Anda di halaman 1dari 8

1.

1 Klasifikasi dan morfologi


Bakteri Salmonella sp pertama kali ditemukan tahun 1885 pada tubuh babi
oleh Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis), namun
Salmonella sp dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan
dan Ray,2004) dalam (Masita, 2015).

Taksonomi dari Salmonella sp adalah sebagai berikut (D’aoust, 2001) :


Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Gamma proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaciae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella sp

Gambar 2.1. morfologi Sallmonella sp.(Todar, 2008)


Salmonella sp. pertama ditemukan (diamati) pada penderita
demam tifoid pada tahun 1880 oleh Eberth dan dibenarkan oleh Robert
Koch dalam budidaya bakteri pada tahun 1881 (Todar, 2008).
Salmonella sp. adalah bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram
berwarna merah muda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ
sampai 4 µ × 0;6 µ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S.
pullorum), dan tidak berspora (Julius, 1990). Habitat Salmonella sp.
adalah di saluran pencernaan (usus halus) manusia dan hewan. Suhu
optimum pertumbuhan Salmonella sp. ialah 37oC dan pada pH 6-8
(Julius, 1990).
Dalam skema kauffman dan white tatanama Salmonella sp. di
kelompokkan berdasarkan antigen atau DNA yaitu kelompok I enteric,
II salamae, IIIa arizonae, IIIb houtenae, IV diarizonae, V bongori, dan
VI indica. Komposisi dasar DNA Salmonella sp adalah 50-52 mol%
G+C, mirip dengan Escherichia, Shigella, dan Citrobacter (Todar,
2008). Namun klasifikasi atau penggunaan tatanama yang sering
dipakai pada Salmonella sp. berdasarkan epidemiologi, jenis inang,
dan jenis struktur antigen (misalnya S.typhi, S .thipirium). Jenis atau
spesies Salmonella sp. yang utama adalah S. typhi (satu serotipe), S.
choleraesuis, dan S. enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang
spesies S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam
S. enteritidis (Jawezt et al, 2008).

1.2 Struktur Antigen

Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk


diagnostik atau mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen
flagel (H) dan antigen Vi (kasul) (Todar, 2008). Antigen O (Cell Wall
Antigens ) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang
tahan panas (termostabil), dan alkohol asam (Julius, 1990). Antibodi
yang dibentuk adalah IgM (Karsinah et al, 1994). Namun antigen O
kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat (Julius, 1990).
Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67
faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor (Todar,
2008). Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah
dari pada antibodi H (Julius, 1990).

Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I


: spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang
tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas
60ºC dan alkohol asam (Karsinah et al, 1994). Antigen H sangat
imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990).
Sedangkan Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat
asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifai
termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60oC selama 1 jam.
Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan
mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofaga
dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman
S. typhi (Karsinah et al, 1994). Adanya antigen Vi menunjukkan
individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier)
(Julius, 1990).

1.3 Sifat Biokimia

Salmonella sp. bersifat aerob dan anaerob falkultatif,


pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH 6-8.
Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas hasilnya positif ,
pada media BAP (Blood Agar Plate) menyebabkan hemolisis. Pada
media MC (Mac Conkay) tidak memfermentasi laktosa atau disebut
Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi
glukosa , manitol dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas
kecuali S. typhi yang tidak menghasikkan gas. Kemudian pada media
indol negatif, MR positif, Vp negatif dan sitrat kemungkinan positif.
Tidak menghidrolisiskan urea dan menghasilkan H2S (Julius,1990).

1.4 Patogenitas

Salmonellosis adalah istilah yang menunjukkan adanya


infeksi Salmonella sp. Manifestasi klinik Salmonellosis pada manusia
ada 4 sindrom yaitu:
1. Gastroenteritis atau keracunan makanan merupakan infeksi
usus dan tidak ditemukan toksin sebelumnya (Karsinah et al,
1994). Terjadi karena menelan makanan yang tercemar
Salmonella sp. misalnya daging dan telur (Julius,1990). Masa
inkubasinya 8-48 jam, gejalanya mual, sakit kepala, muntah,
diare hebat, dan terdapat darah dalam tinja. Terjadi demam
ringan yang akan sembuh dalam 2-3 hari. Bakterimia jarang
terjadi pada penderita
(2-4%) kecuali pada penderita yang kekebalan tubuhnya
kurang (Jawezt et al, 2008).

2. Demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi, dan demam


paratifoid disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang
masuk melalui mulut masuk kedalam lambung untuk mencapai
usus halus, lalu ke kelenjar getah bening. Kemudian memasuki
ductus thoracicus. Kemudian kuman masuk dalam saluran
darah (bacterimia) timbul gejala dan sampai ke hati, limpa,
sumsum tulang, ginjal dan lain-lain. Selanjutnya di organ tubuh
tersebut Samonella sp. berkembang biak (Julius,1990).

3. Bakterimia (septikimia) dapat ditemukan pada demam tifoid


dan infeksi Salmonella non-typhi. Adanya Salmonella dalam
darah beresiko tinggi terjadinya infeksi. Gejala yang menonjol
adalah panas dan bakterimia intermiten (Karsinah et al, 1994) .
Dan timbul kelainan-kelainan local pada bagian tubuh misalnya
osteomielitis, pneumonia, abses paru-paru, meningitis dan lain-
lain. Penyakit ini tidak menyerang usus dan biakan tinjanya
negatif (Julius,1990).

4. Carier yang asomatik adalah semua individu yang terinfeksi


Salmonella sp. akan mengekskresi kuman dalam tinja untuk
jangka waktu yang bervariasi disebut carrier convalesent, jika
dalam 2-3 bulan penderita tidak lagi mengekskresi Salmonella.
Dan jika dalam 1 tahun penderita masih mengekskresi
Salmonella disebut carrier kronik (Karsinah et al, 1994).

1.5 Demam Tipoid

Demam tipoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan


disebabkan oleh S. typhi. Demam pararifoid adalah penyakit sejenis
yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C keduanya termasuk
demam enterik. Gejala keduanya sama namun demam paratifoid lebih
ringan (Widoyono,2008).

Sejarah demam tifoid pada tahun 1813 Breteneu pertama kali


melaporkan tetang klinis dan anatomis demam tifoid. Kemudian
Cornwalls Hewett (1826) melaporkan perubahan patologisnya.
Selanjutnya seorang ilmuan dari prancis bernama Piere Louis (1829)
memberikan nama typhos berasal dari bahasa yunani yang artinya asap
(kabut) karena penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang
ringan sampai berat (Rampengan,1993).

Demam tifoid penularannya melalui air dan makanan


dinyatakan oleh Gaffky dan berhasil membiakan S. typhi pada media
kultur pada tahun 1884 (Widoyono,2008). Selanjutnya seorang ilmuan
bernama A.pfeifer berhasil menemukan Salmonella sp. di feses
penderita, kemudian pada urin oleh Hueppe dan dalam darah oleh
R.Neuhausss. Pada waktu bersamaan Widal (1896) berhasil
memperkenalkan diagnosis demam tifoid (Rampengan,1993).

1.6 Patogenesis dan Gejala Klinik

Patogenesis adalah mekanisme penyebab penyakit. Istilah ini juga


dapat digunakan untuk menggambarkan asal usul dan perkembangan
penyakit, apakah akut, kronis atau berulang. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani. Patogen Salmonella sp umumnya terkait dengan pencernaan
tinja yang terdeteksi secara sporadic atau tidak sama sekali (Paola et al,
2010).

Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi, dan demam paratifoid


disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang masuk melalui mulut
masuk kedalam lambung kemudian ke usus halus di bagian proksimal.
Melakukan penetrasi kedalam sel epitel mukosa, selanjutnya masuk ke
kelenjar getah bening regional mesentrium dan terjadi bakterimia. S.
typhi sampai ke hati, limpa, sum-sum tulang dan ginjal. Di organ-organ
tersebut S. typhi difagosit dan disini S. typhi memperbanyak diri tidak
terpengaruh oleh antibodi pada penderita. Setelah periode multiplikasi
intraseluler, organisme akan dilepaskan lagi ke aliran darah
(bakterimia kedua) menyebabkan panas tinggi. S. typhi bila masuk ke
kantung empedu dan plaque Peyer akan terjadi radang. Maka terjadi
nekrosis jaringan secara klinik ditandai kholesistis nekrotikans dan
pendarahan. Diagnosis kultur tinja akan positif dan menyababkan
carrier kronik.
Masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2 minggu paling
singkat 3 hari dan paling lama 2 bulan. Gejalanya demam tinggi pada
minggu ke-2 dan ke-3. Gejala lain yang sering ditemukan nyeri otot,
sakit kepela, batuk dan lain-lain. Selain itu dapat dijumpai adanya
bradikardia relatif, pembesaran hati dan limpa, bintik Rose sekitar
umbilikus. Kemudian terjadi komplikasi antar lain hepatitis dan
pendarahan pada usus. Terjadi setelah 1-3 minggu setelah pengobatan
dihentikan (Karsinah et al, 1994).

Gejala infeksi Salmonella sp atau Salmonellosis umumnya


adalah demam, diare, mual, muntah dan sakit perut. Dalam beberapa
kasus, Salmonellosis dapat menyebar ke aliran darah yang
mengakibatkan penyakit yang lebih berat seperti infeksi arteri,
Endokarditis, dan Arthritis. Strategi pencegahan penyakit
Salmonellosis yang efektif adalah deteksi kasus, perbaikan sanitasi
lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industry makanan,
menekan angk reactor Salmonellosis, pendidikan kesehatan masyarakat
serta eliminasi sumber infeksi (Sartika,2012).
1.7 Diagnosis Demam Tifoid
Diagnosis demam tifoid ada beberapa metode yaitu diagnosis
klinik, diagnosis mikrobiolgik (kultur) dan diagnosis serologik. Yang
merupakan pemeriksaan atau diagnosis gold standart demam tifoid dengan
diagnosis mikrobiologik yaitu kultur darah, faeses, urin dan sum-sum tulang
penderita demam tifoid (Karsinah et al, 1994). Berikut beberapa pemeriksaan
laboratorium :

a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur)


Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold
standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90%
pada penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada
minngu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun
pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu
selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%,
berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan
kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut
termasuk carrier kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang
dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada
laki-laki (Karsinah et al., 1994).
b. Pemeriksaan Klinik (darah)
a. Hitung lekosit total pada demam tifoid menunjukkan
lekopenia, kemungkinan 3.000 sampai 8.000 per mm
kubik.
b. Hitung jenis lekosit : Kemungkinan limfositosis dan
monositosis (Julius,1990) .
c. Pemeriksaan Serologi L.
1.Widal test
Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul
pada minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang
ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. (Julius, 1990).
Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih (Jawezt
et al, 2008). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji
widal untuk mendiagnosis demam tifoid (Muliawan et al, 1999)
2. IDL Tubex® test
Tubex® test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip
pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum
yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B
dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus.
Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan
antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan
dengan warna pada magnet khusus (WHO, 2003).

Anda mungkin juga menyukai