Disusun Oleh :
1. Probo sutejo 11.0729.S
2. Trias anhar 11.0747.S
Kelas :
III B / S1 Keperawatan
1
(2014)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang
berjudul " SKIZOFRENIA" tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari dukungan dan motivasi rekan-rekan kelas 3 B S1
keperawatan, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua rekan-rekan yang telah mendukung kami
sepenuhnya dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
A. Definisi .......................................................................................................... 10
B. Etiologi ............................................................................................................ 10
C. Tanda dan Gejala ............................................................................................... 12
D. Penatalaksanaan .............................................................................................. 13
E. Pathofisiologi .................................................................................................. 16
F. pathways............................................................................................................ 17
G. pemeriksaan penunjang..................................................................................... 17
Analisa Data............................................................................................................. 36
Diagnosa.................................................................................................................. 38
BAB V PEMBAHASAN.................................................................................... 48
A. Penemuan....................................................................................................... 48
B. Analisis.......................................................................................................... 48
KESIMPULAN .................................................................................................. 55
BAB VI PENUTUP............................................................................................. 58
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat,
kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang memungkinkan untuk hidup produtif. Manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, individu dituntut untuk lebih meningkatkan
kinerjanya agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi tingkat sosial di masyarakat
lebih tinggi. Hal ini merupakan dambaan setiap manusia ( Dep Kes RI. 2000 ).
Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara
dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap
sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah
satu empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan indrustri
keempat kesehatan utama tersbut adalah penyakait degeneratif, kanker, gangguan
jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak di anggap sebagai
gangguan jiwa yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien (Yosep, 2007).
Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas,
sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal di Rumkital Dr. Ramelan PAV VI
A terdapat 16 klien (100%) dan ada 4 klien yang mengalami gangguan
Skizofrenia Paranoid (25%) . Di Indonesia, sekitar 1% – 2% dari total jumlah
penduduk mengalami skizofrenia yaitu mencapai 3 per 1000 penduduk, prevalensi
1,44 per 1000 penduduk di perkotaan dan 4,6 per 1000 penduduk di pedesaan
berarti jumlah penyandang skizofrenia 600.000 orang produktif.
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya
4
retak atau pecah (spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality).
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya
waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis,2005). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000)
menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak
sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat
diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2
kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis,
tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis
kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejala-
gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah
waham kebesaran Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk
dunia menderita skizofrenia.
75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia
remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini
penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Istilah skizofrenia sering disalahpahami berarti bahwa orang-orang yang
terkena dampak memiliki "kepribadian ganda". Meskipun beberapa orang
didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin
mengalami suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan
orang berubah antara kepribadian ganda yang berbeda. Kebingungan muncul
sebagian karena makna istilah skizofrenia Bleuler itu (secara harfiah "split" atau
"pikiran hancur"). Penyalahgunaan dikenal pertama istilah berarti "kepribadian
yang terbelah" adalah dalam sebuah artikel oleh penyair TS Eliot pada tahun
1933.
5
Pada paruh pertama abad kedua puluh skizofrenia dianggap cacat
keturunan, dan penderita tunduk pada eugenika di banyak negara. Ratusan ribu
orang disterilkan, dengan atau tanpa persetujuan - mayoritas di Nazi Jerman,
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Seiring dengan orang lain
berlabel "mental layak", banyak didiagnosis dengan skizofrenia dibunuh dalam
program "Aksi T4" Nazi.
Pada awal 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia adalah subyek
dari sejumlah kontroversi yang akhirnya mengarah pada kriteria operasional
digunakan saat ini. Ini menjadi jelas setelah studi AS-Inggris 1971 Diagnostik
bahwa skizofrenia didiagnosis ke tingkat yang jauh lebih besar di Amerika
daripada di Eropa. Hal ini sebagian karena kriteria diagnostik longgar di AS, yang
menggunakan DSM-II manual, kontras dengan Eropa dan ICD-9 nya. 1972 studi
david Rosenhan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science di bawah judul yang
waras Pada di tempat gila, menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di
Amerika Serikat sering subyektif dan tidak dapat diandalkan. Ini adalah beberapa
faktor dalam memimpin ke revisi tidak hanya dari diagnosis skizofrenia, tapi
revisi dari manual DSM keseluruhan, sehingga dalam publikasi DSM-III pada
tahun 1980. Sejak 1970-an lebih dari 40 kriteria diagnostik untuk skizofrenia telah
diusulkan dan dievaluasi.
Di Uni Soviet diagnosis skizofrenia juga telah digunakan untuk tujuan
politik. Soviet Andrei Snezhnevsky psikiater terkemuka dibuat dan dipromosikan
klasifikasi sub-tambahan lamban berkembang skizofrenia. Diagnosis ini
digunakan untuk mendiskreditkan dan cepat memenjarakan para pembangkang
politik sementara pengeluaran dengan percobaan berpotensi memalukan. Praktek
itu terkena Barat oleh sejumlah pembangkang Soviet, dan pada tahun 1977 World
Psychiatric Association mengutuk praktek Soviet di Kongres Dunia Keenam
Psikiatri. Daripada mempertahankan teorinya bahwa bentuk laten skizofrenia
disebabkan pembangkang untuk menentang rezim, Snezhnevsky memutuskan
semua kontak dengan Barat pada tahun 1980 dengan mengundurkan diri posisi
kehormatan di luar negeri.
Stigma sosial telah diidentifikasi sebagai suatu hambatan yang besar dalam
pemulihan pasien dengan skizofrenia. Dalam sampel, besar wakil dari sebuah
studi tahun 1999, 12,8% orang Amerika percaya bahwa individu dengan
skizofrenia adalah "sangat mungkin" untuk melakukan sesuatu kekerasan terhadap
6
orang lain, dan 48,1% mengatakan bahwa mereka "agak mungkin". Lebih dari
74% mengatakan bahwa orang dengan skizofrenia yang baik "tidak sangat
mampu" atau "tidak mampu sama sekali" untuk membuat keputusan tentang
pengobatan mereka, dan 70,2% mengatakan hal yang sama dari keputusan
manajemen uang. Persepsi individu dengan psikosis sebagai kekerasan memiliki
lebih dari dua kali lipat dalam prevalensi sejak tahun 1950, menurut salah satu
meta-analisis.
Skizofrenia didiagnosis berdasarkan gejala profil. Berkorelasi Syaraf tidak
memberikan kriteria cukup berguna. Diagnosa didasarkan pada yang dilaporkan
sendiri pengalaman orang tersebut, dan kelainan pada perilaku yang dilaporkan
oleh anggota keluarga, teman atau rekan kerja, diikuti dengan penilaian klinis oleh
seorang psikiater, pekerja sosial, psikolog klinis atau profesional kesehatan mental
lainnya. Penilaian kejiwaan mencakup riwayat psikiatri dan beberapa bentuk
pemeriksaan status mental.
tapi review lain tidak menyarankan koneksi apapun. Sebuah tinjauan
literatur Yunani dan Romawi kuno menunjukkan bahwa meskipun psikosis
digambarkan, ada tidak memperhitungkan kondisi memenuhi kriteria untuk
skizofrenia. Psikotik keyakinan aneh dan perilaku yang mirip dengan beberapa
gejala skizofrenia dilaporkan dalam literatur medis dan psikologis Arab selama
Abad Pertengahan. Dalam The Canon of Medicine, misalnya, Ibnu Sina
menggambarkan sebuah kondisi yang agak menyerupai gejala-gejala skizofrenia
yang disebut Junun Mufrit (kegilaan yang parah), yang dibedakan dari bentuk-
bentuk lain dari kegilaan (Junun) seperti mania, rabies dan psikosis manic
depressive. Namun, tidak ada kondisi yang menyerupai skizofrenia dilaporkan
dalam Bedah Imperial Şerafeddin Sabuncuoğlu, sebuah buku medis utama Islam
abad ke-15. Mengingat bukti-bukti historis yang terbatas, skizofrenia (lazim
seperti sekarang ini) mungkin merupakan fenomena modern, atau alternatif itu
mungkin telah dikaburkan dalam tulisan-tulisan sejarah oleh konsep-konsep
terkait seperti melankolis atau mania.
Sebuah laporan kasus rinci pada 1797 tentang James Tilly Matthews, dan
rekening oleh Phillipe Pinel diterbitkan pada 1809, sering dianggap sebagai kasus
awal skizofrenia dalam literatur medis dan psikiatris. Skizofrenia pertama kali
digambarkan sebagai sindrom yang berbeda yang mempengaruhi remaja dan
dewasa muda oleh Benedict Morel pada tahun 1853, disebut démence précoce
7
(harfiah 'demensia dini'). Istilah demensia digunakan praecox pada tahun 1891
oleh Arnold Pilih dalam sebuah laporan kasus gangguan psikotik. Pada tahun
1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi
gangguan mental antara dementia praecox dan gangguan suasana hati (disebut
depresi manik dan termasuk unipolar dan bipolar depresi). Kraepelin percaya
bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak, dan khususnya suatu bentuk
demensia, dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari demensia, seperti penyakit
Alzheimer, yang biasanya terjadi di kemudian hari. Klasifikasi Kraepelin
perlahan-lahan mendapatkan penerimaan. Ada keberatan dengan penggunaan dari
"demensia" istilah meskipun kasus pemulihan, dan beberapa pembelaan diagnosa
diganti seperti kegilaan remaja.
Skizofrenia kata - yang diterjemahkan secara kasar sebagai "membelah
pikiran" dan berasal dari akar Yunani schizein (σχίζειν, "untuk split") dan phrēn,
phren-(φρήν, φρεν-, "pikiran") - diciptakan oleh Eugen Bleuler pada tahun 1908
dan dimaksudkan untuk menggambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian,
berpikir, memori, dan persepsi. Bleuler menggambarkan gejala utama sebagai 4
A: rata Mempengaruhi, Autisme, gangguan Asosiasi ide dan Ambivalensi. Bleuler
menyadari bahwa penyakit itu bukan demensia karena beberapa pasien membaik
daripada memburuk dan karenanya mengusulkan istilah skizofrenia sebagai
gantinya.
8
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun.
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap implementasi
keperawatan yang telah dilaksanakan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
9
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya ( Hawari, 2003).Skizofrenia adalah
gangguan terhadap fungsi otak yang timbul akibat ketidakseimbangan dopamine (
salah satu sel kimia dalam otak , dan juga disebabkan oleh tekanan yang dialami
oleh individu. Merupakan gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
sosial. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi
(persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Skizofrenia paranoid adalah yang
terbanyak dialami oleh penderita skizofrenia. Terapi pada pasien ini bertujuan
untuk mengembalikan fungsi sosial sehingga dapat memiliki peran sosial di
masyarakat. Adapun jenis farmakoterapi yang diberikan harus melalui beberapa
pertimbangan tertentu.Seperti pada kasus di bawah pada pasien skizofrenia
paranoid diberikan Risperidone sebagaiutamapengobatannya.
B. ETIOLOGI
1. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri
0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar
satu telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
2. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
3. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam
menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat
halusinogenik.
10
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon
atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin
disebabkan oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu
membuat sediaan.
7. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu
jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi
2 kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi,
gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
8. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macaam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi,
tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.
11
9. Ringkasan
Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab Skizofrenia. Dapat
dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang
mempercepat, yang menjadikan manifest atau faktor pencetus (presipitating
factors) seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak
menyebabkan Skizofrenia, walaupun pengaruhnyaa terhadap suatu penyakit
Skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.( Maramis, 1998;218 ).
C. TANDA GEJALA
1.Gejala Primer
12
Katelepsi : mempertahankan posisi tubuh dalam waktu yang lama
Echolalia dan Echopraxia
3. Gejala sekunder
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Cara bicara/berfikir yang tidak teratur
d. Perilaku negatif, misalkan: kasar, kurang termotifasi, muram, perhatian
menurun.
D. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
Hasilnya lebih baik bila neroleptika mulai diberi dalam dua tahun pertama dari
penyakit. Tidak ada dosis standard untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan
secara individual.
14
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang
diharapkan bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita
dengan skizofrenia karena justru dapat menambah isolasi dan otisme. Yang
dapat membantu penderita ialah psikoterapi suportif individual atau kelompok,
serta bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita
ke masyarakat.
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi, karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama. Pemikiran masalah falsafat atau kesenian bebas dalam bentuk
melukis bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan sebab dapat
menambah otisme. Bila dilakukan juga, maka harus ada pemimpin dan ada
tujuan yang lebih dahulu ditentukan.
5. Lobotomi prefrontal.
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila
penderita sangat mengganggu lingkungannya. Jadi prognosa skizofrenia tidak
begitu buruk seperti dikira orang sampai dengan pertengahan abad ini. Lebih-
lebih dengan neroleptika, lebih banyak penderita dapat dirawat di luar rumah
sakit jiwa. Dan memang seharusnya
E. PATOFISIOLOGI
a. Peningkatan ukuran ventrikular, penurunan ukuran otak, dan asimetri otak
telah dilaporkan. Penurunan ukuran hipokampus mungkin berhubungan
dengan penurunan uji neuropsikologi dan respon yang lebih buruk
terhadap antipsikotik generasi pertama (FGAs).
15
b. Hipotesa dopaminergik ; Psikosis dapat berasal dari hiper- atau
hipoaktivitas dari proses dopaminergik pada daerah otak tertentu.
c. Disfungsi glutamatergik ; Saluran glutamatergic berinteraksi dengan
saluran dopaminergik. Kekurangan aktivitas glutamatergic menghasilkan
gejala-gejala mirip dengan hiperaktif dopaminergik dan mungkin yang
terlihat pada skizofrenia.
d. Abnormalitas Serotonin (5-HT) ; pasien skizofrenia dengan scan otak yang
abnormal memiliki konsentrasi 5-HT darah yang lebih tinggi.
e. Kelainan primer dapat terjadi dalam satu neurotransmitter dengan
perubahan sekunder dalam neurotransmitter lainnya.
f. Penelitian molekuler yang melibatkan perubahan halus dalam protein-G,
metabolism protein, dan proses subselular lainnya mungkin
mengidentifikasi gangguan biologis dalam skizofrenia.
16
F. PATHWAYS
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan:
atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal,
anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh
berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia.
17
Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak
adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola
defisit yang terjadi.
Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan
oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori,
kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa..
3. CT scan:
Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh
dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan
yang sangat spesifik pada penyakit ini
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi
dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental
4. MRI
Peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi
untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran
atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi
hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer
dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.
5. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik
6. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan:
Penurunan aliran darah
Metabolisme O2
Dan glukosa didaerah serebral
18
Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat
berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan
hasil observasi penelitian neuropatologi
7. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
8. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE,
fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang
dilakukan secara selektif.
H. KOMPLIKASI
Jika tidak diobati, skizofrenia bisa mengakibatkan trauma emosi, perilaku,
kesehatan, dan bahkan masalah hukum dan keuangan yang mempengaruhi setiap
bidang kehidupan mereka. Komplikasi yang disebabkan oleh skizofrenia paranoid,
meliputi:
Bunuh diri (pikiran dan perilaku)
Perilaku merusak diri sendiri
Depresi
Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan atau obat resep
Kemiskinan
Tunawisma
Dipenjara
konflik keluarga
Ketidakmampuan untuk bekerja atau bersekolah
Gangguan kesehatan akibat obat antipsikotik
Menjadi korban atau pelaku kejahatan kekerasan
Jantung dan penyakit paru-paru yang berhubungan dengan merokok
19
BAB III
ASKEP TEORI
Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri dan atau orang lain/lingkungan berhubungan
dengan perubahan persepsi sensori/halusinasi
Tujuan Umum :
Klien tidak mencederai diri sendiri dan atau orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat hubungan saling percaya :
a. Bina hubungan saling percaya
Salam terapeutik
Perkenalan diri
Jelaskan tujuan interaksi
Ciptakan lingkungan yang tenang
Buat kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik, waktu dan tempat berbicara).
20
Situasi yang dapat menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi.
Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, malam atau bila sendiri
atau bila jengkel / sedih).
e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan bila terjadi halusinasi (marah / takut /
sedih / senang) dan berkesempatan mengungkapkan perasaan.
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus / mengontrol halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian
bila berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok (orientasi realisasi dan stimulasi
persepsi).
21
Berikan informasi waktu follow up atau kapan perlu mandapat bantuan; halusinasi tak
terkontrol dan resiko mencederai orang lain.
Diskusi dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat merasakan manfaatnya.
Anjurkan klien bicara dengan dokter / perawat tentang efek dan efek samping obat
yang dirasakan.
Diskusikan akibat berhenti obat tanpa kon-sultasi.
Bantu klien menggunakan obat, dengan prinsip 5 (lima) benar (benar dosis, benar
cara, benar waktu)
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien.
22
2. Klien dapat mengindentifikasi kemampuan yang dimilki
Berbicara dengan klien dalam kontek realita (diri orang lain, tempat, waktu)
Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok: orientasi realitas
Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.
Gejala waham.
Cara merawatnya.
Lingkungan keluarga.
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat, dosis, frekuensi, efek samping
obat, akibat penghentian.
Diskusikan perasaan klien setelah minum obat
Berikan obat dengan prinsip 5 tepat
23
3. Doagnosa 3 : Difisit perawatan diri berhubungan dengan koping individu tidak efektif
Tujuan Umum :
Tujuan Khusus :
1. klien dapat mengindentifikasi kebersihan diri
Kaji tentang tingkat pengetahuan keluarga tentang kebutuhan perawatan diri klien
Diskusikan dengan keluarga
Motivasi keluarga dalam berperan aktif memenuhi kebutuhan perawatan diri klien.
Beri pujian atas tindakan positif yang telah dilakukan keluarga.
24
BAB IV
CONTOH KASUS DAN ASKEP
asuhan keperawatan jiwa pada Tn. A dengan isolasi sosial di Ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat, penulis melakukan asuhan keperawatan selama tiga
hari dimulai dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan 16 Juni 2012.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Pasien bernama Tn. A, umur 28 tahun dan belum menikah, pendidkan terakhir STM, pasien
masuk pada tanggal 1 Juni 2012 dan didiagnosa Skizofrenia Hebefrenik. Penanggung jawab
pasien adalah Tn. F (adik ipar) yang berusia 27 tahun.
2. Alasan Masuk
Berdasarkan catatan rekam medis, pada tanggal 1 Juni 2012 pasien di bawa ke RSK Provinsi
Kalimantan Barat oleh keluarganya dengan alasan 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
marah-marah dan memukul warga setempat hingga menyerang warga menggunakan senapan
angin.
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada tanggal 14 Juni 2012 pasien mengatakan
dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit dengan alasan pasien tidak suka melihat tetangganya
yang suka omong kosong, pasien akan membentak orang tersebut dan akan meninju orang-
orang yang suka omong kosong, sehingga pasien mengisolasi diri dikamar sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit.
3. Faktor Predisposisi
Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada Tn. A adalah kehidupan keluarganya yang
kurang harmonis, membuat pasien sering marah-marah dengan keluarganya, hal ini juga
didukung dengan keadaan dimana pasien tidak suka dengan keluarga maupun tetangga pasien
yang suka bicara omong kosong atau bicara tinggi. Menurut catatan keperawatan pasien
mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak
kejadian itu klien menjadi sensitif serta mudah marah.
Pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun. Pasien
mengatakan kehidupan didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang menyebabkan
25
pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang ayahnya. Didalam anggota
keluarganya Tn.A, tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, hanya saja
adik Tn.A yang nomor 6 mengalami retardasi mental.
Pasien mengatakan, pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan terlalu banyak,
sehingga ia tidak ingat lagi dan ia juga tidak mau mengingatnya lagi karena akan menbuat
stres, pada usia ± 20 tahun pasien adalah alkoholik.
Masalah keperawatan:
4. Faktor Presipitasi
Sebelumnya pasien pernah mengalami gangguan jiwa. Tiga bulan yang lalu tanggal 29
Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat dengan keluhan
sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak mau makan dan minum.
Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr. Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat
dirumah sering malas minum obat. Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum
obat secara teratur dan sering putus obat.
Masalah Keperawatan:
5. Pemeriksaan Fisik
b. Berat badan 70 kg, tinggi badan 172 cm, berat badan ideal 65 kg.
1) Kepala, leher
Kepala: Pada saat diinspeksi rambut pasien lurus dan pendek, berwarna hitam, kebersihan
baik, pada saat dipalpasi tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada kepala.
26
Leher: Pada saat diinspeksi tidak terdapat pembesaran vena jugularis, tidak terdapat nyeri
tekan.
2) Mata
Bentuk mata simetris, penglihatan baik, tidak memakai alat bantu penglihatan.
3) Telinga
Bentuk simetris, pendengaran baik dibuktikan Tn. A dapat menjawab pertanyaan perawat,
kebersihan telinga cukup dan Tn. A tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
4) Hidung
Hidung Tn. A simetris, fungsi penciuman baik dibuktikan Tn. A dapat mencium wangi
sabun, tidak terdapat polip.
5) Mulut
Bibir Tn. A simetris, gigi Tn. A lengkap dan bersih, mukosa bibir lembab.
6) Integumen
Warna kulit sawo matang, kulit tampak kering, turgor kulit cukup.
7) Dada
a) Rongga Torax
b) Abdomen
c) Punggung
d) Ekstremitas
Atas: pergerakan tangan baik, turgor kulit kurang, kulit berwarna sawo matang.
Bawah: pergerakan kaki baik, tidak terdapat odema pada kaki, kebersihan kaki baik.
27
6. Psikososial
a. Genogram
Ket :
= laki-laki = pasien
Berdasarkan hasil pengkajian, pasien tidak mampu menjelaskan silsilah keturunan secara
keseleruhun, terutama kakek dan nenek pasien, karena pasien kesulitan dalam mengingatnya,
sehingga hanya didapatkan data sebanyak dua generasi (keturunan). Didalam catatan
keperawatan juga tidak terdapat genogram tiga keturunan.
Pasien mengatakan, ia anak ke-5 dari 7 bersaudara, ia hanya tinggal bersama ayah, ibu dan
adiknya yang ketujuh, sedangkan saudaranya yang lain ada yang telah menikah dan bekerja.
Pasien mempunyai pola asuh yang baik, hanya saja pasien mengatakan kehidupan
keluarganya kurang harmonis. Semenjak ia dan keluarga lainnya pisah, dalam hal
pengambilan keputusan, ayah pasien selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu.
c. Konsep Diri
1) Citra Tubuh
Pasien mengatakan ia menyukai seluruh tubuhnya, karena pasien menyadari bahwa seluruh
anggota tubuhnya ini telah diciptakan Allah SWT sesempurna mungkin, sehingga ia selalu
bersyukur dengan yang diberikan allah SWT.
2) Identitas Diri
Pasien dapat menyebutkan namanya dan pasien mengatakan bahwa pasien adalah seorang
laki- laki, penampilan Tn. A sesuai dengan identitasnya sebagai seorang laki-laki. Tn. A
merasa tidak puas sebagai seorang laki-laki karena belum menikah. Tn. A bekerja sebagai
petani. Pasien anak kelima dari tujuh bersaudara, pasien tamatan STM.
28
3) Peran
Pasien berperan sebagai anak yang belum menikah dan bekerja sebagai petani. Dirumah sakit
pasien berperan sebagai pasien yang mentaati praturan rumah sakit
4) Ideal Diri
Pasien berharap cepat sembuh dan berkumpul bersama keluarganya. Dan bisa bekerja lagi
untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan ingin segera sembuh agar segera menikah.
5) Harga Diri
Pasien merasa sedih karena ia sekarang sakit, tidak bisa berkumpul dengan keluarganya dan
menyusahkan keluarganya saja.
d. Hubungan Sosial
Pasien mengatakan orang yang berarti baginya adalah kakaknya yang nomor empat. Jika ada
masalah pasien kadang menceritakan kepada kakaknya.
Pasien mengatakan malas untuk bersosialisasi dengan tetangganya, karena tetangganya sring
berbicara kosong.
Pasien mengatakan mengatakan malas untuk berhubungan dengan orang lain, selain karena ia
malas ngobrol dengan orang lain, juga karena pasien sering lupa nama orang dan tidak ada
untungnya.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
e. Spiritual
29
Pasien beragama Islam, dan pasien percaya dengan adanya Allah SWT. Menurut pasien,
penyakitnya ini merupakan cobaan dari Allah SWT.
2) Kegiatan ibadah
Saat di rumah pasien shalat lima waktu, namun selama dirumah sakit pasien tidak pernah
shalat, karena pasien beranggapan bahwa dirinya ini kotor dan tidak suci untuk melakukan
ibadah shalat.
7. Status Mental
a. Penampilan
Penampilan pasien rapi, pakaian bersih dan diganti setiap hari, serta pasien berpakaian sesuai.
b. Pembicaraan
Pasien berbicara dengan nada yang pelan dan lambat, jelas dan mudah dimengerti. Namun
pasien tidak mampu untuk memulai pembicaraan kepada orang lain.
Masalah Keperawatan:
Isolasi sosial
c. Aktivitas motorik
Pasien tampak lesu, malas beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering
menghabiskan waktunya ditempat tidur.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
2) Emosi pasien stabil. Pasien mengatakan saat ini sedih karna tidak pernah lagi
dijenguk keluarganya.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
30
e. Interaksi selama wawancara
Selama wawancara kontak mata pasien baik, pasien tampak ragu dalam menjawab pertanyaan
perawat sehingga perawat harus mengulangi beberapa pertanyaan kepada pasien, tingkat
konsentrasi pasien baik, ditandaidengan ketika wawancara, pasien terfokus kepada perawat.
Selain itu pasien tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi kecuali perawat yang memulai.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
Pasien tidak mengalami gangguan persepsi sensori ilusi dan halusinasi, baik itu halusinasi
pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, dan penghidu. Ditandai dengan pasien
mengatakan tidak pernah mendengar, melihat dan merasakan yang aneh-aneh tanpa wujud.
Saat bicara Tn. A kadang- kadang terdiam dan sulit memulai pembicaraan.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
2) Isi Pikir
Tn. A tidak mengalami gangguan isi pikir. Isi pikir Tn. A sesuai dengan kenyataan saat ini.
Dibuktikan Tn.A tidak memiliki keinginan yang besar sesuai dengan keadaannya saat ini.
h. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien bingung. Pasien mengalami gangguan orientasi tempat, terbukti
dengan pasien mengatakan bahwa dirinya berada di rumah sakit Griya Husada. Orientasi
waktu pasien baik di buktikan dengan pasien mengetahui hari dan tanggal
i. Memori
Pasien mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, namun pasien tidak mengalami
gangguan mengingat jangka pendek dan saat ini.
31
Jangka panjang: Pasien tidak dapat menceritakan kejadian yang terjadi beberapa bulan yang
lalu, terutama saat ia berada dimalysia.
Jangka pendek: Pasien dapat menceritakan kejadian ketika pasien di bawa masuk oleh
keluarganya.
Saat ini: Pasien dapat mengingat nama perawat, serta janji / kontrak yang telah dibuat.
Pasien mampu untuk berkonsentrasi penuh, pasien mampu berhitung sederhana dibuktikan
dengan pasien dapat menyebutkan perhitungan dari 1-10 dan sebaliknya dari 10-1.
k. Kemampuan penilaian
Pasien tidak ada masalah pada kemampuan penilaian, terbukti dengan pada saat diberi pilihan
mau makan setelah mandi atau mandi setelah makan, pasien memilih makan setelah mandi.
Pasien mengatakan ia tidak tau sedang sakit apa, ia bertanya-tanya mengapa saya diberi obat
yang efek sampingnya membuat saya mengantuk dan lemah.
Pasien mampu memenuhi kebutuhan makan dan minum secara mandiri, sedangkan untuk
kebutuhan lainnya seperti keamanan, perawatan kesehatan, pakaian, transportasi, tempat
tinggal, keuangan dan lain-lain belum dapat dipenuhi secara mandiri.
1) Perawatan diri
Pasien mengatakan mandi dua kali sehari dengan menggunakan sabun, shampo serta
menggosok gigi sebanyak dua kali sehari. Setelah mandi pasien tidak menyisir rambut karena
sisir tidak ada diruangan.
2) Nutrisi
32
Pasien makan 3x/hari, pasien tidak dapat menghabiskan 1 porsi yang telah di sediakan rumah
sakit, karena terlalu banyak. Pasien makan menggunakan tangan, dan tempat yang
disediakan, pasien sudah mampu membereskan makan setelah makan.
3) Tidur
Pasien tidur sehari biasanya 6 – 8 jam, tidur siang 1 – 2 jam. Pasien tidur malam mulai dari
jam 21.00 dan bangun jam 05.00 pagi, pasien tidak mengalami kesulitan saat memulai tidur
dan pasien bangun tidur dengan kondisi segar. Pasien belum dapat merapikan tempat tidurnya
sendiri, semua masih di arahkan oleh perawat.
9. Mekanisme Koping
Pasien mengatakan apabila memiliki masalah lebih baik menghindar dari malasah tersebut,
dan jika ada masalah, pasien akan memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan
menghindar dari orang lain.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
Inefektif koping individu
Pasien mempunyai masalah dengan lingkungannya, karena jarang berinteraksi dengan orang
lain. Pasien lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan orang lain.
Masalah keperawatan:
Isolasi sosial
Pasien mengatakan ia tidak tahu ia sakit apa, dan ia juga bingung mengapa ia diberi obat
yang efek sampingnya akan membuat ia menjadi mengantuk dan lemah, pasien juga
mengatakan saat dirumah pernah diberi obat, namun pasien malas untuk meminum obat
tersebut karena akan membuatnya mengantuk.
33
Masalah keperawatan:
Persidal 2 x 1 mg/hari
Trihexipenidil 2 x 2 mg/hari
Clorilex 1 x 25 mg/hari
Vit. B6 1 x 10 mg/hari
Stelazine 2 x 5 mg/hari
a. Isolasi Sosial
34
B. ANALISA DATA
Do:
35
Do:
Do:
36
- Pasien mengatakan kehidupan didalam
keluarganya kurang harmonis dan ini yang
menyebabkan pasien sering marah-marah
dirumah dan bahkan menyerang ayahnya
Do:
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi Sosial
37
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
PERENCANAAN
No Diagnosa
KRITERIA
Dx Keperawatan TUJUAN INTERVENSI
EVALUASI
38
e. Jelaskan pengaruh isolasi sosial
terhadap kesehatan fisik pasien.
3. Latih berkenalan
SP 2 Pasien
1. Evaluasi Sp 1
SP 3 Pasien
1. Evaluasi Sp 1 dan 2
39
pasien.
3.
SP 2 Keluarga
1. Latih
keluarga
mempraktikan
cara merawat
pasien dengan
isolasi sosial
2. Latih
40
keluarga
melakukan cara
merawat langsung
pada pasien
isolasi sosial
SP 3 Keluarga
1. Bantu
keluarga membuat
jadwal aktivitas
dirumah termasuk
minum obat
(perencanaan
pulang)
2. Jelaskan
tindakan tindak
lanjut pasien
setelah pulang
Hari,Tangg Diagnosa
Implementasi Evaluasi Paraf
al & waktu Keperawatan
41
3. Berdiskusi dengan Abdul.
pasien tentang keuntungan
- Pasien mengatakan
berinteraksi dengan orang
malas berinteraksi dengan
lain dan kerugian tidak
pasien lain karena tidak ada
berinteraksi dengan orang
untungnya.
lain.
- Pasien mengatakan
4. Mengajarkan cara
selama dirumah sakit tidak
berkenalan dengan orang
ada satupun orang yang
lain.
Pasien kenal
- Pasien mengatakan
jika banyak teman bisa
menambah wawasan
- Pasien mengatakan
jika tidak ada teman merasa
kesepian
- Pasien mengatakan
perasaan Pasien setelah
belajar cara berkenalan
senang dan menambah ilmu.
O:
- Pasien tampak
menyendiri
42
- Pasien mempraktikan
cara berkenalan.
- Pasien mampu
menyadari penyebab Isolasi
Sosial
- Pasien mampu
menjelaskan keuntungan
dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang
lain
- Pasien mampu
mempraktikan cara
berkenalan dengan perawat.
P:
PK : latihan cara
berkenalan dan masukan
kedalam jadwal harian
pasien
43
3. Memasukkan tahap-tahapnya: jabatkan
kedalam jadwal kegiatan tangan, perkenalkan diri,
pasien. nama lengkap, nama
panggilan, alamt dan hobby.
- Pasien mengatakan
nama saya Abdul Jalil
senang dipanggil Jalil
alamat saya dari Kubu Raya
hobby saya berolahraga dan
memancing
- Pasien mengatakan
senang bisa berkenalan
dengan suster E
- Pasien mengatakan
terasa lega sudah bisa
berkenalan.
- Pasien mengatakan
ingin berkenalan 1X saja
pada jam 12 siang.
O:
- Pasien tampak
berkenalan dengan suster E
- Pasien bersama
perawat menyusun jadwal
harian pasien
- Pasien tampak
berkenalan dengan Tn. I
dikamarnya
44
dengan SP 1 Isolasi sosial
- Pasien mampu
menjelaskan kembali cara
berkenalan dengan orang
lain
- Psien mampu
berkenalan dengan orang
pertama.
P:
PP : evaluasi SP 1, SP 2
Isolasi sosial, jika berhasil
lanjut SP 3
45
pasien. tama jabatkan tangan,
perkenalkan diri, alamat dan
hobby, setelah itu baru
tanyakan kembali
- Pasien mengatakan
kemarin berkenalan dengan
suster E
- Pasien mengatakan
perasaan hari ini senang
sudah banyak teman
- Pasien mengatakan
senang bisa berkenalan
dengan Rahmat Ramadhan.
- Pasien mengatakan
ingin latihan berkenalan 2X
jam 09.00 pagi dan jam
12.00 siang.
O:
- Pasien tampak
berkenalan dengan Tn. R
- Pasien tampak
sedang berbicara dengan Tn.
R didalam kamar
- Pasien bersama
perawat menyusun jadwal
harian pasien
46
Tn. R
A : SP 3 Isolasi Sosial
teratasi
- Pasien mampu
menjelaskan kembali cara-
cara berkenalan
- Pasien mampu
berkenalan dengan orang
kedua
P:
PP : evaluasi SP 1, SP 2,
dan SP 3 Isolasi Sosial, jika
berhasil lanjut intervensi
selanjutnya
47
BAB V
PEMBAHASAN
A. PENEMUAN
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial di ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Dalam hal ini penulis membahas tentang
sejauh mana kesenjangan antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus yaitu
dengan melalui tahapan proses keperawatan. Tahapan proses keperawatan ini
terdiri dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, penyususnan rencana
keperawatan serta evaluasi keperawatan. Selain itu faktor pendukung dan
penghambat juga dipaparkan penulis guna mengatasi masalah yang muncul
selama penyusunan laporan kasus pada Tn. A di ruang Elang Rumah Sakit Khusus
Provinsi Kalimantan Barat. Asuhan keperawatan ini dilakukan selama tiga hari
yaitu dari tanggal 14 Juni sampai 16 Juni 2012.
B. ANALISIS
Pengkajian
Pengkajian dimulai pada tanggal 14 Juni 2012 di ruang Elang Rumah
Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Penulis mengumpulkan data dengan
tehnik wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada pasien dan
perawat ruangan, serta mengobservasi secara langsung keadaan pasien.
Penulis mengumpulkan informasi secara sistematis mengenai Tn.
A dengan menggunakan pendekatan teoritis yang terkait mulai dari faktor
predisposisi, presipitasi, mekanisme koping, dan status mental pasien.
Berdasarkan catatan rekam medis pasien didiagnosa skizofrenia hebefrenik (F
20.2). Menurut teori skizofrenia hebefrenik disebut juga disorganized type atau
“kacau balau” yang ditandai dengan gejala-gejala seperti inkoherensi, alam
perasaan, perilaku atau tertawa seperti anak-anak, waham tidak jelas, halusinasi,
serta perilaku aneh Hawari (2006, hlm. 64-65). Keadaan pasien atau status
mentalpasien sangat berbeda dengan teori yang ada. Pasien lebih menunjukan
perilaku mengisolasi diri, serta afek tumpul. Tanda dan gejala yang ditunjukan
lebih mengarah pada skizofrenia tipe residual sebagaimana tinjauan teoritis.
Setelah mengetahui diagnosa medis pada Tn. A, penulis memulai
pengkajiandengan menggali faktor predisposisi yang merupakan faktor
pendukungterjadinya gangguan jiwa pada Tn. A. Berdasarkan keterangan pasien,
48
pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun.
Kehidupan rumah tangga didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang
menyebabkan pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang
ayahnya. Menurut catatan keperawatan pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8
bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien menjadi
sensitif serta mudah marah. Hal ini sesuai dengan teori komunikasi dalam
keluarga menurut Fitria (2009, hlm. 33-35), bahwa dalam teori ini yang termasuk
dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.
Faktor presipitasi berdasarkan catatan keperawatan, tiga bulan yang lalu tanggal
29 Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat
dengan keluhan sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak
mau makan dan minum. Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr.
Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat dirumah sering malas minum obat.
Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum obat secara teratur dan
sering putus obat. Faktor ini sesuai dengan pendapat Stuart (2007, hlm.
280) bahwa faktor presipitasi atau stresor pencetus pada umumnya mencakup
peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres. Hal ini yang menyebabkan klien
menarik diri dari lingkungan.
Pengkajian terhadap mekanisme koping yang digunakan Tn. A menggunakan
mekanisme koping yang maladaptif, ia mengatakan apabila memiliki masalah
lebih baik menghindar dari malasah tersebut, dan jika ada masalah, pasien akan
memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan menghindar dari orang
lain. Telah dibahas pada tinjauan teoritis menurut Rasmun (2004,hlm. 32) isolasi
merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang
lain. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme yang maladaptif dapat menjadi
faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa.
Sumber koping juga berperan sebagai pertahanan terhadap stres. Tn. Atergolong
dalam keluarga tingkat ekonomi rendah, kurang dukungan dalam keluarga, dan
49
belum menikah. Pasien lebih senang menyendiri dan jika ada masalah, klien
hanya mendiamkan masalah tersebut, sehingga sumber koping ini tidak mampu
menjadi pertahanan terhadap stressor sebagaimana faktor predisposisi dan
presipitasi diatas yang menjadi faktor terjadinya gangguan jiwa. Telah
dijelaskan Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 432) bahwa yang termasuk
kedalam sumber koping antara lain, keterlibatan dalam hubungan keluarga yang
luas dan teman, serta hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan
mencurahkan perhatian pada hewan peliharaan dan penggunaan kreativitas untuk
mengekspresikan stres interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan)
hanya saja, pasien tidak mempunyai sumber koping tersebut.
50
yaitu tidak adanya keluarga pasien saat dilakukannya pengkajian sehingga penulis
tidak dapat melakukan validasi data yang didapat dari pasien. Selain itu tidak
adanya pemeriksaan penunjang yang spesifik terhadap faktor biologis penyebab
terjadinya isolasi sosial juga merupakan faktor penghambat bagi penulis, sehingga
pemberian obat pun menjadi tidak spesifik, hanya berdasarkan gejala yang
muncul. Oleh karena itu, jadwal berkunjung keluarga harusnya dibuat, agar
keluarga dapat berkunjung ke rumah sakit sesuai jadwal, dan segala fasilitas yang
menyangkut pemeriksaan diagnostik agar segera difasilitasi.
B. Diagnosa Keperawatan
Data yang telah diperoleh dari pengkajian, kemudian dilakukan proses
analisa dan pengelompokkan data berdasarkan respon pasien terhadap masalah
tersebut. Akhirnya penulis merumuskan empat diagnosa keperawatan pada Tn. A,
antara lain : isolasi sosial, inefektif regimen therapeutik, dan inefektif koping
individu dan resiko perilaku kekerasan. Keempat diagnosa tersebut
disusun membentuk pohon masalah yang terdiri penyebab, core problem dan
akibat, sebagaimana landasan teori menurut Fitria (2009, hlm. 36).
Sedangkan diagnosa untuk akibat dari inefektif regimen therapeutik adalah resiko
perilaku kekerasan, penulis mengangkat diagnosa resiko perilaku kekerasan
karena pasien masuk dengan riwayat perilaku kekerasan. Namun, pada saat
51
penulis melakukan pengkajian terhadap pasien, penulis tidak menemukan data-
data yang terkait perilaku kekerasan seperti tangan mengepal, mata melotot dll.
C. Rencana Keperawatan
Penyusunan rencana keperawatan pada Tn. A telah sesuai dengan
rencanaperawatan teoritis menurut Keliat dan Akemat (2010, hlm. 98-99), namun
tetap disesuaikan kembali dengan kondisi pasien. Sehingga tujuan dan kriteria
hasil diharapkan dapat tercapai. Penulis juga mengikuti langkah-langkah
perencanaan yang telah disusun mulai dari menentukan prioritas diagnosa, tujuan,
sampai kriteria hasil yang akan diharapkan. Merencanaan satu diagnosa dalam
perencanaan yaitu isolasi sosial, sedangkan diagnosa lainnya telah tercakup dalam
tindakan satu diagnosa tersebut.
52
orang lain secara bertahap. Tindakan berinteraksi denganorang lain dapat
membantu dalam mengatasi masalah keperawatan inefektif koping individu,
karena jika pasien sudah mengenal bahkan berinteraksi dengan orang lain pasien
dapat menceritakan masalah yang dialaminya.
53
D. Implementasi
Penulis melakukan implementasi keperawatan mulai dari tanggal 14 Junisampai
dengan 16 Juni 2012. Secara umum semua implementasi yang dilakukan sesuai
dengan rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahap sebelumnya.
Penulis melaksanakan implementasi keperawatan menggunakan tahapan
strategipelaksanaan. Tahapan ini digunakan agar mempermudah perawat
dalammemberikan terapi secara sistematis dan tetap memperhatikan kebutuhan
pasien.Untuk mengatasi masalah isolasi sosial, penulis terlebih dahulu membina
hubungan saling percaya, membantu pasien untuk mengenal penyebab isolasi
social, bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain
dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman,
membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan orang lain,
membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
Penulis tidak hanya fokus terhadap masalah isolasi sosial, melainkan penulis juga
menggali sejauh mana pasien mampu mengeksplorasikan perasaannya kepada
orang lain, diharapkan apabila pasien dapat mengeksplorasikan perasaanya dapat
membuat pasien terbuka, sehingga jika ada masalah klien dapat menceritakannya
kepada orang lain dan tidak memendamnya lagi. Sebagaimana pohon masalah
menurut Fitria (2009, hlm. 36) bahwa isolasi sosial dapat terjadi akibat koping
indidvidu inefektif.
Berbeda pada tahap sebelumnya, pada tahap implementasi penulis
menemukan hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu tidak adanya keterlibatan
keluarga dalam pemberian implementasi, sehingga intervensi keluarga belum
bisa dilaksanakan. Faktor pendukung yang penulis rasakan pada pada tahap ini
yaitu sikap pasien yang sangat kooperatif, sehingga implementasi dapat
dilaksanakan sesuai perencanaan. Oleh karena itu, kunjungan keluarga sangatlah
dibutuhkan untuk membantu penyembuhan pasien.
E. Evaluasi
Tahap ini penulis menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapai dalampemberian
asuhan keperawatan dan membandingkannya dengan tujuan dankriteria hasil yang
telah dibuat. Penulis menggunakan komponen proses evaluasi mulai dari
mengidentifikasi kriteria hasil, mengumpulkan data perkembangan pasien,
mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan kriteria evaluasi.
54
Selain itu penulis juga menggunakan dua metode evaluasi, yaitu evaluasi formatif
(evahnasi proses) dan evaluasi sumatif (evaluasi tahap akhir). Dari satu diagnosa
yang didokumentasikan, diagnosa isolasi sosial dapat diatasi.
Diagnosa isolasi sosial dapat teratasi dibuktikan dengan penilaian penulis terhadap
perkembangan pasien selama tiga hari yaitu pasien mampumempraktikan cara
berkenalan dengan perawat, pasien mampu berkenalan dengan orang pertama,
pasien mampu berkenalan dengan orang kedua. Dariketiga cara diatas, sebagian
besar pasien dapat mempraktekkannya secaramandiri tanpa harus diingatkan.
F. KESIMPULAN
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial, maka bab ini penulis
akan menyimpulkan dan memberikan saran alternatif dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya penyelesaian masalah apa pasien dengan isolasi sosial
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi
sosial, penulis menyimpulkan:
55
1. Isolasi soaial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
3. Fokus pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial adalah
sebagai upaya untuk menekspolasikan perasaanya kepada orang lain, sehingga
dengan fokus pelaksaan tersebut dapat mengatasi masalah isolasi sosial dan juga
masalah imefektif koping individu, sehingga dua masalah tersebut dapat teratasi
secara langsung.
4. Pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial sudah sesuai
dengan pelaksanaan yang ada di dalam penatalaksaanteoritis. Selama tiga hari,
pasien sudah mampu berinteraksi dengan orang lain, serta pasien juga mampu
menyebutkan serta melatih cara berkenalana dengan orang lain.
56
G. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai
pertimbangan dalam meningkatkan asuhan keperawatan, ksususnya pada pasien
dengan isolasi sosial.
57
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
B. SARAN
2. Mahasiswa Keperawatan
Mahasiswa merupakan calon penerus perawat yang ada diruangan, sehingga
diharapkan mahasiswa agar mampu memanfaatkan waktu yang ada pada saat
praktik semaksimal mungkin, agar ilmu yang didapatkan tidak hanya di ruang
kelas, melainkan juga dilapangan.
3. Pendidikan Keperawatan
Pendidikan keperawatan merupakan pencetak perawat-perawat dimasa depan,
hendaknya pihak pendidikan dapat memberikan banyak materi pembelajaran
dan praktik terkait perkembangan keperawatan jiwa yang dirasakan semakin
menjadi msalah kesehatan jiwa. Begitu juga dengan literatur yang disediakan,
agar buku-buku yang disediakan diperpustakaan selalu diupgrade, sehingga
58
sumber yang disediakan merupakan sumber terbaru. Dalam hal pembuatan
laporan kasus ini diharapkan menjadi pertimbangan agar waktu pembuatan
laporan kasus ini dapat diperpanjang, agar pembuatan laporan kasus ini dapat
dimanfaatkan secara maksimal dengan hasil yang juga maksimal.
59
DAFTAR PUSTAKA
Doenges E, Marylin et. al. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri edisi 3.(alih bahasa
oleh Laili Mahmudah, dkk, 2006). Jakarta : EGC
Fitria , Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (alih bahasa , Ramona P Kapoh, Egi
Komara Yudha, 2006). Jakarta: EGC
Hawari, Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta :FKUI
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC
Medikal Record. 2011. Distribusi Kunjungan Pasien Rawat Inap Menurut Jenis Penyakit.
Pontianak: Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat.
NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi (alih bahasa, Sumarwati et.
al., 2011). Jakarta: EGC
Perry & Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep Proses dan Praktek
Edisi 4. (alih bahasa oleh Yasmin Asih, dkk, 2005). Jakarta: EGC
Stuart, Gail W dan Laraia. (2005). Priciple and paraktice of Psychiatric Nursing Edition 8.
USA : Mosby
Videbeck, Sheila L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (alih bahasa oleh Komalasari &
Hany, 2008). Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC Edisi 7. Jakarta: EG
60