Anda di halaman 1dari 181

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS PADA KLIEN SKIZOFRENIA


DENGAN HALUSINASI MENGGUNAKAN PENDEKATAN
KONSEPSUAL MODEL INTERPERSONAL PEPLAU DAN
MODEL STRES ADAPTASI STUART DI RUANG UTARI
RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

ESROM KANINE
0906594311

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK

i
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS PADA KLIEN SKIZOFRENIA


DENGAN HALUSINASI MENGGUNAKAN PENDEKATAN
KONSEPSUAL MODEL INTERPERSONAL PEPLAU DAN
MODEL STRES ADAPTASI STUART DI RUANG UTARI
RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Jiwa

ESROM KANINE
0906594311

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2012

ii
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
ABSTRAK

Nama : Esrom Kanine


Program Studi : Pasca Sarjana
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Judul Karya Ilmiah Akhir : Manajemen Kasus Spesialis Pada Klien Skizofrenia
Dengan Halusinasi Menggunakan Pendekatan
Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan Model
Stres Adaptasi Stuart di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki
Mahdi Bogor

Halusinasi adalah salah satu gejala positif dari Skizofrenia (Stuart & Laraia, 2005).
Cognitive Behavior Therapy dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol
halusinasi (Stuart & Laraia, 2005). Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah
menggambarkan penatalaksanaan asuhan keperawatan dengan pendekatan
konsepsual model interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart pada klien
skizofrenia dengan halusinasi. Penerapan Cognitive Behavior Therapy dilakukan
pada 27 orang klien di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor pada peroide 20
Pebruari – 20 April 2012. Hasil Cognitive Behavior Therapy sangat efektif pada 27
klien menunjukkan peningkatan kemampuan klien skizofrenia dengan halusinasi
dalam mengontrol halusinasi. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan
bahwa Cognitive Behavior Therapy dapat dijadikan standar terapi spesialis
keperawatan jiwa.

Kata Kunci : Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi,Konsepsual Model


Interpersonal Peplau, Model Stres Adaptasi Stuart, Cognitive
Behavior Therapy
Daftar Pustaka : 32 (1994-2012)

Manajamen kasus..., Esrom vii


Kanine, FIK UI, 2012
ABSTRACT

Name : Esrom Kanine


Study Program : Post Graduate
Faculty : Nursing Science
Title : Case Management Specialist to Schizophrenia Client with
Hallucination Using Peplau’s Interpersonal Model Conceptual
and The Stuart’s Stress Adaptation Model of Approach In Utari
Room of Dr. Marzoeki Mahdi Hospital Bogor.

Hallucinations are one of the positive symptoms of Schizophrenia (Stuart & Laraia,
2005). Cognitive Behavior Therapy can improve the ability to control the
hallucinations (Stuart & Laraia, 2005). The purpose of this final scientific work is to
describe the management of nursing care to client with hallucinations using Peplau’s
interpersonal model conceptual and the Stuart’s stress adaptation model of Approach.
Application of Cognitive Behavior Therapy performed on 27 clients in Utari ward of
Dr. Marzoeki Mahdi Hospital Bogor on 20th February – 20th April 2012. The results
of Cognitive Behavior Therapy is very effective on 27 clients that showed an
increase in the client's ability to interact with others. Based on the results above, need
to be recommended that Cognitive Behavior Therapy can be used as standard therapy
of psychiatric nursing specialists.

Key Words : Schizophrenia Client with Hallucination, Peplau’s Interpersonal


Model Conceptual, The Stuart’s Stress Adaptation Model,
Cognitive Behavior Therapy.
Refferences : 32 (1994-2012)

Manajamen kasus..., Esromviii


Kanine, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Bapa di Sorga, karena atas berkat dan
tuntunan kasihNya, penulis diberikan kemampuan dan kesehatan sehingga dapat
melaksanakan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa yang diselenggarakan oleh
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Kekhususan Ilmu Keperawatan Jiwa.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:


1. Semuel Layuk, SKM., M.Kes., selaku Direktur Politeknik Kesehatan Manado yang
telah memberikan kesempatan pada penulis melanjutkan studi lanjut Program
Spesialis Keperawatan Jiwa di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2. Dewi Irawaty, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
3. Astuti Yani Nursasi, SKp., M.N., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
4. Prof. Achir Yani S., Hamid., DNSc selaku Pembimbing I dan Penguji I sekaligus
Pembimbing Akademis telah membimbing penulis dengan meluangkan waktu,
sabar, bijaksana memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya
Ilmiah Akhir ini.
5. Mustikasri, SKp., M.ARS., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis.
6. Novy Helena C. D, SKp., MSc., selaku Penguji II, yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir ini.
7. Dr.dr.Fidiansjah,Sp.KJ., MPH., selaku Penguji III yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir ini.
8. Ns. Tantri Widyarti Utami, SKp., MKep, Sp.Kep.,J, selaku Penguji IV yang telah
banyak memberikan masukan kepada penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir
ini.

Manajamen kasus..., Esrom ix


Kanine, FIK UI, 2012
9. Prof. DR. Budi A.Keliat., SKp, MappSc, yang menjadi inspirator sekaligus
motivator utama selama mengikuti kegiatan residensi. Karyamu sungguh nyata
dalam pengembangan profesi Ners Spesialis. Tuhan Yesus senantiasa memberkati.
10. Seluruh Pembimbing Klinik Residensi di FIK yang tak mengenal waktu, untuk
selalu membimbing penulis selama kegiatan residensi.
11. Istriku tercinta “Grace A. Merentek” dan kedua buah hatiku tersayang ” Christian
Noel Kanine & Gracia Eugenia Kanine”, yang telah memberikan cinta, doa dan
dukungan dalam setiap perjuanganku, kalian adalah sumber inspirasi dan motivasi
terbesar dalam hidupku.
12. Papa dan Mama (almarhumah) Kel.Kanine-Opi di Siau, yang telah membesarkan,
mendidik dengan segala jerih payah, penulis tidak dapat membalaskannya, kiranya
Tuhan Yesus senantiasa memberkati di usia lanjutmu.
13. Papa dan Mama Kel.Merentek-Mamusung serta seluruh kakak dan adik di Picuan,
yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis dalam setiap perjuanganku.
14. Kel. Kaminang-Kanine di Manado serta seluruh kakakku di Siau, Kel.Rau Pantouw
di Tomohon, terima kasih atas dukungan moril dan doa bagi penulis.
15. Teman sejawat di Ruang Utari, Bisma, Drupadi dan Kresna RS. Dr.Marzoeki Mahdi
Bogor yang sudah bekerja sama selama kegiatan residensi.
16. Seluruh rekan-rekan mahasiswa residensi spesialis jiwa Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
17. Semua pihak yang telah membantu penyusunan hasil karya ilmiah ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah akhir
ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang bersifat
membangun sehingga dapat menjadi bahan untuk perbaikan hasil penelitian ini.

Depok, 03 Juli 2012

Penulis

x
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………... iii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………… iv
PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………..…………..… v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………….….………..…. vi
ABSTRAK …………..………………………………………….……….…... vii
ABSTRAT …………………………………………………………………… Viii
KATA PENGANTAR ………………….………….…………….………..… Ix
DAFTAR ISI ………………..…………………….…………….……….….. Xi
DAFTAR TABEL ………………….…………….……….……………..….. Xiii
DAFTAR BAGAN ………………………………………………………….. Xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….………….. Xv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………… 1
1.2. Tujuan Penelitian …………………………………………… 9
1.3. Manfaat Penelitian ………………………………………….. 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Umum Manejemen..…………………………………. 14
2.2 Konsepsual Model Interpersonal Peplau ……………………. 17
2.3 Psikodinamika Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi………..
2.3.1 Konsep Skizofrenia………………......……………….
2.3.2 Aplikasi Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan
Model Stres Adaptasi Stuart Pada Klien Skizofrenia
Dengan Halusinasi …………………………………... 22
2.3.2.1 Fase Orientasi ..………………………………. 23
2.3.2.2 Fase Identifikasi……………………………… 24
2.3.2.3 Fase Eksploitasi……………………………… 31
2.3.2.4 Fase Resolusi………………………………… 36
2.4 Manajemen Pelayanan Keperawatan …………………...…… 36
2.4.1 Pengkajian Pilar MPKP Ruangan .........…...………… 37
2.4.2 Perencanaan MPKP Ruangan…….……………...…... 38
2.4.3 Pelaksanaan MPKP Ruangan…….…………………... 38
2.4.4 Evaluasi MPKP Ruangan ……………………………. 39
2.5 Kerangka Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan
Model Stres Adaptasi Stuart ………………………………… 39

BAB 3 PROFIL RS Dr. MARZOEKI MAHDI BOGOR


3.1 Profil RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor………………………... 42
3.2 Profil Bidang Keperawatan RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor… 51
3.3 Manajemen Pelayanan Keperawatan Di Ruang Utari RS Dr.
Marzoeki Mahdi Bogor…………..………………………….. 53

Manajamen kasus..., Esrom xi


Kanine, FIK UI, 2012
BAB 4 PELAKSANAAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
DI RUANG UTARI RUMAH SAKIT Dr. MARZOEKI MAHDI
BOGOR
4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Klien Skizofrenia
Dengan Halusinasi..............................................................….. 60
4.1.1.1 Fase Orientasi ……..……..………………………….. 61
4.1.1.2 Fase Identifikasi………………..……………………. 62
4.1.1.3 Fase Eksploitasi ……………………..………………. 73
4.1.1.4 Fase Resolusi ……………………..…………………. 78

BAB 5 PEMBAHASAN 81

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ……………..……...……………………………. 109
6.2 Saran …………………..…………………………………….. 112

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Manajamen kasus..., Esrom xii


Kanine, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Frekuensi Interaksi Perawat dan Klien……………………..….. 61

Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Usia Klien Skizofrenia Dengan 63


Halusinasi………..........................................................................
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Pendidikan, Status Perkawinan dan
Lama Di Rawat Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi…………. 63
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Predisposisi Klien Skizofrenia Dengan
Halusinasi ……………………………………..……………….. 65
Tabel 4.5 Distribusi Faktor Presipitasi Klien Skizofrenia Dengan
Halusinasi ……………………………………………………… 66
Tabel 4.6 Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan
Penilaian Terhadap Stresor………………………...…………… 68
Tabel 4.7 Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan
Sumber Koping……………………..……………...…………… 70
Tabel 4.8 Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan
Mekanisme Koping………………..……………...…………… 71
Tabel 4.9 Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Diagnosa Keperawatan ………………….. 72
Tabel 4.10 Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Individu….. 73

Tabel 4.11 Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Keluarga….. 75

Tabel 4.12 Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Kelompok... 75

Tabel 4.13 Distribusi Tindakan Keperawatan Spesialis CBT Pada Klien 76


Skizofrenia Dengan Halusinasi ……………………………..…..
Tabel 4.14 Distribusi Tindakan Keperawatan Spesialis Psikoedukasi
Keluarga ……………………………………………………….. 77
Tabel 4.15 Distribusi Terapi Medis Pada Klien Skizofrenia Dengan
Halusinasi ………………………………………………………. 78
Tabel 4.16 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Pada Klien
Skizofrenia Dengan Halusinasi ………………………………… 79

Manajamen kasus..., Esromxiii


Kanine, FIK UI, 2012
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Peran dan Fase Hubungan Teori Model Interpersonal Peplau...……. 19

Bagan 2.2. Kerangka Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan Model Stres
Adaptasi Stuart……………………………………….…………….. 41

Manajamen kasus..., Esromxiv


Kanine, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Klien Halusinasi Di Ruang Utari RS


Dr.Marzoeki Mahdi

Lampiran 2 Modul Cognitive Behavior Therapy

Manajamen kasus..., Esrom xv


Kanine, FIK UI, 2012
 
 

BAB 1
PENDAHULUAN

Bab satu ini akan menguraikan latar belakang, tujuan penulisan karya ilmiah akhir
yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Selanjutnya diuraikan manfaat
karya ilmiah akhir terdiri dari manfaat aplikatif, manfaat kelimuan dan manfaat
metodologi.

1.1 Latar Belakang


Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan produktif dalam
menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen tersebut mencakup
kegiatan planning,organizing, actuating dan controlling atau disingkat POAC
terhadap staf, sarana dan prasarana dalam mencapai tujuan organisasi (Gillies,
1989). Menurut Gillies manajemen didefinisikan sebagai suatu proses dalam
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain, sedangkan manajemen
keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan
untuk memberikan asuhan keperawatan secara profesional. Dapat disimpulkan
bahwa seorang manajer keperawatan dituntut untuk merencanakan,
mengorganisasi, memimpin dan mengevaluasi sarana dan prasarana yang
tersedia untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang seefektif mungkin
bagi individu, keluarga dan masyarakat.

Proses manajemen keperawatan sejalan dengan proses keperawatan sebagai


satu metode pelaksanaan asuhan keperawatan secara profesional, sehingga
diharapkan keduanya dapat saling mendukung sebagaimana proses
manajemen keperawatan. Manajemen pelayanan keperawatan yang telah
dikembangkan dan diaplilkasikan adalah Manajemen Praktik Keperawatan
Profesional Jiwa atau disingkat MPKP Jiwa meliputi 4 (empat) pilar sebagai
pendekatan dalam manajemen pelayanan asuhan keperawatan. Keempat pilar
yang dimaksud adalah pilar management approach, compensatory reward,
professional relationship dan patient care delivery (Akemat & Keliat, 2010).
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Keliat dan Akemat mengenai

1 Universitas Indonesia
 
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
2
 

pendekatan manajemen keperawatan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan


asuhan keperawatan diruangan merupakan bagian dari manajemen
keperawatan dengan menggunakan pendekatan prinsip-prinsip manajemen
dalam kegiatan POAC.

Pelaksanaan Model Praktik Profesional Keperawatan (MPKP) jiwa di ruang


Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor telah menerapkan proses manajemen
keperawatan yang terintegrasi pada lima tahap dalam proses keperawatan
khususnya manajemen pelayanan keperawatan dan manajemen asuhan
keperawatan. Kegiatan manajemen yang dimaksud adalah planning,
organizing, actuating dan controlling. Sedangkan lima tahap proses
keperawatan meliputi pengkajian, perencanaan (diagnosa keperawatan dan
rencana tindakan keperawatan), pelaksanaan atau implementasi keperawatan
serta evaluasi keperawatan sebagai landasan dalam manajemen asuhan dan
manajemen pelayanan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi
di Ruang Utari.

Manajemen asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi


telah dilaksanakan diruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor dengan
mengaplikasikan komponen kegiatan manajemen sejak tahun 2005. Dalam
penyusunan karya ilmiah ini penulis menggunakan pendekatan konsepsual
Model Interpersonal oleh Peplau untuk menjelaskan manajemen kasus dan
pada pengkajian kasus akan menggunakan konsepsual Model Stres Adaptasi
Stuart oleh Stuart dan Laraia secara khusus menjelaskan psikodinamika
pada klien skizofrenia dengan halusinasi. Kegiatan manajemen pelayanan
keperawatan ruangan pada klien skizofrenia dengan halusinasi dilaksanakan
diruang Utari secara sistematis dan berkesinambungan. Berikut ini akan
dijelaskan sekilas kegiatan manajemen pelayanan keperawatan di Ruang Utari
periode Februari sampai dengan April 2012. Pada pelaksanaan manajemen
pelayanan keperawatan ruangan penulis melanjutkan kegiatan manajemen
pelayanan yang telah dilaksanakan oleh peserta residensi 1 dan 2 pada periode
sebelumnya. Hasil rencana tindak lanjut oleh peserta residensi 1 dan 2

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
3
 

disimpulkan telah terjadi peningkatan kegiatan manajemen pelayanan


keperawatan di Ruang Utari khususnya pada pelaksanaan kegiatan MPKP
jiwa mulai dari pilar satu sampai empat (data ini akan dibahas pada bab
lainnya dalam karya ilmiah ini).

Pada hasil pengkajian awal, penulis menyimpulkan bahwa peningkatan


kegiatan manajemen pelayanan pada pilar satu sampai empat di Ruang Utari
hasilnya hanya mengacu pada kepala ruangan yang sebelumnya adalah ketua
tim1 di Ruang Utari pada periode residensi 1 dan 2 serta ketua tim 1 yang
sebelumnya ketua tim 1 pada ruangan lain. Sedangkan ketua tim 2 adalah
perawat pelaksana pada ruangan lain. Hal ini tidak berlaku pada perawat
pelaksana baik pada tim 1 dan tim 2. Kondisi ini terjadi karena ada rotasi dan
pengembangan oleh bidang keperawatan yang diberlakukan mulai awal
Februari 2012. Dapat disimpulkan bahwa di Ruang Utari ada kegiatan pada
keempat pilar MPKP jiwa yang belum teridentifikasi dan akan ada kegiatan
MPKP jiwa yang dilaksanakan oleh penulis (data akan dibahas pada bab
lainnya dalam karya ilmiah akhir ini). Berikutnya penulis akan menguraikan
sekilas kegiatan manajemen asuhan keperawatan pada ruangan Utari RS
Dr.Marzoeki Mahdi Bogor.

Hasil pelaksanaan manajemen pelayanan asuhan keperawatan di ruang Utari,


penulis fokuskan pada kasus kelolaan yang menjadi topik pemilihan judul
karya ilmiah ini yaitu manajemen asuhan keperawatan pada klien skizofrenia
dengan halusinasi sebanyak 27 klien. Respon pikiran negatif terbanyak 37 %
(suara yang menuduh klien membawa sial), 35 % menunjukkan respon
perasan negatif (kecewa dengan suara laki-laki), 23 % menunjukkan perilaku
negatif (menolak ikut kegiatan diruangan), respon fisiologis kesulitan tidur
(13%). Kemampuan mengontrol halusinasi secara kognitif (70%). Dapat
disimpulkan sebagian besar klien halusinasi mampu secara kognitif
mengontrol halusinasi dengan motivasi. Uraian data selengkapnya akan
dilampirkan pada akhir penulisan karya ilmiah ini. Berikutnya penulis akan
mengulas sekilas jenis terapi keperawatan yang dilakukan pada klien

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
4
 

halusinasi dan pemilihan salah satu terapi yang digunakan dan dilaporkan
dalam karya ilmiah ini.

Jenis terapi yang dilakukan pada klien skizofrenia dengan halusinasi didasari
oleh hasil-hasil penelitian terdahulu dan dilandasi juga pada respon-respon
yang ditunjukkan oleh klien. Sebelum membahas terapi yang akan digunakan
pada klien halusinasi penulis akan mengulas secara umum respon-respon yang
terkait dengan halusinasi. Halusinasi merupakan gejala positif dari
skizofrenia. Menurut Varcolis (2003) dan Fontaine (2009), halusinasi timbul
akibat disfungsi pada pusat bahasa diarea korteks serebral pada lobus
temporal otak. Efek dari disfungsi tersebut oleh sebagian klien halusinasi
merasakan seolah-olah mendengar sesuatu yang orang lain tidak
mengalaminya akibatnya terjadi peningkatan atau penurunan perilaku yang
ditimbulkan seperti perilaku agresif, amuk dan rasa takut, cemas, curiga,
menolak melakukan aktifitas sehari-hari, menolak minum obat, menarik diri
dari lingkungan, mencederai diri sendiri dan orang lain, menganggu
lingkungan sekitarnya bahkan lebih parah lagi jika halusinasi disertai ide
untuk bunuh diri. Dengan bervariasinya respon akibat disfungsi pada bagian
otak tertentu pada halusinasi maka klien akan menunjukkan respon perilaku
negatif, respon pikiran negatif dan perasaan yang negatif.

Respon-respon tersebut muncul sebagai akibat mekanisme koping yang tidak


terselesaikan oleh klien skizofrenia dengan halusinasi sendiri. Akibat
selanjutnya dari respon tersebut dapat mempengaruhi perilaku serta
ketidakmampuan klien mengontrol halusinasinya. Untuk itu perlu
penatalaksanaan terapi keperawatan dan terapi medis yang tepat dan sesuai
dengan kondisi yang ditampilkan oleh klien halusinasi untuk mengatasi
masalah terkait pikiran negatif, perilaku negatif dan perasaan negatif yang
sedang dihadapinya (Varcolis, 2003; Fontaine, 2009). Salah satu terapi
keperawatan yang tepat diberikan untuk mengatasi pikiran, perilaku dan
perasaan negatif pada klien halusinasi dipilihlah terapi perilaku kogintif atau
cognitive behavior therapy atau disingkat “CBT” singkatan ini akan

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
5
 

digunakan seterusnya pada penyusunan karya ilmiah ini. selain terapi


generalis yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan disemua ruangan
psikiatri RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor.

Hasil penelitian terdahulu tentang pengaruh terapi CBT pada klien skizofrenia
dengan halusinasi oleh Wahyuni (2010) di RS jiwa Pemerintah Provinsi
Medan tahun 2010 membuktikan terdapat penurunan gejala halusinasi sebesar
34,5 % dan peningkatan kemampuan klien halusinasi dalam mengontrol
halusinasinya hingga 62,6 %. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh
penrnyataan Birchwood (2009) yang membuktikan bahwa pemberian CBT
pada klien halusinasi dapat mengubah keyakinan yang salah tentang dirinya.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh pernyataan Stuart dan Laraia (2005),
yang menyebutkan bahwa klien halusinasi harus melawan kembali
halusinasinya dengan cara mencoba berpikir dan berperilaku secara positif
serta terus menanamkan pada diri sendiri bahwa individu mampu melawan
halusinasi.

Penatalaksanaan terapi keperawatan generalis maupun spesialis (CBT) akan


diaplikasikan pada manajemen asuhan keperawatan yang juga diintegrasikan
pada kegiatan perawat dalam manajemen pelayanan keperawatan di Ruang
Utari. Ruangan Utari dipilih oleh karena ruangan ini sebagai ruang utama
terkait kegiatan manajemen asuhan dan pelayanan keperawatan selama
penulis melaksanakan praktik residensi tiga periode Februari hingga April
2012. Selanjutnya penulis akan menguraikan salah satu teori keperawatan
yang dipilih dan sesuai kondisi klien halusinasi sebagai pendekatan dalam
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan dan manajemen pelayanan
keperawatan adalah Model Interpersonal oleh Peplau dan pada aspek
pengkajian penulis akan menggunakan Model Stres Adaptasi Stuart oleh
Stuart dan Laraia sebagai landasan ilmiah dalam pengembangan suatu teori
dan model keperawatan. Tahapan penulis akan menguraikan alasan dipilihnya
model ini sebagai pendekatan dalam penyusunan karya ilmiah ini.

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
6
 

Dipilihnya model interpersonal Peplau sebagai pendekatan dalam penyusunan


karya ilmiah ini dilandasi oleh konsep teori keperawatan yang dikembangkan
oleh Peplau yaitu konsepsual model interpersonal atau dikenal sebagai model
Hubungan Perawat-Klien atau hubungan P-K, selanjutnya penulis akan
menggunakan istilah hubungan P-K. Model interpersonal secara teoritis
dikenal melalui fase-fase dalam hubungan P-K. fase tersebut adalah fase
orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Inti dari teori model ini
terletak pada kemampuan perawat melakukan hubungan terapeutik dan juga
menggunakan dirinya sendiri (perawat) menjadi terapeutik bagi klien
halusinasi (therapeutic of self). Keempat fase ini memiliki kekuatan dalam
meningkatkan hubungan P-K lebih khusus pada klien halusinasi. Kekuatan
keempat fase ini terletak pada kualitas perawat berperan selama melakukan
manajemen asuhan keperawatan pada klien halusinasi. Perawat yang akan
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien halusinasi memiliki satu tujuan
yaitu meningkatkan kemampuan klien halusinasi agar dapat mengontrol
halusinasinya secara efektif dan mandiri baik dilakukan melalui terapi
generalis ataupun spesialis CBT. Berikut ini akan dibahas secara singkat fase-
fase dalam model interpersonal Peplau yang digunakan sebagai pendekatan
dalam manajemen asuhan keperawatan dan manajemen pelayanan
keperawatan. Secara khusus pada fase kedua penulis akan menggunakan teori
keperawatan (model stress adaptasi Stuart) sebagai acuan pengkajian
keperawatan untuk menjelaskan psikodinamika halusinasi.

Ulasan singkat empat fase menurut Peplau (1952, dalam Tomey dan Alligood,
2006; Viedebeck, 200; Fontaine, 2009) sebagai berikut. Keempat fase ini
mengacu pada lima tahap dalam proses keperawatan mulai dari pengkajian
sampai evaluasi keperawatan. Fase orientasi adalah fase awal dalam
hubungan P-K. fase ini menekankan pada kemampuan personal perawat saat
memulai suatu hubungan dengan klien halusinasi. Keberhasilan fase
selanjutnya sangat ditentukan oleh fase orientasi ini. Pada fase ini ada peran
perawat (role of stranger) atau peran perawat sebagai orang yang asing
bagi klien halusinasi atau sebaliknya. Oleh karena respon yang ditunjukkan

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
7
 

oleh klien halusinasi terbanyak berupa respon negatif baik pikiran,


perilaku dan perasaannya, maka perawat pada fase ini akan menggunakan
seluruh kemampuannya termasuk kemampuan dalam berkomunikasi atau
dalam ilmu keperawatan dikenal dengan istilah “Komunikasi Terapeutik”
tujuannya agar perawat totalitas menggunakan dirinya (therapeutic of self)
bagi klien halusinasi.

Fase kedua adalah fase identifikasi. Fase ini digambarkan sebagai fase
pengkajian dalam proses keperawatan. Aplikasi fase ini dalam manajemen
asuhan keperawatan dikaitkan dengan pengkajian keperawatan yang akan
menggunakan teori model pengkajian dalam bentuk scanning assesment
khusus menjelaskan psikodinamika halusinasi. Pada fase ini perawat akan
memainkan empat peran baru yaitu peran sebagai pemberi atau sumber
informasi (role of resource person), peran sebagai konselor (role of
counselour), peran sebagai pemimpin (role of leadership), peran sebagai wali
pengganti keluarga (role of surrogate) bagi klien halusinasi. Pada tahap ini
digambarkan klien halusinasi sudah membutuhkan bantuan dari perawat
sehingga pada fase ini perawat akan melakukan lanjutan pengkajian atau
mengidentifikasi semua informasi terkait kondisi klien halusinasi. Pendekatan
konsep Peplau ini juga akan penulis aplikasikan dengan pelaksanaan
manajemen pelayanan keperawatan ruangan di Ruang Utari. Pada fase ini,
penulis akan mengidentifikasi semua kemampuan-kemampuan perawat
(kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana) yang ada di Ruang
Utari terkait pelaksanaan pilar I sampai IV MPKP jiwa. Dalam bab
selanjutnya penulis secara deskriptif akan menyajikan hasil pengkajian MPKP
dan secara khusus juga penulis akan membahas pada salah satu pilar yaitu
pilar IV (patient care delivery) mengenai kemampuan perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien halusinasi.

Selanjutya fase eksploitasi atau fase ketiga menurut Peplau. Terdapat Fase ini
diidentifikasi dalam proses keperawatan sebagai tahap kedua perencanaan
(diagnosa keperawatan dan rencana tindakan). Fase ini menurut Peplau

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
8
 

perawat akan menggunakan pelayanan yang tersedia dengan maksimal


termasuk kemampuan perawat melaksanakan tindakan keperawatan dalam
bentuk implementasi keperawatan. Dalam manajemen asuhan keperawatan
penulis akan mengimplementasikan terapi keperawatan spesialis CBT pada
klien halusinasi sedangkan dalam manajemen pelayanan keperawatan penulis
akan bekerjasama dengan supervisor ruangan, perawat ruangan Utari,
mahasiswa S2 Keperawatan, mahasiswa profesi S1 Keperawatan dan
mahasiswa praktik DIII Keperawatan yang sedang berpraktik melaksanakan
keperawatan jiwa di ruang Utari. Pelaksanaan manajemen pelayanan
keperawatan akan diintergrasikan dengan manajemen asuhan keperawatan
setelah melalui kesepakatan dengan ruangan Utari. Pada pelaksanaan
manajemen pelayanan keperawatan secara khusus pada pilar IV (patient care
delivery) yaitu pemberian asuhan keperawatan sehingga manajemen asuhan
keperawatan yang penulis rencanakan akan terintegrasi juga dengan
manajemen pelayanan keperawatan ruangan di Ruang Utari khususnya pada
pelaksanaan asuhan keperawatan yaitu terapi generalis padaklien halusinasi
dalam bentuk supervisi insidentil, terkecuali mahasiswa praktik S2
keperawatan yang akan bekerja sama dengan penulis mengaplikasikan terapi
CBT pada klien halusinasi.

Fase resolusi adalah fase keempat atau akhir dalam hubungan P-K. Peplau
menyimpulkan klien akan secara mandiri mengulang semua kemampuannya
yang telah dimilikinya. Terkait fase ini, klien halusinasi akan mengulang
kemampuan-kemampuan dalam mengontrol halusiansi secara efektif dan
mandiri, jika tidak maka klien akan terus dimotivasi dan dilatih
kemampuannya kembali sebagai sebuah resolusi (problem solving) untuk
klien halusinasi. Hubungan model interpersonal Peplau dengan manajemen
asuhan keperawatan dan pelayanan keputusan terletak pada pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan, penulis akan melakukan evaluasi
tindakan/implementasi terapi keperawatan spesialis CBT pada kemampuan
klien mengontrol halusinasinya. Sedangkan pada manajemen pelayanan
keperawatan ruangan akan terintegrasi pada pilar IV (patient care delivery)

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
9
 

yaitu pemberian asuhan keperawatan sebagai bentuk kemampaun manajerial


perawat ruangan yang terdokumentasi pada buku penilain kinerja perawat
ruangan.

Dari uraian-uraian tersebut diatas maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan


model interpersonal Peplau dengan empat fase hubungan yang diawali oleh fase
orientasi hingga fase resolusi dapat diintegrasikan pada dua kegiatan sekaligus
yaitu manajemen asuhan keperawatan klien halusinasi (khususnya pada fase
identifikasi/pengkajian menggunakan model stres adaptasi Stuart) dan manajemen
pelayanan keperawatan ruangan dengan tetap berpijak prinsip-prinsip POAC dan
tahapan dalam pada proses keperawatan. Berdasarkan pada tolak pikir yang
diuraikan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan studi ilmiah
tentang manajemen asuhan keperawatan pada klien halusinasi dan manajemen
pelayanan keperawatan ruangan di Ruang Utari pada pilar MPKP Jiwa khususnya
pada pilar IV (patient care delivery) atau sistem pemberian asuhan keperawatan
dengan judul: ” Managemen Kasus Spesialis Pada Klien Skizofrenia Dengan
Halusinasi Menggunakan Pendekatan Konsepsual Model Interpersonal Peplau
dan Model Stres Adaptasi Stuart di Ruang Utari Rumah Sakit Dr.Marzoeki
Mahdi Bogor ”

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
hasil pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada klien skizofrenia
dengan halusinasi dengan menggunakan pendekatan konsepsual model
interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart di Ruang Utari Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.

1.2.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus penulisan Karya Ilmiah Akhir ini mengacu pada
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan menggunakan pendekatan

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
10
 

konsepsual model interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart


yang akan diuraikan sebagai berikut :
1.2.2.1 Diketahuinya frekuensi interaksi dalam hubungan terapeutik
perawat dan klien skizofrenia dengan halusinasi pada fase orientasi
menggunakan pendekatan model interpersonal Peplau di Ruang
Utari RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor

1.2.2.2 Diketahuinya hasil pengkajian klien skizofrenia dengan halusinasi


pada pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan fase identifikasi
model interpersonal Peplau di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi
Bogor

1.2.2.3 Diketahuinya rencana tindakan keperawatan CBT pada klien


skizofrenia dengan halusinasi pada fase identifikasi model
interpersonal Peplau dengan menggunakan model interpersonal
Peplau di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor

1.2.2.4 Terlaksananya terapi generalis dan terapi spesialis CBT pada klien
skizofrenia dengan halusinasi dalam pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatan pada fase eksploitasi model interpersonal
Peplau di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor

1.2.2.5 Diketahuinya hasil pelaksanaan terapi generalis dan terapi spesialis


CBT pada klien skizofrenia dengan halusinasi dalam pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan pada fase resolusi model
interpersonal Peplau di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor

1.2.2.6 Tersusunnya rencana tindak lanjut pada pelaksanaan manajemen


asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi
menggunakan konsepsual model interpersonal Peplau dan model
stres adaptasi Stuart di ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
11
 

1.2.2.7 Tersusunnya rekomendasi mengacu pada implikasi pelaksanaan


terapi keperawatan generalis dan spesialis CBT pada klien
skizofrenia dengan halusinasi setelah menggunakan konsepsual
model interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart di
ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Hasil Karya Tulis ini diharapkan dapat menjadi panduan
perawat dalam pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
dengan menggunakan konsepsual model interpersonal Peplau
dan model stres adaptasi Stuart diunit pelayanan psikiatri.

1.3.1.2 Meningkatkan kemampuan pasien gangguan jiwa khususnya


klien skizofrenia dengan halusinasi dalam meningkatkan dan
mempertahankan kemampuan perilaku adaptif dengan
lingkungan di sekitarnya.

1.3.1.3 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya


pada klien skizofrenia dengan halusinasi diunit pelayanan
psikiatri khususnya di Ruang Utari

1.3.1.4 Menjadi dasar pertimbangan dan pemikiran dalam menerapkan


terapi cognitive behavior therapy pada klien skizofrenia
dengan halusinasi terkait penerapan konsepsualmodel
interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart

1.3.1.5 Meningkatkan dan mengembangkan berbagai strategi


intervensi yang efektif dalam melakukan asuhan keperawatan
pada klien skizofrenia dengan halusinasi di unit pelayanan
psikiatri

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
12
 

1.3.1 Manfaat Keilmuan


1.3.1.1 Hasil Karya Tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa
diunit pelayanan psikiatri dalam menangani gangguan Jiwa

1.3.1.2 Masukan bagi pengelola program kesehatan jiwa di RS


Dr.Marzoeki Mahdi Bogor dalam merencanakan program-
program yang lebih efektif dan dasar dalam merumuskan
kebijakan dalam pelaksanaan manajemen kasus spesialis.

1.3.2 Manfaat Metodologi


1.3.2.1 Dapat menerapkan teori model keperawatan yang tepat dan
sesuai untuk meningkatkan kemampuan klien gangguan jiwa
dalam mempertahankan perilaku adaptif

1.3.2.2 Memperoleh gambaran dalam penerapan ilmu dan konsep


keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi CBT
pada klien skizofrenia dengan halusinasi dan memperoleh
pengalaman dalam melakukan koordinasi dan kerjasama
dengan instansi rumah sakit jiwa

1.3.3 Manfaat Kehidupan Profesionalisme


1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar
mengajar yang melibatkan mahasiswa program pasca sarjana
terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan
asuhan keperawatan jiwa secara nyata di unit pelayanan
psikiatri.

1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep


keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi
spesialis pada klien gangguan jiwa dan melakukan koordinasi
serta kerjasama dengan jajaran masyarakat

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
13
 

1.3.3.3 Hasil karya tulis ini selanjutnya dapat menjadi bahan acuan
untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa
dan penulis lainnya.

Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
 
 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan teoritis pada bab dua ini penulis akan menguraikan konsep umum
manajemen keperawatan, konsepsual model interpersonal Peplau dalam sebuah
kerangka konsep sebagai landasan dan tolok ukur sebelum teori model ini
diaplikasikan.

2.1 Konsep Umum Manajemen Keperawatan


2.1.1 Pengertian Manajemen Keperawatan
Manajemen menurut Swansburg (2006) dan Gillies (1989) diartikan
sebagai proses menggunakan segenap sumber daya termasuk sumber
daya manusia yang ada secara efektif dan efisien secara efisien, efektif
dan rasional untuk mencapai tujuan dengan memberdayakan orang
lain. Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa manajemen keperawatan
adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Dapat disimpulkan
bahwa dalam manajemen keperawatan terkandung tahapan proses
keperawatan dan dapat diaplikasikan dalam manajemen asuhan
keperawatan

2.1.2 Proses Manajemen Keperawatan


2.1.2.1 Pengkajian
Pengkajian yang diidentikan dengan pengumpulan data terkait
informasi tentang institusi rumah sakit, tenaga sumber daya
manusia termasuk tenaga keperawatan, administrasi dan
keuangan yang mempengaruhi fungsi organisasi keperawatan
secara keseluruhan. Pengkajian dalam manajemen keperawatan
bertujuan untuk mencapai suatu tujuan melalui usaha orang
lain secara terencana dan efektif (Gillies,1989). Dalam proses
keperawatan pengkajian yang terencana dan efektif adalah
kemampuan mengidentifikasi dan menjalankan pekerjaan

14
Universitas Indonesia 
 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
15
 

bersama para perawat lain untuk mencapai tujuan dalam


asuhan keperawatan (Gillies,1989). Dapat diartikan bahwa
pengkajian dalam proses keperawatan adalah tahap awal dalam
proses keperawatan dimana pada pengkajian didapatkan
sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh perawat dalam
mengidentifikasi kondisi kesehatan klien.

Berdasarkan pernyataan Gillies (1989), dapat disimpulkan bahwa


pengkajian dalam manajemen asuhan keperawatan adalah
pengkajian yang terkait dengan psikodinamika klien halusinasi
sedangkan dalam manajemen pelayanan keperawatan terkait
dengan aktifitas perawat (kepala ruangan, ketua tim dan perawat
pelaksana) dalam pengembangan kegiatan empat pilar MPKP
Jiwa di Ruang Utari. Selengkapnya konsep pengkajian pada klien
halusinasi dan konsep pengkajian dalam manajemen pelayanan
keperawatan terkait instrumen yang digunakan pada ruangan
Utari akan dijelaskan pada sub bab berikutnya, Sedangkan hasil
pengkajian klien halusinasi dan hasil pengkajian MPKP jiwa
ruangan Utari akan dibahas pada bab lain dalam karya ilmiah ini.

2.1.2.2 Perencanaan
Perencanaan adalah menyusun langkah dalam mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Dalam konteks proses
keperawatan perencanaan yang dimaksud adalah kemampuan
perawat menentukan kebutuhan dalam asuhan keperawatan
kepada semua pasien atau menegakkan diagnosa keperawatan
dan menentukan kebutuhan pasien melalui rencana tindakan
keperawatan (Gillies, 1989).

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa perencanaan adalah


tahapan kedua dalam proses keperawatan yang terdiri dari
rumusan diagnosa keperawatan dan rencana tindakan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


16
 

keperawatan. Dapat disimpulkan bahwa perencanaan yang


dimaksud dalam kegiatan manajemen asuhan keperawatan
adalah rumusan diagnosa keperawatan dan rencana tindakan
pada klien halusinasi yaitu gangguan sensori persespsi
halusinasi sedangkan dalam kegiatan manajemen pelayanan
keperawatan ruangan adalah rumusan masalah terkait MPKP
jiwa dan rencana tindakan adalah kesepakatan bersama perawat
(kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana) yang telah
direncanakan dan yang akan dilaksanakan terkait empat pilar
MPKP jiwa. Hasil perencanaan dalam kegiatan manajemen
pelayanan keperawatan selengkapnya akan dibahas pada bab
lain dalam karya ilmiah ini sedangkan hasil pelaksanaan akan
dibahas pada bab lain dalam karya ilmiah ini.

2.1.2.3 Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah kemampuan memimpin orang lain untuk
menjalankan tindakan yang telah direncanakan. Dalam
konteks proses keperawatan maka pelaksanaan atau
implementasi keperawatan memerlukan kerja orang lain
(Gillies,1989). Dapat diartikan bahwa implementasi perawat
akan membutuhkan perawat lain untuk mengimplementasikan
kegiatan yang telah direncanakan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan
ruangan dan manajemen asuhan keperawatan diperlukan
bantuan orang lain untuk melaksanakan kegiatan terkait yang
telah direncanakan. Konsep pelaksanaan dalam manajemen
pelayanan keperawatan di ruang Utari (kepala ruangan, ketua
tim dan perawat pelaksana) dan konsep pelaksanaan akan
dibahas pada sub bab dalam bab ini, sedangkan hasil
pelaksanaan akan dibahas pada bab lain dalam karya ilmiah ini.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


17
 

2.1.2.4 Evaluasi
Kegiatan evaluasi dalam manajemen keperawatan adalah
mengevaluasi seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan dan
bertujuan untuk menilai seberapa jauh staf keperawatan
mampu melaksanakan perannya sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan serta mengidentifikasi faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung dalam pelaksanaan (Gillies,
1989). Dalam konteks proses keperawatan dapat diartikan
bahwa evaluasi merupakan tahapan akhir, untuk mengevaluasi
kembali tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan evaluasi dalam
manajemen pelayanan keperawatan ruangan adalah
mengevaluasi faktor yang menghambat dan yang medukung
pelaksanaan pilar MPKP Jiwa. Sedangkan dalam manajemen
asuhan keperawatan adalah mengevaluasi kemampuan klien
mengontrol halusinasi setelah diberikan CBT.

2.2 Konsepsual Model Interpersonal Peplau


Keyakinan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan secara
sistematis dan berkesinambungan tidak lepas dari suatu hubungan terapeutik
antara perawat dan klien Model interpersonal hubungan P-K ini
menggambarkan keperawatan sebagai suatu hubungan terapeutik melalui
empat fase hubungan yaitu : fase orientasi, fase identifikasi, fase eksploitasi
dan fase resolusi Peplau (1952,dalam Viedebeck, 2008).

2.2.1 Paradigma Model Interpersonal Peplau


Peplau adalah ahli teori dan klinisi keperawatan yang mengembangkan
teori interpersonal Sullivan. Konsep model interpersonal Peplau
mengintergrasikan manusia, lingkungan, keperawatan dan kesehatan
Peplau memandang manusia sebagai individu dengan sistem diri yang
terus berkembang dengan karakteristik dan kebutuhan biokimia, fisiologi
dan sosiopsikologi yang unik. Sepanjang hidupnya individu menghadapi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


18
 

pengalaman-pengalaman yang menciptakan kecemasan yang


menimbulkan ketegangan dan dapat ditransformasikan menjadi perilaku-
perilaku baik yang meningkatkan kesehatan atau pun yang merugikan
kesehatan (Christensen & Kenney, 2009).

Peplau mengemukakan bahwa setiap lingkungan berhubungan dengan


kesehatan. Kesehatan adalah pengurangan kecemasan dan ketegangan
dan mengarahkan kembali energi untuk memfasilitasi kepuasan
terhadap kebutuhan, kesadaran diri dan integrasi dari pengalaman-
pengalaman hidup yang bermakna Peplau berkeyakinan bahwa
keperawatan adalah suatu proses yang signifikan, terapeutik,
interpersonal, suatu instrumen yang edukatif, upaya pendewasaan, yang
bertujuan meningkatkan ke arah peralihan kepribadian Hubungan P-K
memfasilitasi identifikasi dan resolusi kebutuhan-kebutuhan klien
yang tidak terpenuhi sekaligus secara simultan meningkatkan tumbuh
kembang keduanya didalam hubungan yang terapeutik (Tomey &
Alligood,2010).

Peplau mengidentifikasi enam peran yaitu pengajar, sumber, konselor,


pemimpin,ahli teknis dan wali. Peran ini yang mungkin di emban
perawat ketika bekerja dengan klien. Selanjutnya peran-peran ini
digunakan dalam fase hubungan terapeutik perawat-klien meliputi fase
orientasi, identifikasi,eksploitasi dan resolusi (Videbeck, 2008; Fontaine,
2009). Peran perawat yang dintergrasikan dalam mengembangkan fase
hubungan perawat-klien memberi kontribusi pada landasan praktik
manajemen asuhan keperawatan.

2.2.2 Fase Dalam Model Interpersonal Peplau


Model interpersonal Peplau mengintegrasikan peran perawat ke dalam
empat fase hubungan perawat – klien, diistilahkan dengan hubungan
P-K. Identifikasi peran perawat dalam hubungan terapeutik akan
membantu memenuhi kebutuhan klien. Peran peawat dalam hubungan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


19
 

P-K adalah peran sebagai orang asing (role of stranger), perawat sebagi
sumber informasi (role of resource person), guru/pengajar (role of
theacher), pemimpin (role of leader), sebagai wali (role of surrogate), dan
konselor (role of counselor) (Parker, 2001, DeLaune & Ladner, 2002,
Christensen, 2009,). Diagram model interpersonal, Peplau yang
menjabarkan fase hububungan dan peran perawat dalam hubungan
perawat-klien akan disajikan dalam Bagan 2.1 sebagai berikut.

Nurse : Stranger Unconditional Counselor Adult person


surrogate Resource person
mother Leadership
Surrogate : mother
sibling

Patient : Stranger Infant Child Adolescent Adult person

Phases in
nursing Orientasi Identification
realtionship Exploitation Resolution

Sumber : Pokorny (2006; Tomey & Alligood, 2010)

Bagan 2.1
Peran dan Fase Hubungan Perawat-Klien Menurut Peplau

2.2.2.1 Fase Orientasi


Fase orientasi menurut Peplau (1952, dalam Christensen, 2009)
menjelaskan bahwa fase ini mengacu pada mulainya hubungan
saat klien mengenali suatu hubungan atau kesulitan yang
dirasakan dan mencari bantuan profesional dan perawat
mendefinisikan hubungan timbal balik. Menurut (Peplau, 1952;
Viedebeck, 2008) tugas perawat pada fase ini adalah
mengklarisikasi masalah dan kebutuhan klien dan menjelaskan
rutinitas dan harapan rumah sakit. Sedangkan tugas klien adalah
mengajukan pertanyaan, menggunakan energi untuk
menyelesaikan masalah, partisipasi klien secara penuh
dimunculkan.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


20
 

2.2.2.2 Fase Identifikasi


Fase ini dimulai ketika klien berhubungan secara interdependen
dengan perawat, mengungkapkan perasaan dan hubungan mulai
dirasakan lebih kuat. Tugas perawat dan klien pada fase ini
adalah pasien berespons terhadap individu yang ia anggap
membantu, pasien merasa lebih kuat, mengungkapkan perasaan,
berhubungan secara interdependen dengan perawat dan ada
klarifikasi peran klien maupun peran perawat Fase Identifikasi
merupakan fase lanjutan dimana pasien mengidentifikasi siapa
yang dapat membantunya (yang berhubungan dengannya).
Perawat memfasilitasi pasien untuk mengeksplorasi
perasaannya sebagai suatu pengalaman untuk orientasi
kembali perasaan dan memperkuat tenaga positif dalam diri
sendiri dan memenuhi kebutuhan kepuasan (Peplau, 1952;
Viedebeck, 2008).

Peran perawat pada fase ini adalah narasumber pribadi (role of


resource person) dimana dalam peran ini, perawat
memberikan jawaban-jawaban secara spesifik dari setiap
pertanyaan terutama mengenai informasi kesehatan dan
memberi interpretasi kepada klien bagaimana rencana
keperawatan dan medis. Perawat harus fokus pada jawaban-
jawaban spesifik dan konstruktif apakah jawaban langsung
atau bersifat saran-saran (Peplau, 1952; Viedebeck, 2008).

2.2.2.3 Fase Eksploitasi


Pada fase eksploitasi ini dijelaskan klien menggunakan pelayanan
yang ditawarkan dengan maksimal. Tugas perawat dan klien
pada fase ini adalah klien menggunakan pelayanan yang tersedia
dengan maksimal, timbul tujuan seperti kembali kerumah dan
kembali bekerja, perilaku pasien berfluktuasi antara tergantung
dan mandiri (Peplau, 1952; Viedebeck, 2008).

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


21
 

2.2.2.4 Fase Resolusi (Resolution)


Fase ini digambarkan klien tidak lagi membutuhkan pelayanan
profesional dan menghentikan perilaku bergantung. Tugas
perawat dan klien meliputi perilaku menghentikan perilaku
tergantung, pelayanan tidak lagi dibutuhkan klien dan klien
menggunakan kekuatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
serta menetapkan tujuan baru dan sebagainya (Peplau, 1952;
Viedebeck, 2008).

2.3 Psikodinamika Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi


Psikodinamika terjadinya halusinasi akan dijelaskan dengan menggunakan
model stress adaptasi Stuart secara khusus pada pengkajian untuk
menjelaskan faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian stresor,
mekanisme koping dan sumber koping dengan pendekatan konsepsual model
interpersonal Peplau. Berikut ini akan diuraikan tentang konsep skizofrenia,
psikodinamika klien skizofrenia dengan halusinasi, konsepsual model
interpersonal Peplau yang terintegrasi pada model stres adaptasi Stuart
berlandaskan pada proses keperawatan mulai dari pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
2.3.1 Konsep Skizofrenia
2.3.1.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan kumpulan berbagai gejala psikotik
dengan karakteristik terjadinya distorsi realita, menarik diri
dari interaksi sosial dan pikiran yang tidak terorganisir.
Menurut Castle dkk (1991), Viedebeck (2008) dan Stuart dan
Laraia (2005), mengatakan bahwa skizofrenia merupakan
penyakit neurobilogi yang memperngaruhi otak menyebabkan
timbulnya gangguan isi pikiran, gangguan persepsi
(halusinasi), gangguan emosi dan perilaku aneh dan tidak
terorganisir. Pernyataan para ahli tersebut menunjukkan arti
bahwa skizofrenia adalah kumpulan gejala pola pikiran,
perilaku dan perasaan individu yang terganggu ditandai

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


22
 

dengan penyimpangan realitas, gangguan dalam berinteraksi


dengan orang lain disertai pikiran yang tidak terorganisir.

2.3.1.2 Tanda dan Gejala Skizofrenia


Skizofrenia ditandai dengan keyakinan individu yang tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada atau disebut delusi dan
persepsi yang terjadi tanpa adanya stimulus eksternal, pikiran
dan perkataan dan perilaku yang tidak terorganisir atau disebut
halusinasi. Gejala skizofrenia terdiri dari dua gejala yang
dikategorikan gejala positif dan gejala negatif. Gejala negatif
skizofrenia meliputi afek yang datar, miskin pembicaraan
(alogia) dan avolisi (Copel, 2007). Sedangkan gejala
skizofrenia menurut Stuart dan Laraia (2005) terdiri dari gejala
positif, negatif dan kognitif. Adapun gejala positif seperti
halusinasi dan delusi, gejala negatif seperti alogia dan
anhedonia sedangkan gejala kognitif terdiri dari gangguan
dalam memori dan perhatian, gangguan mood seperti perasaan
putus asa dan ingin mati serta disfungsi dalam aktititas sosial
dan pekerjaan antara lain perawatan diri, aktivitas, kerja dan
hubungan interpersonal.

Berdasarkan pernyataan para ahli diatas menunjukkan bahwa


klien skizofrenia mengalami gangguan pikiran yang tidak
sesuai dengan realitas, penyimpangan perilaku yang ditandai
dengan katatonia serta perasaan yang terganggu ditandai
dengan ketidakmampuan individu memulai aktititas dan
kurangnya dalam berekspresi.

2.3.2 Aplikasi Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan Model Stres


Adaptasi Pada Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi
Aplikasi konsepsual model interpersonal Peplau akan diintegrasikan
pada model stres adaptasi Stuart meliputi fase orientasi, fase

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


23
 

identifikasi termasuk pengkajian akan menguraikan faktor


predisposisi, faktor presipitasi, penilaian stresor, sumber koping dan
mekanisme koping. Demikian juga pada diagnosa keperawatan dan
rencana tindakan keperawatanakan diuraikan diagnosa keperawatan
utama dan diagnosa lain yang menyertai diagnosa keperawatan utama
dan rencana tindakan keperawatan yang terkait dengan terapi generalis
dan spesialis CBT. Sedangkan pada fase eksploitasi akan menguraikan
implementasi keperawatan generalis dan spesialis dan fase resolusi
akan diuraikan evaluasi tindakan keperawatan.
2.3.2.1 Fase Orientasi
Peplau mengembangkan konsep hubungan perawat klien dan
fase orientasi adalah fase awal menurut model interpersonal
ini. Fase ini terkait dengan peran perawat sebagai orang asing
(stranger). Fase ini diatur oleh perawat dan dilakukan dengan
dengan melibatkan klien dalam terapi dan memberi penjelasan
serta informasi. Fase orientasi dimulai ketika perawat dan
klien bertemu dan berakhir ketika klien melai mengidentifikasi
masalahuntuk dikaji. selama fase orientasi perawat
menetapkan peran, tujuan pertemuan dan kontrak pertemuan
selanjutnya, mengidentifikasi masalah klien serta
mengklarifikasi harapan (Viedebeck, 2008).

Selama fase orientasi, perawat memulai membangun rasa


percaya dengan klien dan bertanggung jawab perawat adalah
membentuk lingkungan yang terapeutik yang membantu
membangun rasa percaya dan pengertian. Terkait dengan klien
halusinasi maka hal yang dilakukan perawat diatas adalah
menyapa klien, memperkenalkan identitas diri, menetapkan
kontrak yang akan datang. Peran perawat sebagi orang asing
(role of the sranger) pada fase ini adalah perawat dan klien
sama-sama asing antara satu dan lainnya. Dalam hal ini klien
harus dirawat sesuai dengan aturan yang berlaku. Perawat

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


24
 

tidak diperkenankan untuk mendakwa pasien, namun pasien


harus diterima apa adanya (Peplau

2.3.2.2 Fase Identifikasi


Model stress adaptasi Stuart dapat menggambarkan proses
terjadinya halusinasi dengan menganalisa faktor predisposisi
dan faktor presiptasi yang digunakan individu sehingga
mengahasilkan respon bersifat konstruktif dan destruktif dalam
rentang adaptif sampai maladaptive sebagai berikut :
1. Pengkajian Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi
Pengkajian merupakan tahap awal dalam manajemen kasus
spesialis. Pengkajian terjadinya gangguan jiwa pada klien
dengan mengaplikasikan Model Stress Adaptasi Stuart (2005)
menggambarkan adanya dimensi perilaku klien dengan
masalah psikososial yang komprehensif. Dimensi tersebut
meliputi faktor predisposisi (faktor pendukung), faktor
presipitasi (faktor pencetus), penilaian terhadap stresor (tanda
dan gejala), sumber koping dan mekanisme koping (Stuart &
Laraia, 2005).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi
adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan
jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan
individu mengalami stress. Faktor ini meliputi
biologis, psikologis, dan sosial budaya. Proses
terjadinya halusinasi dapat diuraikan dengan
pendekatan Model Stres Adaptasi menurut Stuart dan
Laraia faktor predisposisi halusinasi pada klien
skizofrenia menurut Stuart (2009) meliputi faktor
biologi, psikologi, dan sosialkultural.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


25
 

Faktor biologis terjadinya halusinasi pada individu


dikaitkan dengan struktur otak pada sistem limbik, lobus
frontal, dan hipotalamus. Sistem limbik berkaitan dengan
mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi serta tingkah
laku manusia seperti: makan, agresi dan respon sexual,
termasuk proses informasi dan memori. Sintesa informasi
ke dan dari area lain di otak mempengaruhi emosi dan
perilaku. Perubahan sistem limbik mengakibatkan
terjadinya peningkatan atau penurunan perilaku agresif,
amuk dan rasa takut (Varcarolis, 2003).

Hipotalamus juga berperan dalam mempengaruhi


terjadinya halusinasi ketika individu menghadapi stress
yang berlebihan maka kondisi ini akan meningkatkan
level hormon steroid yang disekresi kelenjar adrenal,
selanjutnya hipotalamus merangsang kelenjar pituitari
untuk menghasilkan lebih banyak steroid (Varcarolis,
2006). Stimulasi yang berulang akan membuat sistem
berespon lebih kuat dan menyebabkan stres traumatik
pada individu bersifat permanen. Keadaan tersebut
dapat merangsang munculnya perilaku kekerasan
maupun halusinasi terutama pada individu yang rentan
mengalami kedua masalah tersebut.

Halusinasi dengar yang terjadi 70% dari jenis


halusinasi lainnya pada skizoprenia timbul akibat
disfungsi pusat bahasa pada kortek serebral yang
berlokasi di lobus temporal otak. Halusinasi
penglihatan diperkirakan terjadi akibat disfungsi otak
terutama lobus oksipital (Fontaine, 2009). Kedua jenis
halusinasi ini pada klien skizofrenia sering muncul
bersamaan. Kerusakan lobus temporal maupun oksipital

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


26
 

ini membuat klien skizofrenia seolah-olah mendengar


atau melihat sesuatu yang orang lain tidak
mengalaminya.

Faktor psikologis menurut Stuart dan Laraia (2005)


diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep
diri, dan pertahanan psikologi. Stuart (2009), juga
mengemukakan faktor psikologis yang lainnya meliputi
intelektualitas, moralitas dan motivasi, kemammpuan
mengendalikan diri. Wahyuningsih (2009), menyatakan
bahwa kegagalan faktor psikologis yang sering diartikan
sebagai ketidakmampuan, respon yang muncul pada saat
individu mengalami kegagalan dapat berupa menyalahkan
diri sendiri atau orang lain yang ditunjukkan dengan
perilaku kekerasan. Stres yang dialami individu akibat
kegagalan secara berulang akan menstimulasi munculnya
halusinasi pada klien skizofrenia. Pernyataan ini
diperkuat oleh Fontaine, (2009), yang mengungkapkan
bahwa munculnya halusinasi pada klien skizofrenia sering
dikaitkan dengan kondisi stress yang berlebihan.

Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti:


usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial,
latar belakang budaya, agama dan kayakinan individu.
Kondisi sosial lainnya yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
hidup akibat kemiskinan, adanya masalah perkawinan,
keluarga dengan orangtua tunggal, pengangguran, kesulitan
mempertahankan tali persaudaraan, struktur keluarga, dan
kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005).

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


27
 

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun
eksternal yang mengancam individu, dapat bersifat
biologis, psikologis maupun sosial kultural. Aspek yang
dikaji meliputi sifat stressor, asal stressor, waktu dan
jumlah stressor. Stresor biologis diantaranya berupa:
penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur
otak (Stuart, 2009). Stresor psikologis diantaranya:
pengalaman mendapatkan abuse dalam keluarga atau
pun terkait dengan kegagalan-kegagalan dalam hidup.

Stresor sosial budaya diantaranya: aturan di masyarakat


yang sering bertentangan dengan pandangan individu,
tuntutan masyarakat yang tidak realistik dengan
kemampuan individu (Stuart, 2009). Asal stressor
meliputi internal dan eksternal. Stresor internal terdiri
dari semua faktor yang menimbulkan kelemahan,
menurunnya percaya diri, takut sakit, hilang kontrol
atau terjadinya proses penuaan pada diri individu.
Stresor eksternal adalah yang berasal dari luar individu,
misalnya dari keluarga, kelompok masyarakat, dan
lingkungan sekitar seperti terjadinya bencana alam,
konflik antar masyarakat, penganiayaan fisik,
kehilangan orang yang dicintai, krisis dan lain-lain
(Stuart, 2009).

Waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait


dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa
kali kejadian stresor tersebut dihadapi oleh individu.
Jumlah stresor terkait dengan berapa kali stresor
tersebut pernah dialami oleh individu pada kurun waktu
tertentu (Stuart, 2009). Semakin sering terpapar stresor

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


28
 

baik internal maupun eksternal maka semakin tinggi


risiko tercetusnya halusinasi pada diri seseorang.

c. Penilaian Terhadap Stressor


Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan arti dan
pemahaman terhadap pengaruh situasi yang penuh
dengan stres bagi individu. Penilaian terhadap stresor
ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku,
dan respon sosial (Stuart dan Laraia (2005).

Halusinasi adalah salah satu gejala positif skizofrenia


selain waham, pembicaraan tidak terorganisasi,
disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik, symptom
negative seperti afek datar, alogia, avolition
(Varcarolis & Halter, 2009). Stuart (2009), menyatakan
penilaian seseorang terhadap stressor terdiri atas respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.
Stressor yang diterima individu akan merangsangnya
untuk memberikan respon yang tampak melalui tanda
dan gejala yang ditunjukan.

Penilaian kognitif merupakan kemampuan individu


untk menganalisa segala sesuatu yang terjadi di
lingkungan dan kaitan dengan dirinya. Boyd dan Nihart
(1998) menyatakan tanda dan gejala halusinasi dapat
diketahui secara kognitif yaitu akan ditemukan tekanan
atau gangguan pada pikiran. Individu tidak mampu
berpikir konkrit hal ini tampak pada pembicaraan yang
tidak terorganisir yang merupakan ciri pada klien
skizofrenia. Respon kognitif terkait perilaku yang
timbul oleh halusinasi adalah pasien akan mengikuti isi
halusinasinya ( Smith,2003). Stuart dan Laraia (2005)

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


29
 

menyebutkan bahwa 1-13 %pasien skizofrenia


mengalami percobaan bunuh diri.dan 20-50 % pasien
skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri karena isis
halusinasinya. Oleh sebab itu halusinasi berakibat
buruk bagi diri sendiri,orang lain dan lingkungan.

Respon Afektif pada klien halusinasi dapat dilihat dari


respons emosi berupa perasaan sedih, gembira, takut,
marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, atau
surprise ketika individu menghadapi masalah. Respon
fisiologis pada klien halusinasi dapat dilihat dari tanda
dan gejala yang tampak. Tanda dan gejala halusinasi
dapat diketahui secara fisiologi yaitu akan ditemukan
gangguan tidur, sakit kepala, sakit perut dan
peningkatan tekanan darah (Boyd & Nihart 1998).
Stuart dan Laraia (2009), menyatakan halusinasi dapat
dilihat dari wajah tegang, peningkatan pernafasan, dan
kadang tiba-tiba seperti kataton.

Respon Perilaku dapat dilihat dari tindakan yang


dilakukan klien ketika sedang mengalami halusinasi.
Klien dengan halusinasi akan menunjukkan perilaku
bicara-bicara sendiri seolah-olah ada lawan bicara,
menyeringai, tertawa sendiri tanpa sebab (Moller &
Murphy1998 dalam Fontain, 2009). Sedangkan respon
sosial yang tampak pada klien halusinasi adalah berupa
penurunan interaksi sosial (Boyd & Nihart, 1998). Isi
halusinasi sering berupa ancaman sehingga klien
mengatakan atau melakukan sesuatu yang dapat
membahayakan diri dan orang lain (Fontain, 2009).
Keadaan ini membuat klien dengan halusinasi lebih
memilih menyendiri daripada menemui orang lain.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


30
 

d. Mekanisme Koping
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan klien akan berusaha
melindungi dirinya dari pengalaman yang disebabkan oleh
penyakitnya. Klien dengan halusinasi sering disertai
dengan kecemasan dalam level sedang hingga berat.
Mekanisme koping yang biasanya digunakan untuk
mengatasi kecemasannya tersebut adalah dengan regresi,
dimana klien mengalami kemunduran dalam menjalani
beberapa fungsi kehidupannya terutama dalam
menjalankan aktititas sehari-hari. Persepsi yang tidak
akurat terkait dengan kejadian halusinasi selanjutnya akan
coba mereka jelaskan dengan mekanisme koping yang
lain. Mekanisme koping yang biasa digunakan oleh klien
adalah menarik diri, dimana hal ini sesungguhnya
digunakan untuk membangun kembali kepercayaan dan
pre okupasi terhadap pengalaman internal terkait
halusinasi yang dialami.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan ditegakkan sesuai kondisi klien.
Diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan terkait
dengan klien halusinasi menurut Keliat dan Akemat (2010)
adalah gangguan persepsi sensori: halusinasi (dengar,
penglihatan, penghidu, dan peraba). Diagnosis keperawatan
lain yang muncul pada klien dengan halusinasi adalah
isolasi sosial dan gangguan konsep diri: harga diri rendah
(Stuart & Laraia, 1998). Kedua diagnosis tersebut sering
menjadi stimulus munculnya halusinasi. Diagnosis
keperawatan dapat ditambahkan dengan diagnosis
keperawatan lainnya tergantung kondisi yang ditemukan
pada klien. Diagnosis keperawatan ini ditetapkan untuk

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


31
 

mempermudah dalam menentukan tindakan keperawatan


yang sesuai dengan kondisi klien.

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Penatalaksanaan pada klien halusinasi meliputi pemberian
tindakan keperawatan berupa terapi generalis dan spesialis,
baik kepada individu maupun kepada keluarga. Tindakan
keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya
berfokus pada masalah halusinasi sebagai diagnosa
keperawatan namun juga mempertimbangkan diagnosa
penyerta lain. Hal ini dikarenakan tindakan yang dilakukan
saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan
dicapai. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan
diagnosa gangguan sensori persespsi halusinasi meliputi
pemberian tindakan keperawatan berupa terapi generalis
individu yaitu melatih mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, bercakap-caap dengan oranglain, dengan
aktifitas dan patuh minum obat secara teratur. Terapi
kelompok terkait terapi aktifitas kelompok stimulasi
persepsi halusinasi. Rencana tindakan pada keluarga adalah
melatih kemampuan keluarga merawat klien skizofrenia
dengan halusinasi. Rencana tindakan keperawatan spesialis
pada klien skizofrenia dengan halusinasi meliputi terapi
individu CBT, terapi kelompok adalah terapi suportif
kelompok, terapi keluarga yang diberikan adalah
psikoedukasi pada keluarga klien.

2.3.2.3 Fase Eksploitasi


Menurut Peplau, fase ini perawat akan menggunakan pelayanan
yang tersedia dengan maksimal termasuk kemampuan perawat
melaksanakan implementasi keperawatan. Pada pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan penulis mengidentifikasi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


32
 

kedalam fase ketiga yaitu fase eksploitasi menurut Peplau terdiri


dari terapi psikofarmaka dan terapi keperawatan.
1. Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang umum digunakan untuk klien
skizofrenia adalah antipsikotik. Obat antipsikotik ini
dibedakan menjadi dua golongan yaitu antipsikotik jenis
tipikal (tradisional) dan atipikal.
a. Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal efektif digunakan untuk mengatasi
gejala positif skizofrenia seperti waham, halusinasi,
gangguan berpikir namun tidak memberikan efek yang
baik untuk perubahan gejala negatif. Klien yang
mendapatkan obat ini halusinasinya sering tidak
muncul lagi namun perilaku menarik diri atau
keengganan untuk melaksanakan aktititas tidak ada
perbaikan. Antipsikotik tipikal efektif dalam menangani
gejala target seperti halusinasi. Kerja utama obat-
obatan antipsikotik pada sistem saraf adalah menyekat
reseptor neurotransmiter dopamin kedalam sub kategori
D1, D2, D3, D4 dan D5 terkait skizofrenia.
Antipsikotik tipikal merupakan antagonis atau bloker
yang kuat terhadap reseptor neurotransmiter D2, D3
dan D4 (Videbeck, 2008). Termasuk golongan
antipsikotik tipikal haloperidol, trifloupherazine,
chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Varcarolis,
Carson & Shoemaker, 2006)

b. Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal merupakan generasi baru dimana
kelebihannya tidak hanya mengatasi gejala positif tetapi
efektif menurunkan gejala negatif skizofrenia seperti
menarik diri, hilangnya motivasi dan kemauan, dan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


33
 

anhedonia (Littrel & Littrel, 1998; Videbeck, 2008).


Obat yang termasuk golongan antipsikotik atipikal
yaitu clozapine, risperidone, olanzapine dan
quetiapine.

2. Terapi Keperawatan
Penatalaksanaan terapi keperawatan pada klien skizofrenia
dengan halusinasi bertujuan membantu klien mengontrol
halusinasinya sehingga diperlukan beberapa tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan perawat dalam upaya
meningkatkan kemampuan untuk mengontrol halusinasinya
yaitu dengan tindakan keperawatan generalis dan spesialis.
a. Tindakan Keperawatan Generalis : Individu dan
Terapi Aktifitas Kelompok
Tindakan keperawatan generalis individu berdasarkan
standar asuhan keperawatan jiwa pada klien skizofrenia
dengan halusinasi oleh Carolin (2008), maka tindakan
keperawatan generalis dapat dilakukan pada klien
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif
atau pengetahuan dan psikomotor yang harus dimiliki
oleh klien skizofrenia dengan halusinasi yang
dikemukan oleh Millis (2000, dalam Varcolis, Carson
dan Shoemaker, 2006), meliputi : 1) Cara mengontrol
halusinasi dengan menghardik dan mengatakan stop
atau pergi hingga halusinasi dirasakan pergi. 2) Cara
menyampaikan pada orang lain tentang kondisi yang
dialaminya untuk meningkatkan interaksi sosialnya
dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain sebelum
halusinasi muncul. 3) Melakukan aktititas untuk
membantu mengontrol halusinasi dan melawan
kekhawatiran akibat halusinasi seperti mendengarkan
musik, membaca, menonton TV, rekreasi, bernyanyi,

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


34
 

teknik relaksasi atau nafas dalam. Kegiatan ini


dilakukan untuk meningkatkan stimulus klien
mengontrol halusinasi.4) Patuh minum obat.

Terapi aktifitas kelompok (TAK) yang dilakukan pada


klien skizofrenia dengan halusinasi adalah TAK
stimulasi persepsi yang terdiri dari 5 sesi yaitu : 1) Sesi
pertama mengenal halusinasi, 2) Sesi kedua mengontrol
halusinasi dengan memghardik, 3) Sesi ketiga dengan
melakukan aktifitas, 4) Sesi keempat, mencegah
halusinasi dengan bercakap dan 5) Sesi kelima dengan
patuh minum obat.

b. Tindakan Keperawatan Spesialis : Individu dan


Keluarga
Tindakan keperawatan spesialis individu adalah CBT.
Terapi CBT pada awalnya dikembangkan untuk
mengatasi gangguan afektif tetapi saat ini telah
dikembangkan untuk klien yang resisten terhadap
pengobatan. Indikasi CBT, tujuan dan sesi-sesi CBT
dan teknis pelaksanaan CBT secara lengkap penulis
lampirkan pada modul penatalaksanaan CBT pada
lampiran akhir karya ilmiah ini. Mekanisme
implementasi keperawatan pada klien skizofrenia
dengan halusinasi, pada kasus kelolaan ini dilakukan
berdasarkan temuan diagnosa keperawatan sejak
praktik residensi III pada tanggal 20 Februari 2012
sampai dengan 20 April 2012. Adapun mekanisme
pelaksanaan implementasi keperawatan sebagai berikut
: langkah awal sebelum dilakukan terapi generalis dan
spesialis adalah mengelompokan klien skizofrenia
dengan halusinasi mulai dari minggu I sampai dengan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


35
 

minggu IX selama praktik resdensi. Setelah pasien


dikelompokan, selanjutnya semua klien akan diberikan
terapi generalis mulai dari terapi generalis individu
untuk menilai kemampuan klien skizofrenia dengan
halusinasi. Langkah berikutnya adalah mengikutkan
klien pada terapi generalis kelompok yaiu terapi
aktifitas kelompok stimulasi atau disingkat TAK :
Stimulasi Persepsi Halusinasi. Demikian juga keluarga
akan dilibatkan dalam terapi keluarga. Hal ini bertujuan
agar keluarga tahu cara merawat klien skizofrenia
dengan halusinasi di rumah. Terapi keluarga dilakukan
pada setiap anggota keluarga yang datang mengunjungi
klien skizofrenia dengan halusinasi di ruang Utari.

Terapi spesialis akan diberikan pada klien skizofrenia


dengan halusinasi setelah klien menuntaskan terapi
generalis baik individu dan kelompok. Adapun terapi
spesialis meliputi terapi spesialis individu, keluarga dan
kelompok yang diberikan juga melalui paket terapi
cognitive behavior therapy atau disingkat CBT.

Berdasarkan pendekatan konsepsual model


interpersonal Peplau yang diintegrasikan pada model
stres adaptasi Stuart, dapat disimpulkan bahwa
rangkaian manajemen asuhan keperawatan pada fase
eksploitasi meliputi diagnosa keperawatan utama GSP
halusinasi dan diagnosa lain yang menyertai diagnosa
utama.

Terapi spesialis keluarga yaitu psikoedukasi keluarga


yang diberikan pada keluarga klien skizofrenia dengan
halusinasi adalah family psycho education (FPE) yang

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


36
 

terdiri dari lima sesi yaitu sesi I adalah Identifikasi


masalah keluarga dalam merawat klien skizofrenia
dengan halusinasi, sesi II adalah latihan cara merawat
klien halusinasi di rumah, sesi III latihan manajemen stres
oleh keluarga, sesi IV untuk latihan manajemen beban dan
sesi V terkait pemberdayaan komunitas membantu
keluarga.

2.3.2.4 Fase Resolusi


Pada fase akhir pendekatan konsepsual model interpersonal
Peplau dikenal dengan fase resolusi yang akan menguraikan
evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan generalis dan
spesialis. Fase resolusi akan diuraikan sebagai berikut. Fase
resolusi adalah fase keempat atau akhir dalam hubungan P-K.
Peplau menyimpulkan klien akan secara mandiri mengulang
semua kemampuannya yang telah dimilikinya. Terkait fase ini,
klien skizofrenia dengan halusinasi akan mengulang
kemampuan-kemampuan dalam mengontrol halusiansi secara
efektif dan mandiri, jika tidak maka klien akan terus
dimotivasi dan dilatih kemampuannya kembali sebagai sebuah
resolusi (problem solving).

2.4 Manajemen Pelayanan Keperawatan Ruangan


Manajemen pelayanan keperawatan ruangan ini, akan diuraikan pendekatan
MPKP jiwa berdasarkan pilar satu sampai empat. Pengkajian yang
dilaksanakan pada ruangan Utari hanya difokuskan padakepala ruangan dan
katim 2. Pengkajian ulang dilakukan karena pada periode sebelumnya kepela
ruangan Utari adalah sebagai ketua tim 1pada ruang Utari sehingga pada
evaluasi penilaian kinerja kegiatan pada umumnya sudah membudaya,
demikian juga pengkajian pada ketua tim 2 hanya difokuskan pada pilar-pilra
yang belum teridentifikasi hasil evaluasi penilain kinerja karena ketua tim 2
saat ini, adalah perawat pelaksana pada ruangan lain (hasil pengkajian akan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


37
 

disajikan pada bab berikutnya. Adapun fokus pengkajian pada pilar I-IV
sebagai berikut :
2.4.1 Pengkajian Pilar MPKP Ruangan
Pengkajian kepala ruangan menurut pilar MPKP terdiri dari variabel
data pengkajian ini diuraikan sebagai berikut:
2.4.1.1 Kepala Ruangan Utari
Berdasarkan komponen pada pilar dan hasil pengkajian pada
kepala ruangan Utari maka komponen pada pilar I sampai 4
hanya dilakukan pada sub komponen yang belum
teridentifikasi selama pelaksanaan kegiatan MPKP jiwa
sebelum. Adapun komponen yang diidentifikasi lagi adalah
Adapun data yang dikaji adalah :1)Pilar I Management
Approach. Kegiatan perencanaan meliputi visi, misi, filosofi
dan rencana tahunan Kegiatan pengorganisasian meliputi
struktur organisasi, jadual dinas. Kegiatan pengarahan
meliputi operan Kegiatan pengendalian meliputi indikator
mutu, audit dokumentasi keperawatan, survey kepuasan dan
survey masalah keperawatan. 2) Pada Pilar II Compensatory
Reward meliputi penilaian kinerja dan pengembangan staf. 3)
Pada Pilar III Professional Relationship meliputi rapat
keperawatan, konferensi kasus dan rapat tim
kesehatan.4)Pada Pilar IV Patient Care Delivery meliputi
tentang asuhan keperawatan yang ada di ruangan tersebut
beserta penerapan SAK dan pemberian pendidikan kesehatan.
Khusus pada laporan karya ilmiah ini penulis memfokuskan
pada pelaksaanaan pemberian asuhan keperawatan klien
halusinasi.

2.4.1.2 Ketua Tim 2 Ruang Utari


Adapun data yang dikaji adalah :1) Pilar I Manajemen
Approach. Kegiatan perencanaan meliputi rencana jangka
pendek. Kegiatan pengorganisasian meliputi jadual dinas dan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


38
 

daftar pasien. Kegiatan pengarahan meliputi pre conference,


post conference, iklim motivasi, pendelegasian dan supervisi.
2) Pada Pilar II Compensatory Reward meliputi penilaian
kinerja. 3) Pada Pilar III Professional Relationship meliputi
konferensi kasus dan visit dokter. 4) Pada Pilar IV Patient
Care Delivery meliputi asuhan keperawatan yang ada di
ruangan tersebut beserta penerapan SAK dan pemberian
pendidikan kesehatan.

2.4.2 Perencanaan MPKP Ruangan


Berdasarkan hasil pengkajian dan kesepakatan bersama ruangan,
kemudian disusun perencanaan kegiatan sesuai pilar-pilar MPKP.
Kegiatan pembudayaan dalam bentuk supervisi insidentil dilakukan
pada kemampuan yang sudah lulus berdasarkan nilai evaluasi diri.
Demikian juga ketua tim 1dan 2 serta perawat pelaksana. Kegiatan
supervisi insidentil ini dilakukan agar pada pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatan yang telah penulis rencanakan dapat dicapai
melalui kegiatan menajemen pelayanan ruangan. Menurut Akemat dan
Keliat, (2010), tujuan kegiatan ini adalah sustainability kemampuan
kepala ruang, ketua tim dan perawat pelaksana. Kegiatan supervisi
insidentil pada pelaksanaan pilar-pilar MPKP difokuskan pada
pelaksanaan pilar IV pemberian sistem asuhan keperawatan yang
dilakukan dengan frekuensi yang bervariasi dengan melihat urgency
kegiatan.

2.4.3 Pelaksanaaan MPKP Ruangan Utari


Mekanisme pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan ruangan
dilakukan secara bersamaan dengan manajemen asuhan keperawatan.
Mekanisme pelaksanaan dalam manajemen pelayanan keperawatan di
ruang Utari (kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana) Dalam
manajemen asuhan keperawatan penulis akan mengimplementasikan
terapi keperawatan spesialis CBT pada klien skizofrenia dengan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


39
 

halusinasi sedangkan dalam manajemen pelayanan keperawatan


penulis akan bekerjasama dengan supervisor ruangan, perawat
ruangan Utari, mahasiswa S2 Keperawatan, mahasiswa profesi S1
Keperawatan dan mahasiswa praktik DIII Keperawatan yang sedang
berpraktik melaksanakan keperawatan jiwa di ruang Utari.
Pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan akan diintergrasikan
dengan manajemen asuhan keperawatan setelah melalui kesepakatan
dengan ruangan Utari. Pada pelaksanaan manajemen pelayanan
keperawatan secara khusus pada pilar IV (patient care delivery) yaitu
pemberian asuhan keperawatan sehingga manajemen asuhan
keperawatan yang penulis rencanakan akan terintegrasi juga dengan
manajemen pelayanan keperawatan ruangan di Ruang Utari
khususnya pada pelaksanaan asuhan keperawatan yaitu terapi
generalis pada klien halusinasi dalam bentuk supervisi insidentil,
terkecuali mahasiswa praktik S2 keperawatan yang akan bekerja sama
dengan penulis mengaplikasikan terapi CBT pada klien halusinasi.

2.4.4 Evaluasi MPKP Ruangan


Evaluasi hasil pelaksanaan kegiatan pengembangan MPKP dilakukan
untuk mengetahui pencapaian kemampuan kepala ruangan, ketua tim
serta perawat pelaksana dalam melaksanakan pilar-pilar MPKP
setelah dilakukan supervisi insidentil. Evaluasi kemampuan semua
perawat diruang utari akan dilaksanakan berdasarkan empat pilar
pengkajian

2.5 Kerangka Konsepsual Model Interpersonal Peplau dan Model Stres


Adaptasi Stuart
Kerangka aplikasi berdasarkan konsepsual model interpersonal Peplau dan
model stres adaptasi pada klien skizofrenia dengan halusinasi terintegrasi
melalui input, proses dan output. Input yang dimaksud dalam kerangka
konsep ini adalah fase orientasi. Pada fase orientasi perawat dalam perannya
sebagai orang yang asing bagi klien halusinasi mulai membangun hubungan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


40
 

saling percaya dengan klien. Fase orientasi ini kegiatan perawat yang alain
adalah menyiapkan instrumen pengkajian meliputi strategi pelaksanaan (SP)
generalis dan spesialis, format pengkajian stres adaptasi Stuart dan Laraia,
format atau instrumen untuk mengukur halusinasi, leaflet, lembar balik, buku
kerja CBT untuk perawat dan klien.

Setelah hubungan saling percaya terbina perawat akan melanjutkan ke fase


selanjutnya yaitu fase identifikasi perawat melakukan peran yang lain sebagai
sumber informasi bagi klien skizofrenia dengan halusinasi (resource),
dimana pada fase ini perawat mulai melakukan pengkajian sebagai tahap
awal dalam proses keperawatan untuk mengumpulkan data-data yang terkait
dengan faktor predisposisi dan presipitasi penyebab halusinasi terkait data
biologi, psikologis dan sosial budaya klien halusinasi, menjelaskan rangkaian
kegiatan perawat terkaityang akan mengkaji sumber stressor baik kognitif,
fisiologis,perilaku dan kemampuan klien mengatasi masalah halusinasi yang
sedang dialami. Adapun peran perawat pada fase ini adalah sebagai seorang
konselor, pemimpin dan wali bagi klien skizofrenia dengan halusinasi. Masih
pada fase eksploitasi perawat akan merumuskan diagnosa keperawatan,
membuat rencana tindakan keperawatan yang akan diimplementasikan terapi
generalis dan spesialis pada klien skizofrenia dengan halusinasi.

Output pada kerangka teori ini adalah fase resolusi adalah mengevaluasi
intervensi generalis dan terapi spesialis termasuk kemampuan klien
skizofrenia dengan halusinasi setelah diintervensi yang belummaksimal akan
di resolusi kembali mulai dari fase identifikasi dan setrusnya. Bagan 2.2 akan
menjelaskan hubungan perawat klien menurut Peplau

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012Universitas Indonesia


41
 

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir Aplikasi Model Interpesonal Peplau

  INPUT PROSES OUTPUT

MANAJEMEN ASUHAN PENGKAJIAN : Klien GSP IMPLEMENTASI EVALUASI KEP.


PENGKAJIAN
KEPERAWATAN
halusinasi KEPERAWATAN
• Perawat Ruang Utari
• Mhs S2 Kep/Residensi 3
• Mhs Praktik/profesi Terapi Keperawatan :
MODEL STRES ADAPTASI
STUART ( Stuart & Laraia) : GENERALIS : • Kemampuan Keluarga
1. Faktor Presdiposisi Kelompok (TAKS P:Halusinasi, Merawat Klien Halusinasi
2. Faktor Presipitasi Keluarga • Kemampuan Klien Mengontrol
3. Penilaian Stressor halusinasi
4. Mekanisme Koping SPESIALIS
5. Sumber Koping (individu)
Kemampuan Klien Halusinasi
Mengontrol halusinasi (pikiran
CBT : dan perilaku negatif) :
PERENCANAAN :
( SESI 1-4)
1.Diagnosa Keperawatan • Efektif
2.Rencana Tindakan Kep. • Tidak efektif

MODEL INTERPERSONAL FASE ORIENTASI FASE FASE FASE


PEPLAU IDENTIFIKASI EKSPLOITASI RESOLUSI
(Hildegard Peplau)
(Role of stranger) (Role of counselor, role of resource person, role of leadership, role of
surogate) (Role of counselor

PILAR MPKP jiwa:


MANAJEMEN PELAYANAN • PILAR I : Management Approach (
KEPERAWATAN : Planning,Organizing, Actuating,
( 4 PILAR MPKP JIWA) : Controling
Ka. Ruang Utari • PILAR II : Compensatory Reward
Ketua Tim1& 2 • PILAR III : Professional Relationship PILAR IV MPKP jiwa: Kemampuan Manajemen Ruang Utari
Perawat Pelaksana Tim1,2 • PILAR IV : Patient Care Delivery Patient Care Delivery (Gangguan ( PILAR IV) : GSP Halusinasi
Sensori Persespi : Halusinasi) • Kepala Raung
• Ketua Tim 1 & 2
• Perawat Pelaksana Tim 1 & 2

41
Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012

Universitas Indonesia
 

BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR

Profil lahan praktek keperawatan jiwa pada awal bab tiga ini akan menguraikan
secara umum profil RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor dan profil bidang keperawatan
serta secara khusus akan diuraikan Manajemen Praktik Pelayanan Profesional
(MPKP) ruang Utari di ruang Utari dengan menggunakan pendekatan model
interpersonal Peplau.

3.1 Profil RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


Profil RS Dr. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor secara umum akan dijabarkan
sejarah singkat rumah sakit, struktur organisasi, visi misi, jenis pelayanan,
fasilitas pelayanan
3.1.1 Sejarah Singkat RS. Dr. Marzoeki Mahdi Bogor
RSMM mempunyai riwayat terpanjang dalam sejarah Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) di Indonesia. Proses pendiriannya dimulai dengan sensus
pada tahun 1862. Proses pendiriannya, dimulai dengan menunjuk dua
orang ahli, yakni Dr FH Bauer, psikiater yang memimpin suatu RSJ di
Belanda dan Dr WM Smith, dokter Angkatan Laut Belanda yang
mempunyai pengalaman panjang menghadapi kasus-kasus psikiatrik
di Indonesia. Sebelum mendirikan RSJ di Indonesia, kedua dokter itu
mempelajari Rumah Sakit Jiwa di berbagai negara yaitu Belanda,
Belgia, Jerman, Inggris dan Perancis. Berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan psikiatri saat itu, maka berkembang pula wacana
mengenai cara perawatan bagi penderita gangguan jiwa. Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa Bogor secara resmi pada
tanggal 1 Juli 1882. RSJ Bogor ini dikhususkan untuk merawat
pegawai Hindia Belanda yang mengalami gangguan jiwa dan
diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Kustodial (tahanan).

42
Universitas Indonesia
 
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
43
 

Sebelum ada RSJ, maka pasien yang mengalami gangguan jiwa


dirawat di Rumah Sakit Umum atau Tentara, juga dipenjara dan
kantor polisi. Mereka dikurung dan diasingkan. Fasilitas
perawatannya dilengkapi jeruji besi disetiap bangsal dengan pintu besi
yang kuat. Penampungan seperti itu terdapat di RS Cina di Batavia,
Semarang, dan Surabaya.

RSJ pertama yang dibangun Pemerintah Belanda adalah RSJ Bogor.


Dokter pribumi pertama yang menjadi direktur Rumah Sakit itu
adalah dr Marzoeki Mahdi (1946-1950). Pada masa penjajahan
Jepang, sebagian bangunan RSJ Bogor dipakai untuk penampungan
tentara Jepang dan sebagian lain untuk karantina penyakit menular.
Pemerintah Belanda kemudian juga membangun rumah sakit serupa di
Lawang, Magelang, dan Sabang. RSJ Sabang ditutup pada zaman
Jepang dan pasiennya dialihkan ke Lawang dan Bogor.

Konsep RSJ yang dibangun Belanda adalah koloni, karena adanya


pendapat bahwa sekali masuk RSJ, tidak akan pernah keluar lagi,
sehingga dipersiapkan lahan yang luas. RSJ Lawang, memiliki lahan
seluas 250 hektar dan RSJ Bogor memiliki lahan seluas 117 hektar.
Hal ini diperuntukkan supaya pasien dapat beraktivitas di kompleks
RSJ. Alur perkembangan ilmu psikiatri telah diketahui bahwa
sepertiga dari pasien gangguan jiwa bisa sembuh total, sepertiga
lainnya harus bolak-balik ke Rumah Sakit dan sepertiga lainnya sulit
disembuhkan karena sudah sangat parah.

Rumah sakit jiwa Bogor menapaki babakan baru pada akhir tahun
1990-an. Pada tahun 1998, rumah sakit itu bekerja sama dengan
sebuah yayasan untuk merawat para pecandu NAPZA. Kerja sama itu
berakhir pada tahun 2000 karena terjadi ketidaksesuaian metode dan
konsep dalam cara perawatan, penyembuhan, dan pemulihan.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
44
 

3.1.2 Struktur Organisasi RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


Struktur organisasi RSMM berdasarkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 255/Menkes/Per/III/2008 Tanggal 11 Maret
2008. Struktur tersebut terdiri dari Direktur Utama yang membawahi 3
Direktorat yaitu Medik dan Keperawatan, SDM dan Pendidikan,
Keuangan dan Administrasi Umum.

Direktorat Medik dan Keperawatan membawahi bidang medik, bidang


keperawatan. Bidang medik terdiri dari dua seksi yaitu pelayanan
medik dan pelayanan penunjang medik. Bidang keperawatan
mempunyai dua seksi yaitu pelayanan keperawatan rawat jalan dan
pelayanan rawat inap.

Direktorat SDM dan Pendidikan membawahi dua bagian yaitu SDM,


serta Pendidikan dan Penelitian. Bagian SDM memiliki dua subbagian
yaitu administrasi kepegawaian dan pengembangan SDM. Bagian
Pendidikan dan Penelitian memiliki dua subbagian yaitu pendidikan
dan penelitian tenaga medis, pendidikan dan penelitian tenaga
keperawatan serta non medis.

Direktorat Keuangan dan Administrasi Umum membawahi dua bagian


yaitu keuangan dan administrasi umum. Bidang Keuangan
mempunyai tiga subbagian yaitu program dan anggaran,
perbendaharaan dan akuntansi, mobilisasi dana. Bidang Administrasi
Umum mempunyai tiga subbagian yaitu tata usaha dan pelaporan,
rumah tangga dan perlengkapan, hukum dan organisasi serta
hubungan masyarakat. Masing-masing direktorat membawahi instalasi
terkait dan kelompok jabatan fungsional.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
45
 

3.1.3 Visi dan Misi RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor memiliki visi dan misi terkait
pelayanan di rumah sakit akan diuraikan sebagai berikut.
3.1.3.1 Visi RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor
RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor mempunyai visi yaitu
terwujudnya Rumah Sakit mandiri melalui profesionalisme dan
pelayanan yang bermutu dengan mengutamakan kepuasan
pelangan dan terjangkau oleh rakyat miskin.

3.1.3.2 Misi RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


Misi RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor dijabarkan sebagai berikut :
1. Melaksanakan pelayanan dengan unggulan kesehatan jiwa
dan NAPZA
2. Memberdayakan seluruh potensi yang ada di Rumah Sakit
3. Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pusat
rujukan nasional
4. Mengembangkan pendidikan kesehatan dan penelitian serta
kemitraan yang seluas-luasnya.
5. Mencapai kesejahteraan bersama.

3.1.4 Indikator Mutu RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


RSMM Bogor mempunyai 484 tempat tidur untuk rawat inap psikiatri
dan 138 tempat tidur untuk rawat inap umum. RSMM Bogor ini telah
memiliki 14 rawat inap psikiatri, 3 rawat inap NAPZA dan 8 rawat
inap umum. Disamping itu di RSMM Bogor juga telah tersedia unit
rawat jalan psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, unit rawat jalan
spesialistik lain dan instalasi gawat darurat umum. Indikator
keberhasilan pelayanan kesehatan psikiatri di RSMM Bogor ini
menunjukkan sampai bulan Maret 2012 BOR sebesar 69,2 %, AvLOS
sebesar 10 hari dan TOI sebesar 8 hari

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
46
 

3.1.5 Jenis dan Fasilitas Pelayanan RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor saat ini memiliki pelayanan kesehatan
psikiatrik dan umum. Adapun jenis dan pelayanan tersebut akan
diuraikan sebagai berikut :
3.1.5.1 Jenis Pelayanan RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor
Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS Dr. Marzoeki
Mahdi Bogor meliputi :
1. Pelayanan kesehatan jiwa terdiri pelayanan gawat darurat
psikiatri, pelayanan rawat jalan psikiatri, pelayanan rawat
inap psikiatri
2. Pelayanan kesehatan jiwa
3. Pelayanan NAPZA: Rawat Jalan, Rawat Jalan Spesialistik,
Detoksifikasi, Rawap Inap, Gawat Darurat.
4. Pelayanan umum
5. Pelayanan Penunjang
6. Pelayanan Hotline Service

3.1.5.2 Fasilitas Pelayanan RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


Fasilitas pelayanan yang tersedia di RS Dr.Marzoeki Mahdi
Bogor meliputi :
1. Pelayanan Rawat Jalan Spesialistik, tediri dari :
a. Poliklinik Psikiatri : Dewasa, lanjut usia dan anak
b. Poliklinik neurologi
c. Poliklinik penyakit dalam
d. Poliklinik Penyakit Anak
e. Poliklinik Psikologi
f. Poliklinik Kebidanan
g. Poliklinik THT
h. Poliklinik Kulit dan Kelamin
i. Poliklinik Rehabilitasi medik
2. Pelayanan Gawat Darurat, terdiri dari :
a. Pelayanan gawat darurat umum dan psikiatri

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
47
 

b. Pelayanan 24 jam
c. Penanggulangan pasien gawat darurat psikiatri di jam
kerja dan di luar jam kerja
3. Pelayanan Rawat Inap, terdiri dari :
a. Psikiatri
1) Akut : Ruang Kresna
2) Intermediate : Ruang Gatot kaca, Utari, Arimbi
3) Tenang : Ruang Utari , Nakula, Yudistira, Dewi
Amba, Drupadi
4) Anak/Remaja dan Mental Organik : Ruang
Abimanyu
5) Psikogeriatrik : Ruang Saraswati
6) MPKP : Ruang Srikandi, Kresna dan Sadewa
7) Akut Fisik Psikiatrik : Ruang Subadra
b. Penyakit Fisik
1) Ruang Arjuna
2) Ruang Bisma
3) Ruang Dewi Kunti
4) Ruang Parikesit
5) Ruang ICU
c. NAPZA
1) Rama I, II, III, IV, V
2) Shinta
3) Detoksifikasi/Lesmana
4. Pelayanan Penunjang
a. Laboratorium
b. Elektromedik : EEG, Brain Mapping, USG, Endoscopy,
Doppler
c. Gizi : konsultasi gizi
d. IPAL : Pengolahan limbah modern
e. Diklat kesehatan jiwa dan NAPZA
f. Rehabilitas pasien gangguan jiwa

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
48
 

g. Kesehatan jiwa masyarakat.


5. Pelayanan Hotline Service

3.1.6 Manajemen Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) di


Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor
Rumah Sakit Mrazoeki Mahdi Bogor merupakan salah satu rumah
sakit yang telah menerapkan manajemen Model Praktik Keperawatan
Profesional (MPKP). Rumah Sakit Marzoeki Mahdi ini sudah
mengembangkan MPKP diruang pelayanan psikiatri yaitu ruang
Srikandi tahun 2000 dan Sadewa tahun 2003, kemudian diruang akut
Kresna tahun 2006. Rumah Sakit ini telah mempunyai rencana
strategis bahwa pendekatan MPKP merupakan salah satu indikator
mutu untuk pelayanan di ruang rawat inap. Pada tahun 2015 seluruh
ruangan akan menjadi ruang Model Praktik Keperawatan Profesional.
3.1.6.1 Manajemen Keperawatan
Gambaran manajemen keperawatan di Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor berdasarkan pada kemampuan manajemen
praktik keperawatan profesional yaitu :
1. Perencanaan
Perumusan visi dan misi keperawatan, dilakukan oleh
bidang keperawatan dengan melakukan suatu rapat dengan
seluruh komponen keperawatan dan kemudian
disosialisasikan kepada seluruh perawat yang ada
diruangan. Perencanaan strategis keperawatan ditujukan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
dengan pembuatan suatu rencana strategis (renstra) tahunan
yang disetujui oleh direktur utama rumah sakit, misalnya
perencanaan penyesuain jumlah sumber daya manusia
(SDM) keperawatansecara bertahap setiap tahun.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
49
 

2. Pengorganisasian
Gambaran ruangan keperawatan Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor dapat terlihat pada struktur organisasi bidang
keperawatan. Bidang keperawatan merupakan unit
pengelolaan keperawatan dalam bidang sumber daya
manusia (SDM) keperawatan, mutu dan etika keperawatan
serta pelaksanaan asuhan keperawatan. Kepala bidang
keperawatan dibantu oleh kepala seksi keperawatan.
Metode pelayanan keperawatan menggunakan metode tim.
Seluruh ruang perawatan terdapat terdapat kepala ruang
yang dibantu oleh ketua tim yang dipilih oleh bidang
keperawatan.

Pemenuhan ketenagaan dilahan atau diruangan perawatan


melalui mekanisme rekrutmen dan seleksi pegawai baru
setiap tahun sekali. Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor
dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM) perawat, maka setiap perawat diberi kesempatan
untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
secara bergiliran. Untuk S1 keperawatan di alokasikan 5
orang pertahun, dan untuk S2 Keperawatan dialokasikan 2
orang setiap periode.

3. Pengarahan
Kegiatan supervisi dilakukan oleh seluruh elemen perawat
mulai dari kepala bidang, kepala seksi, kepala ruang sampai
dengan ketua tim terhadap kinerja yang dilakukan oleh
bawahan secara langsung maupun tidak langsung. Saat ini
kegiatan supervisi secara rutin dilakukan oleh tim
pengembang Model Praktik Keperawatan Profesional
(MPKP) Rumah Sakit Marzoeki Mahdi yang terdiri dari 12
orang.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
50
 

4. Pengendalian
Kegiatan audit dokumentasi dilakukan oleh kepala ruang
yang hasil akhirnya direkapitulasi oleh bagian diklat Rumah
Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Penggunaan sistem
komputerisasi dalam keperawatan belum tersosialisasi,
komputer masih digunakan hanya untuk kegiatan
administratif dan manajemen sistem informasi yang
digunakan masih secara manual.

3.1.6.2 Kebijakan Direktur Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor


Direktur Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan
bahwa kebijakan yang ada di rumah sakit sangat mendukung
program praktik keperawatan jiwa profesional untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit khususnya
pelayanan keperawatan. Pengembangan MPKP di rumah sakit
Marzoeki Mahdi di mulai di unit pelayanan psikiatri yaitu ruang
Srikandi tahun 2000 dan Sadewa tahun 2003 dan tahun 2006
telah dikembangkan di ruang akut yaitu Kresna. Fakultas Ilmu
Keperawatan melalui praktek spesialis keperawatan jiwa bekerja
sama dengan rumah sakit Marzoeki Mahdi sampai saat ini telah
mengambangkan MPKP di 14 ruang di unit psikiatri. Namun
empat belas ruangan yang telah dikembangkan tersebut belum
secara optimal melaksanakan pilar-pilar MPKP sehingga masih
perlu kegiatan pendampingan dan supervisi.

Sebagai Rumah Sakit dengan ciri khusus mengutamakan


kesehatan jiwa, RSMM mengembangkan pelayanan bukan
hanya khusus unit psikiatrik namun berkembang dengan
membuka unit umum untuk dewasa yaitu ruang Antasena,
Bisma, dan Arjuna; ruang kebidanan yaitu Dewi Kunti; ruang
intensive care unit yaitu Perina dan ICU, ruang Gayatri serta
ruang pelayanan anak yaitu Parikesit. Sampai saat ini sudah

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
51
 

tujuh ruangan umum telah dikembangkan dengan pendekatan


MPKP yaitu ruang Antasena, Bisma, Arjuna, Gayatri, Dewi
Kunti, dan Parikesit serta ruang Subadra untuk pelayanan
gangguan fisiknya.

Kebijakan yang ada terkait dengan program Model Pelayanan


Keperawatan Profesional (MPKP) yaitu merencanakan Model
Pelayanan Keperawatan Profsional (MPKP) menjadi salah satu
indikator mutu, diawali untuk pelayanan rawat inap, sehingga
diperlukan adanya program-program pengembangan untuk
meningkatkan mutu pelayanan diruang rawat inap, diantaranya
adalah penyedian fasilitas rawat inap VIP psikiatri. Ini
merupakan salah satu upaya dalam mempersiapkan Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor untuk mencapai pelayanan keperawatan
jiwa yang profesional.

3.2 Profil Bidang Keperawatan RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor


3.2.1 Struktur Bidang Keperawatan
Struktur bidang keperawatan didasarkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 255/Menkes/Per/III/2008 Tanggal 11 Maret
2008 dimana Struktur tersebut terdiri dari Direktur Utama yang
membawahi 3 Direktorat yaitu Medik dan Keperawatan, SDM dan
Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. Struktur dibidang
keperawatan RSMM dikepalai oleh seorang Kepala Bidang
Keperawatan dan membawahi 4 Kepala Seksi. Setiap Kepala Seksi
mempunyai seorang supervisor.

Kepala Seksi I membawahi 5 unit pelayanan yaitu rawat jalan


psikiatri, rawat jalan spesialis, IGD, Elektromedik, dan Kamar Bedah.
Kepala Seksi II membawahi 12 ruang rawat psikiatri yaitu Kresna,
Gatot Kaca, Sadewa, Antareja, Utari , Yudistira, Srikandi, Dewi

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
52
 

Amba, Arimbi, Saraswati, Utari dan Drupadi. Kepala Seksi III


membawahi 4 ruang rawat yaitu unit NAPZA (Rama, Shinta,
Lesmana), Subadra, Abimanyu. Kepala Seksi IV membawahi 2 unit
pelayanan yaitu Rehabilitasi dan Kesehatan Jiwa Masyarakat (KJM)
dan 5 ruang rawat umum yaitu Arjuna, Bisma, Antasena, Parikesit,
Dewi Kunti, Perinatologi.

3.2.2 Sumber Daya Manusia Bidang Keperawatan


Sumber daya manusia yang mendukung dalam pencapaian kinerja
bidang perawatan pada tahun 2012 berdasarkan unit pelayanan dan
pendidikan sumber daya manusia (perawat dan bidan) terdiri dari :
1. Unit Pelayanan :
Jumlah total tenaga keperawatan dan bidan tahun 2012
a. Bidang keperawatan : 9 orang
b. Rawat jalan spesialis : 73 orang
c. Rawat inap psikiatri : 209 orang
d. Rawat inap umum : 142 orang
e. Rawat inap napza : 37 orang

2. Latar Belakang Pendidikan


a. SPK/SPRB : 13 orang
b. DIII Keperawatan : 423 orang
c. S1 Keperawatan : 33 orang
d. S2/Spesialis Kep : 2 orang

3.2.3 Kebijakan Bidang Keperawatan


Berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh direktur bahwa
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) pada seluruh ruang
rawat pada tahun 2015. Hasil wawancara untuk kegiatan pengarahan,
akan dilakukan kembali pertemuan rutin perawat seluruh ruangan
(kepala ruangan dan ketua tim) untuk mengetahui sejauh mana
pelaksanaan pelayanan keperawatan dan kendala yang dihadapi

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
53
 

diruang perawatan, sehingga menjadi bahan masukan bagi rencana


pengembangan sumber daya manusia (SDM) maupun sarana dan
prasarana dalam mempersiapkan Model Praktik Keperawatan
Profesional (MPKP) pada tahun 2015. Kegiatan praktik oleh
mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan
(FIK) Universitas Indonesia juga merupakan salah satu upaya
mempersiapkan Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor terutama
ruangan tempat melaksanakan praktik residensi dalam menerapkan
Model Praktik Keperawatan Profesional

3.3 Manajemen Pelayanan Keperawatan di Ruangan Utari


Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menggunakan pendekatan teori
Model Interpersonal oleh Peplau sebagai pendekatan dalam melakukan
kegiatan manajemen pelayanan keperawatan ruangan pada klien halusinasi
dilaksanakan diruang Utari secara sistematis dan berkesinambungan.
3.3.1 Fase Identifikasi
Berikut ini akan dijelaskan sekilas kegiatan manajemen pelayanan
keperawatan di Ruang Utari periode Februari sampai dengan April
2012. Pada pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan ruangan
penulis melanjutkan kegiatan manajemen pelayanan yang telah
dilaksanakan oleh peserta residensi 1 dan 2 pada periode sebelumnya.
Pada hasil pengkajian awal, penulis menyimpulkan bahwa peningkatan
kegiatan manajemen pelayanan pada pilar satu sampai empat di Ruang
Utari hasilnya hanya mengacu pada kepala ruangan yang sebelumnya
adalah ketua tim1 di Ruang Utari pada periode residensi 1 dan 2 serta
ketua tim 1 yang sebelumnya ketua tim 1 pada ruangan lain. Sedangkan
ketua tim 2 adalah perawat pelaksana pada ruangan lain. Hal ini tidak
berlaku pada perawat pelaksana baik pada tim 1 dan tim 2. Kondisi ini
terjadi karena ada rotasi dan pengembangan oleh bidang keperawatan
yang diberlakukan mulai awal Februari 2012. Dapat disimpulkan
bahwa di Ruang Utari ada kegiatan pada keempat pilar MPKP jiwa
yang belum teridentifikasi dan akan ada kegiatan MPKP jiwa yang

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
54
 

dilaksanakan oleh penulis Berikutnya penulis akan menguraikan


kegiatan manajemen asuhan keperawatan pada ruangan Utari RS
Dr.Marzoeki Mahdi Bogor.
3.3.1.1 Profil Ruangan Utari
Profil ruangan Utari terkait kegiatan manajemen ruangan Utari
secara umum berdasarkan pendekatan MPKP. Ruang Utari
merupakan ruang perawatan intermediate kelas III wanita yang
melayani pasien umum. Fasilitas pelayanan yang tersedia
diantaranya adalah kantor perawatan, ruang diskusi dan ruang
TAK yang merangkap ruang makan, ruang perawatan pasien
dengan kapasitas 40 tempat tidur, kantor perawat, taman, kamar
mandi, tempat cuci piring dan gudang. Tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab atas pemberian pelayanan di Ruang Utari
adalah 13 orang perawat (13 orang pendidikan D3
Keperawatan), 1 orang pramu husada, 1 orang psikiater dan 1
orang dokter umum. Mayoritas perawat berusia antara 20-30
yakni 10 orang, 30 – 40 tahun yakni 3 orang dan berusia 41-55
tahun ada 2 orang. Indikator mutu pelayanan di Ruang Utari
pada bulan Februari 2012 yaitu BOR adalah 76,5 %, AVLOS
20,4 hari dan TOI sebesar 15 hari, sedangkan angka
pengekangan, lari dan scabies 0%.

Ruang Utari adalah ruang MPKP, namun manajemen


keperawatan dengan pendekatan manajemen MPKP sudah
dimulai sejak ruangan ini digunakan sebagai lahan praktik
mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI. Tahap pertama
pada tanggal 12 September - 4 Oktober 2006 yaitu pada saat
praktek aplikasi keperawatan jiwa I, menggunakan metode
wawancara dan observasi dan ruang Utari tetap menjadi
ruangan praktek bagi mahasiswa residensi keperawatan jiwa
sampai sekarang. Pada tahap ini residen akan melaksanakan
praktik keperawatan jiwa profesional dengan pendekatan

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
55
 

MPKP dalam manajemen pelayanan dan manajemen kasus


dengan menerapkan terapi spesialis, serta melakukan kolaborasi
dengan tim kesehatan lainnya.

3.3.1.2 Pengkajian Manajemen Pelayanan Keperawatan Ruang


Utari
Hasil pengkajian manajemen pelayanan keperawatan ruang
Utari terkait kegiatan MPKP jiwa oleh kepala ruangan, ketua
tim dan perawat pelaksana.
1. Kepala Ruangan (Karu)
Hasil pengkajian manajemen pelayanan keperawatan
ruangan Utari (Karu), hasil pengkajian nilai evaluasi diri
dan evaluasi kinerja (EK) pada bulan September 2011 dan
Februari 2012 pada kepala ruangan dan ketua tim I dan II.
Dari 30 kegiatan yang dibudayakan ada satu kegiatan
belum dapat dilaksanakan atau belum terobservasi selama
mahasiswa praktek residensi 3, yaitu kegiatan case
conference. Tapi bila dilihat kemampuan berdasarkan nilai
SE kelima kegiatan tersebut telah lulus.Dengan adanya
fakta tersebut maka kemampuan akhir yang dicapai oleh
kepala ruang adalah 29 kegiatan lulus dengan nilai >75.
Berdasarkan data tersebut diatas menunjukkan bahwa Karu
Utari saat ini adalah Katim II pada ruangan yang sama
sebelum periode bulan Februari 2012, sehingga didapatkan
dua nilai SE yaitu semasa Katim II dan Karu Utari saat ini.
Didasarkan pada nilai EK semasa Katim II dari 29
kemampuan sebagai Katim semuanya dinyatakan telah lulus.
Sedangkan 13 kemampuan lainnya adalah kemampuan
sebagai Karu didapatkan nilai SE > 75 dan dinyatakan lulus.
Dari 13 kemampuan baru sebagai Karu pada tabel 3.1 di atas, 10
kemampuan diantaranya didapatkan pada pilar I pendekatan
manajemen yaitu pada fungsi perencanaan (4 kemampuan),

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
56
 

pengorganisasian dan pengarahan (1 kemampuan), serta pada


fungsi pengendalian (4 kemampuan).

3. Ketua Tim (Katim)


Kemampuan ketua tim dalam manajemen MPKP yang
menguraikan 18 kemampuan sebagai ketua tim yang
tersebar dari Pilar I – IV kecuali fungsi pengendalian. Dari
18 kegiatan yang dibudayakan, hasil supervisi insidentil
menunjukan bahwa ada peningkatan kegiatan pembudayaan
yang mencapai nilai lulus >75, ada satu yang masih belum
dapat diobervasi karena belum dapat terlaksana pada saat
praktek residensi 3 berlangsung, tapi bila dilihat
kemampuan berdasarkan nilai SE kelima kegiatan tersebut
telah lulus. Dengan adanya fakta tersebut maka kemampuan
akhir yang dicapai oleh kedua ketua tim adalah 17 kegiatan
lulus dengan nilai >75 dan satu kegiatan dengan nilai < 75
Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa hanya Katim I
yang memiliki nilai SE dan EK periode bulan Februari 2012,
sedangkan Katim II hanya memiliki nilai SE dan EK sebagai
PP pada ruangan lainnya yaitu ruangan Dewi Amba.
Didasarkan pada nilai EK dari 19 kemampuan yang dimiliki
oleh ketua tim I semuanya dinyatakan telah lulus. Sedangkan
nilai EK Katim II adalah kemampuan sebagai PP pada
ruangan Dewi Amba dan dinyatakan telah lulus.

4. Perawat Pelaksana (PP)


Kemampuan PP dalam pengembangan manejemen
pelayanan MPKP hanya terfokus pada pilar I pendekatan
manajemen pada fungsi perencanaan yaitu rencana harian
dan pilar IV sistem pemberian asuhan keperawatan untuk
tujuh diagnosa utama kemampuan rata-rata nilai EK yang
dimiliki PP ruangan Utari diatas nilai > 75. Dari 8 kegiatan

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
57
 

yang dibudayakan, hasil supervisi insidentil menunjukkan


bahwa satu kegiatan mengalami penurunan yaitu rencana
kegiatan harian, sehingga menjadi 7 kegiatan yang
mencapai tingkat sustainability dibuktikan dengan
pencapaian nilai lulus >75.

3.3.2 Fase Eksploitasi


Berikut ini dijabarkan tentang pelaksanaan praktik keperawatan jiwa
profesional pada periode III, dengan menggunakan pendekatan MPKP,
berdasarkan fungsi manajemen keperawatan di ruangan Utari:
Penatalaksanaan keperawatan masalah gangguan sensori persepsi
halusinasi di ruangan Utari, menggunakan pendekatan proses
keperawatan, mulai dengan kegiatan pengkajian tanda dan gejala pasien
dengan menggunakan format pengkajian keperawatan yang telah
tersedia diruangan, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan
berdasarkan standar asuhan keperawatan untuk masalah gangguan
sensori persepsi halusinasi yang telah tersedia di ruangan, implementasi
dan evaluasi yang dilanjutkan dengan pendokumentasian tindakan dan
kemampuan pasien dan keluarga pada catatan perkembangan pasien.

Penatalaksanaan masalah gangguan sensori persepsi halusinasi,


dilakukan secara individu, pada pasien dan keluarga; dan berkelompok
(pada kelompok pasien). Penatalaksanaan secara individu pada pasien,
diberikan oleh seluruh perawat ruangan, sesuai dengan pasien kelolaan.
Dari hasil observasi dan wawancara terhadap perawat ruangan,
didapatkan data bahwa perawat memberikan asuhan keperawatan pada
pasien berdasarkan masalah keperawatan pasien, dan standar asuhan
keperawatan yang telah dibakukan oleh RSMM. Demikian pula asuhan
keperawatan yang diberikan kepada keluarga, asuhan keperawatan yang
diberikan berupa intervensi individu tentang penanganan pasien
gangguan jiwa berdasarkan masalah keperawatan pasien.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
58
 

Penatalaksanaan masalah gangguan sensori persepsi halusinasi yang


diberikan secara berkelompok, baik pada pasien maupun keluarga,
telah dilakukan oleh semua perawat. Penatalaksanaan secara
berkelompok pada pasien dilaksanakan dalam bentuk terapi aktifitas
kelompok (TAK) stimulasi persepsi halusinasi, sesuai indikasi pasien,
tahapan kegiatan, dan kesinambungan kegiatan yang dilakukan.
Kegiatan ini hanya dilakukan pada shift pagi, saat mahasiswa praktik,
dan perawat ruangan berperan sebagai pembimbing. Penatalaksanaan
keluarga secara berkelompok dilakukan tiap triwulan bersama dengan
ruangan lain, sesuai dengan jadual pendidikan kesehatan (penkes) yang
telah ditetapkan oleh RSMM. Materi yang diberikan saat penkes, yaitu
gangguan jiwa secara umum.

3.1.3 Fase Resolusi


Kendala yang penulis alami dalam memfasilitasi pengembangan
manajemen MPKP di ruang Utari ini adalah karena kesibukan kepala
ruangan yang cukup tinggi, dimana pada pagi hari kepala ruangan juga
melaksanakan bimbingan kepada penulis D3 dan penulis S1
keperawatan yang praktik di ruang Utari. Pada siang hari kepala
ruangan disibukkan dengan kegiatan manajerial di ruangan terkait
dengan dokumentasi dan kegiatan manajerial sebagai kepala ruangan
seperti pembuatan laporan harian, penghitungan indikator mutu,
penghitungan survey kepuasan pasien dan keluarga dan lain-lain.
Kadang-kadang kegiatan rapat juga berlangsung sampai siang hari.
Dengan kesibukan yang cukup tinggi ini, maka terkadang pada siang
hari terkadang kepala ruangan sudah merasa lelah dan kurang motivasi
dan konsentrasi apabila dilakukan kegiatan diskusi terkait
pengembangan MPKP di ruang Utari.

Berdasarkan evaluasi pelaksanaan kegiatan MPKP di ruangan Utari,


penulis telah melakukan pertemuan berkala dengan Kepala Bidang
Keperawatan dan staf bidang keperawatan RSMM dan menyampaikan

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
59
 

hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan MPKP yang dilakukan setiap


minggu. Hasil pertemuan ini telah ditindaklanjuti pada minggu ketiga
bulan Maret, tetapi supervisor ruangan tidak dapat menghadari
pelaksanaan supervisi karena kondisi kesehatan yang terganggu sakit
dan harus menjalani proses operasi dan pemulihan setelah sakit. Untuk
kegiatan pengembangan MPKP selanjutnya, diharapkan pada
mahasiswa resdensi berikutnya dapat melanjutkan dan
mempertahankan proses pelaksanaan MPKP yang lebih dinamis
sehingga kegiatan MPKP dirasakan semakin membudaya dalam
meningkatkan profesionalisme perawat ruangan.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
60
 

BAB 4
PELAKSANAAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
DI RUANG UTARI RS Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR

Bab ini akan menguraikan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan yang


akan diuraikan hasil pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada klien
skizofrenia dengan halusinasi. Adapun manajemen asuhan keperawatan pada klien
skizofrenia dengan halusinasi menggunakan pendekatan konsepsual Model
Interpersonal Peplau yang terdiri dari fase orientasi, identifikasi, eksploitasi dan
resolusi. Konsepsual Model Interpersonal Peplau ini akan terintegrasi pada
pengkajian Model Stress dan Adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi,
faktor presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme koping.

Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan selama periode praktik Residensi III


yakni tanggal 20 Februari – 20 April 2012. Jumlah klien gangguan jiwa yang
dirawat selama periode Residensi III sebanyak 38 orang namun yang memiliki
masalah keperawatan utama gangguan sensori persepsi halusinasi sebanyak 27
orang di ruang Utari. Diagnosa keperawatan utama gangguan sensori persepsi
halusinasi bukan merupakan diagnosa utama pada pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatan, akan tetapi ada diagnosa yang menyertai diagnosa utama ini antara
lain harga diri rendah, isolasi sosial, resiko perilaku kekerasan dan defisit
perawatan diri.
4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Klien Skizofrenia Dengan
Halusinasi
Manajemen asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi
menggunakan pendekatan konsepsual model interpersonal Peplau dan
mengintegrasikan model stres adaptasi Stuart akan diuraikan selengkapnya
sebagai berikut.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
61
 

4.1.1 Hasil Pengkajian Berdasarkan Pendekatan Konsepsual Model


Interpersonal Peplau dan Model Stress Adaptasi Stuart
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data klien. Menurut
pendekatan konsep konsepsual model interpersonal Peplau, tahap
pengkajian mengacu pada mulainya hubungan perawat dan klien atau
disebut fase orientasi. Setelah fase orientasi, selanjutnya perawat
melangkah ke fase kedua yaitu fase identifikasi.

Jika pendekatan konseptual model interpersonal Peplau ini


diintegrasikan ke pengkajian model stress adaptasi Stuart maka
disitribusi karakteristik, faktor predisposisi dan presipitasi, penilaian
stressor, mekanisme koping dan sumber koping pada klien klien
skizofrenia dengan halusinasi termasuk dalam fase orientasi dan fase
identifikasi. Berikut ini akan disajikan hasil pengkajian berdasarkan
pendekatan Model Interpersonal Peplau dan pengkajian Model Stress
Adaptasi Stuart.

4.1.1.1 Fase Orientasi


Distribusi karakteristik klien skizofrenia dengan halusinasi
berdasarkan frekuensi hubungan terapeutik perawat klien di
ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor pada periode Februari
sampai dengan April 2012 akan disajikan tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Interaksi Perawat Klien Fase Orientasi
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012
(n=27)

No Frekuensi Interaksi Fase Orientasi n %

1. < 2 kali interaksi 20 74,1

2. 2 -3 kali interaksi 7 25,9

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
62
 

Data pada tabel 4.2 menunjukkan diketahuinya distribusi klien


skizofrenia dengan halusinasi berdasarkan frekuensi interaksi
perawat klien pada fase orientasi lebih banyak pada jumlah
interaksi yang dilakukan kurang dari 2 kali sebanyak 20 klien
atau sebesar 74,1%. Dapat disimpulkan bahwa pada fase
orientasi perawat dengan perannya sebagai orang asing bagi
klien (role of the stranger) membutuhkan lebih dari satu kali
interaksi dalam setiap pertemuan dengan klien skizofrenia
dengan halusinasi. Fase orientasi ini memberi arti bahwa
hubungan perawat-klien adalah hal yang terpenting untuk
melangkah ke fase selanjutnya yaitu fase identifikasi.

4.1.1.2 Fase Identifikasi


Fase identifikasi merupakan lanjutan dari fase orientasi dalam
konsepsual model interpersonal Peplau. Pada fase ini perawat
berperan sebagai sumber informasi (role of resource person)
bagi klien. Kegiatan perawat adalah melanjutkan pengkajian
pada klien dengan mengintergrasikan faktor predisposisi dan
presipitasi, penilaian stressor, mekanisme koping dan sumber
koping yang dikembangkan dalam bentuk scaning pengkajian
menurut model stres adaptasi Stuart. Berdasarkan pengkajian
terhadap 27 klien skizofrenia dengan halusinasi diperoleh data
sebagai berikut :
1. Karakteristik Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi di
ruang Utari
Karakteristik 27 klien skizofrenia dengan halusinasi di
ruang Utari akan dikelompokkan berdasarkan usia,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tingkat
kemandirian. Jenis kelamin tidak dikelompokkan karena
ruang Utari adalah ruang perawatan khusus wanita.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
63
 

Tabel 4.2
Distribusi Karaktersitik Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi
Berdasarkan Usia Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari –April 2012 (n=27)

Variabel Mean Median Standar Deviasi Min-Max

Usia 33, 19 31 14.71 17-56

Data pada tabel 4.2 menunjukkan diketahuinya distribusi


karakteristik klien skizofrenia dengan halusinasi
berdasarkan usia pada fase identifikasi didapatkan rerata
usia adalah 33,19 tahun dengan usia terendah 17 tahun dan
tertinggi 56 tahun. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata usia
klien skizofrenia dengan halusinasi yang sedang dirawat di
ruang Utari RS Dr. Marzoeki Mahdi digolongkan pada usia
dewasa menengah.

Selanjutnya pada tabel 4.3 akan disajikan distribusi


karakteristik klien skizofrenia dengan halusinasi
berdasarkan pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan
lama di rawat.

Tabel 4.3
Distribusi Pendidikan, Pekerjaan, Status Perkawinan dan Lama dirawat Klien
Skizofrenia Dengan Halusinasi Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Karakteristik Pendidikan, Pekerjaan, Status dan N %


Lama di Rawat
1 Pendidikan :
1.1 Rendah (SD/tak tamat) 7 25,9
1.2 Menengah (SMP) 11 40,7
1.3 Tinggi :
a. SMA 7 25,9
b. PT 2 7,4
2 Pekerjaan (tidak bekerja) 27 100
3 Status perkawinan:
a. Belum menikah 9 33,3
b. Menikah 10 37

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
64
 

No Karakteristik Pendidikan, Pekerjaan, Status dan N %


Lama di Rawat
c. Janda (cerai) 8 29,6
4. Lama di rawat
a. ≤ 1 bulan 1 3,7
b. 1 – 2 bulan 12 44,4
c. ≥ 2-3 bulan 14 31,9

Data pada tabel 4.3 menunjukkan diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi berdasarkan
karakteristik pendidikan lebih banyak pada pendidikan
menengah sebanyak 11 klien atau sebesar 40,7 %.
Karakteristik pekerjaan didapatkan 27 klien atau 100 %
semuanya tidak bekerja. Karakteristik status perkawinan
lebih banyak menikah sebanyak 10 klien atau sebesar 37 %
sedangkan status menikah atau pernah menikah tapi
kemudian cerai sebanyak 8 klien atau sebesar 29, 6 %.
Karakteristik lama dirawat lebih banyak pada ≥ 2-3 bulan
sebanyak 14 klien atau sebesar 31, 9 %.

Dapat disimpulkan bahwa distribusi karakteristik klien


skizofrenia dengan halusinasi lebih banyak berpendidikan
menengah, dirawat lebih dari dua sampai tiga bulan dan
telah menikah serta umumnya tidak memiliki pekerjaan
tetap setelah menderita gangguan jiwa setelah menjalani
proses perawatan di ruang Utari.

2. Faktor Predisposisi Terjadinya Masalah Pada Klien


Skizofrenia Dengan Halusinasi
Faktor predisposisi menurut model stress adaptasi Stuart
adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
sumber risiko yang dapat menyebabkan individu
mengalami stress. Faktor ini meliputi biologis, psikologis
dan sosial budaya. Faktor predisposisi terjadinya masalah
pada klien skizofrenia dengan halusinasi, akan

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
65
 

diidentifikasi berdasarkan tiga aspek yaitu biologi,


psikologis dan sosial budaya terhadap 27 orang klien
skizofrenia dengan halusinasi yang mendapatkan terapi
cognitive behavior therapy yang akan disajikan pada tabel
4.4 berikut ini.

Tabel 4.4
Distribusi Klien Berdasarkan Faktor Predisposisi
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Faktor Predisposisi : Biologis, Psikologis N %


dan Sosial Budaya
1 Biologis :
a. Riwayat genetik (generasi I dan II) 9 33.3
b. Riwayat pernah mengalami skizofrenia. 18 66,7
2 Psikologis :
a. Riwayat introvert 14 51,9
b. Riwayat gangguan pola asuh 6 22,2
c. Riwayat mengalami trauma perilaku 7 25,9
kekerasan, akibat diceraikan.
3 Sosial kultural :
a. Riwayat keluarga miskin 20 74,1
b. Riwayat pemutusan hubungan kerja 7 25,9

Data pada tabel 4.4 menunjukkan diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi berdasarkan faktor
biologis lebih banyak pada riwayat pernah mengalami
skizofrenia sebanyak 18 klien atau sebesar 66,7 %.
Faktor psikologis lebih banyak pada riwayat introvert
sebanyak 14 klien atau sebesar 51,9 % sedangkan faktor
sosial budaya lebih banyak pada riwayat keluarga miskin
sebanyak 20 klien atau sebesar 74,1 %.

Dapat disimpulkan bahwa faktor predisposisi terjadinya


klien skizofrenia dengan halusinasi terbanyak adalah
faktor sosial budaya karena riwayat keluarga miskin
selain karena faktor biologis yang diakibatkan oleh

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
66
 

riwayat pernah menderita skizofrenia sebelumnya dan


faktor psikologis klien itu sendiri yang cenderung
memiliki riwayat kepribadian tertutup.

Selanjutnya pada fase identifikasi ini juga akan diuraikan


faktor presipitasi terjadinya klien skizofrenia dengan
halusinasi terkait faktor biologis, psikologis dan sosial
budaya berikut ini.

3. Faktor Presipitasi Terjadinya Masalah Pada Klien


skizofrenia dengan halusinasi
Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun
eksternal yang mengancam individu, dapat bersifat
biologis, psikologis maupun sosial kultural. Aspek yang
dikaji meliputi sifat stressor, asal stressor, waktu dan
jumlah stressor. Tabel 4.5 menyajikan distribusi faktor
presipitasi terjadinya masalah pada klien skizofrenia
dengan halusinasi.

Tabel 4.5
Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan Faktor
Presipitasi Di Ruang Utari Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Faktor Presipitasi: Biologis, Psikologis dan Sosial Budaya N %


1 Sifat Stresor
1.1 Biologis
a. Putus obat/tidak patuh minum obat 22 81,5
b.Pernah mengalami skizofrenia 5 18,5
1.2 Psikologis
a. Riwayat cerai 11 40,7
b. Putus cinta/ditolak cinta 6 22,2
c. Harapan yang tidak realistik 10 37
1.3 Sosial Kultural
a. Masalah pekerjaan (tidak bekerja/memiliki penghasilan 7 25,8
b. Ekonomi rendah (kemiskinan) 20 74,1
2 Asal stresor
a. Internal 27 100

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
67
 

No Faktor Presipitasi: Biologis, Psikologis dan Sosial Budaya N %


b. Ekternal 27 100
3 Waktu terjadinya stresor
a. < 5 tahun 19 70,4
b. > 5 tahun 8 29,6
4 Jumlah stresor
a. 1 – 2 stresor 7 25,9
b. > 3 stresor 20 74,1

Data pada tabel 4.5 menunjukkan diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi berdasarkan faktor
biologis lebih banyak pada riwayat pernah mengalami
skizofrenia sebanyak 18 klien atau sebesar 66,7 %.
Faktor psikologis lebih banyak pada riwayat introvert
sebanyak 14 klien atau sebesar 51,9 %. Sedangkan
faktor sosial budaya lebih banyak pada riwayat keluarga
miskin sebanyak 20 klien atau sebesar 70,4 %.
Sementara berkaitan dengan asal stresor yang dialami
klien menunjukkan seluruh klien memperoleh stresor
dari faktor internal klien sendiri dan eksternal dari luar
diri klien sebesar 100%. Waktu stresor yang dialami
klien sebagian besar kurang dari 5 tahun didapatkan
sebanyak 19 klien atau sebesar 70,4 % dan jumlah
stresor yang dialami sebagian besar lebih lebih dari atau
sama sebanyak 20 klien atau sebesar 74,1 %.

Dapat disimpulkan bahwa faktor predisposisi terjadinya


klien skizofrenia dengan halusinasi terbanyak adalah
faktor sosial budaya karena riwayat keluarga miskin
selain karena faktor biologis yang diakibatkan oleh
riwayat pernah menderita skizofrenia sebelumnya dan
faktor psikologis klien itu sendiri yang cenderung
memiliki riwayat kepribadian tertutup. Sedangkan asal
stresor umumnya karena faktor internal dan eksternal,

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
68
 

demikian juga dengan waktu dan jumlah stresor


umumnya dialami klien skizofrenia dengan halusinasi
kurang dari lima tahun dengan jumlah stresor lebih dari
atau sama dengan tiga.

4. Penilaian Terhadap Stressor


Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan arti dan
pemahaman terhadap pengaruh situasi yang penuh
dengan stres bagi individu. Penilaian terhadap stresor ini
meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan
respon sosial. Tabel 4.6 berikut ini menyajikan secara
rinci distribusi penilaian terhadap stressor pada 27 orang
klien skizofrenia dengan halusinasi di ruang Utari RS
Dr.Marzoeki Mahdi Bogor.

Tabel 4.6
Distribusi Klien Berdasarkan Penilaian Terhadap Stresor
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Penilaian Terhadap Stresor N %


1 Respon Kognitif :
a. Menganggap isi halusinasi (suara pria tidak dikenal 17 63
mengancam klien, suara mengajak nikah, suara
mengejek tidak cantik dan jelek)
b. Menganggap tidak berguna dan berbakti pada suami 10 37
dan anak-anak, orangtua
2 Respon Afektif :
a. Merasa takut dengan isi halusinasi 9 33,3
b. Sedih dan kecewa dengan isi halusinasi 10 37
c. Marah dan curiga dengan isi halusinasi 3 11,1
d. Diam dan tidak berespon dengan isi halusinasi 5 18,5
3 Respon Fisiologis :
a. Sulit Konsentrasi 5 18,5
b. Gangguan pola tidur 13 55,6
c. Gangguan pola makan 3 11.1
d. Keluhan fisik (sakit kepala) 4 14,8
4 Respon Perilaku :
a. Bicara sendiri dan tertawa sendiri 25 92,6
b. Senyum sendiri, menyendiri & senang melamun 2 7,4
5 Respon Sosial :
a. Aktivitas terbatas 4 14,8

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
69
 

No Penilaian Terhadap Stresor N %


b. Berbicara dengan orang lain 8 29,6
c. Menghindari interaksi/jarang berinteraksi 15 55,6

Berdasarkan data pada tabel 4.6 diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi didasarkan pada respon
kognitif lebih banyak menganggap halusinasi nyata berupa
suara-suara gaib, halusinasi susah dikontrol sebanyak 17
klien atau sebesar 63 %. Respon afektif lebih banyak
bersedih dan kecewa sebanyak 10 klien atau sebesar 3,7 %
Respon fisiologis lebih banyak mengalami gangguan pola
tidur sebanyak 13 klien atau sebesar 55,6%. Respon
perilaku lebih banyak klien bicara dan tertawa sendiri
sebanyak 25 klien atau sebesar 92,6 % sedangkan respon
sosial lebih banyak menghindari interaksi atau jarang
berinteraksi sebanyak 15 klien atau sebesar 55,6 %.

Dapat disimpulkan bahwa klien yang mengalami


skizofrenia dengan halusinasi akan mengalami respon baik
secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku maupun sosial.
Namun pada kasus kelolaan ini, respon perilaku seperti
bicara dan tertawa sendiri paling banyak ditemukan.

5. Sumber Koping
Sumber koping adalah strategi yang membantu menentukan
apa yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah. Tabel
4.7 berikut menggambarkan sumber koping yang dimiliki
27 orang klien dengan klien skizofrenia dengan halusinasi
di ruang Utari.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
70
 

Tabel 4.7
Distribusi Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi Berdasarkan Sumber Koping
Di Ruang Utari Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Sumber Koping n %
1 Kemampuan personal:
a. Tahu dan mampu mengontrol halusinasi secara kognitif 19 70,4
b. Tidak tahu dan tidak mampu mengontrol halusinasi 8 29,6
2 Dukungan sosial:
keluargaTidak tahu dan tidak mampu mengatasi halusinasi 5 18,5
3 Ketersediaan material asset dan pelayanan kesehatan:
3.1 Material asset :
a. Penghasilan pasien 1 3,7
b. Penghasilan keluarga 26 96,3
3.2 Jarak Pelayanan kesehatan ke Puskesmas/RS :
a. Dapat dijangkau 24 88,9
b. Tidak dapat terjangkau 3 11,1
3.3 Memiliki Jamkesmas/SKTM/Jamkesda 27 100
4 Keyakinan positif
a. Yakin akan sembuh 25 92,6
b. Tidak yakin akan sembuh 2 7,4

Berdasarkan data pada tabel 4.7 diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi didasarkan pada
kemampuan personal klien skizofrenia dengan halusinasi
lebih banyak mandiri dalammengontrolhalusinasi sebanyak
19 klien atau sebesar 70,4 %. Dukungan sosial atau
dukungan keluarga sebagai care giver utama didapatkan
hanya 5 keluarga dari klien atau sebesar 18,5 % dari 27
klien tidak tahu dan tidak mampu mengatasi klien
skizofrenia dengan halusinasi Ketersediaan materi lebih
banyak ditunjang oleh keluarga sebanyak 26 klien atau
sebesar 96,3 % dan lebih banyak dapat mengakses
pelayanan kesehatan baik ke Puskesmas dan rumah sakit
sebanyak 24 klien atau sebesar 88,9%. Pembiayaan selama
perawatan di rumah sakit ditanggung oleh pemerintah
melalui program jaminan kesehatan masyarakat dan daerah.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
71
 

Dapat disimpulkan bahwa klien skizofrenia dengan


halusinasi memiliki keyakinan yang positif akan sembuh
dan memiliki kemampuan serta kemandirian mengontrol
halusinasi. Hal ini disebabkan klien sering terpapar dengan
kemampuan yang berulang-ulang dilatih selama klien
keluar dan masuk rumah sakit. Kemampuan yang telah
dimiliki ini tidak ditunjang oleh keluarga saat klien pulang,
hal ini dapat dilihat melalui kemampuan yang dimiliki
keluarga terkait cara mengatasi klien skizofrenia dengan
halusinasi. Meskipun demikian keluarga tetap menjadi
tumpuan klien dalam membiayai kelangsungan hidup
sehari-harinya.

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan suatu usaha yang dilakukan
untuk mengatasi stres (Stuart & Laraia, 2005). Tabel 4.8
berikut ini akan disajikan hasil pengkajian terkait
mekanisme koping pada 27 klien kelolaan di ruang Utari.

Tabel 4.8
Distribusi Klien Berdasarkan Mekanisme Koping
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Mekanisme Koping n %
1 Regresi 20 70,1
2 Proyeksi 7 29,9

Berdasarkan data pada tabel 4.8 diketahuinya distribusi


klien skizofrenia dengan halusinasi didasarkan pada
mekanisme koping regresi lebih banyak dialami sebanyak
20 klien atau sebesar 70,1 %. Dapat disimpulkan bahwa
sebagian klien skizofrenia dengan halusinasi melakukan
mekanisme koping regresi dimana pada klien dapat diamati
dengan berkurangnya minat klien melakukan aktifitas

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
72
 

sehari-hari, jarang melakukan interaksi dengan klien yang


lain diruangan.

7. Diagnosa Medis dan Keperawatan


Selama periode praktik Residensi III telah teridentifikasi
lebih banyak klien didiagnose medis skizofrenia paranoid.
Pada diagnosa keperawatan GSP halusinasi bukan
merupakan diagnosa tunggal tetapi diagnosa ini juga
disertai oleh diagnosa keperawatan yang lain berdasarkan
respon dari klien itu sendiri. Tabel 4.9 akan disajikan
diagnosa medis dan diagnosa penyerta GSP halusinasi
berikut ini.

Tabel 4.9
Distribusi Klien Berdasarkan Diagnosa Medis dan Keperawatan
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Diagnosa Medis dan Keperawatan n %


1 Diagnosa Medik :
a. Skizofrenia Paranoid 26 96,3
b. Skizofrenia Afektif 1 3,7
2 Diagnosa Yang Menyertai GSP Halusinasi :
a. Isolasi sosial 15 55,6
b. Harga diri rendah 7 25,9
c. Defisit perawatan diri 5 18,5

Berdasarkan data pada tabel 4.9, diketahui diagnosa medis


terbanyak 26 klien atau sebesar 96,3 %. Diagnosa penyerta
GSP halusinasi lebih banyak adalah isolasi sosial sebanyak
13 klien atau sebesar 48,1 %. Dapat disimpulkan bahwa
umumnya klien yang dirawat di ruang utari didiagonsa
medis skizofrenia paranoid dan diagnosa penyerta GSP
halusinasi terbanyak adalah isolasi sosial.
 

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
73
 

8. Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan GSP
halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa
terapi generalis dan spesialis, baik kepada individu maupun
kepada keluarga. Rencana tindakan keperawatan dibagi
menurut kelompok pasien pada minggu I pelaksanaan
residensi sampai dengan minggu ke VIII. Selanjutnya
rencana pelaksanaan dilakukan dalam waktu 2 minggu,
sedangkan jarak satu sesi dengan sesi berikutnya adalah 2
hari sekali.

9. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan pada klien skizofrenia dengan
halusinasi yang diberikan disesuaikan dengan rencana yang
telah disusun dan berfokus pada kondisi klien, keluarga
maupun kelompok. Lingkungan perawatan yang kondusif
juga menjadi pertimbangan selama pemberian terapi
keperawatan baik generalis maupun spesialis. Tabel 4.10
berikut menggambarkan distribusi pelaksanaan terapi
generalis dan spesialis pada 27 orang klien GSP halusinasi.
 

Tabel 4.10
Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Individu
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Standar Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Klien n %


1 Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik 27 100
2 Melatih klien mengontrol dengan cara bercakap-cakap dengan 27 100
orang lain
3 Melatih klien mengontrol halusinasi dengan melakukan aktifitas 27 100
diruangan
4 Melatih klien mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat 27 100

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
74
 

Tabel 4.10 menunjukkan seluruh klien skizofrenia dengan


halusinasi yang dikelola mendapatkan tindakan
keperawatan generalis. Tindakan keperawatan generalis ini
dilakukan oleh mahasiswa residen bekerjasama dengan
perawat ruangan, serta mahasiswa lainnya yang praktek di
ruangan Utari. Seluruh klien juga telah memiliki
kemampuan mengontrol halusinasi sesuai target
kemampuan generalis.

Diagnosis keperawatan penyerta seperti isolasi sosial, klien


harga diri rendah kronis dan defisit perawatan diri juga
diberikan terapi generalis sesuai standar asuhan
keperawatan hingga tuntas. Untuk masalah isolasi sosial
dengan melatih klien cara berkenalan, bercakap-cakap
dengan lebih dari satu orang, dan melibatkan dalam terapi
aktivitas kelompok sosialisasi. Masalah harga diri rendah
dengan mengidentifikasi dan melatih aspek positif yang
masih dimiliki klien, memilih kegiatan yang akan dilatih
sesuai kemampuan klien dan memberikan pujian positif
atas keberhasilan yang dilakukan oleh klien sedangkan
masalah defisit perawatan diri klien dilatih meningkatkan
perawatan diri meliputi kemampuan makan/minum, buang
air besar dan kecil dengan benar dan kemampuan berhias
atau berdandan.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
75
 

Tabel 4.11
Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Untuk Keluarga
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Standar Tindakan Keperawatan Generalis N %


Untuk Keluarga

1 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga 5 18,5


dalam merawat klien

2 Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan 5 18,5


gejala serta proses terjadinya Halusinasi

3 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien 5 18,5


dengan halusinasi

4 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di 5 18,5


rumah termasuk minum obat (perencanaan
pulang)

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa tidak semua


keluarga klien skizofrenia dengan halusinasi mendapatkan
tindakan generalis karena tidak semua keluarga
mengunjungi klien di rumah sakit. Beberapa keluarga sudah
dihubungi untuk mendapatkan pendidikan kesehatan
tentang cara perawatan klien dengan halusinasi namun tidak
datang dengan alasan jauh dari rumah dan tidak memiliki
ongkos untuk ke rumah sakit. Tindakan generalis untuk
keluarga ini dilakukan oleh mahasiswa residen bekerja
sama dengan perawat ruangan dan mahasiswa yang praktek
di ruangan Utari

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
76
 

Tabel 4.12
Distribusi Tindakan Keperawatan Terapi Aktifitas Kelompok
Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

No Standar Tindakan Keperawatan Terapi n %


Aktifitas Kelompok

1 TAK : stimulasi persepsi cara mengontrol 27 100


halusinasi (semua sesi)

Berdasarkan tabel 4.12 ditemukan bahwa semua klien


mengikuti TAK stimulasi persepsi halusinasi dan dapat
menyelesaikan seluruh sesi dengan baik. Pelaksanaan TAK
ini juga dilakukan bersama dilakukan oleh mahasiswa
residen bekerjasama dengan perawat ruangan dan
mahasiswa yang praktek di ruangan Utari

Tabel 4.13
Distribusi Tindakan Keperawatan Spesialis CBT Pada Klien Skizofrenia
Dengan Halusinasi Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode Februari – April 2012 (n=27)

Sesi Standar Tindakan Keperawatan Spesialis CBT n %

1 Melatih klien mengidentifikasi pikiran dan 27 100


perilaku negatif yang muncul serta melawan satu
pikiran negatif
2 Mengevaluasi dan melatih melawan pikiran 27 100
negatif satu dan melawan pikiran negatif kedua
3 Mengevaluasi dan melatih melawan pikiran
negatif satu dan dua serta melawan satu perilaku
4 Mengevaluasi dan melatih melawan pikiran 23 85,2
negatif satu dan dua, perilaku negatif satu daa
melawan perilaku negatif kedua
5 Melatih kemampuan merubah pikiran negatif dan 20 74,1
perilaku maladaptif untuk mencegah kekambuhan

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
77
 

Berdasarkan tabel 4.13 bahwa seluruh klien skizofrenia dengan


halusinasi yang berjumlah 27 klien diberikan terapi CBT yang berhasil
menyelesaikan hingga sesi 4 berjumlah 23 klien (82,5%) dan sesi 5
berjumlah 20 klien (74,1%) karena klien telah diizinkan pulang dari
rumah sakit

Tabel 4.14
Distribusi Tindakan Keperawatan Spesialis Psikoedukasi Keluarga
Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi di Ruang Utari RSMM Bogor
Pebruari-April 2012 (n=27)

Sesi Standar Tindakan keperawatan spesialis (FPE) n %


1 Mengidentifikasi masalah yang dihadapi keluarga 5 18,5
dalam merawat klien
2 Mendiskusikan cara perawatan klien 5 18,5
3 Melatih manajemen stres 5 18,5
4 Melatih manajemen beban 5 18,5
5 Memberdayakan komunitas untuk proses 4 14,8
penyembuhan klien

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa tidak semua keluarga klien


HDR kronis mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga. Hal
ini disebabkan tidak semua keluarga klien mengunjungi
mereka di rumah sakit. Terapi psikoedukasi keluarga
diberikan kepada 5 keluarga terutama adalah care giver
bagi klien, namun yang berhasil menyelesaikan hingga
seluruh sesi hanya 4 keluarga. Keluarga yang tidak
menuntaskan seluruh sesi ada 1 keluarga dengan alasan
kesibukan terkait dengan pekerjaan dan yang lainnya
karena alasan tidak punya biaya untuk berkunjung ke rumah
sakit.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
78
 

2. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis dalam menangani masalah pada
klien klien skizofrenia dengan halusinasi dilakukan

Tabel 4.15
Distribusi Terapi Medis Pada Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi
Di Ruang Utari Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 20 Februari – 20 April 2012 (n=27)

No Terapi Medis Jumlah Prosentase


1 Chlorpromazine 100 mg 27 100
2 Haloperidol 5 mg 27 100
3 Triheksipenidil 2 mg 25 92,5
4 Risperidon 20 70,1
5 Depakote 10 37
6 Amitriptiline 7 25,9

Berdasarkan tabel 4.15 dapat dijelaskan pemberian terapi


psikofarmaka paling banyak diantaranya adalah
Chlorpromazine, Haloperidol dan Triheksipenidil dan obat
lain yang sesuai dengan nama dagangnya. Data tersebut
memberikan gambaran bahwa dosis terapi psikofarmaka
yang diberikan sudah pada tahap maintenance, artinya
kondisi klien di Ruang Utari sudah ada pada fase
rehabilitasi. Pelaksanaan kolaborasi dengan tim medis
dilakukan untuk memantau efek terapi psikofarmaka yang
diperoleh klien dengan memperhatikan kepatuhan klien
terhadap pengobatan yang diberikan. Kolaborasi dengan
tim medis, yaitu psikiater dan dokter umum yang
bertanggung jawab terhadap ruang Utari dilakukan melalui
visite dokter.

4.1.1.3 Fase Resolusi

Evaluasi pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada


fase resolusi akan diuraikan evaluasi hasil kemampuan klien
skizofrenia dengan halusinasi setelah diberikan terapi

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
79
 

keperawatan dinilai dengan membandingkan rencana tindakan


yang telah disusun dengan pelaksanaan tindakan yang
diberikan. Hasil tindakan keperawatan ini keberhasilannya
dilihat dengan menilai perubahan respon klien baik secara
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial, sesuai tabel
4.16.

Tabel 4.16
Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Pada Klien Skizofrenia
Dengan Halusinasi Di Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi
20 Februari – 20 April 2012 (n=27)

No Penilaian Terhadap Stresor Pre Post Selisih


Jlh % Jlh % N %
1 Respon Kognitif :
a. Menganggap isi halusinasi (suara pria 17 63 3 11,1 14 51,9
tidak dikenal mengancam klien, suara
mengajak nikah, suara mengejek tidak
cantik dan jelek)
b. Menganggap tidak berguna dan
berbakti pada suami dan anak-anak, 10 37 2 7,4 8 29,6
orangtua
2 Respon Afektif :
a. Merasa takut dengan isi halusinasi 9 33,3 2 7,4 7 25,9
b. Sedih dan kecewa dengan isi
halusinasi 10 37 3 11,1 7 25,9
c. Marah dan curiga dengan isi halusinasi
d. Diam dan tidak berespon dengan isi 3 11,1 1 3,7 2 7,4
halusinasi
5 18,5 1 3,7 4 14,8
3 Respon Fisiologis :
a. Sulit Konsentrasi 5 18,5 1 3,7 4 14,8
b. Gangguan pola tidur 13 55,6 1 3,7 12 44,4
c. Gangguan pola makan 3 11.1 1 3,7 2 7,4
d. Keluhan fisik (sakit kepala) 4 14,8 1 3,7 3 11,1
4 Respon Perilaku :
a. Bicara sendiri dan tertawa sendiri 25 92,6 5 11,1 20 74,1
b. Senyum sendiri, menyendiri & senang
melamun 2 7,4 1 3,7 1 3,7
5 Respon Sosial :
a. Aktivitas terbatas 4 14,8 1 3,7 3 7,4
b. Berbicara dengan orang lain 8 29,6 2 7,4 6 22,2
c. Menghindari interaksi atau jarang 15 55,6 2 7,4 13 22,2
berinteraksi

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
80
 

Berdasarkan tabel 4.16 menunjukkan bahwa secara umum


klien mengalami mengontrol halusinasi. Hal ini tampak dari
adanya penurunan gejala/respon yang menunjukkan
kemampuan mengontrol halusinasi pada klien dengan
membandingkan respon klien saat sebelum diberikan terapi
CBT dengan setelah diberikan. Perubahan atau selisih yang
paling besar terlihat pada respon kognitif khususnya aspek
menganggap isi halusinasi nyata sebesar 51,9 %, respon
afektif pada aspek sedih dan kecewa 25,9%, respon fisiologis
pada aspek gangguan pola tidur 44,4%, respon perilaku pada
aspek bicara dan tertawa sendiri menurun 74,1%, respon sosial
pada aspek menghindari interaksi sebesar 22,2%.

60
Universitas Indonesia
 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
81 
 

BAB 5
PEMBAHASAN

Bab lima ini akan dipaparkan pembahasan manajemen asuhan keperawatan pada
klien skizofrenia dengan halusinasi dan dibahas juga manajemen pelayanan
keperawatan diruang Utari RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Untuk memudahkan
pemahaman pada bab pembahasan ini, penulis akan membagi pembahasan ini
secara terpisah. Pada awal pembahasan penulis akan membahas manajemen
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi berdasarkan empat
fase hubungan menurut Model Interpersonal Peplau yaitu fase orientasi,
identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Empat fase tersebut akan diintergrasikan
pada pengkajian scanning menurut Model Stres dan Adaptasi Stuart.

Pada pembahasan berikutnya penulis akan membahas manajemen pelayanan


keperawatan yang dilaksanakan diruang Utari juga menggunakan pendekatan
Model Interpersonal Peplau yang diintegrasikan pada fungsi manajemen
keperawatan yang telah dikembangkan melalui empat pilar model praktik
keperawatan profesional. Secara khusus penulis akan membahas tentang
manajemen pelayanan asuhan keperawatan yang telah dilakukan diruang Utari
selama praktik residensi III.

5.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi


Manajemen asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi
merupakan rangkaian proses kegiatan asuhan keperawatan yang
diintergarsikan pada model interpersonal peplau.

5.1.1 Fase Orientasi


Fase Orientasi merupakan fase awal hubungan interaksi perawat
dengan klien. Kemampuan perawat membangun hubungan terapeutik
dengan klien adalah salah satu ketrampilan yang paling penting
untuk keberhasilan intervensi pada klien skizofrenia dengan
halusinasi . Pada fase ini perawat menggunakan dirinya secara

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
82 
 

terapeutik (therapeutic use of self) dalam membangun rasa saling


percaya dengan klien.

Hasil pengkajian pada klien skizofrenia dengan halusinasi diruang


Utari menunjukkan bahwa frekuensi perawat dalam membangun
hubungan terapeutik dengan klien membutuhkan lebih dari satu kali
interaksi dalam setiap pertemuan. Data menunjukkan bahwa dari 27
klien didapatkan 20 klien atau sebesar 74,1% membutuhkan
frekuensi kurang dari dua kali dalam membangun hubungan
terapeutik. Sedangkan 7 klien lainnya atau sebesar 25,9 % perawat
membutuhkan lebih dari dua kali interaksi.

Data tersebut mengandung arti bahwa fase orientasi ini dirasakan


pentingnya perawat menghadirkan diri secara terapeutik terkait
dengan peran perawat sebagai orang asing (role of the stranger) bagi
klien skizofrenia dengan halusinasi . Townsend, (2005), menegaskan
bahwa penggunaan diri secara terapeutik merupakan suatu cara yang
diperlukan perawat untuk mempunyai kesadaran diri yang baik dan
mengerti dengan dirinya sendiri, mempunyai penerimaan terhadap
keyakinan falsafah mengenai kehidupan, kematian dan semua kondisi
manusia.

Pernyataan Townsend tersebut diatas didukung oleh Peplau (1952,


dalam Tomey, 2006) dan Fitzpatrick, (1989), menyatakan bahwa
komunikasi membantu orang lain untuk memperhatikan dan
melakukan klarifikasi terhadap persepsi orang lain secara nyata
sehingga mampu menerima dan mengerti perasaan tentang kondisi
orang lain. Pernyataan para ahli tersebut diatas dapat diberi
kesimpulan bahwa dalam membangun hubungan yang terapeutik
dengan klien, perawat tidak hanya menggunakan diri secara
terapeutik tapi dibutuhkan penerapan komunikasi yang terapeutik
untuk membangun hubungan terapeutik (trust) dengan klien.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
83 
 

5.1.2 Fase Identifikasi


Hasil pengkajian klien skizofrenia dengan halusinasi terdiri atas
karakteristik klien, faktor predisposisi, faktor presipitasi. Pada uraian
pembahasan berikut dijelaskan tentang beberapa komponen faktor
predisposisi dan presipitasi pada klien skizofrenia dengan halusinasi
termasuk karaktersitik klien meliputi usia, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan dan lama dirawat di RS Dr. Marzoeki Mahdi
Bogor.
5.1.2.1 Karakteristik Klien Skizofrenia Dengan Halusinasi
Berdasarkan Karaktersitik Klien Halusinasi didapatkan bahwa
rerata Usia adalah 33,19 tahun dengan usia terendah 17 tahun
dan tertinggi 56 tahun. Data menunjukkan bahwa klien dengan
GSP halusinasi terbanyak berada pada rentang usia dewasa
menengah. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sinaga, (2007)
dan Stuart, (2009) yang menyatakan bahwa usia dewasa sangat
rentan mengalami kejadian skizofrenia jarang terjadi pada
rentang usia kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun
dengan masa onset puncak pada laki-laki terjadi pada usia 15-
25 tahun dan usia 25-35 tahun pada wanita.

Rentang uisa 25-65 dikategorikan usia dewasa dengan


kemampuan individu terlibat dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, pekerjaan dan mampu membimbing anaknya.
(Erikson, 1963;Townsend, 2009). Lebih lanjut Erikson
mengatakan bahwa usia dewasa merupakan masa produktif
dimana klien memiliki tuntutan aktualisasi diri, baik dari diri
sendiri, keluarga, maupun lingkungan. Ketidakmampuan klien
dalam mencapai aktualisasi diri menyebabkan individu merasa
gagal, merasa tidak berguna ditambah lagi adanya stressor lain
seperti gagal menemukan pasangan sehingga dampaknya klien
menjadi malu untuk bersosialisasi.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
84 
 

Usia berhubungan dengan pengalaman seseorang. Siagian,


(1995, dalam Notoatmodjo, 2007), Stuart dan Laraia (2005)
berpendapat bahwa usia menunjukkan kematangan jiwa
seseorang, semakin lanjut usia maka semakin bisa lebih
dewasa dalam bersikap dan mampu menyelesaikan masalah
dengan lebih rasional, mampu menghadapi berbagai macam
stresor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan, dan
ketrampilan dalam mekanisme koping. Dapat diartikan bahwa
semakin bertambah usia semakin meningkat pula kedewasaan
dalam berfikir dan bertingkah laku. Dapat disimpulkan bahwa
hasil pengkajian terhadap 27 klien skizofrenia dengan
halusinasi dengan rerata usia 33 tahun dan masa onset pada
wanita antara 25-35 tahun diperkuat oleh pendapat Sinaga dan
Stuart. Selain itu ruangan pengkajian ini adalah ruang
perawatan intermediate khusus wanita.

Berdasarkan tingkat Pendidikan klien halusinasi, hasil


pengkajian di ruang Utari menunjukkan bahwa dari 27 klien
didapatkan sebanyak 11 klien skizofrenia dengan halusinasi
atau sebesar 40,7% terbanyak pendidikan pada tingkat
menengah (SMP). Pada hasil pengkajian ini menggambarkan
pendidikan yang rendah berdampak pada kemampuan klien
skizofrenia dengan halusinasi mengontrol halusinasi
dibandingkan dengan klien skizofrenia dengan halusinasi
lainnya yang berpendidikan tinggi (SMA dan Sarjana)
sebanyak 9 klien atau sebesar 33 %. Klien skizofrenia dengan
halusinasi dengan pendidikan rendah membutuhkan 2-3 kali
dalam melakukan terapi generalis dan spesialis cognitive
behavior therapy. Tingkat pendidikan klien dapat
mempengaruhi proses belajar. Demikian konsep tentang
proses belajar yang dikemukakan oleh Nyotoatmodjo (2007).

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
85 
 

Proses belajar merupakan proses emosional dan intelektual


dipengaruhi oleh keadaan individu secara keseluruhan.

Hasil pengkajian diatas tidak sejalan dengan hasil penelitian


yang dilakukan oleh Wahyuni (2010), yang menyatakan
bahwa klien yang berpendidikan rendah memiliki pengetahuan
dalam mengontrol halusinasi lebih tinggi dari pada klien yang
berpendidikan tinggi setelah dikontrol oleh cognitive behavior
therapy. Hal ini menurut Wahyuni (2010, dalam Notoatmodjo,
2007), dapat terjadi karena pada individu yang berpendidikan
tinggi telah memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan
tertentu yang sudah dimiliki selama bertahun-tahun sehingga
pengetahuan, sikap dan perilaku baru yang belum
diyakinimenjadi sulit diterima.

Berdasarkan pekerjaan klien halusinasi, hasil pengkajian di


ruang Utari pada klien skizofrenia dengan halusinasi
menunjukkan bahwa dari 27 klien kelolaan semuanya (100%)
tidak memiliki pekerjaan tetap saat dilakukan pengkajian,
meskipun sebelumnya klien pernah memiliki pekerjaan
sebelum mengalami skizofrenia. Faktor sosial budaya dapat
menyebabkan terjadinya skizofrenia. Pekerjaan erat kaitannya
dengan penghasilan, adanya kekerasan dan ketidakmampuan
memiliki tempat tinggal, kemiskinan dan diskriminasi ras,
golongan, usiamaupun jenis kelamin (Videbeck, 2008).

Pekerjaan erat hubungannya dengan pendapatan yang diterima


oleh keluarga. Pendapatan yang rendah menjadi salah satu
faktor pencetus masalah ansietas. Hasil ini memperkuat
pendapat Cattell (2001) serta Hoffman dan Hatch (2000) yang
menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kemiskinan dan
stresor keuangan. Austin (1991) menemukan adanya burden

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
86 
 

terhadap kondisi keuangan dan kondisi kesehatan anak pada


keluarga yang menimbulkan ansietas keluarga. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa pekerjaan akan
berkorelasi positif dengan pendapatan dan berkorelasi negatif
dengan tingkat ansietas yang dialami oleh keluarga.

Pekerjaan berkaitan dengan status sosial ekonomi dan faktor


penyebab skizofrenia. Pernyataan terkait pekerjaan dan
skizofrenia antara lain oleh Kaplan, Saddock dan Grebb
(1997), Hawari (2001), Stuart dan Laraia (2005), Townsend
(2009), yang menyatakan bahwa masalah pekerjaan termasuk
salah satu faktor sosial budaya sebagi sumber stres pada diri
seseorang yang bila tidak dapat diatasi akan menyebabkan
tingginya angka kejadian skizofrenia.

Pernyataan yang dikemukan oleh ahli diatas didukung oleh


penelitian yang dilakukan oleh Tarrier dkk (1988, dalam
Wahyuni, 2010), yang menyatakan bahwa 76 responden atau
sebesar 90 % klien skizofrenia tidak mempunyai pekerjaan.
Hasil penelitian dilakukan oleh Vega dkk (1999, dalam Stuart,
2009), menyatakan bahwa individu dengan status ekonomi
rendah akan rentan terhadap masalah kesehatan jiwa dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil pengkajian dan
pendapat oleh beberapa ahli penulis serta hasil penelitian yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat disimpulkan bahwa
pekerjaan seseorang terkait erat dengan status sosial ekonomi
rendah yang bersentuhan dengan kemiskinan berpengaruh
terhadap stresor penyebab skizofrenia sehingga berdampak
pula pada beban yang harus ditanggung oleh keluarga.

Berdasarkan Status Perkawinan pada klien halusinasi


didapatkan hasil pengkajian diruang Utari terhadap klien

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
87 
 

skizofrenia dengan halusinasi , menunjukkan bahwa dari 27


klien yang mengalami GSP halusinasi terbanyak 10 klien
sudah menikah atau sebesar 37 % dan 8 klien lainnya atau
sebesar 29,6 % sebelumnya sudah pernah menikah kemudian
diceraikan sepihak oleh suami. Sedangkan klien yang belum
menikah sebanyak 9 klien atau sebesar 33, 3 %.

Perkawinan merupakan sumber stress dan pencetus terjadinya


skizofrenia. Menurut Hawari (2001), Kaplan, Saddock dan
Grebb (2003), Stuart dan Laraia (2005), Kintono (2010),
menyatakan bahwa salah satu penyebab skizofrenia adalah
masalah yang terkait dengan perkawinan dimana sumber stres
seperti pertengkaran, ketidaksetiaan, kematian salah satu
pasangan dan perceraian. Demikian juga dengan klien yang
tidak memiliki pasangan atau belum menikah termasuk
kelompok risiko tinggi mengalami skizofrenia. Pendapat para
ahli tulis tersebut dapat disimpulkan bahwa status perkawinan
merupakan masalah yang sering dialami oleh klien skizofrenia
dengan halusinasi dan salah satu faktor predisposisi dan
presipitasi baik psikologis maupun sosial kultural.Berdasarkan
pendapat para ahli penulis diatas dan hasil pengkajian di ruang
Utari menunjukkan ada hubungan antara prevalensi
skizofrenia dan masalah status perkawinan hal ini didasarkan
pada saat interview dengan klien dan studi dokumentasi
melalui rekam medik klien sendiri.

Berdasarkan Lama Dirawat padaklien halusinasi didapatkan


hasil pengkajian di ruang Utari terhadap klien skizofrenia
dengan halusinasi menunjukkan bahwa dari 27 klien
didapatkan sebanyak 14 atau sebesar 31,9 % klien dirawat
lebih dari dua sampai tiga bulan sedangkan klien yang dirawat
kurang dari dua bulan didapatkan 12 klien atau sebesar 44, 1

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
88 
 

% dan hanya 1klien atau sebesar 3,7 % dirawat kurang dari


satu bulan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Carolin (2008),


menyatakan bahwa semakin lama klien skizofrenia dirawat di
rumah sakit akan semakin mengenal, mengetahui cara
mengatasi masalahnya dan semakin mandiri dalam melakukan
aktifitas yang telah dilatih. Lebih lanjut Carolin (2008) dalam
penelitiannya di RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan
bahwa klien skizofrenia yang dirawat lebih dari bulan
memiliki kemampuan dalam mengontrol halusinasi meningkat
dibandingkan dengan klien yang dirawat kurang dari satu
bulan. Penelitian Carolin (2008) diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni (2010) yang menyatakan bahwa lama
pasien dirawat berpengaruh terhadap pelaksanaan cara
mengontrol halusinasi dibandingkan dengan lama rawat yang
kurang dari satu bulan. Lebih lanjut penelitian Wahyuni
(2010) terhadap 32 responden menyatakan bahwa terjadi
peningkatan sebesar 69,6% pada klien dalam kemampuannya
mengontrol halusinasi pada klien yang lama rawat lebih dari
satu bulan. Peningkatan kemampuan ini juga bersamaan
dengan pemberian obat antipsikotik tipikal.

Antipsikotik tipikal efektif digunakan untuk mengatasi gejala


positif skizofrenia seperti waham, halusinasi, gangguan
berpikir, namun tidak memberikan efek yang baik untuk
perubahan gejala negatif. Klien yang mendapatkan obat ini
halusinasinya sering tidak muncul lagi namun perilaku
menarik diri atau keengganan untuk melaksanakan aktivitas
tidak ada perbaikan. Menurut Littrel dan Littrel (1998, dalam
Videbeck, 2008), menyatakan bahwa obat antipsikotik jenis
atipikal memiliki kelebihannya tidak hanya mengatasi gejala

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
89 
 

positif tetapi efektif menurunkan gejala negatif skizofrenia


seperti menarik diri, hilangnya motivasi dan kemauan, dan
anhedonia. Berdasarkan hasil pengkajian, studi literatur dan
penelitian yang dilakukan oleh Carolin (2008) dan Wahyuni
(2010), dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengontrol
halusinasi pada klien skizofrenia meningkat seiring dengan
lamanya klien dirawat. Kenyataan yang ditemukan diruang
Utari menunjukkan bahwa klien dengan frekuensi dan rentang
waktu yang lama dirawat memiliki kemampuan yang baik
dalam mengontrol halusinasi dibandingkan dengan klien yang
dirawat kurang dari bulan.

5.1.2.2. Faktor Predisposisi


Selanjutnya akan dibahas Faktor Predisposisi pada klien
halusinasi yang terdiri dari faktor biologis, faktor psikologis dan
sosial kultural. Pada faktor biologis, hasil pengkajian di ruang
Utari berdasarkan faktor biologis diketahui dari 27 klien
skizofrenia dengan halusinasi didapatkan 18 klien atau
sebesar 66,7% pernah mengalami riwayat skizofrenia dan 9
klien atau sebesar 33,3 % ada riwayat genetik pada generasi
pertama dan kedua. Stuart dan Laraia (2005), mengidentifikasi
faktor biologis terjadinya skizofrenia berhubungan dengan faktor
genetik, neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak
dan teori-teori virus. Videbeck (2008), mengidentifikasi faktor
biologi, neurobiologi dan neurotransmiter yang terkait dengan
penderita skizofrenia.

Berdasarkan hasil pengkajian di ruang Utari didapatkan 9 klien


atau sebesar 33,3 % ada riwayat genetik pada generasi pertama
dan kedua. Faktor genetik penyebab skizofrenia berhubungan
dengan kromosom, ada atau tidaknya riwayat orangtua yang
mengalami skizofrenia dan angka kejadian gangguan jiwa atau

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
90 
 

sifat anak kembar monozigot atau kembar identik yang memiliki


struktur genetik yang sama maupun kembar dizigot atau kembar
fraternal yang memiliki struktur genetik yang berbeda
(Videbeck, 2008).

Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan 9 klien atau sebesar


33,3 % ada riwayat genetik pada generasi pertama dan kedua.
Jika dibandingkan dengan pendapat Stuart tentang resiko
menderita skizofrenia maka dapat diartikan besaran prosentase
pada klien halsuinasi mendekati angka besaran dan resiko
terjadi skizofrenia.

Sifat kembar dizigot atau kembar fraternal memiliki angka


kejadian atau berisiko 50% skizofrenia dibanding kembar identik
atau kembar monozigot dengan angka kejadian sebesar 15 %.
Demikian juga saudara kandung akan berisiko 10 % dan generasi
kedua 2-3 % serta 1 % jika tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia (Stuart, 2009). Pada hasil pengkajian didapatkan 9
klien atau sebesar 33,3 % ada riwayat genetik pada generasi
pertama dan kedua. Asal mula gangguan jiwa tidak sesederhana
dengan penyakit fisik lainnya yang terbukti memiliki riwayat
herediter seperti penyakit fibrosis kistik, hungtinghon dan distrofi
muskular duchenne. Tetapi melalui riset yang dilakukan di
Human Genome Project oleh National Institute of Health dan
Depertement of Energy di Amerika Serikat tahun 1988
menemukan keterkaitan genetik dengan penyakit lain seperti
skizofrenia dan gangguan mood (Videbeck ,2008). Dapat
disimpulkan bahwa ada keterkaitan skizofrenia secara genetik
dalam hubungan keluarga terutama jika ada salah atau kedua
orangtua memiliki riwayat skizofrenia.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
91 
 

Terkait neurobiologi dan transmiter dapat dijelaskan bahwa


melalui teknik pencitraan otak seperti Positron Emission
Tomography atau PET dan Magnetic Resonance Imaging atau
MRI serta Computed Tomography atau CT scan memungkinkan
dilakukannya visualisasi struktur dan fungsi otak dan bermanfaat
untuk mendiagnosis beberapa gangguan otak dan membantu
menghubungkan area otak tertentu dengan fungsi otak
(Videbeck, 2088).

Penelitian melalui hasil PET menunjukkan bahwa kurangnya


aktifitas pada lobus frontal, abnormalitas metabolik sirkuit
frontal, temporal dan serebral. Gejala negatif skizofrenia
dihubungkan dengan penurunan metabolik pada lobus frontal
(Stuart, 2009). Kelainan pada serebrum khususnya pada lobus
frontalis dikaitkan dengan skizofrenia, defisit perhatian,
gangguan hiperaktivitas dan dementia. Hal ini berhubungan
dengan fungsi lobus ini yang mengontrol organisasi pikiran,
gerakan tubuh, memori dan perilaku moral (Videbeck, 2008).
Gejala positif skizofrenia berhubungan dengan peningkatan aliran
darah didaerah temporomedial, korteks singulat dan striatum.

Neurotranstimer merupakan zat kimia yang disintesis dalam


neuron untuk membantu transmisi informasi keseluruh tubuh
dengan menstimulasi aksi didalam sel atau eksitasi dan
menghambat aksi atau inhibisi. Neurotramiter utama pada
gangguan jiwa adalah dopamin, norepinefrin, serotonin, histamin,
asetikolin dan asam gama aminobutirat (GABA) (Videbeck,
2008).

Dopamin bersifat eksitasi menimbulkan skizofrenia dan psikosis


lain juga gangguan gerakan. Norepinefrin (adrenalin dan
noradrenalin) berlebihan menyebabkan gangguan ansietas dan

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
92 
 

sebaliknya berkurang menyebabkan kehilangan memori, menarik


diri dan depresi. Serotonin bersifat inhibisi menyebabkan
skizofrenia, gangguan ansietas dan mood. Berperan dalam
perilaku waham, halusinasi dan menarik diri.

Peran histamin pada gangguan jiwa belum diketahui secara pasti


namun beberapa obat menyebabkan peningkatan berat badan,
sedasi dan hipotensi. Asetilkolin bersifat inhibisi atau eksitasi
akan mempengaruhi aktifitas tidur, jika asetikolin menurun akan
menyebabkan gangguan otot berupa kelemahan otot. GABA
bersifat inhibisi menyebabkan ansietas dan insomnia
(Videbeck,2008). Teori neurotransmiter berkaitan dengan
serotonin (5HT), glutamat, NMDA, GABA, noorepinefin,
dopamin (D1-D5) dimana reseptor D2 sangat mempengaruhi
munculnya gejala positif skizofrenia (Stuart, 2009)

Menjaga kesehatan dan mempertahankan keseimbangan gizi


pada masa kehamilan adalah hal penting bagi ibu hamil. Asupan
gizi yang kurang dan ada riwayat trauma psikologis selama hamil
mempengaruhi perkembangan saraf pada awal kehamilan (Stuart
& Laraia, 2005). Bila terpapar virus influensa pada trimester
pertama sangat berisiko terjadinya skizofrenia karena virus dapat
melewati sawar uri untuk masuk ke otak sehingga menghambat
tumbuh kembang janin. (Brown, 2004; Stuart, 2009).
Berdasarkan data hasil pengkajian dan pendapat beberapa ahli
tulis dapat disimpulkan hasil pengkajian ini relevan dengan
kondisi klien skizofrenia yang mengalami GSP halusinasi dimana
uraian atas faktor biologis saling berkaitan sebagai faktor
predsiposisi penyebab halusinasi.

Faktor predisposisi terkait faktor psikologis, hasil pengkajian


diruang Utari menunjukkan bahwa dari 27 klien skizofrenia

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
93 
 

dengan halusinasi diketahui sebanyak 14 klien atau sebesar 51,9


% klien memiliki riwayat kepribadian tertutup (introvert) dan 6
klien atau sebesar 22,2 % ada riwayat gangguan pola asuh
sedangkan 7 klien atau sebesar 25,9 % memiliki riwayat trauma
perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan dalam pekerjaan
serta akibat pernah diceraikan. Faktor psikologis terkait
penyebab skizofrenia dengan gejala positif halusinasi menurut
Stuart dan Laraia (2005) diantaranya kepribadian, pengalaman
masa lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi. Stuart
(2009), juga mengemukakan faktor psikologis yang lainnya
meliputi intelektualitas, moralitas dan motivasi, kemammpuan
mengendalikan diri. Wahyuningsih (2009), menyatakan bahwa
kegagalan faktor psikologis yang sering diartikan sebagai
ketidakmampuan, respon yang muncul pada saat individu
mengalami kegagalan dapat berupa menyalahkan diri sendiri atau
orang lain yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan. Stres
yang dialami individu akibat kegagalan secara berulang akan
menstimulasi munculnya halusinasi pada klien skizofrenia.
Pernyataan ini diperkuat oleh Fontaine (2009), yang
mengungkapkan bahwa munculnya halusinasi pada klien
skizofrenia sering dikaitkan dengan kondisi stress yang
berlebihan.

Faktor Sosial Budaya, hasil pengkajian terkait faktor sosial


budaya diruang Utari diketahui dari 27 klien didapatkan 20 klien
atau sebesar 74,1 % klien skizofrenia dengan halusinasi
memiliki riwayat keluarga miskin dan sebanyak 7 klien memiliki
riwayat pemutusan hubungan kerja.

Faktor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia.


WHO (2001), Stuart dan Laraia (2005) dan Videbeck (2008)
menyatakan kondisi sosial budaya merupakan penyebab

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
94 
 

skizofrenia tidak adanya penghasilan, tidak memiliki tempat


tinggal atau tuna wisma, ketidaknyaman, kemiskinan. Pada hasil
pengkajian ini, umumnya klien memiliki riwayat kemiskinan dan
tidak memiliki pekerjaan sehingga klien juga tidak memiliki
penghasilan.

Kemiskinan dan penghasilan terkait dengan pekerjaan. Hasil


pengkajian di ruang Utari pada klien skizofrenia dengan
halusinasi umumnya keluarga tidak memiliki sumber
penghasilan keluarga secara finansial. Ketidakmampuan keluarga
mengalokasikan sumber penghasilan berdampak pada beban
ekonomi keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan sandang dan
pangan termasuk perawatan kesehatan Friedman (1988). Lebih
kanjut Friedman menyatakan bahwa salah satu beban yang
dialami keluarga terkait faktor kemiskinan adalah beban ekonomi
yang harus dikeluarkan untuk membiayai anggota keluarga yang
sakit.

Tanggung jawab utama keluarga adalah pada fungsi perawatan


kesehatan keluarga adalah memberikan perawatan kesehatan bagi
seluruh anggota keluarganya (Friedman,1988). Friedman
mengemukakan lima tugas kesehatan antara lain mengenal
masalah anggota keluarga, mengambil keputusan yang tepat,
merawat anggota keluarga, mempertahankan situasi rumah yang
menguntungakan kesehatan dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan.

Ketidakmampuan keluarga berkaitan dengan tugas keluarga


tersebut akan berdampak pada ketidakmampuan keluarga dalam
melaksanakan tugas tersebut. Dapat dipahami bahwa
ketidakmampuan keluarga juga terkait dengan beban ekonomi
yang harus ditanggung oleh keluarga.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
95 
 

Jika pada hasil pengkajian diatas menggambarkan faktor sosial


budaya sebagai faktor predisposisi skizofrenia pada klien
skizofrenia dengan halusinasi seperti kemiskinan dan tidak
adanya penghasilan akan berkontribusi pada ketidakmampun dan
ketidaktahuan keluarga dalam menjalankan lima tugas kesehatan
yang diemban oleh keluarga terutama pada fungsi merawat
anggota keluarga yang sakit akan pada perawatan yang
berkesinambungan pada klien halusinasi melalui keteraturan
dalam pengobatan.

Berkaitan dengan faktor kemiskinan, semua pasien yang


diberikan terapi perilaku kognitif menggunakan fasilitas
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk biaya
selama masa perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa status
ekonomi pasien kurang memadai dan status ekonominya
berada pada garis kemiskinan. Menurut Townsend (2005)
banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah
gangguan jiwa, dalam hal ini skizoprenia dan salah satu
faktornya adalah masalah status sosial. Faktor status
sosioekonomi yang rendah lebih banyak mengalami
skizoprenia dibanding pada tingkat sosioekonomi tinggi.

Bruce et al (1991 dalam Muntaner et al, 1995 dalam Stuart &


Laraia, 2005) menyebutkan bahwa adanya efek negatif dari
kemiskinan yang hubungannya dengan kesehatan mental,
diantaranya adanya hubungan antara status ekonomi yang
rendah dengan tingginya angka gangguan jiwa serta
tingginya angka pasien yang dirawat.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
96 
 

Vega et al (1999 dalam Stuart & Laraia, 2005) juga


menyebutkan bahwa ada beberapa penelitian terkait dengan
kemiskinan dan kesehatan mental, hasilnya diyakini bahwa
adanya perbedaan risiko untuk mengalami gangguan jiwa
antara kelompok utama yang diukur dari stratifikasi sosial dan
kemiskinan. Kelompok ini lebih rentan dengan masalah
kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Friedman dan
Bowden dan Jones (2003) juga menyatakan bahwa fungsi
ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk menyediakan
sumber-sumber ekonomi yang memadai dan mengalokasikan
sumber-sumber tersebut secara efektif. Namun setelah masalah
gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga, tentunya
perencanaan keuangan akan berubah dan bahkan terganggu.

5.1.2.3 Faktor Presipitasi


Beberapa bagian faktor presipitasi telah dibahas secara
terintegrasi dengan karakteristik klien. Hasil pengkajian faktor
presipitasi pada klien dengan GSP halusinasi secara biologis
dari 27 klien didapatkan sebanyak 22 klien atau sebesar 81, 5
% putus obat dan ketidakpatuhan minum obat secara teratur.
Klien mengatakan alasan tidak minum obat adalah perasaan
bosan, merasa sudah sembuh, merasa obat tidak cocok karena
jika minum obat badan menjadi tidak nyaman, merasa obat
tidak cocok karena obat sudah habis tetapi belum sembuh juga
serta rasa khawatir menjadi ketergantungan obat.

Jenis obat yang dikonsumsi oleh klien skizofrenia dengan


gejala positif adalah obat golongan antipsikotik atipikal.
Termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone,
olanzapine dan quetiapine. Golongan tipikal antipsikotik
diantaranya: haloperidol, trifloupherazine, chlorpromazine
(CPZ) dan loxapine (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006).

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
97 
 

Pemberian antipsikotik sering menimbulkan efek


ekstrapiramidal berupa mulut kering, parkison, reaksi distonik.
Efek tidak menyenangkan yang dirasakan klien sering
membuatnya berhenti minum obat tanpa konsultasi. Efek
samping tersebut bisa diatasi dengan pemberian
trihexyphenidil (THP), biperidin dan diphenhidramine
hydrochloride (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006).

Menurut Sadock dan Sadock, (2007) menyatakan bahwa


sekitar 70% klien yang diberikan beberapa antipsikotik
mencapai kesembuhan. Terapi antipsikotik yang diberikan
pada fase pemeliharaan (maintenance) bertujuan untuk
mencegah kekambuhan dan meningkatkan fungsi yang
dimiliki klien. Pada fase pemeliharaan, klien yang
menggunakan antipsikotik secara teratur mengalami
kekambuhan sekitar 16-23%,. sedangkan klien yang tidak
mendapatkan antipsikotik secara teratur mengalami
kekambuhan lebih tinggi yaitu 53-72%.

Faktor presipitasi psikologis pada 27 klien teridentifikasi 11


klien atau sebesar 40,7 % didapatkan karena masalah
perceraian yang menyebabkan GSP halusinasi sehingga
berdampak pada pikiran dan perilaku negatif seperti keyakinan
bahwa halusinasi benar-benar nyata respon lainnya terkait
respon afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.

Secara sosial budaya faktor sosial ekonomi yang rendah atau


karena kemiskinan pada hasil pengkajian ini dari 27 klien
didapatkan sebanyak 20klien atau sebesar 74, 1 % . Faktor
kemiskinan telah dibahas dan terintegrasi pada faktor
predisposisi sosial budaya.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
98 
 

Asal stresor pada klien skizofrenia dengan halusinasi bersal


dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri
sendiri berupa stresor secara biologis dan psikologis,
sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005)
pada Model Stres Adaptasi Stuart bahwa stresor dapat berasal
dari internal maupun eksternal. Seluruh klien skizofrenia
dengan halusinasi (100%) kelolaan memiliki sumber stresor
internal dan 33,33% diantaranya juga memiliki stresor
eksternal selain stresor internal. Lama stresor 75% memiliki
lebih dari tiga stresor.

Menurut Stuart dan Laraia (2005) jumlah stresor lebih dari


satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu atau dalam
waktu yang bersamaan lebih sulit diselesaikan dibandingkan
dengan satu stresor dalam satu waku. Setiap stresor atau
masalah membutuhkan koping masing-masing sehingga
semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka
individu tersebut makin dituntut untuk memiliki koping yang
adekuat yang dapat mengatasi stresornya. Pada klien kelolaan
ini kemampuan koping tidak adekuat sehingga klien jatuh pada
kondisi isolasi sosial.

5.1.2.4 Penilaian Terhadap Stresor


Penilaian terhadap stresor yang ditemukan berdasarkan hasil
pengkajian pada klien dengan GSP halusinasi dimanifestasikan
dalam bentuk respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis,
perilaku dan respon sosial.

Pada hasil pengkajian dari 27 klien skizofrenia dengan


halusinasi didasarkan respon kognitif lebih banyak
menganggap halusinasi nyata berupa suara-suara gaib,

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
99 
 

halusinasi susah dikontrol sebanyak 17 klien atau sebesar 63


%. Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses
adaptasi, dimana faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu
kejadian yang penuh dengan stres, memilih koping yang akan
digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial
seseorang (Stuart & Laraia, 2005). Penilaian secara kognitif
merupakan mediator fisiologis antara individu dengan
lingkungannya terhadap suatu stresor.

Respon afektif lebih banyak bersedih dan kecewa sebanyak 10


klien atau sebesar 3,7 %. Stuart (2009) yang menjelaskan
bahwa pada respon afektif terkait erat dengan respon emosi
dalam menghadapi masalah. Respon yang muncul dapat
berupa perasaan sedih, gembira, takut, tidak menerima, tidak
percaya, dan menolak hubungan dengan orang lain. Penilaian
afektif sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor yang
diterima dari waktu ke waktu. Rasa sedih karena kehilangan
terutama terhadap sesuatu yang berarti dalam kehidupan
seringkali menyebabkan seseorang menjadi takut untuk
menghadapi kehilangan berikutnya

Respon fisiologis lebih banyak mengalami gangguan pola


tidur sebanyak 13 klien atau sebesar 55,6%. Respon fisiologis
yang ditemukan pada klien skizofrenia dengan halusinasi
kelolaan adalah gangguan pola tidur dan pola makan serta
keluhan-keluhan fisik (psikosomatis). Berdasarkan hasil
pengkajian didapatkan data bahwa klien dengan masalah GSP
halusinasi hanya terfokus pada persepsi dan pikirannya sendiri
sehingga hal ini menyebabkan motivasi menurun dan
menghambat aktivitas sehari-hari. Klien menjadi sulit tidur
karena pikiran tidak tenang dan malas makan serta kegiatan
harian lainnya. Lapang persepsi klien menyempit hanya

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
100 
 

berfokus pada diri sendiri sampai klien merasa bermasalah


secar fisik (keluhan fisik). Respon fisik pada klien skizofrenia
dengan halusinasi menurut Townsend (2009); NANDA
(2007); Keliat, dkk(2005) adalah kekurangan energi, lemah,
insomnia/hipersomnia, penurunan/peningkatan nafsu makan,
malas melakukan aktifitas, kseulitan melakukan tugas yang
kompleks.

Respon perilaku lebih banyak klien bicara dan tertawa sendiri


sebanyak 25 klien atau sebesar 92,6 %. Respon perilaku
dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan atau
kegiatan yang dilakukan klien berkaitan dengan pandangannya
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart &
Laraia, 2005).

Respon sosial lebih banyak menghindari interaksi atau jarang


berinteraksi sebanyak 15 klien atau sebesar 55,6 %. Respon
sosial merupakan serangkaian hasil dari respon kognitif,
afektif, fisiologis, dan perilaku yang ditunjukkan dengan
berhubungan dengan orang lain. Hasil pengkajian pada klien
skizofrenia dengan halusinasi teridentifikasi tiga respon sosial
yang negatif, yaitu aktivitas terbatas, hubungan dengan orang
lain buruk, dan menghindari orang lain. Dalam hal ini klien
dalam menghadapi masalah menunjukan respon atribut sosial,
yaitu individu mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap masalah yang ada.

5.1.2.5 Sumber Koping

Berdasarkan data hasil pengkajian diketahuinya klien


skizofrenia dengan halusinasi didasarkan pada kemampuan
personal klien skizofrenia dengan halusinasi lebih banyak
mandiri dalam mengontrol halusinasi sebanyak 19 klien atau

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
101 
 

sebesar 70,4 %. Kemampuan personal yang harus dimiliki


klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009)
bahwa kemampuan yang harus dimiliki klien dalam mengatasi
masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau
mengidentifikasi masalah, menentukan masalah yang akan
diatasi, dan kemampuan menyelesaikan masalahnya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Carolin (2008),


menyatakan bahwa semakin lama klien skizofrenia dirawat di
rumah sakit akan semakin mengenal, mengetahui cara
mengatasi masalahnya dan semakin mandiri dalam melakukan
aktifitas yang telah dilatih. Lebih lanjut Carolin (2008) dalam
penelitiannya di RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan
bahwa klien skizofrenia yang dirawat lebih dari bulan
memiliki kemampuan dalam mengontrol halusinasi meningkat
dibandingkan dengan klien yang dirawat kurang dari satu
bulan.

Dukungan sosial atau dukungan keluarga sebagai care giver


utama lebih banyak tidak tahu dan tidak mampu mengatasi
GSP halusinasi sebanyak 22 klien atau sebesar 81,5 %.
Keluarga sebagai sumber social support bagi klien sebanyak
100% tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
merawat klien isolasi sosial. Menurut Friedman (1998), salah
satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan.
Anggota keluarga sebagai orang terdekat dan selalu
berdampingan dengan klien idealnya memiliki kemampuan
dalam merawat klien (caregiver) secara optimal. Pada klien
gangguan jiwa, perawatan yang berkesinambungan hingga
klien pulang ke rumah akan mengurangi angka kekambuhan.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
102 
 

Ketersediaan materi lebih banyak ditunjang oleh keluarga


sebanyak 26 klien atau sebesar 96,3 % dan lebih banyak dapat
mengakses pelayanan kesehatan baik ke Puskesmas dan rumah
sakit sebanyak 24 klien atau sebesar 88,9%. Kader kesehatan
jiwa merupakan sumber daya masyarakat yang potensial dan
diharapkan mampu berpartisipasi dalam perawatan klien
gangguan jiwa di masyarakat (Keliat, Panjaitan, &
Riasmini2010). Kader kesehatan jiwa melakukan kunjungan
rumah pada klien gangguan jiwa yang telah mandiri untuk
memantau kemampuan klien dalam kegiatan sehari-hari,
bersosialisasi, dan patuh minum obat. Dengan demikian kader
kesehatan jiwa merupakan sumber dukungan sosial bagi klien
di komunitas. Menurut Taylor, dkk (2003) dukungan sosial
sangat membantu seseorang dalam meningkatkan pemahaman
terhadap stresor sehingga mampu mencapai ketrampilan
koping yang efektif.

Pembiayaan selama perawatan di rumah sakit ditanggung oleh


pemerintah melalui program jaminan kesehatan masyarakat
dan daerah. Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material
aset merupakan salah satu sumber koping (Stuart & Laraia,
2005). Seseorang yang memiliki material asset
memungkinkan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan sebagai solusi terhadap masalah kesehatan yang
sedang dihadapi.

Mayoritas klien (92,6%) memiliki keyakinan positif terhadap


kondisi penyakitnya. Keyakinan positif dapat meningkatkan
motivasi klien dalam menyelesaiakan stresor yang dihadapi.
Pada pengkajian teridentifikasi bahwa klien sebenarnya
memiliki keinginan besar untuk hidup lebih baik, dan merasa

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
103 
 

optimis dengan bantuan perawat serta dukungan keluarga dan


kader kesehatan jiwa akan mampu mengatasi masalahnya.

5.1.3 Fase Eksploitasi


Fase eksploitasi perawat berperan membantu klien mengerjakan
tugas-tugas melalui hubungan kooperatif dan partisipatif aktif antara
perawat dan klien. Berikut ini akan diuraikan peran perawat dalam
pelaksanaan CBT.
5.1.3.1 Terapi generalis Individu
Hasil pelaksanaan terapi generalis menunjukkan bahwa
keseluruhan klien mampu mengontrol halusinasi baik kognitif,
psikomotor dan afektif. Menurut Varcolis (1990) terdapat tiga
kemampuan yang harus dimiliki oleh klien skizofrenia dengan
halusinasi diantaranya secara kognitif pengetahuan klien
dalam mengontrol halusinasinya. Perawat terlebih dahulu
memberi informasi tentang halusinasi dan cara untuk
mengontrolnya.

Pada aspek kognitif peran perawat adalah sebagai seorang


pengajar (teaching role). Peran ini terus berlanjut pada saat
klien halusinasi diberi latihan untuk mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik kemudian melatih klien untuk
mampu mandiri mengontrol halusinasinya. Pada proses ini
diharapkan terjadi perubahan perilaku melalui proses belajar
selama intervensi keperawatan generalis dilakukan.
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perubahan perilaku
pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Selama dalam
proses menuntun klien agar mampu mengontrol halusinasinya
tersirat juga peran perawat sebagai seorang pemimpin
(leadership). Hal ini juga ketika perawat melakukan terapi
generalis keluarga dan kelompok sebagai seorang leader
dalam memimpin terapi aktifitas kelompok.

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
104 
 

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan klien halusinasi dalam


mengontrol halusinasinya selama diberikan terapi generalis
teringrasi juga peran perawat sebagai seorang pengajar dan
seorang pemimpin yang akan menuntun klien bagaimana cara
menghardikhalusinasi.

5.1.3.2 Terapi cognitive behavior therapy


Hasil kajian pada pelaksanaan CBT pada klien skizofrenia
dengan halusinasi menunjukkan bahwa bahwa dari 27 klien
skizofrenia dengan halusinasi sebagian besar (85,1%)
memiliki kemampuan mengontrol halusinasi. Peran perawat
sebagai seorang pengajar dalam fase eksploitasi ini terlihat
dari hasil pelaksanaan CBT. Pada pasien yang mendapatkan
pelaksanaan asuhan keperawatan generalis halusinasi, Hasil
kajian pada pelaksanaan CBT pada klien skizofrenia dengan
halusinasi menunjukkan bahwa bahwa dari 27 klien
skizofrenia dengan halusinasi sebagian besar (85,1%)
memiliki kemampuan mengontrol halusinasi . Kemampuan
klien dalam mengontrol tidak terlepas dari proses belajar.
Dalam pelaksanaan CBT pasien diberi informasi dan cara
belajar ketrampilan baru dalam mengontrrol halusinasi
(Oemarjoedi, 2003). Kemampuan klien dalam mengontrol
halusinasi diawali pada saat klien melakukan terapi generalis
dimana klien halusinasi diharapkan mampu mengontrol
halusinasinya melalui kemampuan kognitif terkait cara
mengontrol halusinasinya sedangkan menyatakan bahwa
dalam proses CBT klien halusinasi diajarkan ketrampilan baru
untuk mengatasi masalah halusinasinya.

Selama fase eksploitasi pasien berupaya untuk memperoleh nilai


secara utuh dari apa yang ditawarkan melalui hubungan. Tujuan

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
105 
 

baru dicapai melalui upaya diri sendiri yang dapat diperkirakan,


dan pergantian kekuatan dari perawat ke pasien sebagai
penundaan kepuasaan untuk mencapai tujuan yang baru saja
terbentuk.Peran perawat pada fase ini adalah kepemimpinan
(leadership role) peran ini diaplikasikan dengan membantu klien
mengerjakan tugas-tugas melalui hubungan kooperatif dan
partisipatif aktif. Selain menjalani peran sebagai seorang
pemimpin, peran lainnya adalah peran pengajaran (teaching role)

Peran ini merupakan kombinasi dari seluruh peran dan selalu


berasal dari hal yang diketahui klien dan dikembangkan dari
minatnya dalam keinginannya dan kemampuannya menggunakan
informasi. Aplikasi pengajaran berdasarkan pada tehnik
psikoterapi dengan metode konselor perawat.

Peran pengganti/ wali (surrogate role) dimana klien menganggap


perawat berperan sebagai walinya. Setiap sikap dan perilaku
perawat dapat memberi perasaan tersendiri bagi klien yang
bersifat reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Fungsi
perawat adalah membimbing klien mengenali dirinya dengan
sosok yang klien bayangkan. Perawat membantu klien melihat
diri perawat dengan sosok yang dibayangkannya. Perawat dan
klien mendefinisikan area keterikatan, ketidakterikatan dan antar
keterikatan.

Peran konselor (counseling role) dimana peran ini sangat besar


dalam keperawatan psikiatrik. Peran ini bertujuan membantu
klien dalam mengingat dan memahami sepenuhnya apa yang
tengah terjadi pada dirinya saat ini sehingga suatu pengalaman
dapat diintegrasikan bukannya dipisahkan dengan pengalaman
lainnya dalam hidupnya. Proses pelaksanaan juga tidak terlepas
dari peran perawat dalam fase eksploitasi ini dimana peran

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
106 
 

sebagai seorang pemimpin, guru dan wali bagi klien akan


memberi dampak berupa tingkat keyakinan klien pada perawat.
Perawat memberik

Menurut Varcolis (1990) ada tiga kemampuan yang harus dimiliki


oleh klien dengan halusinasi dalam mengontrol halusinasi
meliputi kemampuan kognitif, psikomotor, afektif. Terkait
kemampuan yang dikemukan oleh Varcolis bahwa dalam
pelaksanaan Cognitive Behavior Therapy, perawat terlebih dahulu
memberikan informasi tentang cara mengontrol halusinasi secara
generalis seperti cara menghardik, bercakap-cakap,aktivitas dan
obat.

5.1.4 Fase Resolusi


Fase resolusi perawat berperan membantu klien mengerjakan tugas-
tugas melalui hubungan kooperatif dan partisipatif aktif antara
perawat dan klien. Kemampuan klien halusinasi dalam mengontrol
halusinasi terlihat dengan berkurangnya frekuensi, durasi dan
keyakinan klien terhadap halusinasinya. Hal ini dapat diamati dari
respon kognitif klien yang semula masih memiliki anggapan dan
keyakinan yang kuat akan isi halusinasinya setelah diberikan
Cognitive Behavior Therapy klien merasa tidaklagi memiliki
perasaan takut akan isi halusinasinya yang terkadang mengancam
klien. Keliat dkk (2005), mengatakan bahwa kemampuan psikomotor
yang diharapkan pada halusinasi adalah mendemontrasikan cara
mengontrol halusinasi, melatih cara yang diajarkan saat halusinasi
muncul.

Berdasarkan evaluasi terhadap tindakan keperawatan pada klien


skizofrenia dengan halusinasi dan keluarganya ditemukan beberapa
hambatan antara lain tidak semua klien mengikuti secara tuntas
pelaksanaan CBT disebabkan ada beberapa klien yang sudah

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
107 
 

diperbolehkan pulang dan dijemput keluarga untuk melanjutkan


pengobatan dipoliklinik serta tidak semua keluarga yang ikut dalam
terapi generalis dan spesialis untuk keluarga. Sedangkan untuk
pelaksanaan terapi kelompok swabantu (self help group) sampai
diakhir kegiatan residensi tidak dapat dilakukan oleh karena
ketidakhadiran keluarga secara bersamaan karena alasan kesibukan
keluarga.

Adapun Rencana Tindak Lanjut (resolusi) bagi Klien skizofrenia


dengan halusinasi yang telah diizinkan pulang dianjurkan untuk
melakukan kontrol ke bagian poliklinik psikiatri dan poliklinik
konsultasi keperawatan dengan mengutamakan kehadiran klien
selama kontrol agar dapat diketahui perkembangannya selama
keberadaan klien di rumah bersama keluarga. Sementara untuk klien
yang belum pulang akan meneruskan kegiatan latihan yang sudah
dijadualkan sesuai dengan perkembangan klien masing-masing di
ruangan. Latihan ketrampilan selanjutnya akan dipimpin oleh
perawat, khususnya perawat spesialis jiwa di ruangan tersebut atau
perawat lain yang berkompeten, seperti supervisor yang bertanggung
jawab di ruangan tersebut. Bagi keluarga sebaiknya rutin
mengunjungi klien agar terpelihara dukungan sosial bagi klien dan
terjalin komunikasi yang baik dengan perawat ruangan. Selanjutnya
diharapkan keluarga dapat mengikuti program kelompok suportif dan
atau self help group yang dibentuk oleh perawat ruangan bersama
seluruh keluarga klien di ruangan Utari. Melalui kunjungan rutin dan
terlibat dengan kegiatan ruangan, keluarga dapat belajar cara
merawat klien secara langsung dan membentuk ikatan keluarga
peduli kesehatan jiwa.

Lingkungan Perawatan di sini termasuk diantaranya maanajemen


pelayanan dan asuhan klien di ruangan rawat yang meliputi kepala
ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana, supervisor, kepala bidang

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
108 
 

perawatan dan diklat RSMM. Kegiatan tindak lanjut meliputi;


melakukan dokumentasi terkait hasil tindakan dan program discharge
planning, melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan
sesuai jadual latihan klien, meningkatkan frekuensi interaksi kepada
klien, melakukan TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol
halusinasi, dan sosialisasi untuk masalah klien skizofrenia dengan
halusinasi, melakukan pertemuan keluarga secara terjadual,
melakukan kerjasama dengan pihak IGD Psikiatri dan poliklinik
keperawatan jiwa untuk melakukan kontrak pertemuan dengan
keluarga klien. Melakukan kolaborasi dengan unit rehabilitasi untuk
memfasilitasi klien dalam melatih keterampilan yang telah diberikan
agar klien merasa hidup produktif dan berguna. Memfasilitasi
penyusunan standar asuhan terapi spesialis dan pelatihan kompetensi
bagi perawat di ruangan. 

Universitas Indonesia 
  Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
109
 

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir serta saran
bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa.
6.1 Kesimpulan
Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen asuhan
keperawatan dan manajemen pelayanan keperawatan pada klien skizofrenia
dengan halusinasi yang diberikan terapi CBT menggunakan pendekatan
konsepsual model interpersonal Peplau dan model stres adaptasi Stuart di
Ruang Utari RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor. Kesimpulan yang didapatkan
dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
6.1.1 Hasil interaksi dalam hubungan terapeutik perawat - klien skizofrenia
dengan halusinasi pada fase orientasi menggambarkan perawat dengan
perannya sebagai orang yang asing bagi klien (role of stranger)
membutuhkan lebih dari satu kali interaksi untuk membina hubungan
saling percaya oleh karena fase orientasi adalah fase yang sangat
penting bagi seorang perawat untuk melangkah kefase-fase
selanjutnya.

6.1.2 Hasil pengkajian pada fase identifikasi terhadap karakteristik klien


skizofrenia dengan halusinasi umumnya berusia dewasa (33 tahun),
jenis kelamin wanita, tingkat pendidikan menengah (SMP), sudah
menikah dan pernah menikah namun diceraikan suami dengan lama di
rawat lebih dari dua sampai dengan tiga bulan.

6.1.3 Hasil pengkajian pada fase identifikasi terhadap faktor predisposisi


terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia yang paling banyak
ditemukan adalah pada aspek sosial kultural (64,1%) yaitu memiliki
riwayat keluarga miskin dan aspek psikologis yaitu riwayat introvert
(51,9%) serta sebagian kecil ada riwayat genetik (33,3%). Hasil

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
110
 

pengkajian faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan adalah


pada aspek biologis yaitu putus obat (81,5%) dengan waktu stresor
terbanyak kurang dari lima tahun(70,4%) dan jumlah stresor lebih dari
tiga(74,1%).

6.1.4 Hasil pengkajian pada fase identifikasi terhadap respon stresor secara
kognitif adalah sebagian klien skizofrenia dengan halusinasi (63%)
menganggap isi halusinasi nyata, secara afektif merasa sedih, takut dan
kecewa (37%), secara fisiologis mengalami gangguan pola tidur
(55,6%). Respon perilaku 92,6% klien sering bicara dan tertawa
sendiridan respon sosial 55,6% klien menghindari interaksi dengan
orang lain.

6.1.5 Hasil pengkajian pada fase identifikasi terhadap sumber koping


mayoritas klien (70,4%) tahu dan mampu mengontrol halusinasi secara
kognitif saja. Terhadap dukungan sosial dari keluarga umumnya tidak
tahu dan tidak mampu cara merawat klien skizofrenia dengan
halusinasi (18,5%). Seluruh klien memiliki jamkesmas/jamkesda
/SKTM, dan klien memiliki keyakinan akan sembuh dari penyakit
yang dialami (92,6%). Sedangkan mekanisme koping regresi (70,1%)
sering dilakukan oleh klien skizofrenia dengan halusinasi.

6.1.6 Rencana tindakan keperawatan yang telah disusun pada fase identifikasi
bertujuan untuk mengatasi masalah klien skizofrenia dengan halusinasi
dalam kemampuannya mengontrol halusinasi menggunakan standar
asuhan keperawatan pada tindakan keperawatan generalis dan spesialis
terapi CBT, pendekatan proses terjadinya masalah halusinasi melalui
pendekatan konsepsual model interpersonal Peplau dan model stres
adaptasi Stuart.

6.1.7 Hasil Pelaksanaan asuhan keperawatan pada fase eksploitasi terhadap


klien skizofrenia dengan halusinasi secara sinkronisasi dilakukan
melalui manajemen pelayanan keperawatan ruangan dengan metode

109

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
111
 

model praktik keperawatan profesional (MPKP) secara langsung


melibatkan direktur medik dan keperawatan, kepala bidang
keperawatan, kasi rawat inap, supervisor, dan kepala ruang Utari
beserta katim dan perawat pelaksana yang ada di ruangan. Seluruh
klien mendapatkan terapi CBT tetapi hanya 74,1 % secara tuntas
menyelesaikan keseluruhan sesi dalam CBT dengan frekuensi
pertemuan masing-masing sebanyak 4-6 kali.

6.1.8 Hasil pelaksanaan atau implementasi keperawatan pada fase resolusi


terhadap klien skziofrenia dengan halusinasi menunjukkan sebagian
(74,1%) klien yang tuntas mengikuti sesi CBT mengalami peningkatan
dalam kemampuan mengontrol halusinasi secara kognitif, psikomotor
dan afektif yang tampak dari respon klien secara kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku, dan sosial. Perubahan atau selisih nilai pre dan
post pada respon kognitif yaitu menganggap isi halusinasi nyata (63%)
menurun 51,9 %. Respon afektif berupa perasaan sedih,kecewa dan
takut (37%) menurun 33,3%, respon fisiologis yaitu gangguan pola
tidur (55,6%) menurun 14,8%, respon perilaku yaitu perilaku bicara
dan tertawa sendiri menurun masing-masing (92,6%) menurun 74,1%,
dan respon sosial berupa menghindari interaksi (55,6%) menurun
22,2%.

6.1.9 Penerapan manajemen asuhan keperawatan dan pelayanan


keperawatan pada klien skizofrenia dengan halusinasi yang diberikan
terapi CBT menggunakan pendekatan konsepsual model interpersonal
Peplau dan model stres adaptasi Stuart memberikan hasil yang efektif
terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi sehingga
menghasilkan respon perilaku yang adaptif.

6.1.10 Pelaksanaan terapi CBT memerlukan ruangan khusus untuk menjaga


privacy klien, sehingga mereka lebih fokus untuk mengikuti terapi dan
terapis dapat mengeksplorasi lebih dalam masalah-masalah yang
dialami klien klien skizofrenia dengan halusinasi.

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
112
 

6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa
saran yang disampaikan kepada semua pihak yang terkait dengan praktek
klinik keperawatan jiwa yaitu:
6.2.1 Kementrian Kesehatan
6.2.1.1 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan
keperawatan jiwa spesialis bagi klien di tatanan rumah sakit.

6.2.1.2 Menetapkan kebijakan yang berpihak kepada klien gangguan


jiwa terutama bagi mereka yang telah pulang ke masyarakat
mendapatkan haknya untuk dihargai dan hidup produktif,
sehingga menghindari terjadinya kekambuhan. Jika angka
kekambuhan menurun maka beban negara untuk memberikan
pengobatan kepada klien melalui jamkesmas/ jamkesda/ SKTM
yang digunakan selama ini akan berkurang, sehingga bisa
dialokasikan untuk pelayanan kesehatan lainnya.

6.2.2 Pelayanan Keperawatan


6.2.2.1 Direktur RSMM
Perlunya penempatan ners spesialis di ruang rawat inap psikiatri
untuk meningkatkan kualitas pelayanan klien khususnya
penerapan terapi CBT yang diberikan pada klien skizofrenia
yang mengalami masalah halusinasi dengan menetapkan
kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan
spesialis, khususnya diterbitkannya standar asuhan keperawatan
terkait dengan pelaksanaan manajemen kasus spesialis.

6.2.2.2 Kepala Bidang Keperawatan


Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan yang bersifat
spesialis melalui program perencanaan pengembangan tenaga
perawat spesialis jiwa dan membuat usulan mengenai
pembuatan standar asuhan keperawatan spesialis untuk

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
113
 

manajemen kasus pada klien skizofrenia dengan halusinasi.


Kepala bidang keperawatan juga diharapkan mampu mendorong
disediakannya fasilitas ruang konsultasi keperawatan di unit
poliklinik psikiatri sehingga klien yang telah pulang dari rumah
sakit mendapatkan pelayanan asuhan keperawatan spesialis
secara berkelanjutan.

6.2.2.3 Kepala Ruangan Utari


Mempertahankan dan meningkatkan peran perawat sebagai role
model dalam menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan
asuhan keperawatan jiwa khususnya penerapan terapi generalis
baik untuk individu, kelompok, dan keluarga sesuai dengan
standar asuhan keperawatan yang telah ditetapkan.

6.2.3 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI dan Kolegium


6.2.3.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak RSMM Bogor dalam
memberikan pelayanan kepada klien khususnya klien
skizofrenia dengan halusinasi dengan menggunakan konsep dan
teori keperawatan yang tepat.

6.2.3.2 Memberikan fasilitas terhadap praktik mandiri keperawatan jiwa


spesialis dengan standarisasi dan lisensi yang dapat
dipertanggunjawabkan melalui uji kompetensi.

6.2.4 Riset Keperawatan


Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas terapi CBT
pada klien skizofrenia dengan halusinasi dengan jumlah responden yang
lebih banyak dan instrumen yang valid dan reliabel.

6.2.5 Bagi Penulis


Mengembangkan kemampuan dalam manajemen asuhan keperawatan
dan manajemen pelayanan keperawatan sesuai dengan kondisi klien di
tatanan psikiatrik dengan menggunakan konsep teori keperawatan yang
sesuai. 

Universitas Indonesia 
Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
DAFTAR REFERENSI

Birchwood. (2009). Cognitive behaviour therapy for commend hallucination.


http//publications.cpa-apc.org/media,php?mid=503, diperoleh tanggal 10
Februari 2011.

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher.

Caroline. (2008). Pengaruh penerapan standar asuhan keperawatan halusinasi


terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi di RS Jiwa Soeharto
Heerdjan Jakarta. Tesis. Tidak dipublikasikan.

Christensen,P.J.,Kenney.,J.W. (2009). Proses keperawatan aplikasi model


konseptual. Edisi Indonesia, EGC.2009

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.


http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf,
dperoleh tanggal 22 April 2012.

Fitzpatrick, J. J. (1989). Concepal models of nursing: analysis and application.


California: Appleton & Lange.

Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing. new jersey. Pearson Education. Inc.

Gillies, D.A. (1996). Nursing management. (2nd ed.). New York: W.B. Saunders.

Hawari, D. (2002). Dimensi riligi dalam praktek psikiatri dan psikologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Kaplan, dkk. (1994). Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry. (7th ed).
Baltimore: Williams & Wilkins.

Kazantzis, Reinecke, and Freeman (2010). Cognitive and behavioral Theories in


clinical practice. America: The Guilford Press.

Keliat & Akemat.,(2010). Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok, Jakarta,


EGC

Keliat, B.A, Akemat (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta : EGC.

Kneisl, C.R., Wilson, S.K., & Trigoboff, E. (2004). Psychiatric mental health
nursing. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Universitas Indonesia

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Kusumawati, F. & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.

NIMH. (2011). The numbers count mental disorders in America


http://www.nimh.nih.gov/health/publications/index.shtml, diperoleh
tanggal 20-04-2012

Notoatmodjo,S.(2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Notoatmodjo,S.(2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar
2007. www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 10 Mei 2012

Sadock, B.J & Sadock, V.A. (2005). Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral science/ clinical psychiatry. 10th Ed. Lippincot: Williams &
Wilkins.

Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles and practice of psychiatric
nursing. (8th ed). St. Louis: Mosby.

Stuart, G.WT (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition).
St Louis: Mosby.

Tomey, A. M. & Alligood, M. R. (2009). Nursing theorist and their work


utilization and application. 3rd edition. St. Louis Missouri: Mosby Year
Book Inc

Townsend, C.M. (2005). Essentials of psychiatric mental health nursing. (3th


Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Townsend, M.C. (1995). Drug guide for psychiatric nursing. (2th ed).
Philadelphia: F.A Davis.

Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric nursing clinical guide; assesment tools and
diagnosis . Philadelphia :W.B Saunders Co.

Varcarolis, E.M., dkk. (2006). Foundations of psychiatric mental health nursing:


a clinical approach. (5th ed). St. Louis: Saunders.

Videbeck, S.L.(2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta. EGC.

Wahyuni, S.E. (2010). Pengaruh cognitive behaviour therapy terhadap halusinasi


pasien di Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan. Tesis. Tidak
dipublikasikan.

Universitas Indonesia

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: new Understanding,
new hope. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal 20 April 2012.

WHO. (2009). Improving health systems and services for mental health (Mental
health policy and service guidance package). Geneva 27, Switzerland :
WHO Press.

Universitas Indonesia

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


REKAPITULASI HASIL PENGKAJIAN KARAKTERISTIK PADA KLIEN GSP HALUSINASI DENGAR
DI RUANG UTARI RS Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 20 PEBRUARI-20 APRIL 2012

frekuensi Usia Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Frek dirwt lama dirawat
Onset (Thn)
Interaksi < 20 21-40 41-65 SD SMP SMA PT K TK BK K Janda (MRS) (bln)
No Klien < 2 >2 <1 1-5 >5 <1 1-5 >5 <1 1-3 >3
1 Nn.Valen 1 1 1 1 1 1 1 1
2 Nn. Eti M 1 1 1 1 1 1 1 1
3 Ny.Wiwit 1 1 1 1 1 1 1 1
4 Nn.Ella 1 1 1 1 1 1 1 1
5 Ny.Enah 1 1 1 1 1 1 1 1
6 Ny.Alis F 1 1 1 1 1 1 1 1
7 Nn.Debby P 1 1 1 1 1 1 1 1
8 Ny.Amelia C 1 1 1 1 1 1 1 1
9 Ny.Yulia 1 1 1 1 1 1 1 1
10 Ny.Tati R. 1 1 1 1 1 1 1 1
11 Nn.Nadia 1 1 1 1 1 1 1 1
12 Ny.Dian M 1 1 1 1 1 1 1 1
13 Ny.Aisyah 1 1 1 1 1 1 1 1
14 Ny.Maem 1 1 1 1 1 1 1 1
15 Ny.Kesih 1 1 1 1 1 1 1 1
16 Ny.Ai/Uti 1 1 1 1 1 1 1 1
17 Ny.Eny s 1 1 1 1 1 1 1 1
18 Nn.Neni 1 1 1 1 1 1 1 1
19 Ny.Novi D 1 1 1 1 1 1 1 1
20 Nn.Hema S 1 1 1 1 1 1 1 1
21 Ny..Vera M 1 1 1 1 1 1 1 1
22 Ny.Yanti 1 1 1 1 1 1 1 1
23 Ny.Sukarsih 1 1 1 1 1 1 1 1
24 Ny.Atih 1 1 1 1 1 1 1 1
25 Ny.Muriai 1 1 1 1 1 1 1 1
26 Nn.Fitri Y 1 1 1 1 1 1 1 1 1
27 Nn.Lamsihar 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah 20 7 1 15 11 7 11 7 2 0 27 9 10 8 1 16 10 1 17 9 1 12 14
Persentase 74,07 25,9 3,7 55,6 40,7 25,9 40,7 25,9 7,4 - 100,0 33,3 37,0 29,6 3,7 59,3 37,0 3,7 63,0 ### 3,7 44,4 51,9

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


REKAPITULASI HASIL PENGKAJIAN FAKTOR PREDISPOSISI & PRESIPITASI PADA KLIEN GSP HALUSINASI DENGAR
DI RUANG UTARI RS Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 20 PEBRUARI-20 APRIL 2012

Faktor Predisposisi Faktor Presipitasi


biologis Psikologis Sosial Kultural Biologis Psikologis Sosial
No Klien Genetik Peny.fisik/t Introver Ggn Pola Pengalam kel.miskin PHK Putus Peny.Kron Riwayat Putus Harapan Masalah Ekonomi
(generasi rauma asuh an obat/tdkpatu is/NAPZA Cerai /ditolak/ci tidak pekerjaan rendah
1,2) kekerasa h nta realistis
n minumobat
1 Nn.Valen 1 1 1 1 1 1
2 Nn. Eti M 1 1 1 1 1 1
3 Ny.Wiwit 1 1 1 1 1 1
4 Nn.Ella 1 1 1 1 1 1
5 Ny.Enah 1 1 1 1 1 1
6 Ny.Alis F 1 1 1 1 1 1
7 Nn.Debby P 1 1 1 1 1 1
8 Ny.Amelia C 1 1 1 1 1 1
9 Ny.Yulia 1 1 1 1 1 1
10 Ny.Tati R. 1 1 1 1 1 1
11 Nn.Nadia 1 1 1 1 1 1
12 Ny.Dian M 1 1 1 1 1 1
13 Ny.Aisyah 1 1 1 1 1 1
14 Ny.Maem 1 1 1 1 1 1
15 Ny.Kesih 1 1 1 1 1 1
16 Ny.Ai/Uti 1 1 1 1 1 1
17 Ny.Eny s 1 1 1 1 1 1
18 Nn.Neni 1 1 1 1 1 1
19 Ny.Novi D 1 1 1 1 1 1
20 Nn.Hema S 1 1 1 1 1 1
21 Ny..Vera M 1 1 1 1 1 1
22 Ny.Yanti 1 1 1 1 1 1
23 Ny.Sukarsih 1 1 1 1 1 1
24 Ny.Atih 1 1 1 1 1 1
25 Ny.Muriai 1 1 1 1 1 1
26 Nn.Fitri Y 1 1 1 1 1 1
27 Nn.Lamsihar 1 1 1 1 1 1
9 18 14 6 7 20 7 22 5 11 6 10 7 20
%          33,3           66,7            51,9          22,2        25,9            74,1          25,9           81,5          18,5       40,7          22,2       37,0              25,9          74,1

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


REKAPITULASI MEKANISME KOPING

no nama Proyeksi Regresi


1 Nn.Hasanah 1
2 Nn. Eti M 1
3 Ny.Wiwit 1
4 Nn.Ella 1
5 Ny.Enah 1
6 Ny.Alis F 1
7 Nn.Debby P 1
8 Ny.Amelia C 1
9 Ny.Yulia 1
10 Ny.Tati R.
11 Ny.Isor 1
12 Ny.Dian M 1
13 Ny.Aisyah 1
14 Ny.Maem 1
15 Ny.Kesih 1
16 Ny.Ai/Uti 1
17 Ny.Eny s 1
18 Nn.Neni 1
19 Ny.Novi D 1
20 Nn.Hema S 1
21 Ny..Vera M 1
22 Ny.Yanti 1
23 Ny.Sukarsih 1
24 Ny.Atih 1
25 Ny.Muriai 1
26 Ny.Fitri Y 1
27 Ny.Lamsihar 1
Jumlah 7 19
Prosentase 25,9 70,4

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012
REKAPITULASIPENILAIAN TERHADAP STRESSOR PADA KLIEN HALUSINASI DENGAR
DI RUANG UTARI RS Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 20 PEBRUARI-20 APRIL 2012
Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial
Keterangan
No Klien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 Nn.Hasanah 1 1 1 1 1 1 Suara pria tdk dikenal,mengancam,mengajak nikah
2 Nn. Eti M 1 1 1 1 1 suara mengejek tdk cantik dan jelek
3 Ny.Wiwit 1 1 1 1 1 2 Tidak berguna, tdk berbakti pd suami,anak,ortu
4 Nn.Ella 1 1 1 1 1 1 3 Merasa takut dgn isi halusinasi
5 Ny.Enah 1 1 1 1 1 4 Sedih dan kecewa dgn isi halusinasi
6 Ny.Alis F 1 1 1 1 1 5 Marah dan curiga dhn isi halusinasi
7 Nn.Debby P 1 1 1 1 1 6 Diam dan tdk berespon dgn isi halusinasi
8 Ny.Amelia C 1 1 1 1 1 1 7 Sulit konsentrasi
9 Ny.Yulia 1 1 1 1 1 8 Gangguan pola tidur
10 Ny.Tati R. 1 1 1 1 1 9 Gangguan pola makan
11 Ny.Isor 1 1 1 1 10 Keluhan fisik(sakit kepala)
12 Ny.Dian M 1 1 1 1 1 11 Bicara sendiri/tertawa sendiri
13 Ny.Aisyah 1 1 1 1 1 12 Senyumsendiri,menyendiri, senang melamun
14 Ny.Maem 1 1 1 1 1 13 Aktivitas terbatas
15 Ny.Kesih 1 1 1 1 1 14 Berbicara dengan orang lain
16 Ny.Ai/Uti 1 1 1 1 1 15 Menghindari interaksi/jarang berinteraksi
17 Ny.Eny s 1 1 1
1 1
18 Nn.Neni 1 1 1 1 1
19 Ny.Novi D 1 1 1 1 1
20 Nn.Hema S 1 1 1 1 1
21 Ny..Vera M 1 1 1 1 1
22 Ny.Yanti 1 1 1 1
23 Ny.Sukarsih 1 1 1 1 1
24 Ny.Atih 1 1 1 1 1
25 Ny.Muriai 1 1 1 1 1
26 Ny.Fitri Y 1 1 1 1
27 Ny.Lamsihar 1 1 1 1
17 10 10 9 3 5 5 13 3 4 25 2 4 8 15
63 37 37 33,3 11,1 18,5 18,5 48,1 11,1 14,8 92,6 7,41 14,8 29,6 55,6

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


REKAPITULASI HASIL PENGKAJIAN SUMBER KOPING PADA KLIEN GSP HALUSINASI DENGAR
DI RUANG UTARI RS Dr.MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 20 PEBRUARI-20 APRIL 2012
Kemampuan Dukungan Ketersediaan Material Keyakinan
Personal Sosial Aset Positif Keterangan
No Klien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Nn.Hasanah 1 1 1 1 1 1 1 Mampu mengontrol halusinasi(kognitif)
2 Nn. Eti M 1 1 1 1 1 1 1 2 Tidak mandiri mengontrol halusinasi
3 Ny.Wiwit 1 1 1 1 1 1 1 3 Keluarga tdk tahu/tdkmampu atasi halusinasi
4 Nn.Ella 1 1 1 1 1 1 4 Keluarga tahu/mampu atasi halusinasi
5 Ny.Enah 1 1 1 1 1 1 1 5 Material aset :penghasilan pasien
6 Ny.Alis F 1 1 1 1 1 1 6 Material aset :penghasilan keluarga
7 Nn.Debby P 1 1 1 1 1 1 7 Jarak kePKM/RS dapat dijangkau
8 Ny.Amelia C 1 1 1 1 1 1 1 8 Jarak kePKM/RS tidak dapat dijangkau
9 Ny.Yulia 1 1 1 1 1 1 9 Keyakinan positif : sembuh
10 Ny.Tati R. 1 1 1 1 1 1 1 10 Keyakinan positif : tidak akan sembuh
11 Ny.Isor 1 1 1 1 1 1 1
12 Ny.Dian M 1 1 1 1 1 1 1
13 Ny.Aisyah 1 1 1 1 1 1 1
14 Ny.Maem 1 1 1 1 1 1
15 Ny.Kesih 1 1 1 1 1 1 1
16 Ny.Ai/Uti 1 1 1 1 1 1 1
17 Ny.Eny s 1 1 1 1 1 1 1
18 Nn.Neni 1 1 1 1 1 1 1
19 Ny.Novi D 1 1 1 1 1 1 1
20 Nn.Hema S 1 1 1 1 1 1 1
21 Ny..Vera M 1 1 1 1 1 1 1
22 Ny.Yanti 1 1 1 1 1 1 1
23 Ny.Sukarsih 1 1 1 1 1 1 1
24 Ny.Atih 1 1 1 1 1 1 1
25 Ny.Muriai 1 1 1 1 1 1 1
26 Ny.Fitri Y 1 1 1 1 1 1 1
27 Ny.Lamsihar 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah 19 8 27 22 5 23 26 26 25 2
Prosentase 70,4 29,6 100,0 81,5 18,5 85,2 96,3 96,3 92,6 7,4

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


MODUL PELAKSANAAN TERAPI SPESIALIS:
COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY (CBT)
(PSIKOTERAPI UNTUK INDIVIDU)

Disusun oleh :
Ns. Ira Erwina, S. Kep.,M.Kep.
Dr. Budi Anna Keliat, S. Kp, M. App., Sc
Novy Helena C.D, S. Kp, M.Sc.
Eyet Hidayat, S.Kp.
Ns. Satrio Kusumo Lelono, S.Kep.
Ns. I Ketut Sudiatmika, S.Kep.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2011

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Modul
Pelaksanaan Terapi Spesialis dengan judul ” Modul Pelaksanaan Terapi
Spesialis: Cognitive Behavioural Therapy (CBT)”. Modul ini merupakan
pengembangan dan revisi dari modul sebelumnya yang telah dibuat.

Modul yang digunakan dalam penyusunan ini dari modul CBT yang
dikembangkan oleh Erwina (2010) untuk klien dengan PTSD. Penyusun
memodifikasi modul tersebut yang disesuaikan untuk klien dengan perilaku
kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah terutama pada latar belakang
penggunaan terapi. Pada prinsipnya implementasi CBT tidak dilakukan
modifikasi, dimana tetap menggunakan lima sesi yaitu: sesi 1 pengkajian, sesi 2
terapi kognitif, sesi 3 terapi perilaku, sesi 4 evaluasi terapi kognitif dan perilaku,
sesi 5 mencegah kekambuhan.

Penyusun mencoba memberikan penegasan dan penjelasan pada setiap sesi


pelaksanaan CBT berdasarkan teori yang dipelajari. Penjelasan tersebut
diharapkan akan mempermudah terapis dalam memahami dan melaksanakan
setiap sesi CBT sehingga tujuan terapi dapat tercapai.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang setulusnya


kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Indonesia
2. Ibu Dewi Irawati, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
3. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian
penyusunan modul ini.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Kami mengharapkan masukan dari berbagai pihak untuk dapat
mengembangkan modul ini sehingga dapat digunakan dalam semua setting
pelayanan kesehatan.

Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu pelayanan
asuhan keperawatan jiwa.

Jakarta, April 2011

Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.,Sc


Ketua Tim Penyusun

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami
gangguan jiwa, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan
25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu
selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030.
 
Gangguan jiwa berat yang paling banyak terjadi adalah skizofrenia (Stuart,
2009). Klien skizofrenia di Amerika Serikat adalah 1% dari penduduk Amerika,
atau satu dari 100 orang menderita skizofrenia, atau 2,5 juta orang, dengan tidak
membedakan ras, kelompok etnis, atau gender. Gangguan terjadi mulai usia rata-
rata 17 - 25 tahun, laki-laki rata-rata mulai usia 15 – 25 tahun, perempuan rata-
rata 25 – 35 tahun.  

Gangguan jiwa berat di Indonesia tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 4.6
permil, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima
diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Balitbang Depkes RI, 2008).
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI,
2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada
tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 orang. Data statistik direktorat kesehatan jiwa
menunjukan klien gangguan jiwa berat terbesar di Indonesia adalah skizofrenia
yaitu 70% (Dep.Kes, 2003) dan klien yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa di
seluruh Indonesia 90% Skizofrenia (Jalil, 2006).  

Skizofrenia merupakan gangguan neurobiologikal otak yang persisten dan serius,


sindroma secara klinis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara
individu, keluarga dan komunitas (Stuart, 2009). Menurut Keliat (2006)
skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), afek

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak)
dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan menurut
Halgin dan Whitbourne (2007, dalam Wahyuni, 2010) skizofrenia merupakan
kumpulan gejala berupa gangguan isi dan bentuk pikiran, persepsi,
emosi/perasaan, perilaku dan hubungan interpersonal. Dengan demikian pada
skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima
realita, gangguan emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta
gangguan dalam berhubungan dengan orang lain.

Simptom atau gejala yang tampak dari suatu skizofrenia dibagi dalam 5 dimensi,
yaitu simpton positif, simpton negatif, simpton kognitif, simpton agresif dan
hostilitas serta simpton depresi dan anxious (Shives, 2005; Sinaga, 2007). Gejala
positif mengambarkan fungsi normal yang berlebihan dan khas, meliputi waham,
halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan disorganisasi perilaku seperti katatonia
atau agitasi/kegelisahan. Simpton agresif dan hostile, simpton ini menekankan
pada masalah pengendalian impuls. Hostile bisa berupa penyerangan secara fisik
atau verbal terhadap orang lain, termasuk juga perilaku mencederai diri sendiri
(suicide), merusak barang orang lain atau seksual acting out. Simpton depresi dan
anxious pada klien skizofrenia sering kali didapatkan bersamaan dengan simpton
lain seperti mood yang terdepresi, mood cemas, rasa bersalah (guilt), tension,
irritabilitas atau kecemasan. Dari berbagai simpton diatas pada klien skizofrenia
mengambarkan banyaknya masalah yang muncul seperti penyerangan terhadap
orang lain, perilaku mencederai diri dan orang lain, halusinasi, depresi, rasa
bersalah/harga diri rendah, waham.

Menurut Stuart (2009) diagnosis keperawatan primer menurut NANDA yang


muncul pada skizofrenia dapat berupa resiko perilaku kekerasan, gangguan
sensori persepsi: halusinasi, harga diri rendah kronik, gangguan proses pikir:
waham dan yang lain.  Dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya skizoprenia
dapat disebabkan karena sebelumnya klien mengalami suatu stressor
menegangkan yang mengancam ego yang sudah lemah, ancaman tersebut
dipersepsikan menganggu konsep diri atau intregritas diri. Dimana aktualisasi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


klien belum tercapai sehingga klien mengalami harga diri rendah dan apabila hal
ini dipertahankan maka lama kelamaan klien akan depresi dan hal ini berlanjut
menjadi skizoprenia. Dan sebaliknya, pada klien skizoprenia pada kondisi
maladaptif juga ditemukan perilaku kekerasan dan halusinasi, serta dimasa
pemulihannya juga akan membuat klien mengalami harga diri rendah karena
merasa penyakitnya sulit disembuhkan dan kurangnya penerimaan keluarga dan
masyarakat. Hal ini tentu akan membuat klien akan mengalami depresi.

Tindakan keperawatan pada klien perilaku kekerasan, halusinasi maupun harga


diri rendah telah banyak dilakukan dengan pendekatan tindakan keperawatan
generalis. Tindakan keperawatan tersebut sesuai standar asuhan keperawatan
yang telah menjadi acuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di
rumah sakit jiwa. Tindakan keperawatan yang dilakukan memiliki dampak pada
penurunan gejala perilaku kekerasan, halusinasi dan peningkatan harga diri klien,
namun dampak tersebut belum diketahui sejauh mana efeknya terhadap
kemampuan klien dalam mengontrol ketiga gejala tersebut. Tindakan
keperawatan pada klien perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah di
atas, akan lebih efektif dan meningkatnya kemampuan klien secara adekuat bila
dipadukan dengan tindakan keperawatan lanjut / spesialis.
 
Salah satu bentuk tindakan keperawatan lanjut/spesialis yang dapat dilakukan
pada klien perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah adalah cognitive
behaviour therapy. British Association for Behavioural and Cognitive
Psychotherapies (2006) menyatakan cognitive behaviour therapy adalah terapi
yang membantu individu merubah cara berfikir dan perilakunya sehingga
perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada
masalah here and now serta kesulitan yang dihadapi. Dengan demikian cognitive
behaviour therapy merupakan suatu terapi yang dapat membantu klien merubah
pikiran dan perilakunya yang negatif menjadi positif dan berfokus pada keadaan
atau masalah yang dihadapi klien saat ini. Hal di atas diperkuat oleh pendapat
Froggrat (2006) bahwa cognitive behaviour therapy dilakukan pada klien depresi,
ansietas termasuk obsesive compulsive, agooraphobia, phobia spesifik, ansietas

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


menyeluruh dan post trauma, stress, gangguan makan, adikksi, hypochondriasis,
disfungsi sexual, manajemen marah, gangguan pengkontrolan impuls, prilaku
antisosial, kecemburuan, pemulihan sexual abuse, gangguan kepribadian,
masalah kesehatan mental kronis, disability psikis, skizofrenia, manajemen nyeri,
manajemen stress, gangguan prilaku pada anak dan remaja dan masalah
hubungan dalam keluarga.

Berdasarkan uraian diatas pada klien dengan skizofrenia yang mengalami


masalah secara kognitif/pikiran yang tidak realitis yang muncul pada klien
halusinasi dan pikiran yang tidak realistis/distorsi pikiran tadi mengakibatkan
klien berperilaku yang maladaptif yang tampak pada klien perilaku kekerasan dan
harga diri rendah, maka CBT dengan fokus pada perubahan pikiran
negatif/distorsi kognitif agar menjadi positif sehingga akan berimbas pada klien
agar dapat berperilaku positif dan adaptif.

Perawat sebagai salah satu anggota tim pelayanan kesehatan jiwa diharapkan
dapat memberikan terapi ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan
jiwa di rumah sakit maupun komunitas khususnya pada klien perilaku kekerasan,
halusinasi dan harga diri rendah.

1.2 Tujuan CBT


Tujuan Umum:
Membantu individu untuk dapat menolong diri sendiri dengan mengajarkan
cara mengubah pikiran dan perilaku negatif menjadi positif melalui
pembelajaran dan latihan terhadap kognitif dan perilaku sehingga
memungkinkan bagi klien untuk melakukan koping yang kontruktif dalam
jangka waktu yang panjang di masa yang akan datang.

Tujuan Khusus:
Klien mampu :
a. Mengemukakan pikitan dan perilaku yang negatif/menganggu 

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


b. Melakukan latihan terapi kognitif untuk melawan pikiran negatif yang
menganggu 
c. Melakukan latihan terapi perilaku untuk melawan perilaku negatif yang
dilakukan. 
d. Melakukan Evaluasi latihan terapi kognitif dan terapi perilaku
e. Melakukan upaya mencegah kekambuhan

1.3 Manfaat Modul


Modul ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan jiwa pada klien gangguan jiwa:
a. Bagi Klien, mendapatkan asuhan keperawatan yang berkualitas dan
profesional dari ahli terapi spesialis serta dapat dijadikan panduan
dalam meningkatkan kemampuan mengatasi pikiran dan perilaku
maladaptif untuk menjadi adaptif.
b. Bagi Rumah Sakit Jiwa, dapat dijadikan program untuk peningkatan
kemampuan klien dalam mengendalikan pikiran dan perilaku yang
maladaptif.
c. Bagi Perawat, dapat menerapkan terapi spasialis ini dalam upaya
pemberian asuhan keperawatan yang profesional dan bermutu ilmiah.
d. Bagi keilmuan, dapat sebagai evidance based dalam mengembangkan
tindakan keperawatan dengan pendekatan dual atau triple diagnosis
keperawatan

Manfaat ini diharapkan dapat menurunkan gejala dan meningkatan kemampuan


klien perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah dalam mengatasi
pikiran negatif yang berdampak pada perilaku yang maladaptif agar menjadi
adaptif.

Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk psikoterapi


yang didasarkan pada teori bahwa tanda-dan gejala fisiologis berhubungan
dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008). Sedangkan
menurut Epigee (2009) CBT merupakan terapi yang didasari dari gabungan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


beberapa intervensi yang dirancang untuk merubah cara berpikir dan memahami
situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang
mengganggu. Defenisi lain menyebutkan bahwa CBT adalah suatu terapi
psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku melalui pendekatan
restrukturisasi kognitif (Martin, 2010). CBT adalah terapi yang berfokus pada
masalah, bersifat aktif dan secara langsung membantu klien untuk melihat apa
sebenarnya penyebab mereka tertekan. (Center for CBT, 2006).

Cognitive behaviour therapy merupakan psikoterapi jangka pendek, yang


menjadi dasar bagaimana seseorang berfikir dan bertingkah laku positif dalam
setiap interaksi. Cognitive behaviour therapy berfokus pada masalah, berorientasi
pada tujuan dan kesuksesan dengan masalah disini dan sekarang (FIK-UI, 2009).
Psikoterapi ini akan memodifikasi atau merubah cara seseorang berpikir dan
bertindak dalam hal yang positif untuk menghadapi semua masalah yang
dialaminya.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, pada garis besarnya CBT adalah salah satu
bentuk terapi psikososial yang merubah pola pikir negatif menjadi positif
sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan
berubah menjadi perilaku yang adaptif. Sehingga pada akhirnya diharapkan
inividu memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif dalam menghadapi
masalah atau situasi sulit dalam setiap fase hidupnya.

Cognitive behaviour therapy diberikan kepada individu dengan indikasi


gangguan klinis khusus seperti : depresi, ansietas, panik, agoraphobia, sosial
phobia, bulemia, obsessive compulsive disorder, PTSD, psikosis, marah, distress
HIV, masalah keluarga, kelainan fungsi seksual, kerusakan personality (Royal
College of Psychiatris, 2005 & FIK-UI, 2009).

Beberapa karakteristik dari Cognitive Behaviour therapy (Stuart dan Laraia,


2005; NACBT, 2007) , yaitu :
1. Empirically based (berdasarkan pada pembuktian atau hasil penyusunan)

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Metode psikoterapi ini perlu didukung pembuktian yang luas untuk
mengatasi banyaknya masalah klinis.
2. Goal oriented (berorientasi pada tujuan)
Klien dan terapis mengidentifikasi tujuan yang jelas dengan menggunakan
evaluasi perkembangan klien dan hasil yang telah dicapai.
3. Practical (lebih merupakan praktek)
Klien dan terapis berfokus pada penjelasan dan pemecahan masalah
kehidupan, mendiskusikan masalah saat ini dan sekarang bukan riwayat
klien.
4. Collaborative (kerjasama)
Kerjasama dan partisipasi aktif klien dalam proses terapi sangat diperlukan
karena dapat membantu klien untuk berubah.
5. Open (terbuka)
Proses dalam terapi ini adalah terbuka dan fleksibel dimana antara klien dan
terapis dapat berdiskusi didalam proses terapi.
6. Homework (tugas pekerjaan rumah)
Klien diberikan tugas rumah untuk mengumpulkan data terkait dengan
keterampilan yang dimiliki, dan memberikan penguatan terhadap respons
tersebut.
7. Measurements (ada pengukuran)
Data dasar penilaian masalah perilaku di buat selama proses pengkajian
Penilaian tersebut di ulang selama interval yang teratur dan sampai pada
penyelesaian tindakan. Proses tindakan tersebut diawasi secara ketat.
8. Active (aktif)
Perubahan dan kemajuan yang bermakna dalam perawatan klien dapat
memberikan dampak pada kualitas hidup klien. Baik klien ataupun therapis
aktif dalam therapy. Therapis adalah sebagai pembimbing dan pelatih dan
klien mempraktekkan strategi pembelajaran dalam therapy.
9. Short term (jangka pendek)
CBT biasanya digunakan dalam jangka waktu yang pendek yang terdiri dari
6 sampai 20 sesi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Pada proses pelaksanaan CBT dibagi dalam 5 sesi, setiap sesi dilaksanakan
selama 30-45 menit untuk setiap klian.
a. Sesi 1 : Identifikasi pikiran dan perilaku negatif serta melawan satu
pikiran negatif
b. Sesi 2 : Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan melawan
pikiran negatif kedua
c. Sesi 3 : Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan dua serta
melawan perilaku negatif satu
d. Sesi 4 : Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan dua, perilaku
negatif satu dan melawan perilaku negatif kedua
e. Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya
disamping CBT untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan dan
membudayakan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri dan
berkesinambungan dalam mengatasi masalah

Peran terapis
1) Membantu klien mengungkapkan pikiran otomatis dan perilaku yang negatif
terhadap kejadian yang dialami.
2) Membantu klien belajar cara untuk mengatasi pikiran dan perilaku negatif
terhadap kejadian yang dialami.
3) Membantu klien menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan dalam
merubah perilaku negatif.
4) Menyepakati dengan klien konsekuensi positif dan konsekuensi negatif
terhadap perilaku yang ditampilkan.
5) Memberikan feed back pada klien atau hasil kemajuan dan perkembangan
terapi.
6) Mendiskusikan dengan klien tentang kemajuan dan perkembangan terapi.
7) Membantu klien untuk tetap menerapkan konsekuensi positif dan
konsekuensi negatif terhadap perilaku yang ditampilkan.
8) Mengevaluasi pelaksanaan tindakan terhadap perilaku dengan konsekuensi
yang telah disepakati.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


9) Membuat komitmen dengan klien untuk melakukan metode untuk mengubah
pikiran jadi positif dan perilaku jadi adaptif secara mandiri dan
bekesinambungan yaitu klien sendiri yang membantu dirinya untuk
mencegah kekambuhan jika klien mengalami kembali kejadian yang tidak
menyenangkan.
10) Membuat komitmen dengan klien untuk secara aktif melakukan pikiran,
perasaan dan perilaku positif dalam setiap masalah yang dihadapi.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


BAB II
IMPLEMENTASI COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY

Bab ini akan menjelaskan aplikasi dan strategi pelaksanaan Cognitive Behavior
Therapy pada masing – masing sesi dan bagaimana melakukannya.
2.1 SESI I CBT: Identifikasi pikiran dan perilaku negatif serta melawan
satu pikiran negatif
Kesulitan emosional dan perilaku yang dialami seseorang dalam hidup
disebabkan oleh cara mereka menginterpretasikan dan memahami berbagai
peristiwa yang dialami. Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri
seseorang dapat menyebabkan hilangnya kemampuan memproses informasi
secara efektif, oleh Aaron T. Beck dikenal dengan distorsi kognitif. Proses
tersebut yang membuat seseorang sering mempunyai pikiran negatif yang
selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang ditunjukannya.

Kognitif adalah tindakan atau proses mengetahui. Melibatkan kesadaran dan


penilaian yang memungkinkan otak untuk memproses informasi dengan cara
yang menjamin akurasi, penyimpanan, dan pengambilan. Orang dengan
skizofrenia sering tidak dapat menghasilkan pemikiran logis yang rumit dan
mengungkapkan kalimat yang koheren karena neurotransmisi dalam sistem
pengolahan informasi otak rusak (Stuart, 2009).

Penelitian menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi


GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal
sesuai perkembangan pada daerah frontal, dimana bagaian ini berfungsi
dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam
Stuart, 2009).

Copel (2007) menyebutkan bahwa tanda-tanda positif skizofrenia seperti


psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal pada lobus
temporalis. Sedangkan tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan
atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


pada lobus frontalis. Hal ini sesuai dengan Sadock dan Sadock (2007) yang
menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah aktivasi motorik,
intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi
bahasa. Sehingga apabila terjadi gangguan pada lobus frontalis, maka akan
terjadi perubahan kepribadian, tidak memiliki kemauan atau motivasi,
anhedonia yang mengarah pada harga diri rendah. Sedangkan fungsi utama
dan lobus temporalis adalah ingatan dan juga emosi. Sehingga gangguan
yang terjadi pada korteks temporalis dan nukleus limbik yang berhubungan
pada lobus temporalis akan menyebabkan timbulnya gejala halusinasi dan
perilaku kekerasan

Beberapa referensi menunjukkan bahwa neurotransmiter yang berperan


menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin. Satu teori yang
terkenal memperlihatkan dopamin sebagai faktor penyebab, ini dibuktikan
dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin pascasinaptik
mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataannya semakin efektif obat
tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia.

Dopamin penting dalam respon terhadap stress dan memiliki banyak koneksi
ke sistem limbik. Dopamin memiliki empat jalur utama dalam otak (1) Jalur
Mesolimbik di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke daerah-daerah dari
sistem limbik, termasuk amigdala, nucleus accumbens dan hipokampus. Jalur
mesolimbik dikaitkan dengan fungsi memori, emosi, gairah, dan kesenangan.
Kelebihan aktivitas dalam saluran mesolimbik telah terlibat dalam gejala
positif skizofrenia (misalnya halusinasi, delusi) dan perilaku emosi yang
muncul sebagai perilaku agresif dan kekerasan. (2) Jalur Mesokortikal di
daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke korteks. Jalur mesokortikal
berkaitan dengan kognisi, perilaku sosial, perencanaan, pemecahan masalah,
motivasi, dan penguatan dalam belajar, gejala negatif dari skizofrenia
(misalnya afek datar, apatis, kurangnya motivasi dan anhedonia) telah
dikaitkan dengan aktivitas berkurang dalam saluran mesocortical yang
mengarah pada kondisi harga diri rendah.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Pengolahan informasi dari klien dengan skizofrenia mengalami perubahan
karena defisit otak. Namun, gangguan dalam fungsi kognitif sering membuat
orang dengan skizofrenia mempunyai ide-ide dan perilaku berbeda dari
orang lain. Hal ini tampak dalam kesalahan interpretasi persepsi diri dan
kemampuan yang muncul pada klien perilaku kekerasa, halusinasi, delusi
dan harga diri rendah. Kesalahan dalam pengolahan informasi pada klien
skizofrenia ini yang sering dinamakan sebagai distorsi kognitif.

Terapi kognitif mengusulkan bahwa bukan peristiwa itu sendiri yang


menimbulkan kecemasan dan respon maladaptif melainkan penilaian orang
terhadap harapan, dan interpretasi dari peristiwa ini. Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh keputusan langsung terhadap
pikiran dan keyakinan seseorang (Beck, 1976, 1995 dalam Stuart, 2009)
Secara khusus, terapi kognitif percaya bahwa respon maladaptif timbul dari
distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan
dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak mencerminkan
realitas yang distorsi mungkin baik positif atau negatif. Bentuk distorsi
kognitif yang dapat terjadi pada seseorang menurut Stuart (2009) adalah :
1. Overgeneralization
Menggambarkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu
berdasarkan kejadian tunggal, contoh : Seorang mahasiswa yang dalam
suatu ujian mengatakan : “Sepertinya saya tidak akan lulus dalam
setiap ujian”
2. Personalization
Menghubungkan kejadian di luar terhadap dirinya meskipun hal
tersebut tidak beralasan, contoh : “atasan saya mengatakan produktifas
perusahaan sedang menurun tahun ini, saya yakin apa yang
dikatakannya ditujukan pada saya”

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


3. Dichotomus thinking
Berfikir ekstrim, menganggap segala sesuatunya selalu sangat bagus
atau sangat buruk, contoh : “bila suami meninggalkan saya, saya pikir
lebih baik saya mati”
4. Catastrophizing
Berpikir sangat buruk tentang orang dan kejadian, contoh ; “saya lebih
baik tidak mengisi formulir promosi jabatan itu, sebab saya tidak
menginginkan dan tidak akan nyaman dengan jabatan itu”
5. Selective abstraction
Berfokus pada detail, tetapi tidak relevan dengan informasi yang lain,
contoh : seorang istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya
sebab ia datang terlambat dari pekerjaannya, tetapi ia mengabaikan
perasaannya, hadiah dari suaminya tetap diterima dan libur bersama
tetap dilaksanakan.
6. Arbitary inference
Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data, contoh :
“teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia tidak mau
diajak pergi”.
7. Mind reading
Percaya seseorang mengetahui pikiran orang lain tanpa mengecek
kebenarannya, contoh : “mereka pasti berpikir kalau dirinya terlalu
gemuk atau terlalu kurus”.
8. Magnification
Melebih-lebihkan atau membuat tidak berarti pentingnya peristiwa,
contoh : “saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini
menunjukan betapa tidak kompetennya saya”.
9. Perfectionism
Segalanya harus lakukan dengan sempurna untuk merasakan
kesempurnaan dirinya, contoh : aku akan merasa gagal jika aku tidak
mendapatkan nilai A untuk semua ujianku”

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


10. Externalization self worth
Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain, contoh
: “saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu tetapi teman-
teman saya yang tidak menginginkan saya berada di sampingnya”.

Pengkajian terhadap pikiran dan perilaku negatif klien merupakan langkah


awal yang dilakukan dalam terapi ini. Klien akan menceritakan tentang
pikiran, perasaan dan perilaku negatif yang dialami terkait masalah perilaku
kekerasan, halusinasi maupun harga diri rendah yang dialami dengan
distimulus oleh terapis. Dari beberapa pikiran negatif yang teridentifikasi
maka akan dilatih satu pikiran negatif dengan beberapa pikiran positif dengan
dibantu oleh terapis.

Rupke dkk (2006), mengatakan : selama cognitive behaviour therapy terapis


membantu kliennya melalui beberapa langkah. Pertama klien menerima dan
mengakui bahwa beberapa persepsi dan interpretasinya terhadap kenyataan
mungkin salah (dapat disebabkan pengalaman masa lalu/faktor
keturunan/faktor biologis) dan interpretasi tersebut menyebabkan munculnya
pikiran negatif. Langkah berikutnya, klien belajar untuk mengakui pikiran
negatif (otomatis) dan menemukan pikiran alternatif yang akhirnya akan
merefleksikan kenyataan.

2.1.1 STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN SESI I CBT: Identifikasi


pikiran dan perilaku negatif serta melawan satu pikiran negatif
A. Tujuan
1. Klien mampu mengungkapkan pikiran otomatis dan perilaku negatif
terkait kejadian yang dialami
2. Latihan cara untuk mengatasi satu pikiran negatif
B. Setting
1. Pertemuan dilakukan di salah satu ruang rawat yang nyaman
2. Suasana ruangan harus tenang
3. Klien duduk berhadapan dengan terapis

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


C. Alat
1. Format evaluasi proses
2. Format dokumentasi
3. Format jadwal kegiatan harian
4. Catatan harian klien
5. Alat tulis
D. Metode
1. Diskusi dan tanya jawab
A. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Membuat kontrak dengan klien bahwa terapi akan dilaksanakan
secara individual dalam 5 (lima) sesi, dimana masing-masing sesi
dilakukan 2 kali selama 30 menit. Jika klien berhasil melewati
masing-masing sesi sesuai kriteria maka klien dapat melanjutkan ke
sesi berikutnya, jika tidak maka klien akan mengulangi sesi tersebut.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis
2) Perkenalan nama dan panggilan terapis
3) Menanyakan nama dan panggilan klien
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan bagaimana perasaan klien saat ini terkait kejadian yang
dialami
c. Kontrak
1) Menyepakati pertemuan sesi 1
2) Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu:
a) Membantu klien mengungkapkan pikiran otomatis yang
negatif tentang diri sendiri, perasaan dan perilaku negatif yang
dialami klien terkait kejadian yang dialami.
b) Latihan cara untuk mengatasi satu pikiran negatif

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


3) Terapis menjelaskan aturan sebagai berikut:
a) Lama kegiatan 30 menit
b) Klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
c) Klien berperan aktif dalam mengungkapkan perasaan, pikiran
dan perilakunya.
2. Fase Kerja
a. Terapis mendiskusikan tentang :
1) Pikiran otomatis yang negatif tentang diri sendiri setelah
mengalami kejadian yang tidak menyenangkan
2) Perasaan dan perilaku negatif yang muncul akibat pikiran negatif
setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan
3) Mencatat pikiran, perasaan dan perilaku negatif dalam buku kerja
klien
b. Melatih satu pikiran otomatis negatif
1) Memilih satu pikiran negatif yang akan dilatih untuk
mengatasinya
2) Mencatat pikiran positif untuk mengatasi pikiran negatif dalam
buku kerja klien
3) Latihan cara untuk mengatasi satu pikiran negatif
c. Terapis memberikan pujian atas komitmen dan semangat klien.
3. Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan klien setelah latihan
2) Mengevaluasi kemampuan klien mengenali pikiran negatif,
perasaan dan perilaku maladaptif yang dialami terkait dengan
kejadian yang tidak menyenangkan
3) Mengevaluasi kemampuan klien dalam melatih cara untuk
mengatasi satu pikiran otomatis negatif
4) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama klien yang baik

b. Tindak lanjut
1) Mencatat pikiran, perasaan dan perilaku negatif lainnya yang
belum disebutkan selama sesi berlangsung pada buku kerja klien

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2) Menganjurkan klien untuk latihan mandiri cara untuk mengatasi
pikiran negatif yang sudah dipelajari
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati topik percakapan pada sesi 2 yaitu klien mampu
mengatasi pikiran otomatis negatif yang kedua
2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 2

2.1.2 Evaluasi dan Dokumentasi


1. Evaluasi Proses
Evaluasi dilakukan saat proses CBT berlangsung, khususnya pada tahap
fase kerja. Keaktifan klien, keterlibatan klien dan proses pelaksanaan
kegiatan secara keseluruhan.

Format Evaluasi Proses CBT


Sesi 1 CBT: Pengkajian
Nilai
No Aspek yang dinilai
Tanggal Tanggal
1 Memperkenalkan diri dengan baik.
2 Mengungkapkan pikiran otomatis negatif
terhadap diri sendiri
3 Mengungkapkan perasaan dan perilaku
negatif yang timbul akibat pikiran negatif
4 Memilih satu pikiran otomatis negatif
untuk dilatih
5 Menyebutkan aspek positif yang dimiliki
untuk mengganti pikiran otomatis negatif
6 Melatih satu cara mengatasi pikiran
otomatis negatif yang pertama
Jumlah
A. Petunjuk penilaian:
1. Beri nilai 1 jika : perilaku tersebut dilakukan
2. Beri nilai 0 jika : perilaku tersebut tidak dilakukan
B. Prasyarat mengikuti sesi berikutnya:
1. Bila nilai ≥ 4 : klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya
2. Bila nilai ≤ 3 : klien harus mengulangi sesi
2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada catatan
proses keperawatan. Jika klien dianggap mampu, maka catatan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


keperawatan adalah klien mengikuti CBT sesi 1, klien mampu
mengungkapkan pikiran otomatis yang negatif tentang diri sendiri,
perasaan dan perilaku negatif yang dialami klien, memilih satu pikiran
negatif, mengidentifikasi hal positif dan latihan satu pikiran negatif
otomatis, klien dapat melanjutkan untuk mengikuti sesi 2. Jika klien
dianggap belum mampu, maka catatan keperawatan adalah klien
mengikuti CBT sesi 1, klien belum mampu mengungkapkan pikiran
otomatis yang negatif tentang diri sendiri, perasaan dan perilaku negatif
yang dialami klien, dianjurkan klien untuk melatih diri di secara mandiri
(buat jadwal).

2.2 SESI II. CBT: Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan
melawan pikiran negatif kedua
Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran,
keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain yang
lebih positif. Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan
klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai
peristiwa kehidupan.

Dalam sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif yang masih ada dan
melanjutkan dengan melatih mengatasi pikiran negatif yang kedua
menggunakan pikiran positif.

2.2.1 STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN SESI II. CBT: Evaluasi


latihan melawan pikiran negatif satu dan melawan pikiran negatif
kedua
A. Tujuan
1. Klien mampu mereview pikiran otomatis yang negatif yang masih
ada yang berkaitan dengan diri sendiri.
2. Klien mampu mendemonstrasikan cara mengatasi pikiran otomatis
negatif yang kedua

B. Setting
1. Pertemuan dilakukan di satu ruang rawat yang nyaman

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2. Suasana ruangan harus tenang
3. Klien duduk berhadapan dengan terapis
C. Alat
1. Format evaluasi proses
2. Format dokumentasi
3. Format jadwal kegiatan harian
4. Alat tulis
D. Metode
1. Diskusi dan tanya jawab

E. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan bagaimana perasaan klien saat ini
2) Menanyakan pikiran otomatis yang negatif yang belum
didiskusikan pada sesi 1
3) Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif yang pertama
masih sering muncul dan mengevaluasi kemampuan klien terkait
latihan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif yang pertama
4) Menanyakan apakah klien sudah memilih pikiran otomatis
negatif yang kedua untuk hari ini
c. Kontrak
1) Menyepakati terapi sesi 2.
2) Menjelaskan tujuan pertemuan sesi 2 yaitu mereview pikiran
otomatis yang negatif yang berkaitan dengan dirinya. Dan belajar
cara mengatasi yang pikiran otomatis negatif yang kedua
3) Menyepakati tempat dan waktu

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


3. Fase Kerja
a. Evaluasi kemampuan dan hambatan klien dalam membuat catatan
harian di rumah
b. Diskusikan dengan klien untuk memilih satu pikiran otomatis
negatif kedua yang ingin diselesaikan dalam pertemuan kedua ini
c. Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan
cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif
yang pertama yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek
positif yang dimiliki klien) dan minta klien mencatatnya dalam
lembar cara melawan pikiran otomatis negatif
d. Latih kembali klien untuk menggunakan aspek-aspek positif klien
dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang
sama seperti sesi pertama.
e. Tanyakan tindakan klien yang direncanakan untuk mengatasi
pikiran otomatis negatif keduanya tersebut.
f. Motivasi klien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain
g. Memberikan pujian terhadap keberhasilan klien.
h. Terapis memberi reinforcement positif terhadap keberhasilan klien
4. Terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah latihan mengatasi
pikiran otomatis negatif yang kedua.
2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan klien
b. Tindak lanjut
1) Anjurkan klien untuk latihan untuk pikiran otomatis negatif yang
lain.
2) Anjurkan klien untuk melatih cara mengatasi pikiran otomatis
negatif yang lain secara mandiri
3) Menganjurkan klien untuk mengidentifikasi aspek-aspek positif
lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif kedua yang

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


belum diidentifikasi dalam pertemuan kedua ini dan mencatatnya
dalam buku catatan hariannya
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati topik percakapan pada sesi 3 yaitu menyusun
rencana tindakan untuk mengatasi perilaku negatif dengan
memberikan konsekwensi positif dan konsekwensi negatif
kepada klien
2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 3

2.2.2 Evaluasi dan Dokumentasi


1. Evaluasi Proses
Evaluasi dilakukan saat proses CBT berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien melatih cara
mengatasi pikiran otomatis negatif yang kedua

Format Evaluasi Proses CBT


Sesi 2 CBT: Terapi kognitif
Nilai
No Aspek yang dinilai
Tanggal Tanggal
1 Memilih pikiran negatif yang kedua yang
ingin diatasi
2 Mengungkapkan keinginan untuk
mengatasi pikiran otomatis negatif
3 Menggunakan metode 3 (tiga) kolom
untuk mengubah pikiran negatif
4 Menulis pikiran positif untuk mengatasi
pikiran negatif yang kedua
5 Melatih cara untuk mengatasi pikiran
otomatis negatif yang kedua
Jumlah
A. Petunjuk penilaian:
1. Beri nilai 1 jika : perilaku tersebut dilakukan
2. Beri nilai 0 jika : perilaku tersebut tidak dilakukan
B. Prasyarat mengikuti sesi berikutnya:
1. Bila nilai ≥ 3 : klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya
2. Bila nilai ≤ 2 : klien harus mengulangi sesi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada catatan
proses keperawatan. Jika klien dianggap mampu, maka catatan
keperawatan adalah klien mengikuti CBT sesi 2, klien mampu mereview
pikiran negatif dan pikiran otomatis yang negatif serta cara penyelesaian
masalah. Klien dapat melanjutkan untuk mengikuti sesi 3. Jika klien
dianggap belum mampu, maka catatan keperawatan adalah klien
mengikuti CBT sesi 2, klien belum mampu merevieu pikiran negatif serta
cara penyelesaian masalah, dianjurkan klien untuk melatih diri di mandiri
/mengulangi sesi 2(buat jadwal).

2.3 SESI III. CBT: Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan
dua serta melawan satu perilaku negatif
Perilaku merupakan respon yg timbul secara eksternal, dipengaruhi oleh
stimulus lingkungan & dpt dikontrol secara primer oleh konsekuensi-
konsekuensinya. Perilaku dapat diamati, diukur, & dicatat oleh diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui
reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson
disebut operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan
sosial digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan kontrol terhadap
perilaku yang berlebihan atau berkurang.

Intervensi Perubahan Perilaku menerapkan teori-teori belajar untuk persoalan


hidup dengan tujuan membantu orang mengatasi kesulitan dalam kehidupan
sehari-hari. Kesulitan-kesulitan ini sering terjadi bersama dengan masalah
kesehatan atau kondisi psikiatris. Perawat dapat menggunakan prinsip-prinsip
berikut untuk memandu intervensi perubahan perilaku klien (Stuart, 2009):
1. Semua perubahan adalah perubahan diri. Klien adalah peserta aktif dan
agen utama perubahan. Perawat dan penyedia perawatan kesehatan
lainnya adalah pelatih, bukan pelaku perubahan.
2. Self-efficacy sangat penting. Klien perlu merasa bahwa mereka
mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan menerima tanggung jawab
atas upaya mereka. Semua klien memiliki kekuatan.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


3. Pengetahuan tidak berubah sama. Pendidikan adalah hanya salah satu
bagian dari proses perubahan. Klien perlu untuk mentransfer apa yang
mereka ketahui ke dalam tindakan yang mereka ambil.
4. Sebuah aliansi terapi membantu klien memulai dan mempertahankan
perubahan. Dimensi responsif dan tindakan tentang hubungan perawat-
klien adalah bahan penting untuk perubahan.
5. Harapan adalah penting. Semua intervensi yang efektif didasarkan pada
harapan positif dan penuh harapan bahwa kehidupan bisa lebih baik.

Kesiapan untuk berubah terkait dengan motivasi seseorang atau apa yang
disebut kesiapan sebagai motivasi. Elemen sentral dalam meningkatkan
motivasi dan perubahan perilaku akhirnya adalah untuk memperhitungkan
kesiapan orang untuk berubah. Perubahan perilaku terjadi secara bertahap dari
waktu ke waktu (Prochaska et al, 1992 dalam Stuart, 2009). Menyebutkan
tahapan perubahan, yaitu: Tahap pertama dari perubahan adalah
precontemplation. Pada tahap ini orang tidak berpikir bahwa mereka memiliki
masalah, sehingga mereka tidak mungkin untuk mencari bantuan atau
berpartisipasi dalam pengobatan. Dalam bekerja dengan klien ini tujuannya
adalah untuk mendengarkan klien dan menciptakan iklim dimana klien dapat
mempertimbangkan, menjelajahi, atau melihat nilai manfaat dari perubahan.
Tahap kedua perubahan adalah kontemplasi. Hal ini ditandai dengan
gagasan "ya, tapi." Seringkali klien menyadari bahwa perubahan diperlukan,
tetapi mereka tidak yakin dan ragu-ragu tentang apakah perlu usaha, waktu,
dan energi untuk mencapainya. Mereka ambivalen tentang apa yang mereka
mungkin harus menyerah jika mereka membuat perubahan. Dalam bekerja
dengan klien ini tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung dimana klien dapat mempertimbangkan perubahan tanpa merasa
tertekan untuk melakukannya. Jika klien didorong untuk mengubah dalam fase
ini mereka cenderung aktif menolak. Tahap ketiga perubahan adalah
persiapan. Pada saat ini klien telah membuat keputusan untuk berubah dan
menilai bagaimana keputusan yang terasa. Klien dapat dibantu untuk memilih
tujuan pengobatan yang realistis dan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


tersebut. Mereka perlu secara aktif terlibat dalam merancang strategi mereka
sendiri untuk perubahan. Tahap keempat perubahan adalah tindakan.
Klien sekarang memiliki komitmen yang kuat untuk berubah dan telah
mengidentifikasi rencana untuk masa depan. Mereka harus memberikan
dukungan emosional dan membantu dalam mengevaluasi dan memodifikasi
rencana mereka dari tindakan yang akan sukses. Tahap kelima perubahan
adalah pemeliharaan. Perubahan terus, dan fokus ditempatkan pada klien apa
yang perlu dilakukan untuk mempertahankan atau mengkonsolidasikan
keuntungan. rencana pencegahan Mengantisipasi ancaman potensial untuk
kambuh dan berkembang adalah penting. Setiap kambuh harus dilihat sebagai
bagian dari proses perubahan dan bukan sebagai kegagalan. Tahap keenam
dan terakhir adalah terminasi. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa
seseorang tidak akan terlibat dalam perilaku lama dalam kondisi apapun.
Dengan demikian, mungkin lebih dari ideal dari tahap dicapai. Kebanyakan
orang tinggal dalam tahap pemeliharaan dimana mereka menyadari ancaman
yang mungkin untuk mengubah mereka inginkan dan memonitor apa yang
harus mereka lakukan untuk menjaga perubahan tempat. Klien lebih mungkin
untuk terlibat dalam mengubah perilaku ketika penyedia mereka menilai
kesiapan mereka untuk intervensi perubahan dan merencanakan perubahan
yang sesuai.

Terapi perilaku digunakan untuk menguji dan mengubah kognisi maladaptif


sehingga klien mengerti ketidakakuratan asumsi kognitifnya dan mempelajari
strategi dan cara baru dalam menghadapi masalah. Teknik perilaku yang
diajarkan dalam sesi ini berupa relaksasi, deep breathing, cara komunikasi dan
sosialisasi yang benar. Pemberian reinforcement positif secara terjadual
terhadap pelaksanaan perilaku baru akan meingkatkan penggunaan perilaku
baru yang positif tersebut dalam menghadapi masalah.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2.3.1 STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN SESI III. CBT: Evaluasi
latihan melawan pikiran negatif satu dan dua serta melawan satu
perilaku negatif
A. Tujuan
1. Klien mampu memilih perilaku negatif yang akan dirubah
2. Klien mampu mengidentifikasi perilaku positif yang dimiliki
3. Klien mampu mengidentifikasi perilaku positif yang baru untuk
mengubah perilaku negatif
4. Klien mampu menyusun rencana perilaku untuk mengubah perilaku
negatif yang muncul akibat kejadian/ peristiwa yang dialami dengan
memberikan konsekuensi positif dan konsekwensi negatif kepada klien
5. Klien mampu menampilkan perilaku yang adaptif dalam mengatasi
masalah-masalah yang timbul
B. Setting
1. Pertemuan dilakukan di salah satu ruang rawat yang nyaman
2. Suasana ruangan harus tenang
3. Klien duduk berhadapan dengan terapis
C. Alat
1. Format Evaluasi proses
2. Format dokumentasi
3. Format jadwal kegiatan harian
4. Alat tulis
D. Metode
1. Diskusi dan tanya jawab
E. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
1. Mengingatkan kontrak dengan klien
2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan bagaimana perasaan klien saat ini
2) Menanyakan pada klien tentang kemampuan latihan cara
mengatasi pikiran otomatis yang negatif yang sudah dilatih
sebelumnya
3) Menanyakan pada klien apakah pikiran negatif yang pertama dan
kedua masih sering muncul dan bagaimana hasil latihan klien
secara mandiri untuk mengatasi pikiran otomatis negatif
4) Memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam usaha untuk
menyelesaian masalah.
5) Menanyakan pada klien perilaku mana yang akan dilatih untuk
dirubah pada pertemuan ini
c. Kontrak
1) Menyepakati terapi sesi 3
2) Menjelaskan tujuan sesi 3 yaitu memilih satu perilaku negatif
untuk diubah, mengidentifikasi perilaku positif yang dimiliki,
mengidentifikasi perilaku baru yang positif untuk mengatasi
perilaku negatif, menyusun rencana tindakan untuk mengatasi
perilaku negatif dengan memberikan konsekwensi positif dan
konsekwensi negatif kepada klien
3) Menyepakati tempat dan waktu

3. Fase Kerja
a. Terapis mendiskusikan dengan klien perilaku negatif yang muncul
dari pikiran otomatis negatif terhadap kejadian yang dialami dan
dituliskan pada buku harian klien pada sesi 1.
b. Terapis mendiskusikan dengan klien tentang perilaku negatif yang
mau dirubah.
c. Terapis bersama klien mengidentifikasi perilaku positif yang dimiliki
klien

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


d. Terapis menjelaskan tentang cara untuk mengubah satu perilaku
negatif dan menggantinya dengan perilaku yang baru (relaksasi, deep
breathing, cara komunikasi dan sosialisasi yang benar)
e. Terapis menjelaskan pada klien tentang konsekuensi positif dan
konsekwensi negatif terhadap perilaku baru yang dipelajari
f. Terapis membantu klien untuk mempraktekkan perilaku baru yang
disepakati
g. Terapis bersama klien membuat komitmen tentang bagaimana klien
dan terapis menerapkan konsekwensi positif dan negatif

4. Terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan pada klien perasaan setelah latihan perilaku
positif untuk mengatasi perilaku negatif
2) Terapis menanyakan perasaan klien setelah menentukan perilaku
baru yang dipelajari
3) Terapis menanyakan perilaku negatif lain yang timbul akibat
pikiran otomatis yang negatif
b. Tindak lanjut
1) Anjurkan klien untuk mempraktekkan perilaku baru yang
disepakati
2) Bantu klien memasukkan kegiatan mempraktekkan perilaku baru
dalam jadwal kegiatan harian klien yang diberikan.
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati topik percakapan pada sesi 4 yaitu kemampuan
klien merubah perilaku negatif yang kedua menjadi perilaku
positif dan menerapkan terapi secara konsisten.
2) Menyusun rencana perilaku yang ditampilkan dengan memberikan
konsekwensi positif dan konsekwensi negatif kepada klien
3) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 4

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2.3.2 Evaluasi dan Dokumentasi
1. Evaluasi proses
Evaluasi dilakukan saat proses CBT berlangsung, khususnya fase
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan menyusun rencana
perilaku baru yang positif yang ditampilkan dengan memberikan
konsekuensi positif dan konsekuensi negatif kepada klien

Format Evaluasi Proses


Sesi 3. CBT: Terapi Perilaku
Nilai
No Aspek yang dinilai
Tanggal Tanggal
1 Mengidentifikasi perilaku negatif di
buku kerja
2 Memilih satu perilaku negatif yang
akan dirubah.
3 Mengidentifikasi perilaku positif untuk
merubah kelakuan yang buruk.
4 Mengidentifikasi perilaku positif yang
baru untuk mengatasi perilaku negatif
5 Melakukan latihan perilaku yang baik
6 Menyebutkan hadiah yang diinginkan
jika melakukan kelakuan yang baik
7 Menyebutkan sangsi yang akan
didapatkan jika melakukan kelakuan
buruk
Jumlah

A. Petunjuk:
1. Beri nilai 1 jika : perilaku tersebut dilakukan
2. Beri nilai 0 jika : perilaku tersebut tidak dilakukan
B. Prasyarat mengikuti sesi berikutnya:
1. Bila nilai ≥ 4 : klien dapat melanjutkan ke Sesi berikutnya
2. Bila nilai ≤ 3 : klien harus mengulangi Sesi 3

2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada


catatan proses keperawatan. Jika dianggap mampu, catatan
keperawatan : klien mengikuti CBT sesi 3, klien mampu menyusun
rencana perilaku baru yang positif yang ditampilkan dengan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


memberikan konsekuensi positif dan negatif kepada klien. Klien
dapat melanjutkan untuk mengikuti sesi 4. Jika klien dianggap belum
mampu, maka catatan keperawatan adalah klien mengikuti CBT sesi
3, klien belum mampu menyusun rencana perilaku baru yang positif
yang ditampilkan dengan memberikan konsekuensi positif dan
konsekuensi negatif kepada klien. Dianjurkan klien untuk melatih diri
secara mandiri/mengulangi sesi 3(buat jadwal).

2.4 SESI IV.CBT: Evaluasi latihan melawan pikiran negatif satu dan dua,
perilaku negatif satu dan melawan perilaku negatif kedua
Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pengalaman klien dengan masalah dengan menggunakan analisis perilaku.
Analisis ini terdiri dari tiga bagian (ABC dari perilaku):
1. Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi sebelum perilaku dan
mengarah ke manifestasinya.
2. Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan atau
lakukan.
3. Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau netral)
orang berpikir hasil dari perilaku

Antecedent: dapat mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, atau


perilaku seseorang, perasaan, atau pikiran. Perilaku dapat dipecah menjadi
tindakan diskrit atau serangkaian langkah. Konsekuensi dapat dilihat
sebagai imbalan kuat atau hukuman dari tindakan seseorang. Jadi masing-
masing adalah elemen penting dari penilaian. Contoh dari analisis
perilaku adalah sebagai berikut:
a. Masalah= Kecemasan.
b. Konsekuensi yang ditakuti = Takut kehilangan kontrol atau sekarat.
c. Antecedent/kejadian = Meninggalkan rumah.
d. Perilaku = Menghindari toko, restoran, dan tempat-tempat umum.
e. Konsekuensi = Pembatasan kegiatan sehari-hari.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


Cara lain untuk menilai pengalaman seseorang adalah untuk
mempertimbangkan ketiga sistem (Tindakan ABC's) yang berhubungan
dalam kerangka terapi:
a. Afektif: tanggapan emosional atau perasaan.
b. Perilaku; manifestasi lahiriah dan tindakan
c. Kognitif: pemikiran tentang situasi

Ketiga unsur tersebut saling terkait dalam menjelaskan perilaku manusia


karena sebagai berikut:
a. Perasaan pengaruh pemikiran
b. Berpikir pengaruh tindakan
c. Tindakan memengaruhi perasaan

Terapi kognitif dan perilaku yang telah dilatih pada sesi sebelumnya
akan dievaluasi pelaksanaannya pada sesi ini. Klien akan diminta untuk
mendemonstrasikan cara merubah pikiran negatif yang mengganggu
menjadi pikiran positif dan perilaku negatif menjadi perilaku positif
yang dapat diterima oleh orang lain dan lingkungan.

2.4 STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN SESI IV.CBT: Evaluasi


latihan melawan pikiran negatif satu dan dua, perilaku negatif satu dan
melawan perilaku negatif kedua
A. Tujuan
1. Klien mampu merubah pikiran negatif menjadi pikiran positif
2. Klien mampu merubah perilaku negatif menjadi perilaku positif
3. Klien mampu menerapkan terapi secara konsisten.
B. Setting
1. Pertemuan dilakukan di salah satu ruang rawat yang nyaman
2. Suasana ruangan harus tenang
3. Klien duduk berhadapan dengan terapis
C. Alat
1. Format evaluasi proses

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2. Format dokumentasi
3. Format jadwal kegiatan harian
4. Alat tulis
D. Metode
1. Diskusi dan tanya jawab
E. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
1. Mengingatkan kontrak dengan klien
2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan bagaimana perasaan klien saat ini
2) Menanyakan pada klien tentang kemampuan melatih cara
mengatasi pikiran otomatis negatif dan menyusun rencana perilaku
positif yang ditampilkan dengan memberikan konsekuensi positif
dan konsekuensi negatif kepada klien
3) Memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam usaha untuk
menyelesaian masalah.
c. Kontrak
1) Menyepakati pertemuan sesi 4
2) Menjelaskan tujuan terapi sesi 4 yaitu mengevaluasi :
a) kemampuan klien mengubah pikiran negatif menjadi pikiran
positif
b) kemampuan merubah perilaku negatif menjadi perilaku positif
c) kemampuan menerapkan terapi secara konsisten.
3) Menyepakati tempat dan waktu pertemuan sesi 4

3. Fase Kerja
a. Terapis menanyakan perilaku mana yang akan dipraktekkan sebagai
contoh.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


b. Terapi memberikan konsekuensi sesuai dengan hasil perilaku yang
dicontohkan
c. Terapis memberikan dukungan dan semangat pada kemajuan yang
dicapai klien
d. Terapis memberikan feedback atas kemajuan dan perkembangan
terapi.
e. Terapis mengingatkan klien untuk menerapkan terapi secara konsisten
dengan tetap menggunakan metode 3 (tiga) kolom dalam mengatasi
pikiran negatif dan mempraktekkan perilaku baru yang adaptif
f. Terapis mengevaluasi pelaksanaan tindakan tingkah laku dengan
konsekuensi-konsekuensi yang telah disepakati.
4. Terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah melaksanakan
perilaku baru yang dipelajari
2) Terapis menanyakan pada klien pikiran positif yang muncul saat
ini.
3) Terapis menanyakan pada klien perilaku baru apa yang akan
dilakukan
4) Berikan pujian untuk jawaban klien
b. Tindak lanjut
1) Anjurkan klien untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan berpikir secara positif
2) Anjurkan klien untuk tetap menerapkan perilaku baru yang
disepakati
3) Anjurkan klien untuk tetap menerapkan terapi secara konsisten
dengan menerapkan metode 3 (tiga) kolom dan melaksanakan
perilaku baru yang positif
4) Masukkan kegiatan dalam jadwal kegiatan harian klien.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati topik percakapan sesi 5 yaitu membantu klien untuk
secara aktif membentuk pikiran positif dan perilaku adaptif dalam
setiap masalah yang dihadapi.
2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan kelima
.
2.4.2 Evaluasi Dan Dokumentasi
1. Evaluasi proses
evaluasi dilakukan saat proses CBT berlangsung, khususnya pada tahap
fase kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien mengubah
pikiran negatif menjadi pikiran positif, kemampuan merubah perilaku
negatif menjadi perilaku positif, kemampuan menerapkan terapi secara
konsisten dengan konsekuensi-konsekuensi yang telah disepakati.

Format Evaluasi Proses CBT


Sesi 4. CBT: Evaluasi Terapi Kognitif dan Terapi Perilaku
Nilai
No Aspek yang dinilai
Tanggal: Tanggal:
1 Menuliskan pikiran positif yang
dirasakan saat ini
2 Mempraktekkan perilaku positif
yang disepakati
3 Menuliskan hadiah yang diperoleh
4 Menuliskan sangsi yang diperoleh
Jumlah
A. Petunjuk penilaian:
1. Beri nilai 1 jika : perilaku tersebut dilakukan
2. Beri nilai 0 jika : perilaku tersebut tidak dilakukan
B. Prasyarat mengikuti sesi berikutnya:
1. Bila nilai ≥ 3 : klien dapat melanjutkan ke sesi berikutnya
2. Bila nilai ≤ 2 : klien harus mengulangi sesi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada catatan proses
keperawatan. Jika klien dianggap mampu, maka catatan keperawatan adalah klien
mengikuti CBT sesi 4, klien mampu mengubah pikiran negatif menjadi pikiran
positif, merubah perilaku negatif menjadi perilaku positif, menerapkan terapi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


secara konsisten dengan konsekuensi-konsekuensi yang telah disepakati. Klien
dapat melanjutkan untuk mengikuti sesi 5. Jika klien dianggap belum mampu,
maka catatan keperawatan adalah klien mengikuti CBT sesi 4, klien belum
mampu mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif, merubah perilaku
negatif menjadi perilaku positif, menerapkan terapi secara konsisten dengan
konsekuensi-konsekuensi yang telah disepakati. Klien dianjurkan untuk melatih
diri secara mandiri /mengulangi sesi 4 (buat jadwal).

2.5 SESI V. CBT: KEMAMPUAN MERUBAH PIKIRAN NEGATIF


DAN PERILAKU MALADAPTIF UNTUK MENCEGAH
KEKAMBUHAN
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran yang
positif akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif dan
dapat diterima oleh orang lain sehingga dapat menimbulkan
kenyamanan. Ketrampilan berpikir dan berperilaku positif harus
dilatih secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam
hidup.

Kunci untuk mencegah kekambuhan adalah kesadaran dari awal mengenali


perilaku kambuh. Sekitar 70% dari klien dan 90% dari keluarga mampu
melihat gejala kekambuhan penyakit, dan hampir semua klien tahu kapan
gejala kambuh muncul. Fase prodromal terjadi sebelum kambuh (Stuart,
2009).

Fase prodromal adalah waktu antara timbulnya gejala dan kebutuhan untuk
perawatan. Dengan mayoritas klien dan keluarga menunjukkan periode
prodromal yang berlangsung lebih dari 1 minggu, adalah penting bahwa
perawat berkolaborasi dengan klien, keluarga, dan anggota keluarga
mengenai terjadinya kambuh.

Mengidentifikasi dan mengelola perilaku dan gejala membantu mengurangi


jumlah dan keparahan relaps/kekambuhan. Pengajaran untuk klien dan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


keluarga adalah intervensi efektif yang dapat memberikan mereka kendali
atas kehidupan mereka dan menurunkan jumlah atau panjang rawat inap.
Semakin banyak penelitian telah menunjukkan penurunan yang signifikan
dalam tingkat kambuhan sebagai hasil dari intervensi psiko-pendidikan
(Magliano et al, 2006).

Panduan untuk Klien dalam mencegah kekambuhan (Stuart, 2009):


• Pergilah ke lingkungan yang aman dengan seseorang yang bisa membantu
Anda jika bantuan diperlukan. Orang ini harus dapat memonitor perilaku
yang menunjukkan kambuh makin parah.
• Mengurangi stres dan tuntutan pada diri sendiri. Ini termasuk mengurangi
rangsangan. Beberapa orang menemukan sebuah ruangan yang tenang di
mana mereka dapat sendiri, mungkin dengan musik lembut. Teknik
relaksasi atau teknik distraksi dapat bekerja untuk Anda. Sebuah tempat
yang tenang di mana Anda dapat berbicara dengan satu orang yang Anda
percayai sering membantu.
• Minum obat jika ini merupakan bagian dari program anda. Bekerja
dengan resep Anda untuk menentukan apakah obat dapat berguna dalam
mengurangi kambuh. Obat yang paling bermanfaat bila digunakan dengan
lingkungan yang aman, tenang dan pengurangan stres.
• Bicara dengan orang yang terpercaya tentang apa suara-suara yang
mengatakan kepada Anda atau tentang pikiran Anda mengalami. Orang
ini perlu mengetahui di depan waktu yang Anda akan panggilan jika Anda
memerlukan bantuan.
• Hindari negatif orang-orang yang mengatakan hal-hal seperti, Anda
berpikir gila 'atau "Stop berbicara negatif"

Dalam sesi ini klien diajarkarkan cara mencegah kekambuhan dengan


menerapkan terapi kognitif dan perilaku dalam setiap kejadian yang
mengganggu klien melalui latihan terjadwal. Kliean juga diajarkan
tentang pemahaman terhadap psikofarmaka dalam upaya mencegah
kekambuhan.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2.5.1 STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN SESI V. CBT:
KEMAMPUAN MERUBAH PIKIRAN NEGATIF DAN
PERILAKU MALADAPTIF UNTUK MENCEGAH
KEKAMBUHAN

A. Tujuan
1. Klien mampu secara aktif membentuk pikiran positif dan perilaku positif
dalam setiap masalah yang dihadapi.
2. Klien mampu memahami pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas
lainnya disamping CBT untuk mencegah kekambuhan.
3. Klien mampu mempertahankan pikiran positif dan perilaku positif secara
mandiri dan berkesinambungan
B. Setting
1. Pertemuan dilakukan di salah satu ruang rawat yang nyaman
2. Suasana ruangan harus tenang
3. Klien duduk berhadapan dengan terapis
C. Alat
1. Format evaluasi proses
2. Format dokumentasi
3. Format jadwal kegiatan harian
4. Alat tulis
D. Metode
1. Diskusi dan tanya jawab
E. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Panggil klien sesuai nama panggilan

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan tentang kemampuan klien dalam mengubah pikiran
negatif menjadi pikiran positif, kemampuan merubah perilaku
negatif menjadi perilaku positif, kemampuan menerapkan terapi
secara konsisten dengan konsekuensi-konsekuensi yang telah
disepakati.
2) Menanyakan apakah metode 3 kolom tetap diterapkan dalam
mengubah pikiran negatif dan perilaku maladaptif yang masih
muncul.
3) Jika sudah, berikan konsekwensi positif dan jika belum, berikan
konsekwensi negatif yang disepakati
c. Kontrak
d. Menyepakati pertemuan kelima
e. Menjelaskan topik percakapan sesi V yaitu
1) membantu klien untuk secara aktif membentuk pikiran positif dan
perilaku positif dalam setiap masalah yang dihadapi
2) membantu klien memahami pentingnya psikofarmaka dan terapi
modalitas lainnya disamping CBT untuk mencegah kekambuhan
3) melakukan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri dan
berkesinambungan
f. Menyepakati tempat dan waktu

3. Fase Kerja
a. Terapis menganjurkan klien untuk tetap meningkatkan kemampuan
untuk menggunakan pikiran positif tentang diri dan berperilaku
positif yang telah disepakati
b. Terapis memberikan konsekuensi positif terhadap pikiran positif dan
perilaku adaptif.
c. Terapis mendiskusikan apa yang akan dilakukan klien sendiri.
d. Terapis menganjurkan klien untuk mencatat kegiatan yang akan
dilakukan sendiri

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


e. Terapis menjelaskan pada klien pentingnya terapi lain seperti
psikofarmaka dan terapi modalitas lain untuk membantu mencegah
kekambuhan apabila mengalami kejadian/ peristiwa yang tidak
menyenangkan pada waktu yang akan datang.
f. Terapis menyepakati dengan klien untuk mempertahankan pikiran
positif dan perilaku adaptif secara mandiri dan berkesinambungan
g. Terapis bersama klien menyimpulkan untuk secara aktif membentuk
pikiran positif dan perilaku adaptif dalam setiap masalah yang
dihadapi.

4.Terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis mengevaluasi kemampuan klien untuk secara aktif
membentuk pikiran positif dan perilaku positif dalam setiap
masalah yang dihadapi dan kemampuan klien memahami
pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya disamping
CBT untuk mencegah kekambuhan.
2) Terapi menanyakan perasaan klien setelah menyepakati untuk
mempertahankan pikiran positif dan perilaku positif secara
mandiri dan berkesinambungan
3) Berikan pujian atas keberhasilan klien

b. Tindak lanjut
1) Anjurkan klien untuk mempertahankan pikiran positif dan
perilaku positif secara mandiri dan berkesinambungan dan aktif
membentuk pikiran dan perasaan positif serta berperilaku positif.
2) Catat kegiatan yang dilakukan dalam jadwal kegiatan harian
klien.

c. Kontrak yang akan datang


1) Mengakhiri pertemuan untuk CBT dan disepakati jika klien perlu
terapi modalitas lainnya.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


D. Evaluasi dan Dokumentasi
1. Evaluasi proses
Evaluasi yang dilakukan saat proses CBT berlangsung, khususnya pada
tahap fase kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien untuk
secara aktif membentuk pikiran positif dan perilaku adaptif dalam setiap
masalah yang dihadapi, kemampuan klien memahami pentingnya
psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya disamping CBT untuk
mencegah kekambuhan, mempertahankan pikiran positif dan perilaku
adaptif secara mandiri dan berkesinambungan

Format evaluasi proses CBT


Sesi 5. CBT : Kemampuan merubah pikiran negatif dan perilaku
negatif untuk mencegah kekambuhan
Nilai
No Aspek yang dinilai
Tanggal Tanggal
1 Menggunakan pikiran positif dalam
menyelesaikan masalah
2 Menggunakan perilaku positif dalam
menyelesaikan masalah
3 Menyebutkan keuntungan jika
memanfaatkan pelayanan kesehatan
untuk membantu klien mengatasi
masalah
4 Menyebutkan akibat jika penanganan
stress akibat gempa jika tidak ditangani
segera
5 Menyebutkan manfaat pengobatan (jika
diperlukan)
6 Menyebutkan manfaat terapi modalitas
lain untuk kesembuhan
Jumlah

A. Petunjuk penilaian:
1. Beri nilai 1 jika : perilaku tersebut dilakukan
2. Beri nilai 0 jika : perilaku tersebut tidak dilakukan
B. Prasyarat mengikuti sesi berikutnya:
1. Bila nilai ≥ 4 : klien dapat menyelesaikan sesi terakhir
2. Bila nilai ≤ 3 : klien harus mengulangi sesi

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada catatan
proses keperawatan. Jika klien dianggap mampu, maka catatan
keperawatan adalah klien mengikuti CBT Sesi 5, klien mampu secara
aktif membentuk pikiran positif dan perilaku positif dalam setiap masalah
yang dihadapi, klien mampu memahami pentingnya psikofarmaka dan
terapi modalitas lainnya disamping CBT untuk mencegah kekambuhan,
klien mempertahankan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri
dan berkesinambungan. Jika klien dianggap belum mampu, maka catatan
keperawatan adalah klien mengikuti CBT Sesi 5, klien belum mampu
secara aktif membentuk pikiran positif dan perilaku adaptif dalam setiap
masalah yang dihadapi, memahami pentingnya psikofarmaka dan terapi
modalitas lainnya disamping CBT untuk mencegah kekambuhan,
melakukan mempertahankan pikiran positif dan perilaku positif secara
mandiri dan berkesinambungan, dianjurkan klien untuk melatih diri secara
mandiri /mengulangi sesi 5 (buat jadwal).

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012


BAB III
PENUTUP

Gangguan yang dialami klien perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri
rendah bisa membawa dampak yang negatif pada aspek-aspek kehidupannya
karena akan mempengaruhi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.
Cara berpikir juga akan berubah, cenderung memiliki pola pikir yang negatif
sehingga pada akhirnya akan mengganggu fungsinya sebagai manusia, dan juga
akan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.

Salah satu terapi lajut untuk meningkatkan kemampuan klien adalah dengan
dilakukan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) . Menurut NACBT (2007) CBT
adalah suatu bentuk psikoterapi yang menekankan pada pentingnya proses
berpikir dalam bagaimana hal berpikir dan bertindak. CBT fokus pada perasaan
distress, pikiran, dan perilaku yang nantinya mengarah pada perubahan yang
positif (NICE, 2005).

Individu yang menerima CBT pada akhirnya diharapkan memiliki pikiran yang
positif sehingga akan memperlihatkan perilaku yang juga positif dalam menjalani
kehidupannya. Tujuan akhirnya adalah klien mampu kembali berfungsi dengan
normal seperti sebelumnya dan juga mampu menghadapi berbagai masalah yang
timbul di kemudian hari dengan keterampilan yang telah diajarkan pada CBT.

Manajamen kasus..., Esrom Kanine, FIK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai