DISUSUN OLEH
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Penulisan Ilmiah
yang berjudul “Mengenal Penyakit Antraks di Indonesia”. Penulis ingin berterima
kasih kepada Ibu Ruth Riwu, S, KM., M.PH selaku dosen pengampu mata kuliah ini
karena atas bimbingannya selama proses pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat dengan maksud, agar setiap masyarakat dapat mengenal
penyakit antraks dan dapat melakukan melakukan berbagai pencegahan. Selain itu,
penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri yaitu penulis dapat
menulis makalah yang baik dan benar sesuai dengan arahan dan bimbingan dari Ibu
Ruth Riwu, S, KM., M.PH.
Penulis
2
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4
BAB III METODE PENULISAN..............................................................................6
3.1 Pengumpulan Data dan Informasi..............................................................6
3.2 Pengolahan Data dan Informasi..................................................................6
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................7
4.1 Pengertian Antraks.......................................................................................7
4.2 Sejarah Penyakit Antraks............................................................................7
4.3 Etiologi...........................................................................................................9
4.4 Patogenesis...................................................................................................11
4.5 Gejala Penyakit Antraks pada Hewan dan Manusia..............................12
4.5.1. Gejala penyakit antraks pada hewan................................................12
4.5.2. Gejala penyakit antraks pada manusia.............................................13
4.6 Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Antraks...................................14
4.6.1. Pengendalian dan Pencegahan pada Hewan.....................................14
4.6.2. Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Antraks............................15
BAB V PENUTUP.....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit antraks biasa disebut juga radang limpa adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis dan merupakan salah satu penyakit
zoonosis. Istilah zoonosis menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada
manusia yang ditularkan dari hewan vertebrata. Penyakit antraks dapat terjadi di
seluruh dunia dan pertama kali menyerang Indonesia pada ternak kerbau di daerah
Teluk Betung, Lampung. Penyakit antraks kebanyakan menyerang mamalia dan
beberapa spesies burung, terutama herbivora. Sapi, kerbau, kambing, domba dan babi
merupakan hewan ternak yang sering terkontaminasi.
Wabah paling sering terjadi di daerah yang memiliki karakteristik alkali, tanah
berkapur, lingkungan yang hangat dan memiliki episode periodik banjir. Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian antraks cukup tinggi.
Terdapat 11 provinsi yang dinyatakan sebagai daerah endemis antraks meliputi DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi dan
DI Yogyakarta. Penyakit timbul secara enzootis pada saat tertentu yang disebut
Daerah Antraks.
1
2
Perah asal Eropa dan sapi Ongole asal Asia Selatan yang didatangkan pada
pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1957, beberapa daerah yang pernah tertular
penyakit antraks, tetapi dilaporkan tidak pernah terjadi kasus lagi di Sumatera Utara,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan dan Sulawesi Utara.
4
5
banyak spora yang terdapat di tanah atau tanaman di padang rumput. Burung atau
hewan lain yang memakan bangkai dan lalat dapat menyebarkan penyakit antraks
secara mekanis. Begitupun pada hewan karnivora lainnya akan terinfeksi apabila
memakan daging yang sudah terkontaminasi.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Pengumpulan Data dan Informasi
Data dan informasi dari penulisan dikumpulkan dengan melakukan
penelusuran pustaka, pencarian sumber-sumber yang relevan dan pencarian
melalui internet. Data dan informasi yang digunakan diambil dari data jurnal
dan beberapa pustaka yang relevan.
Teknik pengambilan data yang dilakukan ialah sebelum melakukan
analisis data maka terlebih dahulu melakukan studi pustaka yang menjadi
bahan pertimbangan dan menambah wawasan untuk penulis. Untuk perolehan
pembahasan analisis dan sintesis data, diperlukan data referensi yang
digunakan sebagai acuan.
6
BAB IV
PEMBAHASAN
Secara klinis, antraks dibagi menjadi empat yaitu antraks kulit, antraks saluran
pernapasan, antraks paru dan antraks otak. Penyakit antraks dapat secara perakut,
akut atau subakut. Yang bersifat perakut akan mengalami mati secara mendadak
7
seperti Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Bukittinggi, Sibolga, Medan, Jakarta,
Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan,
8
9
Tahun 1975, wabah antraks berjangkit di daerh Jambi, Jawa Barat, Nusa
Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah kemunculan penyakit
tiap 100.000 populasi hewan menunjukkan angka tertinggi ada di Jambi dan terendah
di Jawa Barat
Pada tahun 1980, Nusa Tenggara Timur jadi wabah antraks yakni di Sumba
Timur, yang mengorbankan banyak sapi, kuda, kerbau, babi, anjing dan manusia.
Yang paling banyak terserang adalah kuda, sedangkan manusia yang terserang tidak
ada yang meninggal dunia, tetapi 14 orang menderita karbunkel kulit atau bisul yang
berujung pada pengelupasan kulit.
Tahun 1990, terjadi serangan penyakit antraks terhadap peternakan sapi perah
di Kabupaten Semarang dan Boyolali yang menyebabkan kematian ratusan ekor sapi.
Setelah itu pada bulan April 1997 Indonesia sempat digegerkan adanya kasus antraks
pada sapi yang terjadi di Victoria dan Australia.
Dalam rentang waktu 1,5 dekade setelahnya atau antara tahun 2001-2018,
kasus penyebaran antraks di Indonesia merentang dari Bogor hingga Yogyakarta.
Namun, pernah terjadi kejadian luar biasa di Indonesia yaitu pada tahun 2001 di
Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan 22 penderita dengan 2 kematian.
Menurut kementrian pertanian saat ini ada 11 provinsi di Indonesia Yang telah
tertular antraks dan merupakan daerah endemis. Antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat,
10
Jawa Tengah, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Sumatera Barat, Jambi, dan DI Yogyakarta.
140
120
100
80
Penderita
60 Meninggal
40
20
0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
4.3 Etiologi
Penyakit antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bentuk bakteri
Bacillus anthracis ialah menyerupai batang, aerobic, gram positif, tidak berflagel,
berukuran sekitar1-1,5 x 3-5 mikrometer. Sporanya tahan terhadap panas (suhu
tinggi), mampu mendegradasi xilan dan karbohidrat (cowandan stell’s 1973). Bakteri
Bacillus anthracis mempunyai sifat mampu tumbuh pada suhu lebih dari 50°C dan
suhu kurang dari 5 °C, mampu bertahan terhadap pasteurisasi, dan mampu tumbuh
pada konsentrasi garam tinggi dibanding mikroba lainnya. Bakteri cepat tumbuh
dengan perantaran media. Bakteri ini juga tumbuh baik dalam darah tanpa antibiotika.
Bakteri tumbuh pada pH 7,0 – 7,4 dengan lingkungan aerob. Pada keadaan normal,
bakteri menghasilkan spora yang tidak aktif dan hidup di tanah. Saat spora masuk ke
dalam tubuh hewan atau manusia, spora menjadi aktif. Bakteri antraks menurut
11
Jawets (2010), tidak menyebabkan hemolisis darah domba dan reaksi kat alasanya
positif. Bakteri ini mampu untuk meragi glukosa serta menghidrolisis gelatin tetapi
tidak meragi mannitol. Karena menghasilkan lesitinase, maka kuman yang
ditumbuhkan pada media EYA (Egg-Yolk Agar) akan membentuk zona opaq.
Terdapat tiga jenis antigen pada Bakteri antraks, yaitu:
1. Antigen polipeptida kapsul merupakan molekul besar dan tersusun atas asam
D-glutamat. Sampai sekarang masih diketahui bahwa hanya ada satu tipe
antigen kapsul. Kapsul ini berperan menjadi penghambat fagosistosis
kumandan opsonisasinya;
2. Antigen Somatik merupakan komponen dinding sel. Antigen somatik ini
adalah polisakarida yang mengandung D-galaktosa dan N-asetil galaktosamin.
Antigen somatik ini akan bereaksi silang antara darah golongan A dan
pneumokokus tipe 14. Antigen somatik tidak bersifat melindungi;
3. Antigen Toksin Menurut Jawetz (2010), Virulensi bakteri antraks ditentukan
oleh dua faktor, yaitu kapsul kuman dan toksin. Toksin bakteri yang
ditemukan pada tahun 1950-an oleh Smith dan Keppie, terdiri dari tiga
komponen yaitu:
a) Faktor I yaitu faktor edema atau EF;
b) Faktor II yaitu faktor antigen protektif atau PA;
c) Faktor III yaitu aktor letal atau LF.
enzim adenylsiklase inaktif. Aktivasi EF terjadi sang kalmodulin seluler & sehabis
diaktivasi, EF akan meningkatkan kecepatan perubahan ATP sebagai cAMP.
Kemampuan EF membarui ATP sebagai cAMP jauh lebih bertenaga dibanding
menggunakan toksin kuman kolera. LF adalah metalloprotease dan sebagai faktor
virulensi primer kuman. Penyuntikan toksin letal dalam mencit akan mengakibatkan
kematian pada 38 menit. Dengan prosedur tersebut, menyebutkan bila antibodi
terhadap PA bersifat protektif. Ikatan antibodi menggunakan PA mengakibatkan EF
dan LF nir bisa masuk ke pada sel.
4.4 Patogenesis
Setelah endospora masuk ke tubuh insan, maka infeksi tersebut akan dimulai.
Endospore dapat masuk melalui abrasi kulit, tertelan atau terhirup udara pernapasan.
Sebagian kecil spora berubah menjadi vegetative di jaringan subkutan dan mukosa
usus. Selanjutnya bentuk vegetatif akan membelah, mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya edema dan nekrosis setempat.
4.6.2. Pengendalian d
Yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit
antraks pada manusia:
1. Memasak daging hingga matang sebelum di makan
2. Melakukan vaksin antraks
3. Hindari melakukan interaksi langsung terhadap hewan tanpa
perlindungan dan perlengkapan khusus seperti sarung tangan,
masker, sepatu bot, kacamata pelindung dan apron.
4. Hindari melakukan kegiatan pada daerah terjangkit penyakit
antraks
5. Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah
kontak langsung dengan hewan.
6. Hindari menyembelih hewan yang mati secara tiba-tiba atau
karena sakit untuk di konsumsi.
17
Penularan yang terjadi pada manusia dapat melalui luka. Para peternak yang
mempunyai luka di bagian tubuhnya saat masuk kandang ternak atau merawat ternak
yang diduga terserang penyakit antraks punya kemungkinan besar tertular penyakit
antraks ini. Namun penularan penyakit antraks pada manusia ke manusia jarang
terjadi meski ada kontak langsung dengan penderita.
5.2 SARAN
Para pekerja yang berhubungan langsung ternak harus berhati-hati, dengan
selalu memakai perlengkapan perlindungan diri dan menjaga kebersihan perorangan
agar tidak terinfeksi bakteri Bacillus anthracis. Pada pembaca diharapkan dapat lebih
meningkatkan pencegahan secara dini. Jika terjadi infeksi maka segera diperiksakan
pada dokter agar tidak terjadi penularan pada yang lain.
18
DAFTAR PUSTAKA
Clarasinta, C., & Soleha, T. U. (2017). Penyakit Antraks : Ancaman untuk Petani dan
Peternak. Majority, 7(November), 158–164.
Davis, C. K., Oakley, D., & Sochalski, J. A. (1982). Leadership for expanding
nursing influence on health policy. Journal of Nursing Administration, 12(1),
15–21. https://doi.org/10.1097/00005110-198201000-00005
April, I., Wales, N. S., Nsw, D., Anthrax, M., & Anthrax, K. (2002). Anthrax. (April), 1–2
19