Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun Oleh :
1. Probo sutejo 11.0729.S
2. Trias anhar 11.0747.S

Kelas :
III B / S1 Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MUHAMMADIYAH
PEKAJANGAN PEKALONGAN

1
(2014)
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang
berjudul " SKIZOFRENIA" tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari dukungan dan motivasi rekan-rekan kelas 3 B S1
keperawatan, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua rekan-rekan yang telah mendukung kami
sepenuhnya dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Pekalongan, 1 april 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2

DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN TEORI................................................................................ 10

A. Definisi .......................................................................................................... 10
B. Etiologi ............................................................................................................ 10
C. Tanda dan Gejala ............................................................................................... 12
D. Penatalaksanaan .............................................................................................. 13
E. Pathofisiologi .................................................................................................. 16
F. pathways............................................................................................................ 17
G. pemeriksaan penunjang..................................................................................... 17

BAB III ASKEP TEORI........................................................................................ 20

BAB IV CONTOH KASUS................................................................................... 25

Analisa Data............................................................................................................. 36

Diagnosa.................................................................................................................. 38

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan............................................................. 42

BAB V PEMBAHASAN.................................................................................... 48

A. Penemuan....................................................................................................... 48
B. Analisis.......................................................................................................... 48

KESIMPULAN .................................................................................................. 55

BAB VI PENUTUP............................................................................................. 58

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat,
kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang memungkinkan untuk hidup produtif. Manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, individu dituntut untuk lebih meningkatkan
kinerjanya agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi tingkat sosial di masyarakat
lebih tinggi. Hal ini merupakan dambaan setiap manusia ( Dep Kes RI. 2000 ).
Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara
dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap
sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah
satu empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan indrustri
keempat kesehatan utama tersbut adalah penyakait degeneratif, kanker, gangguan
jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak di anggap sebagai
gangguan jiwa yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien (Yosep, 2007).
Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas,
sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal di Rumkital Dr. Ramelan PAV VI
A terdapat 16 klien (100%) dan ada 4 klien yang mengalami gangguan
Skizofrenia Paranoid (25%) . Di Indonesia, sekitar 1% – 2% dari total jumlah
penduduk mengalami skizofrenia yaitu mencapai 3 per 1000 penduduk, prevalensi
1,44 per 1000 penduduk di perkotaan dan 4,6 per 1000 penduduk di pedesaan
berarti jumlah penyandang skizofrenia 600.000 orang produktif.
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya

4
retak atau pecah (spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality).
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya
waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis,2005). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000)
menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak
sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat
diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2
kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis,
tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis
kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejala-
gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah
waham kebesaran Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk
dunia menderita skizofrenia.
75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia
remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini
penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Istilah skizofrenia sering disalahpahami berarti bahwa orang-orang yang
terkena dampak memiliki "kepribadian ganda". Meskipun beberapa orang
didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin
mengalami suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan
orang berubah antara kepribadian ganda yang berbeda. Kebingungan muncul
sebagian karena makna istilah skizofrenia Bleuler itu (secara harfiah "split" atau
"pikiran hancur"). Penyalahgunaan dikenal pertama istilah berarti "kepribadian
yang terbelah" adalah dalam sebuah artikel oleh penyair TS Eliot pada tahun
1933.

5
Pada paruh pertama abad kedua puluh skizofrenia dianggap cacat
keturunan, dan penderita tunduk pada eugenika di banyak negara. Ratusan ribu
orang disterilkan, dengan atau tanpa persetujuan - mayoritas di Nazi Jerman,
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Seiring dengan orang lain
berlabel "mental layak", banyak didiagnosis dengan skizofrenia dibunuh dalam
program "Aksi T4" Nazi.
Pada awal 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia adalah subyek
dari sejumlah kontroversi yang akhirnya mengarah pada kriteria operasional
digunakan saat ini. Ini menjadi jelas setelah studi AS-Inggris 1971 Diagnostik
bahwa skizofrenia didiagnosis ke tingkat yang jauh lebih besar di Amerika
daripada di Eropa. Hal ini sebagian karena kriteria diagnostik longgar di AS, yang
menggunakan DSM-II manual, kontras dengan Eropa dan ICD-9 nya. 1972 studi
david Rosenhan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science di bawah judul yang
waras Pada di tempat gila, menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di
Amerika Serikat sering subyektif dan tidak dapat diandalkan. Ini adalah beberapa
faktor dalam memimpin ke revisi tidak hanya dari diagnosis skizofrenia, tapi
revisi dari manual DSM keseluruhan, sehingga dalam publikasi DSM-III pada
tahun 1980. Sejak 1970-an lebih dari 40 kriteria diagnostik untuk skizofrenia telah
diusulkan dan dievaluasi.
Di Uni Soviet diagnosis skizofrenia juga telah digunakan untuk tujuan
politik. Soviet Andrei Snezhnevsky psikiater terkemuka dibuat dan dipromosikan
klasifikasi sub-tambahan lamban berkembang skizofrenia. Diagnosis ini
digunakan untuk mendiskreditkan dan cepat memenjarakan para pembangkang
politik sementara pengeluaran dengan percobaan berpotensi memalukan. Praktek
itu terkena Barat oleh sejumlah pembangkang Soviet, dan pada tahun 1977 World
Psychiatric Association mengutuk praktek Soviet di Kongres Dunia Keenam
Psikiatri. Daripada mempertahankan teorinya bahwa bentuk laten skizofrenia
disebabkan pembangkang untuk menentang rezim, Snezhnevsky memutuskan
semua kontak dengan Barat pada tahun 1980 dengan mengundurkan diri posisi
kehormatan di luar negeri.
Stigma sosial telah diidentifikasi sebagai suatu hambatan yang besar dalam
pemulihan pasien dengan skizofrenia. Dalam sampel, besar wakil dari sebuah
studi tahun 1999, 12,8% orang Amerika percaya bahwa individu dengan
skizofrenia adalah "sangat mungkin" untuk melakukan sesuatu kekerasan terhadap

6
orang lain, dan 48,1% mengatakan bahwa mereka "agak mungkin". Lebih dari
74% mengatakan bahwa orang dengan skizofrenia yang baik "tidak sangat
mampu" atau "tidak mampu sama sekali" untuk membuat keputusan tentang
pengobatan mereka, dan 70,2% mengatakan hal yang sama dari keputusan
manajemen uang. Persepsi individu dengan psikosis sebagai kekerasan memiliki
lebih dari dua kali lipat dalam prevalensi sejak tahun 1950, menurut salah satu
meta-analisis.
Skizofrenia didiagnosis berdasarkan gejala profil. Berkorelasi Syaraf tidak
memberikan kriteria cukup berguna. Diagnosa didasarkan pada yang dilaporkan
sendiri pengalaman orang tersebut, dan kelainan pada perilaku yang dilaporkan
oleh anggota keluarga, teman atau rekan kerja, diikuti dengan penilaian klinis oleh
seorang psikiater, pekerja sosial, psikolog klinis atau profesional kesehatan mental
lainnya. Penilaian kejiwaan mencakup riwayat psikiatri dan beberapa bentuk
pemeriksaan status mental.
tapi review lain tidak menyarankan koneksi apapun. Sebuah tinjauan
literatur Yunani dan Romawi kuno menunjukkan bahwa meskipun psikosis
digambarkan, ada tidak memperhitungkan kondisi memenuhi kriteria untuk
skizofrenia. Psikotik keyakinan aneh dan perilaku yang mirip dengan beberapa
gejala skizofrenia dilaporkan dalam literatur medis dan psikologis Arab selama
Abad Pertengahan. Dalam The Canon of Medicine, misalnya, Ibnu Sina
menggambarkan sebuah kondisi yang agak menyerupai gejala-gejala skizofrenia
yang disebut Junun Mufrit (kegilaan yang parah), yang dibedakan dari bentuk-
bentuk lain dari kegilaan (Junun) seperti mania, rabies dan psikosis manic
depressive. Namun, tidak ada kondisi yang menyerupai skizofrenia dilaporkan
dalam Bedah Imperial Şerafeddin Sabuncuoğlu, sebuah buku medis utama Islam
abad ke-15. Mengingat bukti-bukti historis yang terbatas, skizofrenia (lazim
seperti sekarang ini) mungkin merupakan fenomena modern, atau alternatif itu
mungkin telah dikaburkan dalam tulisan-tulisan sejarah oleh konsep-konsep
terkait seperti melankolis atau mania.
Sebuah laporan kasus rinci pada 1797 tentang James Tilly Matthews, dan
rekening oleh Phillipe Pinel diterbitkan pada 1809, sering dianggap sebagai kasus
awal skizofrenia dalam literatur medis dan psikiatris. Skizofrenia pertama kali
digambarkan sebagai sindrom yang berbeda yang mempengaruhi remaja dan
dewasa muda oleh Benedict Morel pada tahun 1853, disebut démence précoce

7
(harfiah 'demensia dini'). Istilah demensia digunakan praecox pada tahun 1891
oleh Arnold Pilih dalam sebuah laporan kasus gangguan psikotik. Pada tahun
1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi
gangguan mental antara dementia praecox dan gangguan suasana hati (disebut
depresi manik dan termasuk unipolar dan bipolar depresi). Kraepelin percaya
bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak, dan khususnya suatu bentuk
demensia, dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari demensia, seperti penyakit
Alzheimer, yang biasanya terjadi di kemudian hari. Klasifikasi Kraepelin
perlahan-lahan mendapatkan penerimaan. Ada keberatan dengan penggunaan dari
"demensia" istilah meskipun kasus pemulihan, dan beberapa pembelaan diagnosa
diganti seperti kegilaan remaja.
Skizofrenia kata - yang diterjemahkan secara kasar sebagai "membelah
pikiran" dan berasal dari akar Yunani schizein (σχίζειν, "untuk split") dan phrēn,
phren-(φρήν, φρεν-, "pikiran") - diciptakan oleh Eugen Bleuler pada tahun 1908
dan dimaksudkan untuk menggambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian,
berpikir, memori, dan persepsi. Bleuler menggambarkan gejala utama sebagai 4
A: rata Mempengaruhi, Autisme, gangguan Asosiasi ide dan Ambivalensi. Bleuler
menyadari bahwa penyakit itu bukan demensia karena beberapa pasien membaik
daripada memburuk dan karenanya mengusulkan istilah skizofrenia sebagai
gantinya.

B. TUJUAN UMUM DAN KHUSUS


1. Tujuan Umum
a. Agar mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan masalah kesehatan terutama pada pasien dengan alzheimer
b. Agar mahasiswa dapat menjelaskan mengenai pemahaman tentang
skizofrenia
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dan keluarga
dengan masalah skizofrenia
b. Mahasiswa mampu menganalisa data dengan masalah skizofrenia
c. Mahasiswa mampu menyusun rencana dan interfensi keperawatan
terhadap klien dengan skizofrenia

8
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun.
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap implementasi
keperawatan yang telah dilaksanakan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).

9
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya ( Hawari, 2003).Skizofrenia adalah
gangguan terhadap fungsi otak yang timbul akibat ketidakseimbangan dopamine (
salah satu sel kimia dalam otak , dan juga disebabkan oleh tekanan yang dialami
oleh individu. Merupakan gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
sosial. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi
(persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Skizofrenia paranoid adalah yang
terbanyak dialami oleh penderita skizofrenia. Terapi pada pasien ini bertujuan
untuk mengembalikan fungsi sosial sehingga dapat memiliki peran sosial di
masyarakat. Adapun jenis farmakoterapi yang diberikan harus melalui beberapa
pertimbangan tertentu.Seperti pada kasus di bawah pada pasien skizofrenia
paranoid diberikan Risperidone sebagaiutamapengobatannya.

B. ETIOLOGI
1. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri
0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar
satu telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
2. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
3. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam
menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat
halusinogenik.

4. Susunan saraf pusat

10
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon
atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin
disebabkan oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu
membuat sediaan.

5. Teori Adolf Meyer :


Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang
tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas
pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior
atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut
Meyer Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi,
sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut
menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).

6. Teori Sigmund Freud


Skizofrenia terdapat (1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab
psikogenik ataupun somatik (2) superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase
narsisisme dan (3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference)
sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.

7. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu
jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi
2 kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi,
gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).

8. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi,
tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.

11
9. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat
dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang
mempercepat, yang menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating
factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak
menyebabkan Skizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit
Skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).

C. TANDA GEJALA

Tanda dan gejala menurut (bleuler)

1.Gejala Primer

a. Gangguan proses pikir (bentuk, langkah dan isi


pikiran). Yang paling menonjol adalah gangguan asosiasi dan terjadi
inkoherensi

b. Gangguan afek emosi

 Terjadi kedangkalan afek-emosi


 Paramimi dan paratimi (incongruity of affect / inadekuat)
 Emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai satu kesatuan
 Emosi berlebihan
 Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi
yang baik
a. Gangguan kemauan
 Terjadi kelemahan kemauan
 Perilaku Negativisme atas permintaan
 Otomatisme : merasa pikiran/perbuatannya dipengaruhi oleh
orang lain
b. Gejala Psikomotor
 Stupor atau hiperkinesia, logorea dan neologisme
 Stereotipi

12
 Katelepsi : mempertahankan posisi tubuh dalam waktu yang lama
 Echolalia dan Echopraxia
3. Gejala sekunder
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Cara bicara/berfikir yang tidak teratur
d. Perilaku negatif, misalkan: kasar, kurang termotifasi, muram, perhatian
menurun.

D. PENATALAKSANAAN

Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang


lama menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju ke
kemunduran mental. Terapist jangan melihat kepada penderita skizofrenia
sebagai penderita yang tidak dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu
mahluk yang aneh dan inferior. Bila sudah dapat diadakan kontan, maka
dilakukan bimbingan tentang hal-hal yang praktis. Biarpun penderita mungkin
tidak sempurna sembuh, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik
penderita dapat ditolong untuk berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah
ataupun di luar rumah.Keluarga atau orang lain di lingkungan penderita diberi
penerangan (manipulasi lingkungan) agar mereka lebih sabar menghadapinya.

1. Farmakoterapi

Neroleptika dengan dosis efektif rendah lebih bermanfaat pada


penderita dengan skizofrenia yang menahun, yang dengan dosis efektif tinggi
lebih berfaedah pada penderita dengan psikomotorik yang meningkat. Pada
penderita paranoid trifuloperazin rupanya lebih berhasil. Dengan fenotiazin
biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2 – 3 minggu. Bila tetap
masih ada waham dan halusinasi, maka penderita tidak begitu terpengaruh lagi
dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dengan kegiatan lingkungannya
dan mau turut terapi kerja. Sesudah gejala-gejala menghilang, maka dosis
dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama
kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah
gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun. Kepada
13
pasien dengan skizofrenia menahun, neroleptika diberi dalam jangka waktu
yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan
keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit
badaniah yang menahun, umpamanya diabetes mellitus, hipertensi, payah
jantung, dan sebagainya). Senantiasa kita harus awas terhadap gejala
sampingan.

Hasilnya lebih baik bila neroleptika mulai diberi dalam dua tahun pertama dari
penyakit. Tidak ada dosis standard untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan
secara individual.

2. Terapi Elektro-Konvulsi (TEK)

Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya


elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi
konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah
kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan
yang akan datang. Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka
dengan TEK lebih sering terjadi serangan ulangan. Akan tetapi TEK lebih
mudah diberikan dapat dilakukan secara ambulant, bahaya lebih kurang, lebih
murah dan tidak memerlukan tenaga yang khusus pada terapi koma insulin.
TEK baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor. Terhadap skizofrenia
simplex efeknya mengecewakan; bila gejala hanya ringan lantas diberi TEK,
kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.

3. Terapi koma insulin

Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan


penyakit, hasilnya memuaskan. Persentasi kesembuhan lebih besar bila di
mulai dalam waktu 6 bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin
memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.

4. Psikoterapi dan rehabilitasi

14
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang
diharapkan bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita
dengan skizofrenia karena justru dapat menambah isolasi dan otisme. Yang
dapat membantu penderita ialah psikoterapi suportif individual atau kelompok,
serta bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita
ke masyarakat.

Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi, karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama. Pemikiran masalah falsafat atau kesenian bebas dalam bentuk
melukis bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan sebab dapat
menambah otisme. Bila dilakukan juga, maka harus ada pemimpin dan ada
tujuan yang lebih dahulu ditentukan.

Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin di atur


sedemikian rupa sehingga ia tidak mengalami stres terlalu banyak. Bila
mungkin sebaiknya ia dikembalikan ke pekerjaan sebelum sakit, dan
tergantung pada kesembuhan apakah tanggung jawabnya dalam pekerjaan itu
akan penuh atau tidak.

5. Lobotomi prefrontal.

Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila
penderita sangat mengganggu lingkungannya. Jadi prognosa skizofrenia tidak
begitu buruk seperti dikira orang sampai dengan pertengahan abad ini. Lebih-
lebih dengan neroleptika, lebih banyak penderita dapat dirawat di luar rumah
sakit jiwa. Dan memang seharusnya

E. PATOFISIOLOGI
a. Peningkatan ukuran ventrikular, penurunan ukuran otak, dan asimetri otak
telah dilaporkan. Penurunan ukuran hipokampus mungkin berhubungan
dengan penurunan uji neuropsikologi dan respon yang lebih buruk
terhadap antipsikotik generasi pertama (FGAs).

15
b. Hipotesa dopaminergik ; Psikosis dapat berasal dari hiper- atau
hipoaktivitas dari proses dopaminergik pada daerah otak tertentu.
c. Disfungsi glutamatergik ; Saluran glutamatergic berinteraksi dengan
saluran dopaminergik. Kekurangan aktivitas glutamatergic menghasilkan
gejala-gejala mirip dengan hiperaktif dopaminergik dan mungkin yang
terlihat pada skizofrenia.
d. Abnormalitas Serotonin (5-HT) ; pasien skizofrenia dengan scan otak yang
abnormal memiliki konsentrasi 5-HT darah yang lebih tinggi.
e. Kelainan primer dapat terjadi dalam satu neurotransmitter dengan
perubahan sekunder dalam neurotransmitter lainnya.
f. Penelitian molekuler yang melibatkan perubahan halus dalam protein-G,
metabolism protein, dan proses subselular lainnya mungkin
mengidentifikasi gangguan biologis dalam skizofrenia.

16
F. PATHWAYS

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan:
 atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal,
anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh
 berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia.

17
 Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak
adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola
defisit yang terjadi.
 Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan
oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori,
kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa..
3. CT scan:
 Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh
dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan
yang sangat spesifik pada penyakit ini
 Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi
dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental
4. MRI
 Peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi
untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran
atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi
hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
 MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer
dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.
5. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik
6. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan:
 Penurunan aliran darah
 Metabolisme O2
 Dan glukosa didaerah serebral

18
 Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat
berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan
hasil observasi penelitian neuropatologi
7. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
8. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE,
fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang
dilakukan secara selektif.

H. KOMPLIKASI
Jika tidak diobati, skizofrenia bisa mengakibatkan trauma emosi, perilaku,
kesehatan, dan bahkan masalah hukum dan keuangan yang mempengaruhi setiap
bidang kehidupan mereka. Komplikasi yang disebabkan oleh skizofrenia paranoid,
meliputi:
 Bunuh diri (pikiran dan perilaku)
 Perilaku merusak diri sendiri
 Depresi
 Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan atau obat resep
 Kemiskinan
 Tunawisma
 Dipenjara
 konflik keluarga
 Ketidakmampuan untuk bekerja atau bersekolah
 Gangguan kesehatan akibat obat antipsikotik
 Menjadi korban atau pelaku kejahatan kekerasan
 Jantung dan penyakit paru-paru yang berhubungan dengan merokok

19
BAB III
ASKEP TEORI

Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri dan atau orang lain/lingkungan berhubungan
dengan perubahan persepsi sensori/halusinasi

Tujuan Umum :

 Klien tidak mencederai diri sendiri dan atau orang lain / lingkungan.

Tujuan khusus :
1. Klien dapat hubungan saling percaya :
a. Bina hubungan saling percaya

 Salam terapeutik
 Perkenalan diri
 Jelaskan tujuan interaksi
 Ciptakan lingkungan yang tenang
 Buat kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik, waktu dan tempat berbicara).

b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.


c. Dengarkan ungkapan klien dengan empati.

2. Klien dapat mengenal halusinasinya


a. Lakukan kontak sering dan singkat. Rasional : untuk mengurangi kontak klien dengan
halusinasinya.
b. Obeservasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan tertawa tanpa
stimulus, memandang kesekitarnya seolah – olah ada teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal halusinasinya ;

 Bila klien menjawab ada, lanjutkan ; apa yang dikatakan ?


 Katakan bahwa perawat percaya klien mendengarnya.
 Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti klien.
 Katakan bahwa perawatan akan membantu klien.

d. Diskusikan dengan klien tentang ;

20
 Situasi yang dapat menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi.
 Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, malam atau bila sendiri
atau bila jengkel / sedih).

e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan bila terjadi halusinasi (marah / takut /
sedih / senang) dan berkesempatan mengungkapkan perasaan.

3. Klien dapat mengontrol halusinasinya


a. Identifikasi bersama klien cara / tindakan yang dilakukan bila terjadi halusinasi
(tidur/marah/menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, bila bermanfaat beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya halusinasi :

 Katakan “saya tidak mau dengan kamu” (pada halusinasi).


 Menemui orang lain (perawat / teman / anggota keluarga untuk bercakap – cakap .
mengatakan halusinasinya.
 Membuat jadwal kegiatan sehari – hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
 Meminta orang lain (perawat / teman anggota keluarga) menyapa bila tampak bicara
sendiri.

d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus / mengontrol halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian
bila berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok (orientasi realisasi dan stimulasi
persepsi).

4. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengotrol halusinasinya :


a. Anjurkan klien memberitahu keluarga bila mengalami halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung / pada saat kunjungan rumah)

 Gejala halusinasinya yang dialami klien


 Cara yang dapat dilakukan klien dan ke-luarga untuk memutus halusinasi
 Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah : Beri kegiatan, jangan
biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama

21
 Berikan informasi waktu follow up atau kapan perlu mandapat bantuan; halusinasi tak
terkontrol dan resiko mencederai orang lain.

5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik :

 Diskusi dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
 Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat merasakan manfaatnya.
 Anjurkan klien bicara dengan dokter / perawat tentang efek dan efek samping obat
yang dirasakan.
 Diskusikan akibat berhenti obat tanpa kon-sultasi.
 Bantu klien menggunakan obat, dengan prinsip 5 (lima) benar (benar dosis, benar
cara, benar waktu)

2. Diagnosa 2 : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan proses pikir


(waham).
Tujuan Umum :

 Klien dapat melakukan komunikasi verbal

Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien.

 Katakan perawat menerima : saya menerima keyakinan anda, disertai ekspresi


menerima.
 Katakan perawat tidak mendukung : sadar bagi saya untuk mempercayainya disertai
ekspresi ragu dan empati.
 Tidak membicarakan isi waham klien.

c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindung.

 Gunakan keterbukaan dan kejujuran


 Jangan tinggalkan klien sendirian
 Klien diyakinkan berada di tempat aman, tidak sendirian.

22
2. Klien dapat mengindentifikasi kemampuan yang dimilki

 Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realitas.


 Diskusikan dengan klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang
realistis.
 Tanyakan apa yang bisa dilakukan (aktiviotas sehari – hari)
 Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai waham tidak ada.

3. Klien dapat mengindentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi :

 Observasi kebutuhan klien sehari – hari.


 Diskusi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah / di RS.
 Hubungan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien (buat jadwal aktivitas
klien).

4. Klien dapat berhubungan dengan realitas :

 Berbicara dengan klien dalam kontek realita (diri orang lain, tempat, waktu)
 Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok: orientasi realitas
 Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.

5. Klien dapat dukungan keluarga :

 Gejala waham.
 Cara merawatnya.
 Lingkungan keluarga.

6. Klien dapat menggunakan obat dengan benar

 Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat, dosis, frekuensi, efek samping
obat, akibat penghentian.
 Diskusikan perasaan klien setelah minum obat
 Berikan obat dengan prinsip 5 tepat

23
3. Doagnosa 3 : Difisit perawatan diri berhubungan dengan koping individu tidak efektif
Tujuan Umum :

 Klien mampu merawat diri sehingga penampilan diri menjadi adekuat

Tujuan Khusus :
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri

 Dorong klien mengungkapkan perasaan tentang keadaan dan kebersihan dirinya.


 Dengan ungkapan klien dengan penuh perhatian dan empati.
 Beri pujian atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan tentang kebersihan
dirinya.
 Diskusi dengan klien tentang arti kebersihan diri
 Diskusikan dengan klien tujuan kebersihan diri.

2. Klien mendapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan dirinya.

 Kaji tentang tingkat pengetahuan keluarga tentang kebutuhan perawatan diri klien
 Diskusikan dengan keluarga
 Motivasi keluarga dalam berperan aktif memenuhi kebutuhan perawatan diri klien.
Beri pujian atas tindakan positif yang telah dilakukan keluarga.

24
BAB IV
CONTOH KASUS DAN ASKEP

asuhan keperawatan jiwa pada Tn. A dengan isolasi sosial di Ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat, penulis melakukan asuhan keperawatan selama tiga
hari dimulai dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan 16 Juni 2012.

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien

Pasien bernama Tn. A, umur 28 tahun dan belum menikah, pendidkan terakhir STM, pasien
masuk pada tanggal 1 Juni 2012 dan didiagnosa Skizofrenia Hebefrenik. Penanggung jawab
pasien adalah Tn. F (adik ipar) yang berusia 27 tahun.

2. Alasan Masuk

Berdasarkan catatan rekam medis, pada tanggal 1 Juni 2012 pasien di bawa ke RSK Provinsi
Kalimantan Barat oleh keluarganya dengan alasan 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
marah-marah dan memukul warga setempat hingga menyerang warga menggunakan senapan
angin.

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada tanggal 14 Juni 2012 pasien mengatakan
dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit dengan alasan pasien tidak suka melihat tetangganya
yang suka omong kosong, pasien akan membentak orang tersebut dan akan meninju orang-
orang yang suka omong kosong, sehingga pasien mengisolasi diri dikamar sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit.

3. Faktor Predisposisi

Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada Tn. A adalah kehidupan keluarganya yang
kurang harmonis, membuat pasien sering marah-marah dengan keluarganya, hal ini juga
didukung dengan keadaan dimana pasien tidak suka dengan keluarga maupun tetangga pasien
yang suka bicara omong kosong atau bicara tinggi. Menurut catatan keperawatan pasien
mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak
kejadian itu klien menjadi sensitif serta mudah marah.

Pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun. Pasien
mengatakan kehidupan didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang menyebabkan

25
pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang ayahnya. Didalam anggota
keluarganya Tn.A, tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, hanya saja
adik Tn.A yang nomor 6 mengalami retardasi mental.

Pasien mengatakan, pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan terlalu banyak,
sehingga ia tidak ingat lagi dan ia juga tidak mau mengingatnya lagi karena akan menbuat
stres, pada usia ± 20 tahun pasien adalah alkoholik.

Masalah keperawatan:

 Resiko perilaku kekerasa


 Inefektif koping individu

4. Faktor Presipitasi

Sebelumnya pasien pernah mengalami gangguan jiwa. Tiga bulan yang lalu tanggal 29
Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat dengan keluhan
sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak mau makan dan minum.
Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr. Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat
dirumah sering malas minum obat. Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum
obat secara teratur dan sering putus obat.

Masalah Keperawatan:

 Inefektif regimen therapeutik

5. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda - tanda vital : TD = 100/60 mmHg, N = 64 x/mnt, S = 36, 2 °C dan RR = 18


x/mnt.

b. Berat badan 70 kg, tinggi badan 172 cm, berat badan ideal 65 kg.

c. Pemeriksaan Fisik Head to Toe.

1) Kepala, leher

Kepala: Pada saat diinspeksi rambut pasien lurus dan pendek, berwarna hitam, kebersihan
baik, pada saat dipalpasi tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada kepala.

26
Leher: Pada saat diinspeksi tidak terdapat pembesaran vena jugularis, tidak terdapat nyeri
tekan.

2) Mata

Bentuk mata simetris, penglihatan baik, tidak memakai alat bantu penglihatan.

3) Telinga

Bentuk simetris, pendengaran baik dibuktikan Tn. A dapat menjawab pertanyaan perawat,
kebersihan telinga cukup dan Tn. A tidak menggunakan alat bantu pendengaran.

4) Hidung

Hidung Tn. A simetris, fungsi penciuman baik dibuktikan Tn. A dapat mencium wangi
sabun, tidak terdapat polip.

5) Mulut

Bibir Tn. A simetris, gigi Tn. A lengkap dan bersih, mukosa bibir lembab.

6) Integumen

Warna kulit sawo matang, kulit tampak kering, turgor kulit cukup.

7) Dada

a) Rongga Torax

Bentuk dada simetris, respirasi 18x/menit.

b) Abdomen

Saat diispeksi tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan.

c) Punggung

Tidak terdapat kelainan pada tulang belakang.

d) Ekstremitas

Atas: pergerakan tangan baik, turgor kulit kurang, kulit berwarna sawo matang.

Bawah: pergerakan kaki baik, tidak terdapat odema pada kaki, kebersihan kaki baik.

27
6. Psikososial

a. Genogram

Ket :

= perempuan = meninggal = tinggal serumah

= laki-laki = pasien

Berdasarkan hasil pengkajian, pasien tidak mampu menjelaskan silsilah keturunan secara
keseleruhun, terutama kakek dan nenek pasien, karena pasien kesulitan dalam mengingatnya,
sehingga hanya didapatkan data sebanyak dua generasi (keturunan). Didalam catatan
keperawatan juga tidak terdapat genogram tiga keturunan.

b. Masalah komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola asuh

Pasien mengatakan, ia anak ke-5 dari 7 bersaudara, ia hanya tinggal bersama ayah, ibu dan
adiknya yang ketujuh, sedangkan saudaranya yang lain ada yang telah menikah dan bekerja.
Pasien mempunyai pola asuh yang baik, hanya saja pasien mengatakan kehidupan
keluarganya kurang harmonis. Semenjak ia dan keluarga lainnya pisah, dalam hal
pengambilan keputusan, ayah pasien selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu.

c. Konsep Diri

1) Citra Tubuh

Pasien mengatakan ia menyukai seluruh tubuhnya, karena pasien menyadari bahwa seluruh
anggota tubuhnya ini telah diciptakan Allah SWT sesempurna mungkin, sehingga ia selalu
bersyukur dengan yang diberikan allah SWT.

2) Identitas Diri

Pasien dapat menyebutkan namanya dan pasien mengatakan bahwa pasien adalah seorang
laki- laki, penampilan Tn. A sesuai dengan identitasnya sebagai seorang laki-laki. Tn. A
merasa tidak puas sebagai seorang laki-laki karena belum menikah. Tn. A bekerja sebagai
petani. Pasien anak kelima dari tujuh bersaudara, pasien tamatan STM.

28
3) Peran

Pasien berperan sebagai anak yang belum menikah dan bekerja sebagai petani. Dirumah sakit
pasien berperan sebagai pasien yang mentaati praturan rumah sakit

4) Ideal Diri

Pasien berharap cepat sembuh dan berkumpul bersama keluarganya. Dan bisa bekerja lagi
untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan ingin segera sembuh agar segera menikah.

5) Harga Diri

Pasien merasa sedih karena ia sekarang sakit, tidak bisa berkumpul dengan keluarganya dan
menyusahkan keluarganya saja.

d. Hubungan Sosial

1) Orang yang berarti

Pasien mengatakan orang yang berarti baginya adalah kakaknya yang nomor empat. Jika ada
masalah pasien kadang menceritakan kepada kakaknya.

2) Peran dalam kegiatan kelompok

Pasien mengatakan malas untuk bersosialisasi dengan tetangganya, karena tetangganya sring
berbicara kosong.

3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain.

Pasien mengatakan mengatakan malas untuk berhubungan dengan orang lain, selain karena ia
malas ngobrol dengan orang lain, juga karena pasien sering lupa nama orang dan tidak ada
untungnya.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

e. Spiritual

1) Nilai dan keyakinan

29
Pasien beragama Islam, dan pasien percaya dengan adanya Allah SWT. Menurut pasien,
penyakitnya ini merupakan cobaan dari Allah SWT.

2) Kegiatan ibadah

Saat di rumah pasien shalat lima waktu, namun selama dirumah sakit pasien tidak pernah
shalat, karena pasien beranggapan bahwa dirinya ini kotor dan tidak suci untuk melakukan
ibadah shalat.

7. Status Mental

a. Penampilan

Penampilan pasien rapi, pakaian bersih dan diganti setiap hari, serta pasien berpakaian sesuai.

b. Pembicaraan

Pasien berbicara dengan nada yang pelan dan lambat, jelas dan mudah dimengerti. Namun
pasien tidak mampu untuk memulai pembicaraan kepada orang lain.

Masalah Keperawatan:

 Isolasi sosial

c. Aktivitas motorik

Pasien tampak lesu, malas beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering
menghabiskan waktunya ditempat tidur.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

d. Afek dan Emosi

1) Afek pasien tumpul, berespon apabila di berikan stimulus yang kuat.

2) Emosi pasien stabil. Pasien mengatakan saat ini sedih karna tidak pernah lagi
dijenguk keluarganya.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

30
e. Interaksi selama wawancara

Selama wawancara kontak mata pasien baik, pasien tampak ragu dalam menjawab pertanyaan
perawat sehingga perawat harus mengulangi beberapa pertanyaan kepada pasien, tingkat
konsentrasi pasien baik, ditandaidengan ketika wawancara, pasien terfokus kepada perawat.
Selain itu pasien tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi kecuali perawat yang memulai.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

f. Persepsi dan sensori

Pasien tidak mengalami gangguan persepsi sensori ilusi dan halusinasi, baik itu halusinasi
pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, dan penghidu. Ditandai dengan pasien
mengatakan tidak pernah mendengar, melihat dan merasakan yang aneh-aneh tanpa wujud.

g. Proses pikir (arus dan bentuk pikir)

1) Proses Pikir (arus dan bentuk pikiran)

Saat bicara Tn. A kadang- kadang terdiam dan sulit memulai pembicaraan.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

2) Isi Pikir

Tn. A tidak mengalami gangguan isi pikir. Isi pikir Tn. A sesuai dengan kenyataan saat ini.
Dibuktikan Tn.A tidak memiliki keinginan yang besar sesuai dengan keadaannya saat ini.

h. Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran pasien bingung. Pasien mengalami gangguan orientasi tempat, terbukti
dengan pasien mengatakan bahwa dirinya berada di rumah sakit Griya Husada. Orientasi
waktu pasien baik di buktikan dengan pasien mengetahui hari dan tanggal

i. Memori

Pasien mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, namun pasien tidak mengalami
gangguan mengingat jangka pendek dan saat ini.

31
Jangka panjang: Pasien tidak dapat menceritakan kejadian yang terjadi beberapa bulan yang
lalu, terutama saat ia berada dimalysia.

Jangka pendek: Pasien dapat menceritakan kejadian ketika pasien di bawa masuk oleh
keluarganya.

Saat ini: Pasien dapat mengingat nama perawat, serta janji / kontrak yang telah dibuat.

j. Tingkat konsentrasi dan berhitung

Pasien mampu untuk berkonsentrasi penuh, pasien mampu berhitung sederhana dibuktikan
dengan pasien dapat menyebutkan perhitungan dari 1-10 dan sebaliknya dari 10-1.

k. Kemampuan penilaian

Pasien tidak ada masalah pada kemampuan penilaian, terbukti dengan pada saat diberi pilihan
mau makan setelah mandi atau mandi setelah makan, pasien memilih makan setelah mandi.

l. Daya tilik diri

Pasien mengatakan ia tidak tau sedang sakit apa, ia bertanya-tanya mengapa saya diberi obat
yang efek sampingnya membuat saya mengantuk dan lemah.

8. Kebutuhan Perencanaan Pulang

a. Kemampuan pasien memenuhi kebutuhan

Pasien mampu memenuhi kebutuhan makan dan minum secara mandiri, sedangkan untuk
kebutuhan lainnya seperti keamanan, perawatan kesehatan, pakaian, transportasi, tempat
tinggal, keuangan dan lain-lain belum dapat dipenuhi secara mandiri.

b. Kegiatan hidup sehari – hari (ADL)

1) Perawatan diri

Pasien mengatakan mandi dua kali sehari dengan menggunakan sabun, shampo serta
menggosok gigi sebanyak dua kali sehari. Setelah mandi pasien tidak menyisir rambut karena
sisir tidak ada diruangan.

2) Nutrisi

32
Pasien makan 3x/hari, pasien tidak dapat menghabiskan 1 porsi yang telah di sediakan rumah
sakit, karena terlalu banyak. Pasien makan menggunakan tangan, dan tempat yang
disediakan, pasien sudah mampu membereskan makan setelah makan.

3) Tidur

Pasien tidur sehari biasanya 6 – 8 jam, tidur siang 1 – 2 jam. Pasien tidur malam mulai dari
jam 21.00 dan bangun jam 05.00 pagi, pasien tidak mengalami kesulitan saat memulai tidur
dan pasien bangun tidur dengan kondisi segar. Pasien belum dapat merapikan tempat tidurnya
sendiri, semua masih di arahkan oleh perawat.

9. Mekanisme Koping

Pasien mengatakan apabila memiliki masalah lebih baik menghindar dari malasah tersebut,
dan jika ada masalah, pasien akan memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan
menghindar dari orang lain.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial
 Inefektif koping individu

10. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Pasien mempunyai masalah dengan lingkungannya, karena jarang berinteraksi dengan orang
lain. Pasien lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan orang lain.

Masalah keperawatan:

 Isolasi sosial

11. Pengetahuan Tentang Masalah Kejiwaan

Pasien mengatakan ia tidak tahu ia sakit apa, dan ia juga bingung mengapa ia diberi obat
yang efek sampingnya akan membuat ia menjadi mengantuk dan lemah, pasien juga
mengatakan saat dirumah pernah diberi obat, namun pasien malas untuk meminum obat
tersebut karena akan membuatnya mengantuk.

33
Masalah keperawatan:

 Inefektif regimen therapeutik

12. Aspek Medis

Diagnosa medis: F.20.1 Skizofrenia Hebefrenik

Terapi medis: Fluoxetin 1 x 10 mg/hari

Persidal 2 x 1 mg/hari

Trihexipenidil 2 x 2 mg/hari

Clorilex 1 x 25 mg/hari

Vit. B6 1 x 10 mg/hari

Stelazine 2 x 5 mg/hari

13. Daftar Diagnosa Keperawatan

a. Isolasi Sosial

b. Inefektif Regimen Therapeutik

c. Inefektif Koping Individu

34
B. ANALISA DATA

No Data Masalah Keperawatan

1. Ds: Isolasi Sosial

- Pasien mengatakan malas untuk


berinteraksi dengan pasien lain karena tidak
ada untungnya.

- Pasien mengatakan selama dirumah sakit,


tidak ada satupun yang pasien kenal.

Do:

- Pasien tampak sering menyendiri dari


teman-temannya.

- Pasien tampak tidak berinteraksi dengan


orang lain.

- Pasien tidak mampu memulai


pembicaraan

- Pasien banyak diam, pasien tidak mau


mengikuti kegiatan

- Pasien tampak lesu, afek tumpul

- Pasien malas beraktivitas

2. Ds: Inefektif Regimen


Therapeutik
- Pasien mengatakan pernah masuk rumah
sakit ini, tapi lupa kapan waktunya.

- Pasien mengatakan saat dirumah malas


minum obat.

35
Do:

- Dari catatan keperawatan, pasien


berobat jalan di dr. Ibnu dan mengalami
perubahan, namun tidak minum obat secara
teratur dan sering putus obat.

- Pasien pernah masuk rumah sakit


khusus ini pada tanggal 29 Februari 2012 dan
pulang pada tanggal 09 April 2012

3. Ds: Inefektif Koping Individu

- Pasien mengatakan ia punya banyak


masalah masa lalu yang malas untuk
diceritakan karena akan membuat stres

- Pasien mengatakan lebih baik


menghindari masalah

- Pasien mengatakan akan memendam


masalahnya tersebut dan lebih baik menyendiri
dan menghindar dari orang lain

Do:

- Menurut catatan keperawatan, pasien


mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan sejak
ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien
menjadi sensitif serta mudah marah.

4. Ds: Resiko Perilaku


Kekerasan
- Pasien mengatakan dibawa oleh
keluarganya ke rumah sakit karena tidak suka
melihat tetangga yang suka omong kosong,
pasien akan membentak orang tersebut dan
akan meninjunya.

36
- Pasien mengatakan kehidupan didalam
keluarganya kurang harmonis dan ini yang
menyebabkan pasien sering marah-marah
dirumah dan bahkan menyerang ayahnya

Do:

- Berdasarkan catatan rekam medis, pada


tanggal 1 Juni 2012 pasien dibawa ke RSK
Provinsi Kalimantan Barat oleh keluarganya
dengan alasan 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, pasien marah-marah dan memukul warga
setempat hingga menyerang warga
menggunakan senapan angin.

- Pasien pernah menjadi pelaku dalam


kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosa Keperawatan

a. Isolasi Sosial

b. Inefektif Regimen Therapeutik

c. Inefektif Koping Individu

d. Resiko Perilaku Kekerasan

37
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

PERENCANAAN
No Diagnosa
KRITERIA
Dx Keperawatan TUJUAN INTERVENSI
EVALUASI

1. Isolasi sosial Pasien mampu : Setelah 3 SP 1 Pasien


X pertemuan
1. Menyadaripenyeb 1. Identifikasi penyebab
pasien mampu :
ab isolasi
a. Siapa yang satu rumah dengan
1. Membina
2. Berinteraksi pasien?
hubungan saling
dengan orang lain.
percaya b. Siapa yang dekat dengan
pasien? apa sebabnya?
2. Menyadari
penyebab isolasi c. Siapa yang tidak dekat dengan
social, pasien dan apa sebabnya?
keuntungan dan
2. Tanyakan keuntungan dan
kerugian
kerugian berinteraksi dengan orang
berinteraksi
lain.
dengan orang
lain. a. Tanyakan pendapat pasien
tentang kebiasaan berinteraksi
3. Melakukan
dengan orang lain.
interaksi dengan
orang lain secara b. Tanyakan apa yang
bertahap. menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain.

c. Diskusikan keuntungan bila


pasien memiliki banyak teman dan
bergaul akrab dengan orang lain.

d. Diskusikan kerugian bila pasien


hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain.

38
e. Jelaskan pengaruh isolasi sosial
terhadap kesehatan fisik pasien.

3. Latih berkenalan

a. Jelaskan kepada Pasien cara


berinteraksi dengan orang lain.

b. Berikan contoh cara


berinteraksi dengan orang lain.

c. Berikan kesempatan pasien


mempraktikan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di
hadapan perawat.

SP 2 Pasien

1. Evaluasi Sp 1

2. Latih berhubungan sosial


secara bertahap

3. Masukkan dalam jadwal


kegiatan pasien.

SP 3 Pasien

1. Evaluasi Sp 1 dan 2

2. Latih cara berkenalan dengan


2 orang atau lebih

3. Masukkan jadwal kegiatan

39
pasien.

3.

Setelah tindakan Setelah 3 X pertemuan, keluarga SP 1 Keluarga


keperawatan, keluarga mampu:
1. Diskusika
dapat merawat pasien
1. Menjelaskan masalah n masalah yang
isolasi sosial.
keluarga dalam merawat pasien dialami keluarga
isolasi sosial dalam merawat
pasien
2. Menegerti penyebab isolasi
sosial 2. Jelaskan
pengertian, tanda
3. Memperagakan cara merawat
dan gejala isolasi
pasien isolasi sosial
sosial yang
4. Mempraktikan cara merawat dialami pasien
pasien isolai sosial beserta proses
terjadinya
5. Menyusun perencanaan
pulang bersama keluarga 3. Jelaskan
cara-cara merawat
pasien isolasi
sosial

SP 2 Keluarga

1. Latih
keluarga
mempraktikan
cara merawat
pasien dengan
isolasi sosial

2. Latih

40
keluarga
melakukan cara
merawat langsung
pada pasien
isolasi sosial

SP 3 Keluarga

1. Bantu
keluarga membuat
jadwal aktivitas
dirumah termasuk
minum obat
(perencanaan
pulang)

2. Jelaskan
tindakan tindak
lanjut pasien
setelah pulang

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Hari,Tangg Diagnosa
Implementasi Evaluasi Paraf
al & waktu Keperawatan

Kamis Isolasi Sosial Pertemuan ke-1 SP 1 Sp 1 Isolasi Sosial, Pukul


Isolasi Sosial. 13.00
14 Jun 2012
1. Membina hubungan S:
saling percaya
- Pasien mengatakan
2. Mengidentifikasi namanya Abdul Jalil dan
penyebab isos senang dipanggil Pak

41
3. Berdiskusi dengan Abdul.
pasien tentang keuntungan
- Pasien mengatakan
berinteraksi dengan orang
malas berinteraksi dengan
lain dan kerugian tidak
pasien lain karena tidak ada
berinteraksi dengan orang
untungnya.
lain.
- Pasien mengatakan
4. Mengajarkan cara
selama dirumah sakit tidak
berkenalan dengan orang
ada satupun orang yang
lain.
Pasien kenal

- Pasien mengatakan
jika banyak teman bisa
menambah wawasan

- Pasien mengatakan
jika tidak ada teman merasa
kesepian

- Pasien mengatakan
perasaan Pasien setelah
belajar cara berkenalan
senang dan menambah ilmu.

O:

- Pasien tampak
menyendiri

- Pasien tampak tidak


berinteraksi dengan orang
lain

- Pasien tidak mampu


memulai pembicaraan

- Afek Pasien tumpul

42
- Pasien mempraktikan
cara berkenalan.

A: SP1 Isolasi Sosial


teratasi

- Pasien mampu
menyadari penyebab Isolasi
Sosial

- Pasien mampu
menjelaskan keuntungan
dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang
lain

- Pasien mampu
mempraktikan cara
berkenalan dengan perawat.

P:

PP : Evaluasi SP1 Isolasi


Sosial, jika berhasil lanjut
SP2 Isolasi Sosial

PK : latihan cara
berkenalan dan masukan
kedalam jadwal harian
pasien

Jum’at Isolasi Sosial Pertemuan ke-2 SP 2 Sp 2 Isolasi Sosial, Pukul


Isolasi Sosial. 09.00
15 Jun 2012
1. Mengevaluasi Sp 1 S:

2. Melatih berhubungan - Pasien mengatakan


sosial secara bertahap cara-cara berkenalan itu

43
3. Memasukkan tahap-tahapnya: jabatkan
kedalam jadwal kegiatan tangan, perkenalkan diri,
pasien. nama lengkap, nama
panggilan, alamt dan hobby.

- Pasien mengatakan
nama saya Abdul Jalil
senang dipanggil Jalil
alamat saya dari Kubu Raya
hobby saya berolahraga dan
memancing

- Pasien mengatakan
senang bisa berkenalan
dengan suster E

- Pasien mengatakan
terasa lega sudah bisa
berkenalan.

- Pasien mengatakan
ingin berkenalan 1X saja
pada jam 12 siang.

O:

- Pasien tampak
berkenalan dengan suster E

- Pasien bersama
perawat menyusun jadwal
harian pasien

- Pasien tampak
berkenalan dengan Tn. I
dikamarnya

- Pasien masih ingat

44
dengan SP 1 Isolasi sosial

A: SP2 Isolasi Sosial


teratasi

- Pasien mampu
menjelaskan kembali cara
berkenalan dengan orang
lain

- Psien mampu
berkenalan dengan orang
pertama.

P:

PP : evaluasi SP 1, SP 2
Isolasi sosial, jika berhasil
lanjut SP 3

PK: praktikkan cara


berkenalan dengan perawat /
pasien lain dan masukkan
kedalam jadwal harian
pasien.

Sabtu Isolasi Sosial Pertemuan ke-3 SP 3 Sp 3 Isolasi Sosial, Pukul


Isolasi Sosial. 09.00
16 Jun 2012
1. Mengevaluasi Sp 1 S :
dan 2
- Pasien mengatakan
2. Melatih cara sudah berkenalan dengan 2
berkenalan dengan 2 orang orang yaitu Amsyah dan
atau lebih Irhas.

3. Memasukkan - Pasien mengatakan


kedalam jadwal kegiatan cara berkenalan itu pertama-

45
pasien. tama jabatkan tangan,
perkenalkan diri, alamat dan
hobby, setelah itu baru
tanyakan kembali

- Pasien mengatakan
kemarin berkenalan dengan
suster E

- Pasien mengatakan
perasaan hari ini senang
sudah banyak teman

- Pasien mengatakan
senang bisa berkenalan
dengan Rahmat Ramadhan.

- Pasien mengatakan
ingin latihan berkenalan 2X
jam 09.00 pagi dan jam
12.00 siang.

O:

- Pasien tampak
berkenalan dengan Tn. R

- Pasien tampak
sedang berbicara dengan Tn.
R didalam kamar

- Pasien bersama
perawat menyusun jadwal
harian pasien

- Pasien tampak ceria


setelah berkenalan dengan

46
Tn. R

A : SP 3 Isolasi Sosial
teratasi

- Pasien mampu
menjelaskan kembali cara-
cara berkenalan

- Pasien mampu
berkenalan dengan orang
kedua

P:

PP : evaluasi SP 1, SP 2,
dan SP 3 Isolasi Sosial, jika
berhasil lanjut intervensi
selanjutnya

PK: terus berkenalan dan


berbincang-bincang dengan
pasien / perawat lain
diruangan dan masukan
kedalam jadwal harian
pasien.

47
BAB V
PEMBAHASAN
A. PENEMUAN
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial di ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Dalam hal ini penulis membahas tentang
sejauh mana kesenjangan antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus yaitu
dengan melalui tahapan proses keperawatan. Tahapan proses keperawatan ini
terdiri dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, penyususnan rencana
keperawatan serta evaluasi keperawatan. Selain itu faktor pendukung dan
penghambat juga dipaparkan penulis guna mengatasi masalah yang muncul
selama penyusunan laporan kasus pada Tn. A di ruang Elang Rumah Sakit Khusus
Provinsi Kalimantan Barat. Asuhan keperawatan ini dilakukan selama tiga hari
yaitu dari tanggal 14 Juni sampai 16 Juni 2012.

B. ANALISIS
Pengkajian
Pengkajian dimulai pada tanggal 14 Juni 2012 di ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Penulis mengumpulkan data dengan
tehnik wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada pasien dan
perawat ruangan, serta mengobservasi secara langsung keadaan pasien.
Penulis mengumpulkan informasi secara sistematis mengenai Tn.
A dengan menggunakan pendekatan teoritis yang terkait mulai dari faktor
predisposisi, presipitasi, mekanisme koping, dan status mental pasien.
Berdasarkan catatan rekam medis pasien didiagnosa skizofrenia hebefrenik (F
20.2). Menurut teori skizofrenia hebefrenik disebut juga disorganized type atau
“kacau balau” yang ditandai dengan gejala-gejala seperti inkoherensi, alam
perasaan, perilaku atau tertawa seperti anak-anak, waham tidak jelas, halusinasi,
serta perilaku aneh Hawari (2006, hlm. 64-65). Keadaan pasien atau status
mentalpasien sangat berbeda dengan teori yang ada. Pasien lebih menunjukan
perilaku mengisolasi diri, serta afek tumpul. Tanda dan gejala yang ditunjukan
lebih mengarah pada skizofrenia tipe residual sebagaimana tinjauan teoritis.
Setelah mengetahui diagnosa medis pada Tn. A, penulis memulai
pengkajiandengan menggali faktor predisposisi yang merupakan faktor
pendukungterjadinya gangguan jiwa pada Tn. A. Berdasarkan keterangan pasien,

48
pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun.
Kehidupan rumah tangga didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang
menyebabkan pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang
ayahnya. Menurut catatan keperawatan pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8
bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien menjadi
sensitif serta mudah marah. Hal ini sesuai dengan teori komunikasi dalam
keluarga menurut Fitria (2009, hlm. 33-35), bahwa dalam teori ini yang termasuk
dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.

Faktor presipitasi berdasarkan catatan keperawatan, tiga bulan yang lalu tanggal
29 Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat
dengan keluhan sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak
mau makan dan minum. Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr.
Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat dirumah sering malas minum obat.
Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum obat secara teratur dan
sering putus obat. Faktor ini sesuai dengan pendapat Stuart (2007, hlm.
280) bahwa faktor presipitasi atau stresor pencetus pada umumnya mencakup
peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres. Hal ini yang menyebabkan klien
menarik diri dari lingkungan.
Pengkajian terhadap mekanisme koping yang digunakan Tn. A menggunakan
mekanisme koping yang maladaptif, ia mengatakan apabila memiliki masalah
lebih baik menghindar dari malasah tersebut, dan jika ada masalah, pasien akan
memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan menghindar dari orang
lain. Telah dibahas pada tinjauan teoritis menurut Rasmun (2004,hlm. 32) isolasi
merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang
lain. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme yang maladaptif dapat menjadi
faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa.

Sumber koping juga berperan sebagai pertahanan terhadap stres. Tn. Atergolong
dalam keluarga tingkat ekonomi rendah, kurang dukungan dalam keluarga, dan

49
belum menikah. Pasien lebih senang menyendiri dan jika ada masalah, klien
hanya mendiamkan masalah tersebut, sehingga sumber koping ini tidak mampu
menjadi pertahanan terhadap stressor sebagaimana faktor predisposisi dan
presipitasi diatas yang menjadi faktor terjadinya gangguan jiwa. Telah
dijelaskan Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 432) bahwa yang termasuk
kedalam sumber koping antara lain, keterlibatan dalam hubungan keluarga yang
luas dan teman, serta hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan
mencurahkan perhatian pada hewan peliharaan dan penggunaan kreativitas untuk
mengekspresikan stres interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan)
hanya saja, pasien tidak mempunyai sumber koping tersebut.

Berdasarkan pengkajian terhadap status mental, penulis mendapatkan data isolasi


sosial seperti afek tumpul, pembicaraan dengan nada yang pelan dan lambat,
pasien tidak mampu memulai pembicaraan, pasien tampak lesu, malas
beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering menghabiskan waktunya
ditempat tidur. Hal ini sesuai dengan pengkajian teoritis menurut Keliat
(2010, hlm. 93) bahwa pengkajian status mental pada pasien isolasi sosial akan
didapatkan data bahwa, pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain,
pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk
sendirian, pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain, pasien
mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, pasien merasa tidak
aman dengan orang lain, pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup,
pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
Beberapa data ada yang tidak ditemukan oleh penulis pada Tn. A sesuai
dengan tinjauan teoritis antara lain pasien merasa tidak aman dengan orang lain,
pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup. Tidak munculnya data
tersebut
dikarenakan pasien sudah empat belas hari berada di rumah sakit, dan telah
mendapatkan terapi baik terapi medis maupun terapi keperawatan.

Selama proses pengkajian pada Tn. A penulis merasakan adanya faktorpendukung


dan penghambat. Faktor pendukung dari proses pengkajian adalahsikap pasien
yang kooperatif sehingga memudahkan penulis dalam menggali data-data masalah
yang sedang dihadapi pasien. Faktor penghambat dalammelakukan pengkajian

50
yaitu tidak adanya keluarga pasien saat dilakukannya pengkajian sehingga penulis
tidak dapat melakukan validasi data yang didapat dari pasien. Selain itu tidak
adanya pemeriksaan penunjang yang spesifik terhadap faktor biologis penyebab
terjadinya isolasi sosial juga merupakan faktor penghambat bagi penulis, sehingga
pemberian obat pun menjadi tidak spesifik, hanya berdasarkan gejala yang
muncul. Oleh karena itu, jadwal berkunjung keluarga harusnya dibuat, agar
keluarga dapat berkunjung ke rumah sakit sesuai jadwal, dan segala fasilitas yang
menyangkut pemeriksaan diagnostik agar segera difasilitasi.
B. Diagnosa Keperawatan
Data yang telah diperoleh dari pengkajian, kemudian dilakukan proses
analisa dan pengelompokkan data berdasarkan respon pasien terhadap masalah
tersebut. Akhirnya penulis merumuskan empat diagnosa keperawatan pada Tn. A,
antara lain : isolasi sosial, inefektif regimen therapeutik, dan inefektif koping
individu dan resiko perilaku kekerasan. Keempat diagnosa tersebut
disusun membentuk pohon masalah yang terdiri penyebab, core problem dan
akibat, sebagaimana landasan teori menurut Fitria (2009, hlm. 36).

Penulis menyusun pohon masalah disesuaikan dengan diagnosa yang


munculpada pasien. Diagnosa isolasi sosial menjadi core problem pada masalah
Tn. A, karena data yang didapat sangatlah aktual. Pasien tampak sering
menyendiri dari teman-temannya, pasien tampak tidak berinteraksi dengan orang
lain, pasien tidak mampu memulai pembicaraan, pasien banyak diam, pasien tidak
mau mengikuti kegiatan, pasien tampak lesu, afek tumpul serta, pasien malas
beraktivitas. Selain Core problem, di dalam pohon masalahterdapat diagnosa
penyebab yaitu, inefektif koping individu dan inefektif regimen therapeutik.

mengangkat diagnosa inefektif koping individu sebagai diagnosa penyebab karena


didapatkan data bahwa menurut catatan keperawatan, pasien mempunyai riwayat
putus cinta ± 8 bulan sejak ia pulang dari malaysia serta pasien mempunyai
masalah dalam hal menyelesaikan masalah.

Sedangkan diagnosa untuk akibat dari inefektif regimen therapeutik adalah resiko
perilaku kekerasan, penulis mengangkat diagnosa resiko perilaku kekerasan
karena pasien masuk dengan riwayat perilaku kekerasan. Namun, pada saat

51
penulis melakukan pengkajian terhadap pasien, penulis tidak menemukan data-
data yang terkait perilaku kekerasan seperti tangan mengepal, mata melotot dll.

Berdasarkan diagnosa yang dirumuskan, ada empat diagnosa teoritis menurut


Fitria (2009, hlm. 36) yang tidak muncul pada kasus, yaitu koping keluarga tidak
efektif, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri, harga diri rendah kronis dan
perubahan persepsi sensori: halusinasi. Sedangkan menurut Keliat (2006, hlm.
20) ada empat diagnosa yang tidak muncul yaitu gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran, gangguan konsep diri: harga diri rendah, defisit
perawatan diri, ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga
merawat pasien dirumah, serta gangguan pemeliharaan kesehatan. Masalah-
masalah tersebut tidak muncul karena pasien telah mendapatkan terapi selama
empat belas hari, sehingga gejala psikotik pasien telah berkurang.

Pada proses penegakkan diagnosa keperawatan, penulis tidak menemukan


faktorpenghambat. Kerjasama yang baik antara perawat dan pasien, serta data
yangsangat mendukung merupakan faktor pendukung bagi penulis untuk
mengangkatdiagnosa-diagnosa tersebut .

C. Rencana Keperawatan
Penyusunan rencana keperawatan pada Tn. A telah sesuai dengan
rencanaperawatan teoritis menurut Keliat dan Akemat (2010, hlm. 98-99), namun
tetap disesuaikan kembali dengan kondisi pasien. Sehingga tujuan dan kriteria
hasil diharapkan dapat tercapai. Penulis juga mengikuti langkah-langkah
perencanaan yang telah disusun mulai dari menentukan prioritas diagnosa, tujuan,
sampai kriteria hasil yang akan diharapkan. Merencanaan satu diagnosa dalam
perencanaan yaitu isolasi sosial, sedangkan diagnosa lainnya telah tercakup dalam
tindakan satu diagnosa tersebut.

merencanakan bagaimana cara membina hubungan saling percaya, membantu


pasien untuk mengenal penyebab isolasi sosial, bantu pasien untuk mengenal
manfaat berhubungan dengan orang lain dengan cara mendiskusikan manfaat jika
pasien memiliki banyak teman, serta membantu pasien mengenal kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain, membantu pasien untuk berinteraksi dengan

52
orang lain secara bertahap. Tindakan berinteraksi denganorang lain dapat
membantu dalam mengatasi masalah keperawatan inefektif koping individu,
karena jika pasien sudah mengenal bahkan berinteraksi dengan orang lain pasien
dapat menceritakan masalah yang dialaminya.

Untuk diagnosa keperawatan inefektif regimen therapeutik tidak dibuat intervensi


karena diagnosa inefektif regimen therapeutik akan teratasi jika diagnosa resiko
perilaku kekerasan dan juga isolasi sosial teratasi. Hal ini merupakan alasan
penulis tidak mencantumkan rencana tersendiri untuk diagnosa inefektif regimen
therapeutik dan inefektif koping individu. Apabila isolasi sosial teratasi maka
pasien akan lebih aktif baik didalam maupun diluar rumah sakit.
Sementara itu, untuk diagnosa resiko perilaku kekerasan tidak penulis buat
intervensi karena ketika penulis melakukan pengkajian terhadap pasien, penulis
tidak menemukan tanda-tanda perilaku kekerasan seperti tangan mengepal, mata
melotot dan lain sebagainya, hanya saja pasien masuk dengan riwayat perilaku
kekerasan sehingga penulis mengangkat diagnosa tersebut.

Keterlibatan keluarga dalam merawat pasien juga sangat diperlukan dalam


prosespenyembuhan pasien. Oleh karena itu, penulis merencanakan beberapa
tindakanterhadap keluarga sesuai diagnosa yang muncul pada pasien, penulis tetap
merencanakan intervensi isolasi sosial terhadap keluarga karena penulis ingin
mengantisipasi kedatangan keluarga yang tidak terjadwal sehingga memudahkan
penulis dalam memberikan intervensi. Penulis mencoba menggali masalah
keluarga dalam merawat pasien serta merencanakan bagaimana cara merawat
pasien isolasi sosial.
Sebagaimana pada tahap sebelumnya, pada tahap ini penulis tidak
merasakanadanya hambatan. Kesamaan antara konsep teoritis terhadap kondisi
dankebutuhan pasien merupakan faktor pendukung bagi penulis serta
tersedianyaliteratur yang memudahkan penulis dalam perumusan rencana
keperawatan padaTn. A.

53
D. Implementasi
Penulis melakukan implementasi keperawatan mulai dari tanggal 14 Junisampai
dengan 16 Juni 2012. Secara umum semua implementasi yang dilakukan sesuai
dengan rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahap sebelumnya.
Penulis melaksanakan implementasi keperawatan menggunakan tahapan
strategipelaksanaan. Tahapan ini digunakan agar mempermudah perawat
dalammemberikan terapi secara sistematis dan tetap memperhatikan kebutuhan
pasien.Untuk mengatasi masalah isolasi sosial, penulis terlebih dahulu membina
hubungan saling percaya, membantu pasien untuk mengenal penyebab isolasi
social, bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain
dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman,
membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan orang lain,
membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
Penulis tidak hanya fokus terhadap masalah isolasi sosial, melainkan penulis juga
menggali sejauh mana pasien mampu mengeksplorasikan perasaannya kepada
orang lain, diharapkan apabila pasien dapat mengeksplorasikan perasaanya dapat
membuat pasien terbuka, sehingga jika ada masalah klien dapat menceritakannya
kepada orang lain dan tidak memendamnya lagi. Sebagaimana pohon masalah
menurut Fitria (2009, hlm. 36) bahwa isolasi sosial dapat terjadi akibat koping
indidvidu inefektif.
Berbeda pada tahap sebelumnya, pada tahap implementasi penulis
menemukan hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu tidak adanya keterlibatan
keluarga dalam pemberian implementasi, sehingga intervensi keluarga belum
bisa dilaksanakan. Faktor pendukung yang penulis rasakan pada pada tahap ini
yaitu sikap pasien yang sangat kooperatif, sehingga implementasi dapat
dilaksanakan sesuai perencanaan. Oleh karena itu, kunjungan keluarga sangatlah
dibutuhkan untuk membantu penyembuhan pasien.

E. Evaluasi
Tahap ini penulis menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapai dalampemberian
asuhan keperawatan dan membandingkannya dengan tujuan dankriteria hasil yang
telah dibuat. Penulis menggunakan komponen proses evaluasi mulai dari
mengidentifikasi kriteria hasil, mengumpulkan data perkembangan pasien,
mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan kriteria evaluasi.

54
Selain itu penulis juga menggunakan dua metode evaluasi, yaitu evaluasi formatif
(evahnasi proses) dan evaluasi sumatif (evaluasi tahap akhir). Dari satu diagnosa
yang didokumentasikan, diagnosa isolasi sosial dapat diatasi.

Diagnosa isolasi sosial dapat teratasi dibuktikan dengan penilaian penulis terhadap
perkembangan pasien selama tiga hari yaitu pasien mampumempraktikan cara
berkenalan dengan perawat, pasien mampu berkenalan dengan orang pertama,
pasien mampu berkenalan dengan orang kedua. Dariketiga cara diatas, sebagian
besar pasien dapat mempraktekkannya secaramandiri tanpa harus diingatkan.

Penulis menyadari bahwa proses keperawatan tidak dapat berakhir dalam


satuperiode, melainkan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tindakan
yangberkelanjutan. Perkembangan yang ditunjukan oleh Tn. A masih perlu
dilakukanobservasi lebih lanjut, karena evaluasi yang diharapkan belum
tercapaisepenuhnya, maka diperlukan adanya modifikasi secara khusus dalam
menyusunrencana keperawatan agar tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun
dapattercapai.
Sikap kooperatif dan kerja sama dari pasien merupakan faktor pendukung
bagi penulis dalam menilai perkembangan pasien. Pasien selalu
memperlihatkan jadwal hariannya dan mengisinya dengan baik, akan
menjadiindikasi layak atau tidaknya pasien untuk dirawat dirumah. Maka dari itu,
perlunya operan antar shift yang jelas serta pemantauan terhadap jadwal harian
pasien dan didukung oleh pendokumentasian yang rapi sesuai dengan keadaan
pasien merupakan salah satu cara pemantauan terhadap perkembangan pasien.

F. KESIMPULAN
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial, maka bab ini penulis
akan menyimpulkan dan memberikan saran alternatif dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya penyelesaian masalah apa pasien dengan isolasi sosial
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi
sosial, penulis menyimpulkan:

55
1. Isolasi soaial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.

2. Diagnosa yang muncul pada pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A


dengan isolasi sosial, pada dasarnya dianosa yang didapatkan dari klien sudah
sesuai dengan teori yang ada. Diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah isolasi
sosial, inefektif regimen therapeutik dan inefektif koping individu. Sedangkan
diagnosa yang tidak muncul pada Tn. A menurut landasan teori adalah harga diri
rendah kronik, perubahan persepsi sensori: halusinasi, inefektif koping keluarga,
intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri dan resiko tinggi mencederai diri orang
lain dan lingkungan.

3. Fokus pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial adalah
sebagai upaya untuk menekspolasikan perasaanya kepada orang lain, sehingga
dengan fokus pelaksaan tersebut dapat mengatasi masalah isolasi sosial dan juga
masalah imefektif koping individu, sehingga dua masalah tersebut dapat teratasi
secara langsung.

4. Pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial sudah sesuai
dengan pelaksanaan yang ada di dalam penatalaksaanteoritis. Selama tiga hari,
pasien sudah mampu berinteraksi dengan orang lain, serta pasien juga mampu
menyebutkan serta melatih cara berkenalana dengan orang lain.

5. Dalam pemberian asuhan keperawatan pada Tn. A terdapat beberapa faktor


pendukung dan juga faktor penghambat. Faktor pendukung dalam pemberian
asuhan keperawatan pada Tn. A adalah sikap pasien yang kooperatif dan juga
adanya kerjasama anatar penulis dan juga perawat ruangan. Sedangkan faktor
penghambatnya adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang ada dirumah sakit,
sehingga sulit untuk melakukan intervensi keperawatan.

56
G. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai
pertimbangan dalam meningkatkan asuhan keperawatan, ksususnya pada pasien
dengan isolasi sosial.

57
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).

B. SARAN

1. Rumah Sakit Khusus


Rumah sakit khusus sebagai salah satu wadah dalam membantu program
pemerintah untuk meningkatkan serta mempertahankan kesehatan masyarakat,
diharapkan pihak rumah sakit membuat jadwal kunjungan keluarga agar
proses pemberian intervensi pada keluarga dapat dilakukan. Selain itu,
diharapkan pihak manajemen agar memperhatikan sarana dan prasarana yang
ada dan melengkapi seluruh peralatan medis yang menunjang proses
penyembuhan pasien. Serta diharapkan pihak menejemen lebih proaktif untuk
melakukan home visite kerumah-rumah pasien khususnya pasien-pasien yang
ditelantarkan oleh keluarganya.

2. Mahasiswa Keperawatan
Mahasiswa merupakan calon penerus perawat yang ada diruangan, sehingga
diharapkan mahasiswa agar mampu memanfaatkan waktu yang ada pada saat
praktik semaksimal mungkin, agar ilmu yang didapatkan tidak hanya di ruang
kelas, melainkan juga dilapangan.

3. Pendidikan Keperawatan
Pendidikan keperawatan merupakan pencetak perawat-perawat dimasa depan,
hendaknya pihak pendidikan dapat memberikan banyak materi pembelajaran
dan praktik terkait perkembangan keperawatan jiwa yang dirasakan semakin
menjadi msalah kesehatan jiwa. Begitu juga dengan literatur yang disediakan,
agar buku-buku yang disediakan diperpustakaan selalu diupgrade, sehingga

58
sumber yang disediakan merupakan sumber terbaru. Dalam hal pembuatan
laporan kasus ini diharapkan menjadi pertimbangan agar waktu pembuatan
laporan kasus ini dapat diperpanjang, agar pembuatan laporan kasus ini dapat
dimanfaatkan secara maksimal dengan hasil yang juga maksimal.

4. Keluarga dan Masyarakat


Keluarga dan masyarakat hendaknya dapat mengenal gangguan jiwa bukan
sebagai suatu penyakit yang sangat meresahkan masyarakat. Khususnya
kepada keluarga agar memberikan dukungan bagi proses penyembuhan
pasien, baik berupa materil maupun berupa support dalam hal kecil seperti
kunjungan terhadap keluarganya yang ada dirumah sakit khusus.

59
DAFTAR PUSTAKA

Doenges E, Marylin et. al. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri edisi 3.(alih bahasa
oleh Laili Mahmudah, dkk, 2006). Jakarta : EGC

Fitria , Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (alih bahasa , Ramona P Kapoh, Egi
Komara Yudha, 2006). Jakarta: EGC

Hawari, Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta :FKUI

Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC

Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC

Medikal Record. 2011. Distribusi Kunjungan Pasien Rawat Inap Menurut Jenis Penyakit.
Pontianak: Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat.

NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi (alih bahasa, Sumarwati et.
al., 2011). Jakarta: EGC

Perry & Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep Proses dan Praktek
Edisi 4. (alih bahasa oleh Yasmin Asih, dkk, 2005). Jakarta: EGC

Rasmun. (2004). Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung Seto

Stuart, Gail W dan Laraia. (2005). Priciple and paraktice of Psychiatric Nursing Edition 8.
USA : Mosby

Townsend, Mary C (2003). Psychiatric Mental Healt Nursing : Concepts of Care.Fourth


Edition. Philadelphia : Davis Company

Videbeck, Sheila L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (alih bahasa oleh Komalasari &
Hany, 2008). Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC Edisi 7. Jakarta: EG

60

Anda mungkin juga menyukai