah, dan rekahan. Akuifer ini
berada di lereng bawah pegunungan, lereng kaki pegunungan, serta dataran kaki pegunungan
dengan kedalaman airtanah dangkal hingga sedang.

d. Daerah airtanah langka.

Terdapat pada bentuklahan dengan material penyusun berupa batugamping. Produksi akuifer
kecil, setempat, aliran celah, dan airtanah dalam. Daerah airtanah langka terdapat di lereng
perbukitan sisi selatan DAS Brantas, tepatnya di Kab. Tulungagung dan Kab. Blitar.

Untuk memperjelas keterangan tersebut, dapat dilihat pada peta hidrologi DAS Brantas (Gambar
6.57).

Gambar 6.57. Peta Hidrogeologi DAS Brantas (Sumber : BP DAS Brantas)

Secara lebih rinci, potensi air tanah perwilayah administrasi dapat dilihat sebagaimana tabel
berikut ini.

Tabel 6.35. Potensi Airtanah per Kabupaten/Kota di DAS Brantas

C. Permasalahan Lingkungan
Hasil survei lapangan, kondisi lingkungan DAS Brantas secara keseluruhan masih dikatakan
baik, hanya di beberapa lokasi tertentu sudah mengalami beberapa masalah baik masalah
kerusakan lingkungan maupun pencemaran lingkungan.

Pencemaran Lingkungan

Berkembangnya kota-kota besar yang dilalui aliran sungai Brantas, mengakibatkan


meningkatnya kebutuhan akan air bersih dan air baku. Di samping itu, semakin tingginya
konsentrasi penduduk dan industri di daerah perkotaan menimbulkan masalah antara lain
timbulnya daerah kumuh di tepi sungai, menurunnya kualitas air sungai dan bencana banjir
akibat terganggunya aliran air, baik karena banyaknya sampah, pendangkalan maupun
berkurangnya lebar sungai. Sumber pencemar dominan yang mencemari sungai Brantas adalah
sebagai berikut :

a. Limbah industri
Di dalam Wilayah Sungai Brantas sedikitnya terdapat 483 industri yang berpotensi membuang
limbahnya yang berpengaruh langsung pada kualitas air sungai. Berdasarkan data dari Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur pada tahun 1999 diperoleh hasil beban BOD netto dari
sektor industri sebesar 37,48 ton BOD/tahun. Diperkirakan jumlah beban tersebut meningkat
sebesar 10% hingga tahun 2012.

Gambar 6.58. Visual kondisi air salah satu anak sungai yang mesuk ke Sungai Brantas, tercemar
oleh limbah domestik dan industri.

b. Limbah hotel dan restoran


Limbah domestik hotel, restoran, dan lain-lain adalah sumber yang paling besar memberikan
kontribusi limbah padat pada WS Brantas yaitu sebesar 7,26 m3/hari dan limbah cair sebesar
10,25 ton BOD/tahun (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 2011).

c. Limbah pertanian
Sumber pencemar dari sektor pertanian berasal dari sisa pestisida dan pupuk an-organik yang
digunakan di lahan-lahan garapan dan yang mengalir ke sungai bersama dengan sisa air irigasi.
Pencemaran ini umumnya terjadi pada saat musim hujan. Dampak yang terjadi akibat limbah
pertanian tersebut adalah terjadinya eutrofikasi perairan di waduk (terutama di Waduk Sutami)
juga di sepanjang sungai Brantas, terutama pada wilayah-wilayah hilir.

Gambar 6.59. Dampak eutrofikasi telah mengakibatkan tumbuhnya bermacam gulma yang
menutupi sebagian wilayah badan Sungai Porong.

Sepanjang tahun 2011, hasil pengujian sampel menunjukkan bahwa untuk parameter DO dan
COD rata rata hampir selalu memenuhi baku mutu air sungai kelas II sedangkan untuk
parameter BOD rata-rata belum memenuhi baku mutu air sungai kelas II menurut PERGUB
Provinsi Jawa Timur No. 61 Tahun 2010.

Tabel 6.36 Kualitas Air Sungai Brantas (Musim Kemarau)


Tabel 6.37. Kualitas Air Sungai Brantas (Musim Penghujan)

Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian pencemaran di WS Brantas, antara lain :

a. Sejak dilaksanakan Program Kali Bersih, pengendalian pada sumber pencemar hanya
dilaksanakan pada limbah industri. Pengendalian limbah domestik belum dilaksanakan, padahal
berdasarkan penelitian beban pencemaran limbah domestik mencapai 62% dari total beban yang
masuk sungai.
b. Penegakan hukum terhadap pencemar masih lemah, karena masih mempertimbangan aspek
sosial, ekonomi, kesempatan kerja dan lain sebagainya.
c. Banyak industri yang kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)-nya lebih kecil dari
limbah yang diproduksi, sehingga buangan limbahnya tidak memenuhi baku mutu yang
ditetapkan.
d. Pengendalian pencemaran air merupakan masalah yang kompleks, memerlukan dana besar
dan waktu panjang serta memerlukan komitmen semua pihak yang berkepentingan.
e. Banyaknya permukiman di daerah sempadan sungai mengakibatkan banyak sampah dan
limbah domestik langsung dibuang ke sungai.
f. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan kontrol sosial
yang positif (aktif-konstruktif).

Kerusakan Lingkungan

Hutan memiliki peran penting dalam sistem DAS. Berdasarkan fungsinya, hutan di DAS Brantas
terbagi menjadi tiga yaitu hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani, Hutan Lindung, dan
kawasan hutan yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Hutan (BKSDH) yang berupa
Suaka Alam dan Hutan Wisata. Hutan Produksi terutama menghasilkan pohon jati dan sebagian
pohon rimba. Berdasarkan peta penggunaan lahan DAS Brantas (2011) terdapat sekitar
11.020,59 Ha lahan berhutan. Tidak seluruh lahan berhutan adalah wilayah yang ditetapkan
sebagai hutan (Hutan Negara), akan tetapi termasuk di dalamnya adalah hutan masyarakat.
Beberapa permasalahan pokok terkait dengan kelestarian sumber daya hutan di WS Brantas
adalah:

1. Terus menurunnya luas dan kondisi hutan. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan dampak
yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS, demikian pula dipacu oleh
pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih
lemah. Berdasarkan analisis tutupan lahan (MIH-KLH, 2010), besarnya perubahan tutupan hutan
selama kurun waktu Tahun 2000 hingga Tahun 2008, perubahan luas kawasan berhutan adalah
sebagai berikut.

Tabel 6.38. Perubahan Luas Kawasan Berhutan

Di satu pihak luas areal berhutan semakin menurun, sementara di pihak lain luas kawasan
permukiman semakin meningkat dengan percepatan yang sangat signifikan. Grafik berikut dapat
dengan jelas menggambarkan kondisi tersebut.

Gambar 6.60. Grafik Perubahan Luas Kawasan Berhutan dan Permukiman


Secara spasial (hasil interpretasi citra satelit) perubahan penggunaan lahan selama Tahun 2000
hingga Tanhun 2008 DAS Brantas, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 6.61. Perubahan Penggunaan Lahan dari tahun 2000-2008

2. Lemahnya penegakan hukum.

3. Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan, sumber daya manusia, pendanaan, sarana-


prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas.

4. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan.

5. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup dengan peraturan perundangan


sektor lainnya.

6. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

7. Kondisi daerah tangkapan hujan di bagian DAS Brantas hulu memburuk akibat penebangan
liar dan pengelolaan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah. Akibatnya, terjadi
peningkatan erosi lahan yang berakibat pada peningkatan sedimentasi di waduk, berkurangnya
volume efektif waduk, penurunan base-flow pada musim kemarau panjang, kekeringan pada
musim kemarau dan terjadinya banjir bandang di musim penghujan, Pengalaman kejadian 3-4
Pebruari 2004, Kali Brantas Hulu mengalami banjir lumpur yang sangat parah karena hujan
deras. Permasalahan lainnya adalah matinya mata air DAS Brantas, degradasi dasar sungai dan
penurunan kualitas air akibat pencemaran.

8. Rehabilitasi hutan, lahan dan air DAS Brantas Hulu secara terencana dan integratif sebagai
basis pengelolaan DAS Brantas Hulu merupakan keputusan pemerintah setiap kabupaten/kota di
wilayah pengelolaan DAS Brantas, untuk meningkatkan kemampuan dalam meningkatkan
produksi dan pendapatan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa lahan kritis DAS Brantas Hulu
semakin luas, karena laju degradasi masih lebih besar dari laju penanganannya. Tabel berikut
menunjukkan luas lahan kritis yang terdapat di DAS Brantas.

Tabel 6.39. Luas Lahan Kritis (Ha) di DAS Brantas per Kawasan

Upaya forestasi atau penghijauan kembali juga dilaksanakan oleh Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur dan berdasarkan tabel berikut dapat dilihat bahwa realisasi penanaman pohon yang telah
dilakukan dari total lahan seluas 7.292,60 Ha dapat direalisasikan penanaman penghijauan sesuai
dengan target tahun berjalan sebanyak 8.102.078,60 pohon. Realisasi penanaman terbanyak
dilakukan di KPH Kediri dengan total lahan seluas 2.956,80 Ha berhasil ditanami 3.285.005
batang pohon selama tahun 2011.

Tabel 6.40. Rencana dan Realisasi Kegiatan Penghijauan

9. Terjadi kerusakan hutan mangrove yang berakibat terganggunya ekosistem mangrove di DAS
Brantas. Secara rinci kerusakan mangrove dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.41. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove

Potensi SDA

Hutan
o Provinsi Banten
o Provinsi DKI
o Provinsi Jawa Barat
o Provinsi Jawa Tengah
o Provinsi Jawa TImur
Pertanian
Pesisir Laut
Energi dan Mineral
Ekosistem Karst
Air
o DAS Brantas
o DAS Bengawan Solo
o DAS Progo
o DAS Serayu
o DAS Citanduy
o DAS Citarum
o DAS Ciliwung
o DAS Cisadane
o DAS Cimanuk

Kontak Kami

PPE Jawa
Kementerian Lingkungan Hidup
Jl. Ringroad Barat No. 100 Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta

Phone. 0274-625800, 0274-620702,

publikasi@ppejawa.com

BLH TERINTEGRASI

BLH Jombang
BLH Batang
BLH Kota Blitar
DLH Lumajang

Kerusakan

Lahan Kritis
Konversi Lahan Hutan
Kerusakan Pesisir
Banjir dan Longsor

Search Site

Search

Profil Ekoregion Jawa - Profil Ekoregion Pulau (ekonusa)

Infoway Theme powered by ppejawa.com

http://ppejawa.com/ekoregion/das-brantas/
akanberpengaruh besar terhadap kehidupan sepertiga jumlah total penduduk di Jatim, mengingat
banyak sumber air di Kota Batu dan Kab. Malang yang mengalir ke Sungai Brantas, tumpuan
hidup mayoritas warga Jatim." Data dari Kantor Dinas Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE) Kota Batu
mencatat lebih dari 11 sumber air dalam keadaan mati, sementara 46 sumber mata air dari 111 titik sumber air
yang ada di Kota Batu, debitnya menyusut pada musim kemarau ini.
Perlindungan pengguna
Demikian pula, di wilayah Kab.Malang, dari 640 sumber air yang ada, sepertiganya mengalami
penurunan debit dari 10 liter menjadi 5 liter, bahkan 3 liter per detik."Untuk mengatasi masalah ini, pemda di
Malang Raya harus segera membuat aturan pengelolaan sumber air yang lebih baik, khususnya perlindungan
bagi para penggunanya.Selama ini aturan yang ada hanya penarikan retribusi pemakaian air,
tanpa disertai kewajiban bagi PDAM untuk melakukan perlindungan terhadap sumber air,"
tambahnya.Kepala Unit (Kanit) Produksi PDAM Kota Malang, M. Sahran, mengatakan untuk
menjaga kelestarian di sekitar sumber air Binangun, PDAM Kota Malang telah membebaskan 9,3 hektare lahan.
Langkah lainnya adalah dengan melakukan penghijauan di daerah tangkapan air, dan menanam
sedikitnya 500 pohon setiap tahun."Sejauh ini debit air di sumber Binangun dari tahun ke tahun
tidak mengalami penurunan debit, yakni 250 liter per detik," jelasnya. (k25) (surabaya@bisnis.co.id) BISNIS
INDONESIA Source :Bisnis Indonesia
MENJAGA BRANTAS, MEMPERTAHANKAN KEHIDUPAN
April 13, 2013 11:49 am | Leave a Comment | admin Catatan Hari Pertama Susur Brantas I sahabatsungai.or.id

Sahabat Sungai Indonesia mengawali perjalanan susur Brantas 1 di daerah Bunul, Malang pada
sabtu(13/4) pagi. Tujuh personel yang menjadi bagian dari tim air melakukan penyusuran sungai,
sementara empat personel yang tergabung dalam tim darat melakukan pengamatan pada lokasi-
lokasi hulu sungai Brantas. Pemilihan lokasi kecamatan Bunul sebagai lokasi awal karena tempat
ini menjadi pertemuan aliran dari hulu timur dan sebagian hulu barat, yang kemudian bertemu
lagi dengan sungai yang berhulu di Sumber Brantas.

Brantas, sungai dengan panjang aliran 320 Km (melintasi Kota Batu, Kota Malang, Kabupaten
Malang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang,
Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo dan kemudian lurus ke Laut Jawa (Selat Madura).
Menghidupi lebih dari 14 juta jiwa penduduk Jawa Timur, yang digunakan untuk keperluan
domestik, irigasi, industri, rekreasi, pembangkit tenaga listrik, dan perikanan. Anton Novenanto,
sosiolog Universitas Brawijaya yang ikut bergabung bersama tim darat
mengungkapkan bahwa peranan manusia bisa memberi perbedaan pada kawasan sungai. Kita
harusnya tidak hanya melihat bagaimana sungai mempengaruhi perkembangan peradaban
manusia,
namun juga bagaimana politik manusia mempengaruhi kondisi sungai, ungkapnya. Kemauan
masyarakat untuk memperhatikan sungai pada akhirnya juga akan menyelamatkan kehidupan
bersama. Merujuk pada data Badan Lingkungan Hidup dan penelitian Wahana Lingkungan
Hidup, Konfigurasi titikmata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya menunjukkan
kecenderungan kritis. Kabupaten Malang misalnya, memiliki 873 sumber air dengan debit airnya
bervariatif antara 1 liter perdetik

4 ribu liter perdetik. Tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada mengalami
penurunan debit air.Sumber air di Batu dari 111 titik yang tersebar di Kecamatan Bumiaji sumber air yang ada
57 titik saat ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu dari 32 sumber air tinggal 15 titik.
Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo dari 22 titik tinggal 15 titikDi Kota Malang sumber air PDAM
Malang berasal dari 7 sumber air : Wendit, Karangan, Binangun, Banyuning, Supit Urang,
Dieng, dan Candi Badut. Jumlah pelanggan yang dilayani sampai saat ini sebanyak 98 ribu
pelanggan Sepanjang aliran Kalisari-Bango-Amprong-Brantas yang mengalir di tengah Kota
Malang teridentifikasi adanya 107 mata air pada sisi kiri (Timur) dan kanan (Barat) Sungai, di
mana banyaknya mata air di dominasi pada bantaran sebelah kiri (Timur) Sungai. (Kualitas air
pada mata air tersebut masuk dalam golongan B, yakni air dapat diminum dengan perlakuan.
Karakeristik pencemaran yang ada adalah menjelang masuk aliran Kali Amprong di bawah
Jembatan Muharto hingga masuk aliran Kali Brantas di Tempuran Mergosono hampir 98%
limbah didominasi oleh limbah domestik, yakni limbah yang berasal dari hunian rumah tangga
maupun indsutri-industri rumahan semacam usaha pemotongan ayam. Sementara itu selepas
aliran Kali Brantas di tempuran ke arah selatan, ditemui adanya limbah industri (2%) diantaranya adalah
pencemaran industri pabrik kulit Cipto Mulyo, limbah industri Rumah Potong Hewan, limbah
penggergajian kayu, limbah penggilingan padi (sekam), limbah ampas tahu, maupun limbah dari
lairan buangan rumah sakit.
Tim menemukan beberapa titik gundukan sampah di sepanjang etape pertama. Ada juga
bangunan-
bangunan yang berbatas langsung dengan sungai, ujar Nanang, salah satu anggota tim air.
Sementara itu di wilayah hulu tim mendapatkan catatan bagaimana komunitas di Bulukerto
mempertahankan sumber mata air dari desakan industri pariwisata. Sesuai Perda seharusnya
diwilayah
tersebut tidak boleh dibangun hotel, karena tempat itu masih termasuk dalam kawasan lindung
setempat, terang Abdul Rokhman, bagian hukum Walhi Jatim yang turut mendampingi masyarakat.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa sumber mata air Gemulo merupakan salah satu sumber mata air tersisa
yang masih bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat Batu.

Temuan SSI di bagian hulu ini setidaknya perlu ditindaklanjuti dengan penggalian informasi
lebih mendalam terkait perubahan yang terjadi dan juga bagaimana memberikan dukungan
kepada komunitas yang memepertahankan kawasannya dari kerusakan. (c) Sahabat Sungai
Indonesia Posted in: Sahabat Sungai Indonesia
Akibat Sedimentasi, Debit Air Brantas Kritis
29 JULI 2009 NO COMMENT Penanganan sumber air dan aliran Brantas di Kota Batu segera
dilakukan secara terpadu antara Pemkot Batu, Pemprov Jatim dan masyarakat. Tujuannya untuk
mengatasi sedimentasi sungai dan krisis sumber air.Penanganan terpadu sumber air Brantas ini
pun sudah dibicarakan antara Pemprov Jatim
dan Pemkot Batu. Pembahasannya dipimpin Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.Sal
ah satu fokus pembicaraan yakni tentang lingkungan hidup dalam hal ini Sungai Brantas. Karena
Batu adalah hulu
Brantas yang mengaliri 14 daerah di Jawa Timur,
kata Kabag Humas dan Protokoler Pemkot Batu, Eko Suhartono. Berdasarkan data Malang Post, 57
dari 111 sumber air di Batu mulai kritis. Ini menyusul penurunan debit air secara drastis. Dari 57
sumber air yang kritis itu, 30 persennya terdapat di Bumiaji.Kondisi sumber air yang kian
memprihatinkan terdapat di tiga kawasan.Yakni , sumber air di Gemulo, Binangun dan Banyuning. Di tiga
sumber air itu, debit airnya mulai mengalami penurunan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.Di
sumber air Binangun yang digunakan PDAM Kota Malang, misalnya, saat ini debit airnya 230 liter per detik,
padahal sebelumnya 250 liter per detik. Atau mulai terdapat penurunan debit sekitar 20 liter per detik. Lebih
lanjut, Eko mengatakan, salah satu bentuk penanganan sumber air yakni melakukan penghijauan
secara rutin.Selain itu partisipasi masyarakat menjaga kebersihan sungai terus ditingkatkan.
(van/nug/malangpost) Keywords: air, Brantas, konservasi, lingkungan, sungai

https://www.scribd.com/doc/194224238/Laporan-Sungai-Brantas

Anda mungkin juga menyukai