PENDAHULUAN
1
Kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang
berorientasi pada tujuan,
Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah,
Kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
Kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti
merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu,
Kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan
dan bersifat memaksa (otoritatif)
2
tanggung jawab. Mekanisme partisipasi masyarakat, sumber keuangan ditingkat
daerah, praktek-praktek anggaran, cara pengendalian dan pengawasan yang
dipakai oleh tingkat yang lebih tinggi, pendekatan perencanaan dan sikap pegawai
pemerintah terhadap desentralisasi dan cara-cara kerja sama antar lembaga.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
4
berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.
Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation).
1. Undang-Undang,
2. Peraturan Pemerintah
3. Keputusan Presiden
4. Keputusan Menteri
5. Peraturan Daerah
6. Keputusan Bupati
7. Keputusan Direktur
5
d) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan.
waktu.
B. Kebijakan Publik
Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu
ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative
allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-
nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan
juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal,
value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai
dalam praktek-praktek yang terarah.
Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno
(2002: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang
mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan.
Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan
yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan
faktor-faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone sebagaimana dikutip Leo
6
Agustino (2008 : 6) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan
antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak
beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami,
karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup
banyak hal.
Menurut Nugroho, ada dua karakteristik dari kebijakan publik,
yaitu:1) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami,
karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan
nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur,
karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita
sudah ditempuh. Menurut Woll sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:2)
menyebutkan bahwa kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah
untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun
melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009: 19)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government choose
to do or not to do” ( apapaun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik
adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan
keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan
publik karena mempunyai pengaruh (dampak yang sama dengan pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu
guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik.
Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam
ketentuanketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat
pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.
7
C. Kebijakan Kesehatan
a. Suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk (anatomi) dan fungsi
tubuh (fisiologi) dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya (Perkin,
1938).
b. Keadaan sejahtera sempurna dari fisik, mental dan sosial yang tidak hanya
terbatas pada terbebas dari berbagai penyakit atau kelemahan [WHO
(1947) dan UU Nomor 9 Tahun 1960].
c. Keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan
segala faktor keturunan dan lingkungannya (WHO, 1957)
d. Keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa oleh ahlinya tidak
mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda penyakit atau
kelainan (White 1977)
e. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi
(UU 23 Tahun 1992)
f. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, sosial maupun
spiritual yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi (UU 36 Tahun 2009)
Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
kesehatan adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara fisik, mental,
sosial maupun spritual yang diindikasikan tidak adanya keluhan ataupun tidak
terdapat tanda-tanda penyakit atau kelainan sehingga memungkinkan untuk
hidup produktif baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Apabila pengertian „kesehatan‟ dihubungkan dengan pengertian
„kebijakan‟ sebagaimana dikemukakan sebelumya, maka “kebijakan
kesehatan” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian konsep, asas, ketentuan
pokok, dan keputusan yang diambil oleh seseorang atau sekelompok pelaku
8
politik yang menjadi pedoman dan dasar pelaksanaan kegiatan untuk
mencapai keadaan seimbang yang dinamis antara fisik, mental, sosial maupun
spritual yang diindikasikan tidak adanya keluhan ataupun tidak terdapat tanda-
tanda penyakit atau kelainan agar masyarakat dapat hidup produktif baik
secara sosial dan maupun ekonomi.
Oleh sebab itu, suatu kebijakan kesehatan semestinya memperhatikan
faktor-faktor tersebut sehingga derajat kesehatan yang optimal sebagai
dampak yang diharapkan dari kebijakan tersebut dapat dicapai secara optimal.
Perlu ditambahkan bahwa berbagai penelitian menunjukkan bahwa dari
faktor-faktor tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya disusul oleh faktor perilaku; sedangkan faktor pelayanan
kesehatan dan genetika menempati urutan berkutnya.
Tujuan dari kebijakan kesehatan pada hakekatnya adalah untuk
menyediakan pola pencegahan (preventive), pelayanan yang terfokus pada
pemeliharaan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (curative),
pemulihan kesehatan (rehabilitative) dan perlindungan terhadap kaum rentan.
Oleh sebab itu kebijakan kesehatan yang baik harus berpihak pada kelompok-
kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai masalah
kesehatan dan bertujuan jangka panjang.
9
didukung oleh perencanaan, bukan merupakan pekerjaan administrasi yang
baik.
10
disesuaikan dengan sumber daya. Perencanaan yang disusun tidak logis serta
tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai dengan sumber daya bukanlah
perencanaan yang baik.
Banyak masalah kesehatan dapat dideteksi dan diatasi secara dini di tingkat paling
bawah. Jumlah dan mutu tenaga kesehatan belum memenuhi kebutuhan.
Pemanfaatan pembiayaan kesehatan belum terfokus dan sinkron. Hasil sarana
kesehatan bisa dijadikan pendapatan daerah. Masyarakat miskin belum
sepenuhnya terjangkau dalam pelayanan kesehatan. Beban ganda penyakit dapat
menimbulkan masalah lainnya secara fisik, mental dan sosial.
11
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi di mana
masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah
dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari
gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk gangguan
kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak
mendukung untuk hidup sehat.
Isu strategis
12
2.4 Permasalahan Gizi Buruk dan Penyebab Gizi Buruk Pada Balita
13
pada anak balita merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (Depkes RI, 2006).
Balita merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan,
terutama masalah gizi kurang atau buruk. Hal ini disebabkan karena pada saat fase
balita akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Balita juga
cenderung susah makan dan asupanzat gizi yang tidak baik(Depkes RI, 2006).
Melalui penerapan perilaku keluarga sadar gizi, keluarga didorong untuk
memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 7 bulan dan
memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia 7-24
bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu relatif
tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah menimbulkan
keterbatasan pangan di rumah tangga yang berlanjut kepada rendahnya jumlah
dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak (Depkes RI, 2006).
14
Hal ini sehubungan dengan terhambatnya pertumbuhan sel otak yang
terjadi pada anak yang menderita gangguan gizi pada usia sangat muda bahkan
dalam kandungan. Berbagai factor yang secara tidak langsung mendorong
terjadinya gangguan gizi terutama pada balita. Ketidaktahuan akan hubungan
makanan dan kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makanan tertentu,
adanya kebiasaan/pantangan yang merugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis
makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang
rapat Kemiskinan masih merupakan bencana bagi jutaan manusia. Sekelompok
kecil penduduk dunia berpikir “hendak makan dimana” sementara kelompok lain
masih berkutat memeras keringat untuk memperoleh sesuap nasi. Dibandingkan
orang dewasa, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak boleh
dibilang sangat kecil. Namun, jika diukur berdasarkan % berat badan, kebutuhan
akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak ternyata melampaui orang dewasa
nyaris dua kali lipat. Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur
luas permukaan tubuh/menghitung secara langsung konsumsi energi itu ( yang
hilang atau terpakai ).
Asupan energi dapat diperkirakan dengan jalan menghitung besaran energi
yang dikeluarkan.Jumlah keluaran energi dapat ditentukan secara sederhana
berdasarkan berat badan Kekurangan berat badan yang berlangsung pada anak
yang sedang tumbuh merupakan masalah serius.
15
kecacatan (prematur sampai lumpuh) serta penyakit menyertai (jantung bocor
disertai sakit lainnya).
Di Bidang Kesehatan :
Dari data akuntabilitas kerja bab 3 Provinsi Kepualauan Riau Kabupaten Bintan di
dapat data sebagai berikut :
Pemerintah Kabupaten Bintan pada tahun 2012 dan tahun 2013 telah
menetapkan indikator “persentase balita gizi buruk” dibawah 1% dan realisasi
tercapai dibawah 1% yaitu 0,53% untuk tahun 2013 terealisasi 0,44 % berarti
adalah 100% capaiannya . Balita gizi buruk adalah status gizi balita sangat kurus
berdasar standar antropometri Berat badan dibanding tinggi badan atau panjang
badan (BB/TB) nilai ambang batas z score < - 3 SD. Presentase kasus gizi buruk
di Kabupaten Bintan tahun 2013 adalah 0,44% (54 kasus dari 10.974 balita
ditimbang). Angka presentase balita gizi buruk di Kabupaten Bintan tahun 2010
sampai dengan tahun 2013 masih diatas angka nasional, jika dibandingkan dengan
presentase gizi buruk nasional (5.3%) dan Provinsi Kepulauan Riau (5.1%) yaitu
yaitu 2010 (0.18%), 2011 (0.20%), 2012 (0.40%) dan 2013 (0.44%), sedangkan
target nasional yaitu < 10%, hal ini menunjukkan angka keberhasilan penemuan
16
dan penanganan gizi buruk di Kabupaten Bintan sangat berhasil. Angka
presentase kasus gizi buruk cenderung sedikit meningkat sejak tahun 2010 sampai
dengan tahun 2013 karena semakin meningkatnya kinerja surveilans gizi di
Kabupaten Bintan sehingga sweeping/penjaringan status gizi balita di masyarakat
meningkat, hal tersebut didukung dengan adanya Instruksi Bupati Bintan Tentang
Pelaksanan Bulan Penimbangan Balita yang mentargetkan seluruh balita
ditimbang dan diukur tinggi/panjang badan di posyandu pada bulan April dan
November serta melakukan sweeping bagi balita yang tidak hadir di posyandu.
17
(2) Melakukan penimbangan berat badan kemudian dibandingkan dengan tinggi
badan Balita (BB/TB).
(3) Melakukan sweeping bagi balita yang tidak hadir di posyandu, dan
(4) Melaksanakan penyuluhan tentang pola asuh dan manfaat gizi pada balita.
Seluruh balita yang menderita gizi buruk telah dilakukan penanganan dengan
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) serta pengobatan penyakit pada pusat-
pusat pelayanan kesehatan. Pemberian makanan tambahan bagi balita gizi buruk
dan gizi kurang penduduk miskin dan desa tertinggal bertujuan untuk :
1. Mengurangi masalah gizi KEP terutama pada bayi, balita dan wanita usia
subur.
2. Menurunkan jumlah penderita anemia zat gizi besi pada Ibu hamil, wanita usia
subur dan anak sekolah.
18
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, Provinsi Kepulauan
Riau menduduki posisi terbaik dalam hal penanganan gizi buruk di Indonesia,
dengan angka kurang dari 13%. Hasil surveillance ini sudah dilakukan oleh
enumerator menunjukkan penurunan prevalensi stunting dan gizi buruk di Kepri.
Hal ini pastinya tidak terlepas dari peran Dinas Kesehatan Provinsi hingga Dinas
Kesehatan kota/kabupaten. Kasi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinkes
Prov Kepri, Aniesaputri Junita, SKM, MPH mengatakan gizi buruk di Kepulauan
Riau menurun. "Hasil PSG (Pemantauan Status Gizi) tahun 2017 stunting Kepri
sebesar 20%. Hasil Riskesdas 2018, Prevalensi Gizi kurang sebesar 13%, Kepri
peringkat terbaik se-Indonesia," ujar Aniesaputri, Jumat (18/1/2019).
Aniesaputri juga menyarankan kepada pihak terkait seperti Bidan Desa atau
Petugas Gizi jangan sampai tidak tahu jika warganya mengalami kasus gizi buruk
ataupun stunting. Selain itu, dia juga mengajak masyarakat untuk rajin membawa
anaknya ke Posyandu agar terpantau tumbuh kembang anak secara teratur.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
(3) Melakukan sweeping bagi balita yang tidak hadir di posyandu, dan
20
(4) Melaksanakan penyuluhan tentang pola asuh dan manfaat gizi pada balita.
3.2 Saran
Sebagai saran dalam makalah ini, upaya penanganan gizi buruk pada balita
ini harus ditingkatkan lagi dikarenakan balita atau anak yang kekurangan gizi
nantinya akan mengalami hambatan kognitif dan kegagalan pendidikan sehingga
berdampak pada rendahnya produktifitas di masa dewasa. Kurang gizi yang
dialami pada awal kehidupan juga berdampak pada peningkatan resiko gangguan
metabolik yang berujung pada kejadian penyakit tidak menular pada usia dewasa.
Maka dari itu harus kebijakan kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam upaya
penanganan ini harus di tingkatkan lagi untuk mengurangi atau mencegah hal-hal
yang tidak dinginkan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Informaction.org:
22