Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH HELMINTOLOGI DAN ENTOMOLOGI

Ascaris lumbricoides dan Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator americanus)

DOSEN: YUSTIN NUR KHOIRIYAH, S. SI., M. Sc

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
AJENG KARTIKA PUTRIE (2113453001)
ARINDA PUTRI (2113453004)
IRMALA AUDEA ZELLIN (2113453009)
MEYSA RAHMA WULANDARI (2113453012)
SAMUEL SITUMORANG (2113453016)
CLARA LYDIA WINA (2113453019)
CHANTIKA WIDYA MEYLAN (2113453023)
ANISA GUSTIYANI (2113453028)
HANA NABILA (2113453037)
KHOIRUNNISA AL-KAMILA (2113453041)

POLTEKKES KEMENKES TANJUNG KARANG


PROGRAM STUDI D-3 TEKNOLOGI LABORATORIUM
MEDIS
2021/2022
KATA PENGANTAR
 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji dan
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pada mata kuliah
Helmintologi dan Entomologi dengan judul "Ascaris lumbricoides dan Cacing Tambang
(Anchilostoma duodenale dan Necator americanus)" tepat pada waktunya.
Makalah ini kami susun dengan kemampuan kami semaksimal mungkin. Namun, kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu, besar harapan kami sebagai penulis berharap akan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca, khususnya Dosen Mata Kuliah Helmintologi dan
Entomologi, Ibu Yustin Nur Khoiriyah, S. SI., M. Sc., agar dapat menutupi celah kekurangan
yang ada pada laporan ini, dan untuk menjadi bahan acuan penulis untuk menulis atau
membuat makalah yang lebih baik lagi.

                                                                          Bandar Lampung, Agustus 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………….………………………………………………... i

KATA PENGANTAR ...……………………...……………………………………………...


ii

DAFTAR ISI ...……………………………...……………………………………………… iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang …………………………...…………………………………………….


5

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………... 6

1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………...………….


6

1.4 Ruang Lingkup Penulisan ……………………………………...………………………


6

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Helmintologi ………………………………………………………………………… 7

2.2 Soil Transmitted Helminth (STH) ……………………………………………………


8

2.3 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ……………………………………………….


8

2.3.1 Taksonomi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) …………………………...


8

2.3.2 Morfologi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) …………………………… 9

2.3.3 Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ………………………...


10

2.3.4 Epidemologi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ………………………...


11
2.3.5 Diagnosis Laboratorium Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ……………
12

2.4 Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator americanus) ……………..


12

2.4.1 Taksonomi Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator


americanus) ……………………………………………………………….. 12

2.4.2 Morfologi Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator


americanus) ……………………………………………………………….. 13

2.4.3 Siklus Hidup Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator


americanus) ……………………………………………………………….. 15

2.4.4 Epidemologi Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator


americanus) ……………………………………………………………….. 16

2.4.5 Diagnosis Laboratorium Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan


Necator americanus) ……………………………………………………….
16

2.5 Pemeriksaan Telur Cacing …………………………………………………………..


17

2.6 Personal Hygiene …………………………………………………………………...


18

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ……………...………………………………..


21

3.2 Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator americanus) …...………….


24

3.3 Peningkatan Sanitasi ………………………………………………………………….


28

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………...
29

4.2 Saran ………………………………...………………………………………………..


29

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini problematika sanitasi sangatlah penting, Sarana dan prasarana sanitasi
yang baik memiliki banyak manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Berbagai masalah
kesehatan akan muncul dan berkembang karena buruknya sistem sanitasi. Dampak
yang ditimbulkan bisa berlangsung dalam kurun waktu yang tak sebentar.
Indikasi penyakit akibat buruknya kualitas sanitasi sangat beragam, mulai dari
mengalami sakit perut, diare, masalah BAB, aneka penyakit kulit, cacingan, disentri,
tipus, hingga kolera. Penderitanya pun beragam, mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa, semua berpotensi menjadi korban akibat sanitasi buruk. Kebersihan suatu
tempat tergantung pada kecermatan pengelola untuk menjaga kebersihan di tempat
tersebut.
Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan
oleh sanitasi yang buruk dan masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di
Indonesia hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena prevalensi kecacingan tersebut di
Indonesia masih tinggi terutama kecacingan yang disebabkan oleh sejumlah cacing
perut yang ditularkan melalui tanah atau yang disebut Soil Transmitted Helminths.
Diantara banyaknya jenis cacing, beberapa cacing yang perlu diperhatikan adalah
Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus).
Tingginya angka kecacingan tersebut pada usai anak sekolah dikarenakan mereka
sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat tumbuh dan
berkembangnya cacing-cacing perut. Meskipun angka kecacingan masih tergolong
tinggi, namun pencegahan dan pemberantasan terhadap infeksi penyakit tersebut belum
juga dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan infeksi cacing ini biasanya
kurang mendapat perhatian yang cukup, karena akibat yang ditimbulkan infeksi cacing
tersebut secara langsung tidak dapat terlihat. World Health Organization (WHO)
menyatakan telur cacing selain ditularkan melalui tanah yang menempel di tangan dan
tidak dicuci bersih juga dapat ditularkan melalui sayur yang tidak dimasak, dimakan
mentah, dan tidak dicuci bersih.
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap sistem sanitasi, menjadi salah
satu faktor yang dapat menyebabkan terciptanya kondisi lingkungan yang buruk
terutama di tempat-tempat umum yang erat kaitannya dengan pelayanan orang banyak.
Maka daripada itu penulis menyusun makalah ini sebagai rujukan yang memuat
informasi terkait masalah sanitasi, khususnya masalah yang disebabkan oleh Cacing
Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus). Dengan harapan, makalah ini dapat diterima oleh semua
kalangan dalam memahami sifat umum, cara penularan dan diagnosa dari cacing-cacing
tersebut, sehingga kewaspadaan khalayak umum akan meningkat.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam melakukan penyusunan makalah ini, dirumuskan beberapa permasalahan
utama, diantaranya adalah:
1. Bagaimana penularan dari Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing
Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) terjadi.
2. Bagaimana meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan yang berkaitan dengan
Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing Tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus).

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan makalah ini adalah menyampaikan informasi terkait daur hidup,
morfologi, sifat umum, cara penularan, dan diagnose dari Cacing Gelang (Ascaris
lumbricoides) dan Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).

1.4 Ruang Lingkup Penulisan


Dalam penyusunan makalah ini, penulis hanya akan membahas tentang:
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
2. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus),
diantaranya adalah:
BAB II
LANDASAN TEORI

2. 1 Helmintologi
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari tentang cacing beserta tuan rumahnya
(hospes) yang mempunyai peranan penting dalam ilmu kedokteran. Helmintologi
merupakan ilmu cabang dari parasitologi, berasal dari kata helmintos yang berarti cacing
dan logos yang berarti ilmu. Cacing merupakan parasit yang terdapat di seluruh dunia,
terutama di daerah tropis. Faktor-faktor yang mempengaruhi terinfeksi oleh cacing antara
lain:
 Iklim
 Keadaan sosial
 Kebiasaan makan (food habit), misalnya makan makanan mentah
Untuk sampai ke manusia parasit cacing memerlukan tuan rumah perantara
(intermediate host) misalnya golongan binatang yag berkaki ruas-ruas (Arthropoda),
contohnya:
1. Kelas Crustacea Genus Cyclops/Diaptomus dapat menyebarkan penyakit
dracunculosis, sementara Genus Crayfish, dan Crabs dapat menyebarkan
penyakit paragonomiasis
2. Kelas Insecta Golongan nyamuk dan lalat dapat menyebarkan penyakit
filariasis Golongan pinjal tikus dapat menyebarkan penyakit hymenolepiasis.
Sebagai ilmu yang mempelajari parasit berdasarkan taksonomi, Helmintologi
dibagi menjadi:
a. Nemathelminthes (cacing gilik, nema=benang)
b. Plathyhelminthes (cacing pipih)
Stadium dewasa cacing – cacing yang termasuk Nemathelminthes (kelas nematoda)
berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat
– alat pencernaan. Cacing ini memiliki alat kelamin terpisah. Dalam parasitologi
kedokteran, diadakan pembagian nematoda menjadi nematoda usus yang hidup di rongga
usus, dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.
Cacing dewasa yang termasuk Plathyhelminthes mempunyai badan pipih, tidak
mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat hemafrodit. Plathyhelmintes dibagi
menjadi kelas Trematoda (cacing daun) dan kelas Cestoda (cacing pita). Cacing
Trematoda berbentuk daun, badannya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan,
kelas Cestoda mempunyai badan yang berbentuk pita dan terdiri dari skoleks, leher dan
badan (stobila) yang bersegmen (proglotid), makanan diserap melalui kulit (kutikulum)
badan.
Kelas Nematoda yang akan kita bahas kali ini adalah Nematoda usus. Nematoda
usus yang ditularkan melalui tanah disebut Soil Transmitted Helminthes.

2. 2 Soil Transmitted Helminth (STH)


Soil Transmitted Helminth merupakan nematoda usus yang dalam siklus hidupnya
untuk mencapai stadium infektif, memerlukan tanah dengan kondisi tertentu. Pada
praktiknya nematoda ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
terutama pada masyarakat desa, pinggiran kota ataupun perkotaan yang memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi pada negara yang beriklim tropis dan subtropis karena
telur dan larvanya lebih dapat berkembang di tanah yang hangat dan basah.
Cara yang paling tepat untuk menanggulangi infeksi STH adalah dengan
memutuskan lingkaran hidup cacing dengan memperbaiki pengetahuan kesehatan
perseorangan, memperbaiki sanitasi dan menggunakan obat antelmintik.
Beberapa jenis cacing pada golongan Nematoda ini yang paling sering
menimbulkan masalah, diantaranya adalah:
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides), penyakitnya disebut Ascariasis.
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura), penyakitnya disebut Trichuriasis.
3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus),
penyakitnya disebut Ankilostomiasis dan Nekatoriasis.
4. Strongiloide stercoralis termasuk jenis yang jarang ditemui, namun
keberadaannya dinilai membahayakan. Cacing ini menimbulkan penyakit
Strongiloidiasis.

2. 3 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Ascaris lumbricoides atau Cacing Gelang adalah Nematoda terbesar dalam
parasitisasi usus manusia. Namanya terdiri dari Askaris yang berarti cacing usus dan
Lumbricus yang berarti menyerupai cacing tanah. Cacing jenis ini biasa disebut juga
sebagai cacing bundar. Hospes definitifnya hanya manusia. Cacing dewasanya berhabitat
di rongga usus halus dan menimbulkan penyakit yang disebut Askariasis.
2.3.1 Taksonomi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Secernantea
Ordo : Ascaridida
Super-famili : Ascaridoidea
Famili : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides

2.3.2 Morfologi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Cacing Ascaris lumbricoides memiliki dua stadium dalam
perkembangannya, yaitu:
a. Telur (telur fertil, infertil dan yang telah mengalami dekortikasi).
b. Bentuk dewasa.
Stadium telur spesies ini berbentuk bulat oval dan ukurannya berkisar
antara 45 – 75 mikron x 35 – 50 mikron. Telur Ascaris lumbricoides sangat khas
dengan susunan dinding telurnya yang relatif tebal dengan bagian luar yang
berbenjol-benjol. Dinding telur tersebut tersusun atas tiga lapisan, yaitu:
a. Lapisan luar yang tebal dari bahan albuminoid yang bersifat
impermiabel.
b. Lapisan tengah dari bahan hialin bersifat impermiabel (lapisan ini
yang memberi bentuk telur)
c. Lapisan paling dalam dari bahan vitelline bersifat sangat impermiabel
sebagai pelapis sel telurnya.
Telur cacing ini sering ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu telur fertil
(dibuahi) dan telur yang infertil (tidak dibuahi). Telur fertil berbentuk oval dan
berwarna kecoklatan. Telur fertil yang belum berkembang biasanya tidak
memiliki rongga udara, tetapi yang telah mengalami perkembangan akan
didapatkan rongga udara. Pada telur fertile yang telah mengalami pematangan
kadangkala mengalami pengelupasan dinding telur yang paling luar sehingga
penampakan telurnya tidak lagi berbenjol-benjol kasar melainkan tampak halus.
Telur yang telah mengalami pengelupasan pada lapisan albuminoidnya tersebut
sering dikatakan telah mengalami proses dekortikasi. Pada telur ini lapisan
hialin menjadi lapisan yang paling luar.
Telur infertil; bentuknya lebih lonjong dengan warna kuning kecoklata.
Ukuran telur ini lebih besar, berisi protoplasma yang mati sehingga tampak
lebih transparan.
Pada stadium dewasa, cacing spesies ini dapat dibedakan jenis
kelaminnya. Biasanya jenis betina memiliki ukuran yang relatif lebih besar
dibandingkan jantan. Pada bagian kepala (anterior) terdapat 3 buah bibir yang
memiliki sensor papillae, satu pada mediodorsal dan 2 buah pada ventrolateral.
Diantara 3 bibir tersebut terdapat bucal cavity yang berbentuk trianguler dan
berfungsi sebagai mulut.
Ciri-ciri cacing dewasa, diantaranya adalah:
 Berbentuk silindris ujung
 Anterior tumpul
 Ujung posterior runcing
 Pada tiap-tiap sisi terdapat garis-garis longitudinal disebut lateral lines
mempunyai cuticula yang bergaris-garis melintang menyelubungi
tubuhnya (transversal lines)
 Cacing betina: panjang tubuh 20 – 40 cm dan diameter 0,3 – 0,6 cm
 Cacing jantan: panjang tubuh 15 – 30 cm dan diameter 0,2 – 0,5 cm
 Bagian posterior cacing betina lurus sedangkan bagian posterior
cacing jantan melengkung ke ventral dengan sepasang spicula

(1) (3)
Gambar 2. 1 Telur Cacing Ascaris lumbricoides
(2)

2.3.3 Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Bentuk infektif bila tertelan oleh manusia dengan menetas diusus halus.
Larvanya akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau
saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke
paru, larva yang ada di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding
alveolus masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus
dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga akan
menimbulkan rangsangan pada faring. Selanjutnya larva akan masuk ke saluran
pencernaan dan di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.

Gambar 2. 2 Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides dewasa hidup di dalam usus dan melakukan


perkawinan. Cacing betina akan gravid dan bertelur rata-rata 200.000 butir
perhari. Telur cacing akan bercampur dengan faeces manusia. Pada saat buang
air besar telur keluar bersama faeces dan berada di alam (tanah) untuk menjadi
matang. Apabila ditanah kondisinya menguntungkan dalam jangka waktu 3
minggu akan menjadi infektif. Telur matang tertelan kembali oleh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi telur. Satu putaran siklus hidup Ascaris
lumbricoides akan berlangsung kurang lebih selama dua bulan.

2.3.4 Epidemiologi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir
sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan
yang sesuai maka telur yang dibuahi akan berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Spesies ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di daerah
tropis dengan suhu panas dan sanitasi lingkungan jelek. Semua umur dapat
terinfeksi jenis cacing ini. Anak kecil yang sering bermain dengan tanah akan
berpeluang besar untuk terkontaminasi oleh telur cacing, mengingat telur cacing
ini mengalami pematangan di tanah. Dengan demikian perlu diperhatikan
kebersihan diri dan sanitasi lingkungan sekitar tempat bermain anak.

2.3.5 Diagnosis Laboratorium Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Diagnosis pasti untuk Ascariasis dengan cara menemukan telur atau cacing
dewasa pada faeces yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi.

2. 4 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


Cacing tambang adalah cacing yang berasal dari anggota famili Ancylostomatidae
yang mempunyai alat pemotong pada mulut berupa tonjolan seperti gigi pada genus
Ancylostoma dan lempeng pemotong pada genus Necator. Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus merupakan cacing tambang yang menginfeksi manusia sedangkan
Ancylostoma brazilliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum
merupakan cacing tambang yang menginfeksi binatang (anjing dan kucing).
Diperkirakan hampir 25% dari dunia populasi terinfeksi dengan cacing tambang.
Frekuensi infeksi cacing tambang tinggi terdapat di daerah hangat dengan penduduk
mempraktikkan sanitasi yang buruk, terutama yang berkaitan dengan tempat
pembuangan tinja. Penyebaran spesies ini ada di Cina, India, dan Afrika. Hospes parasit
ini adalah manusia dan berhabitat di usus halus manusia. Cacing ini menyebabkan
Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.
2.4.1 Taksonomi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus)
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Phasmidia
Ordo : Rhabtidia
Super-famili : Strongyloidea
Famili : Strongyloidae
Genus : Ancylostoma, Necator
Spesies : Ancylostoma duodenale, Ancylostoma caninum,
Ancylostoma brazilliensis, Ancylostoma ceylanicum, dan
Necator americanus.
(Ideham, 2009)

2.4.2 Morfologi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator


americanus)
A. Morfologi Telur Cacing Tambang

Gambar 2. 3 Telur Cacing Tambang Hook Worm Tipe A (kiri), Tipe B (tengah)
dan Tipe C (kanan)

Ciri-ciri telur hook worm, diantaranya adalah:


 Berbentuk oval
 Ukuran: panjang ± 60 μm dan lebar ± 40 μm
 Dinding 1 lapis tipis dan transparan
 Isi telur tergantung umur:
o Tipe A → berisi pembelahan sel (1 – 4 sel)
o Tipe B → berisi pembelahan sel (> 4 sel)
o Tipe C → berisi larva larva

Gambar 2. 4 Ilustrasi Larva Rhabditiform Dan Larva Filariform

Ciri-ciri larva rhabditiform, diantaranya adalah:


 Memiliki panjang ± 250 μm dan lebar ± 17 μm.
 Cavum bucalis panjang dan terbuka.
 Esophagus 1/3 dari panjang tubuhnya.
 Mempunyai 2 bulbus esophagus ujung posterior runcing.

Ciri-ciri larva filariform, diantaranya adalah:


 Memiliki panjang ± 500 μm.
 Cavum bucalis tertutup.
 Esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya .
 Tidak mempunyai bulbus esophagus.
 Ujung posterior runcing.

B. Morfologi Cacing Tambang Dewasa

Gambar 2. 5 Cacing Tambang Dewasa


Walaupun terdiri dari beberapa spesies, cacing ini mempunyai
morfologi yang hampir sama, perbedaan tiap spesies bisa dilihat dari
susunan gigi/lempeng pemotong. Ciri-ciri hook worm dewasa, diantaranya
adalah:
 Ukuran: panjang ± 1 cm.
 Berwarna putih kekuningan.
 Ujung posterior cacing betina lurus dan meruncing.
 Ujung posterior cacing jantan membesar karena adanya bursa
kopulatoris yang terdiri dari bursa rays/vili dorsal, spicula, dan
gubernaculum.
 Perbedaan antar spesies hook worm:
o Ancylostoma duodenale → mempunyai 2 pasang gigi besar.
o Necator americanus → mempunyai sepasang lempeng
pemotong.
o Ancylostoma brazilliense → mempunyai 1 pasang gigi besar
dan 1 pasang gigi kecil.
o Ancylostoma ceylanicum → mempunyai 1 pasang gigi besar
dan 1 pasang gigi sedang.
o Ancylostoma caninum → mempunyai 3 pasang gigi besar.

2.4.3 Siklus Hidup Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator


americanus)

Gambar 2. 6 Siklus Hidup Cacing Tambang


Cacing dewasa hidup di dalam intestinum tenue (usus halus). Cacing
betina dewasa mengeluarkan telur dan telur akan keluar bersama dengan tinja.
Apabila kondisi tanah menguntungkan (lembab, basah, kaya oksigen, dan suhu
optimal 26°C – 27°C) telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi larva
rhabditiform.
Setelah 5 – 8 hari larva rhabditiform akan mengalami metamorfosa
menjadi larva filariform yang merupakan stadium infektif dari cacing tambang.
Jika menemui hospes baru larva filariform akan menembus bagian kulit yang
lunak, kemudian masuk ke pembuluh darah dan ikut aliran darah ke jantung,
kemudian terjadi siklus paru-paru (bronchus → trachea → esopagus), kemudian
menjadi dewasa di usus halus.
Seluruh siklus mulai dari penetrasi larva filariform ke dalam kulit sampai
menjadi cacaing tambang dewasa yang siap bertelur memakan waktu sekitar 5 –
6 minggu.

2.4.4 Epidemiologi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator


americanus)
Epidemiologi ankilostomiasis atau infeksi cacing tambang lebih banyak
terjadi pada daerah tropis dan subtropis, seperti Asia timur, Asia tenggara, Cina,
dan Afrika. Diperkirakan terdapat 1.5 milyar orang terinfeksi cacing.
Ankilostomiasis umumnya mengenai anak usia sekolah dan pra sekolah. Infeksi
cacing juga merupakan salah satu masalah penyakit tropis di Indonesia dan
infeksi cacing tambang merupakan salah satu jenis infeksi cacing yang umum
ditemukan.
Ankilostomiasis umumnya tidak menyebabkan mortalitas secara langsung.
Mortalitas dapat terjadi terkait komplikasi kronik, seperti anemia kronis ataupun
malnutrisi berat.

2.4.5 Diagnosis Laboratorium Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan


Necator americanus)
Untuk memastikan diagnosis infeksi cacing tambang, dokter perlu
melakukan pemeriksaan penunjang berupa: Pemeriksaan sampel feses, untuk
melihat adanya telur cacing tambang dan kandungan darah di dalam feses.
Pemeriksaan darah lengkap, untuk melihat eosinophilia (peningkatan salah satu
jenis sel darah putih) dan anemia.

2. 5 Pemeriksaan Telur Cacing


Pemeriksaan telur cacing dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
a. Pemeriksaan secara Natif (Direct Slide)
Metode ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaan eosin 2% bertujuan untuk memperjelas telur – telur cacing dengan
kotoran disekitarnya.
b. Pemeriksaan dengan Metode Apung (Flotation Method)
Pemeriksaan telur cacing secara kualitatif dengan metode apung
(flotation method) dilakukan dengan menggunakan larutan NaCl jenuh atau
larutan gula jenuh dipakai untuk pemeriksaan yang mengandung sedikit telur.
c. Modifikasi metode Merthiolat Iodine Formaldehyde (MIF)
Metode ini baik sekali dipakai untuk mendiagnosis secara laboratoris
adanya telur cacing (Nematoda, Trematoda, dan Cestoda), Amoeba dan
Giardia lamblia di dalam tinja.
d. Metode Selotip (Cellotape Method)
Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan telur Enterobius vermicularis.
Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebelum kontak dengan air dan
dilakukan dengan menggunakan plester plastik yang tipis dan bening ukuran 2
x 1.5 cm yang ditempelkan pada permukaan lubang anus lalu ditekan dengan
ujung jari. Kemudian plester dilepas secara perlahan dan langsung
ditempelkan pada permukaan objek gelas dan diamati dibawah mikroskop.
e. Metode Konsentrasi
Jika hasil parasit dalam kotoran rendah (telur, kista, trofozoit dan larva)
dan pemeriksaan langsung mungkin tidak dapat mendeteksi parasit, maka
spesimen tinja harus dipekatkan terlebih dahulu.
f. Teknik Sediaan Tebal (Cellophane Covered Thick Smear Technic/ Teknik
Kato)
Sebagai pengganti kaca penutup pada pemeriksaan natif, digunakan
sepotong selopan atau cellophane tape. Dengan teknik ini lebih banyak telur
cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja.
g. Metode Sedimentasi Formol Ether (Ritchie)
Prinsip dari metode ini yaitu spesimen feses ditaruh dalam larutan
formaldehid, yang mengawetkan setiap parasit yang ada dalam spesimen.
Residu berupa gumpalan kasar dipisahkan secara filtrasi. Elemen lemak dalam
suspense feses dipisahkan secara ekstraksi menggunakan eter (atau etil asetat),
diikuti dengan sentrifugasi yang mengendapkan setiap parasit yang ada dalam
spesimen.
Kemudian metode kuantitatif untuk mengetahui telur cacing dapat dilakukan
dengan dua cara antara lain:
a. Metode Stoll Metode ini menggunakan larutan NaOH 0,1 N sebagai pelarut
tinja.
b. Metode Kato Katz Metode ini telah terbukti sebagai teknik yang efisien
untuk mendiagnosis infeksi S. mansoni dan helminthes usus tertentu
lainnya. Preparat dapat dibuat di lapangan, disimpan dalam kotak kaca
objek, dan dikirim ke tempat yang jauh, untuk pemeriksaan di laboratorium
sentral bila diperlukan.
Untuk preparat permanen, tergantung yang diperiksa apakah termatoda dan
cestoidean, nematoda atau telur, memiliki cara yang berbeda. Pemeriksaan permanen
noda ternoda, (didefinisikan sebagai slide mikroskop itu berisi sampel tetap yang telah
diizinkan kering dan kemudian ternoda). Slide ini dianggap permanen karena setelah
pewarnaan, mereka biasanya diselipkan dan ditutup rapat memungkinkan mereka untuk
tetap utuh dalam jangka panjang. Prosedur ini memungkinkan teknisi laboratorium
mengamati fitur – fitur rinci protozoa dengan pewarnaan organel intraseluler. Meskipun
beberapa protozoa dapat diamati secara langsung atau terkonsentrasi persiapan basah,
identifikasi sampai dikonfirmasi dengan permanen noda bernoda. Pewarnaan permanen
bukan metode pilihan untuk mengidentifikasi telur cacing atau larva karena parasit ini

2. 6 Personal Hygiene
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Hygiene merupakan usaha kesehatan masyarakat
yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
pencegahan timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan, serta membuat kondisi
lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat dihuni dengan nyaman (Waqiah, 2010).
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan baik fisik maupun psikisnya.
Tujuan dari perawatan hygiene perorangan adalah meningkatkan derajat kesehatan
seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki higiene perorangan yang
kurang, pencegahan penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang dan menciptakan
keindahan.
Macam-macam usaha kesehatan pribadi yang menunjang perilaku hidup bersih dan sehat
antara lain:
1) Kebiasaan mencuci tangan
Tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan
mikroorganisme. Mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun dilakukan
pada 5 waktu penting yaitu sebelum makan, sesudah makan, setelah ke jamban,
sebelum menyiapkan makanan, dan setelah menceboki anak. Hal tersebut dapat
mengurangi resiko penyebaran telur cacing melalui tangan.
2) Kebersihan kuku
Kuku merupakan bagian lanjutan dari pada kulit. Susunan kuku licin dan
tertanam kokoh dalam daging. Ujung kuku berbentuk garis cembung sesuai dengan
ujung jari. Kuku tangan yang panjang dan kotor menyebabkan tertimbunnya kotoran
dan kuman penyakit. Telur cacing sering kali terselip pada kuku yang kotor. Oleh
karena itu, kuku sebaiknya selalu dipotong pendek dan dijaga kebersihannya dengan
menggunakan pemotong kuku secara rutin minimal setiap seminggu sekali,
3) Kebiasaan memakai alas kaki dan sarung tangan
Kaki berfungsi sebagai alat penyokong kekuatan tubuh, menjaga
keseimbangan badan dan untuk berjalan. Apabila kebersihan dan pemeliharaan kaki
tidak diperhatikan maka dapat menjadi sarang atau tempat masuknya kuman
penyakit kedalam tubuh. Penggunaan alas kaki berfungsi untuk menghindari atau
mencegah penularan penyakit yang masuk melalui perantara kulit, Penggunaan
sarung tangan juga berfungsi untuk melindungi tangan dari beda-benda tajam yang
dapat melukai tangan (Kieswari, 2009). 4) Kebiasaan mandi Kulit merupakan
penerima berbagai macam rangsangan (stimuli) dariluar. Disamping sebagai
penerima stimuli kulit juga merupakan pintu tempat masuknya kuman penyakit
kedalam tubuh (Kieswari, 2009). Oleh karena itu kebersihan kulit harus selalu dijaga
dan dipelihara, agar kulit dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Cara
membersihkan kulit umumnya dilakukan dengan mandi. Mandi dengan air saja tanpa
sabun, membuat badan seseorang belum cukup bersih, terlebih lagi apabila air yang
digunakan kotor. Sehingga dianjurkan untuk menggunakan air bersih seperti air
ledeng, air PAM serta menggunakan sabun mandi minimal 2 kali dalam sehari.
Dengan memelihara kebersihan kulit badan maka seseorang dapat terhindar dari
serangan penyakit-penyakit kulit
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Ascariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau biasa
disebut dengan Cacing Gelang. Cacing Gelang adalah parasit yang hidup dan
berkembang biak di dalam usus manusia.
Ascariasis dapat ditemukan di mana saja, tetapi lebih sering terjadi di wilayah
dengan fasilitas kebersihan yang kurang memadai. Menurut data World Health
Organization (WHO), lebih dari 10 persen populasi dunia terinfeksi cacing, dan paling
banyak disebabkan oleh Cacing Gelang. Data WHO juga menyebutkan, angka
kematian akibat Ascariasis berat diperkirakan mencapai 60 ribu orang tiap tahun. Dari
jumlah tersebut, kebanyakan adalah anak-anak.

Gejala Ascariasis
Ascariasis umumnya tidak menimbulkan gejala apa pun. Akan tetapi, sebagian
orang yang terinfeksi Cacing Gelang mengalami sejumlah gejala, yang terbagi dalam
dua tahapan, yaitu:
- Gejala tahap awal
Tahap awal adalah fase ketika larva cacing berpindah dari usus ke
paru-paru. Fase ini terjadi 4-16 hari setelah telur cacing masuk ke tubuh.
Gejala yang muncul pada tahap ini, antara lain:
 Demam tinggi
 Batuk kering
 Sesak napas
 Mengigau
 Gejala tahap lanjut
Tahap ini terjadi ketika larva cacing berjalan ke tenggorokan dan
kembali tertelan ke usus, serta berkembang biak. Fase ini berlangsung 6-8
minggu pasca telur masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya gejala tahap ini
meliputi sakit perut, diare, terdapat darah pada tinja, serta mual dan muntah.
- Gejala lanjutan
Gejala ini akan semakin memburuk bila jumlah cacing di dalam usus
semakin banyak. Selain merasakan sejumlah gejala tersebut, penderita juga
akan mengalami sakit perut hebat, berat badan turun tanpa sebab, dan terasa
seperti ada benjolan di tenggorokan. Selain itu, cacing dapat keluar dari
tubuh melalui muntah, saat buang air besar, atau melalui lubang hidung.

Penyebab Ascariasis
Ascariasis terjadi bila telur cacing Ascaris lumbricoides masuk ke dalam tubuh.
Telur cacing tersebut dapat ditemukan di tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia.
Oleh karena itu, bahan makanan yang tumbuh di tanah tersebut, dapat menjadi
penyebab ascariasis.

Telur yang masuk ke dalam tubuh akan menetas di usus dan menjadi larva.
Kemudian, larva akan masuk ke paru-paru melalui aliran darah atau aliran getah
bening. Setelah berkembang di paru-paru selama satu minggu, larva akan menuju ke
tenggorokan. Pada tahap ini, penderita akan batuk sehingga larva tersebut keluar, atau
bisa juga larva kembali tertelan dan kembali ke usus. Larva yang kembali ke usus akan
tumbuh menjadi cacing jantan dan betina, serta berkembang biak. Cacing betina dapat
tumbuh sepanjang 40 cm, dengan diameter 6 mm, dan dapat menghasilkan 200.000
telur cacing per hari.

Cacing ascariasis dapat hidup di dalam tubuh hingga 1-2 tahun. Bila tidak diobati,
siklus di atas akan terus berlanjut. Sebagian telur akan keluar melalui feses dan
mengkontaminasi tanah. Sedangkan sebagian telur lain akan menetas, berkembang, dan
berpindah ke paru-paru. Seluruh siklus tersebut dapat berlangsung sekitar 2-3 bulan.

Faktor Resiko Ascariasis


Terdapat sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan parasit ini, di
antaranya:
 Iklim yang hangat. Ascariasis tumbuh di wilayah dengan suhu yang hangat
sepanjang tahun.
 Kondisi lingkungan. Ascariasis banyak berkembang di tempat yang
kebersihannya tidak terjaga, terutama di daerah yang memanfaatkan feses
manusia sebagai pupuk. Selain itu, ascariasis juga umum terjadi pada wilayah
dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, padat penduduk, minim akses
kebersihan, dan wilayah dengan populasi anak di bawah usia 5 tahun yang
tinggi.
 Usia. Pasien usia 10 tahun ke bawah lebih rentan terserang ascariasis.

Diagnosis Ascariasis
Untuk mendiagnosis Ascariasis, dokter akan melakukan pemeriksaan feses atau
tinja pasien. Pemeriksaan ini akan membantu dokter mengetahui ada atau tidaknya telur
cacing pada tinja pasien. Meski demikian, telur cacing baru dapat terlihat pada tinja 40
hari setelah infeksi. Pada penderita yang hanya terinfeksi cacing jantan, telur cacing
tidak akan ditemukan pada feses.
Dokter juga dapat menjalankan tes darah untuk melihat apakah ada kenaikan
kadar eosinophil, salah satu jenis sel darah putih. Akan tetapi, tes darah tidak bisa
memastikan infeksi ascariasis, karena kenaikan kadar eosinophil juga dapat disebabkan
oleh kondisi medis lainnya.
Selain dua tes di atas, dokter juga dapat menjalankan tes pencitraan seperti:
 Foto Rontgen. Melalui pemeriksaan foto rontgen, dokter dapat mengetahui
apakah ada cacing di usus. Rontgen juga dapat dilakukan guna melihat
kemungkinan adanya larva di paru-paru.
 USG. USG dapat menunjukkan pada dokter bila ada cacing di pankreas atau
hati.
 CT scan atau MRI. Dua metode pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah
cacing menyumbat saluran hati atau pankreas.

Pengobatan Ascariasis
Pada sebagian kasus, ascariasis dapat sembuh dengan sendirinya. Meskipun
demikian, disarankan segera ke dokter bila mengalami gejala ascariasis. Dokter akan
meresepkan obat cacing, seperti:
 Mebendazole. Mebendazole diresepkan pada pasien usia 1 tahun ke atas,
dengan dosis 2 kali sehari untuk 3 hari. Sejumlah efek samping yang dapat
muncul akibat penggunaan obat ini meliputi diare, ruam kulit, dan sering
buang angin.
 Piperazine. Piperazine diresepkan pada bayi usia 3-11 bulan, dengan 1 dosis
tunggal. Efek samping obat ini antara lain sakit perut, diare, mual, muntah,
dan kolik.
 Albendazole. Obat ini dianjurkan untuk dikonsumsi 2 kali sehari. Sakit perut,
mual, muntah, pusing, serta ruam kulit adalah beberapa efek samping yang
dapat dialami setelah meminum albendazole.
Pada ascariasis berat, jumlah cacing di usus sampai menyebabkan usus dan
saluran empedu tersumbat. Dalam kondisi tersebut, dokter akan menjalankan operasi,
untuk membuang cacing dari dalam usus, dan memperbaiki kerusakan usus pasien.

Pencegahan Ascariasis
Infeksi Ascariasis dapat dicegah dengan menjaga kebersihan. Sejumlah cara
sederhana untuk mencegah ascariasis adalah:
 Selalu mencuci tangan dengan air bersih dan sabun tiap sebelum makan,
sebelum memasak dan menyediakan makanan, setelah buang air besar, dan
setelah menyentuh tanah.
 Cuci buah dan sayuran hingga bersih sebelum dikonsumsi.
 Pastikan masakan benar-benar matang sebelum dikonsumsi.
 Usahakan hanya minum air dalam kemasan yang masih disegel ketika
bepergian. Jika tidak tersedia, masaklah air hingga mendidih sebelum
meminumnya.

3.2 Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator americanus)


Ankilostomiasis atau Hookworm Infection adalah suatu infeksi yang disebabkan
oleh parasit cacing tambang. Cacing ini bisa masuk ke tubuh melalui kulit dan
menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi kesehatan. Kondisi ini umumnya terjadi
di negara-negara yang beriklim lembap dan panas. Meski begitu, tidak menutup
kemungkinan cacing ini bisa juga berkembang di area lain dan menginfeksi orang
segala usia.

Gejala Ankilostomiasis
Ankilostomiasis biasanya asimptomatis namun dapat timbul dengan gejala
gastrointestinal, anemia defisiensi besi, kulit yang gatal akibat cutaneous larva migran,
dan batuk akibat migrasi ke paru-paru. Berat ringannya gejala klinis yang terjadi pada
infeksi hook worm tergantung pada faktor-faktor berikut.
 Jumlah cacing
 Stadium cacing tambang
 Infeksi pertama atau infeksi ulang
 Lamanya infeksi
 Keadaan gizi penderita
 Adanya penyakit lain
 Umur penderita
Manifestasi klinis pada infeksi hookworm bisa ditimbulkan oleh beberapa halm
diantaranya adalah:
1. Larva
a. Ground itch / Dew itch adalah rasa gatal yang timbul saat larva hook
worm masuk menembus kulit, semakin banyak larva yang menembus
kulit semakin hebat gejala yang timbul. Masuknya larva hook worm
yang menembus kulit juga bisa menyebabkan dermatitis dengan
eritemia, edema, vesikel, dan gatal.
b. Infeksi pertama memberikan gejala yang lebih berat daripada infeksi
ulangan.
c. Larva dari cacing tambang hewan (Ancylostoma brazilliense,
Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) juga bisa
menginfeksi manusia dan menimbulkan creeping eruption (cutaneus
larva migrans). Dalam kulit manusia larva bisa hidup beberapa hari
sampai beberapa bulan. Larva ini mengembara dalam kulit manusia
tetapi tidak pernah mencapai stadium dewasa.
2. Cacing tambang dewasa
a. Terjadi gejala anemia, karena cacing dewasa menghisap darah
manusia, selain itu tempat perlekatan cacing juga terjadi perdarahan.
Anemia yang terjadi akibat infeksi cacing tambang adalah anemia
mikrositik hipokromik.
b. Pada infeksi lanjut dapat menyebabkan defisiensi gizi, karena adanya
anemia, gangguan absorbsi, digesti akibat atrofi vili usus akibat luka
gigitan, dan diare akibat iritasi gigitan cacing.
c. Pada pemeriksaan darah biasanya didapatkan eosinofilia yaitu
meningkatnya jumlah sel eosinofil. Peningkatan jumlah eosinofil pada
infeksi hook worm bisa sampai 15% – 30%.
d. Pemeriksaan darah samar (occult) dalam tinja biasanya positif, bahkan
kadang darah bisa dilihat dengan mata telanjang.
e. Infeksi cacing ini dapat menimbulkan kekebalan. Jika tidak ada
defisiensi gizi, infeksi ulangan akan memberikan kekebalan sehingga
jumlah cacing tambang akan berkurang sampai hilang dari
intestinum / usus halus.

Penyebab Ankilostomiasis
Infeksi cacing tambang disebabkan oleh masuk dan berkembangnya cacing
tambang di dalam tubuh. Jenis cacing tambang yang sering menyebabkan infeksi pada
manusia adalah Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
Saat seseorang yang terinfeksi buang air besar di area terbuka, telur cacing yang
terdapat di dalam fesesnya akan berpindah ke tanah. Di tanah, telur cacing kemudian
berkembang dan menetas. Setelah menetas, akan muncul larva. Larva cacing tambang
akan masuk ke tubuh saat mengonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi
tanah yang terinfeksi. Selanjutnya, larva cacing tambang akan masuk ke sistem
percernaan, berubah menjadi cacing dewasa dan berkembang biak di usus. Hal ini
selanjutnya akan menimbulkan gejala dan keluhan.
Telur yang dihasilkan cacing tambang saat berada di usus akan keluar bersama
feses. Pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk, feses yang mengandung telur
cacing tambang ini akan mengontaminasi tanah dan air yang ada di sekitarnya. Cacing
tambang merupakan golongan soil transmited helmint yang dapat hidup di tanah yang
lembab, hangat, dan terhindar dari sinar matahari langsung.

Faktor Resiko Ankilostomiasis


Cacing Tambang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Cacing ini
mempunyai prevalensi yang tinggi di daerah perkebunan dan persawahan. Cacing ini
menyerang terutama pada golongan sosial ekonomi rendah. Tanah yang gembur,
lembab, teduh,tanah berpasir, atau tanah liat dan humus merupakan tempat ideal bagi
pertumbuhan telur cacing tambang sampai menjadi larva. Telur dan larva mudah mati
karena kekeringan dan suhu yang rendah.
Di Indonesia Necator americanus lebih banyak dijumpai daripada Ancylostoma
duodenale. Diketahui bahwa frekuensi infeksi pada pria lebih besar daripada wanita.
Kebiasaan buang air besar sembarangan, penggunaan kotoran manusia sebagai pupuk,
kebiasaan tidak memakai alas kaki dan kurangnya pengetahuan tentang kebersihan dan
kesehatan merupakan faktor-faktor yang menguntungkan untuk perkembangan dan
penyebarang cacing tambang. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko infeksi cacing tambang:
 Tinggal di lingkungan yang memiliki sistem sanitasi yang buruk.
 Mengonsumsi makanan dan minuman yang memiliki risiko terkontaminasi
telur atau larva cacing tambang, seperti daging mentah atau setengah
matang.
 Melakukan aktivitas yang sering bersentuhan langsung dengan tanah tanpa
penggunaan pelindung yang cukup.

Diagnosis Ankilostomiasis
Untuk mendiagnosis kondisi ini, dokter dapat meminta sampel dari tinja pasien.
Sampel tersebut akan dikirim ke laboratorium untuk diperiksa di bawah mikroskop
guna melihat keberadaan telur cacing.Selain itu, dokter juga mungkin akan
menyarankan pasien untuk menjalani tes darah. Pemeriksaan ini bertujuan melihat
tanda-tanda anemia atau kekurangan nutrisi tertentu.

Pengobatan Ankilostomiasis
Agar hookworm infection dapat segera reda, dokter umumnya akan meresepkan
obat-obatan seperti:
 Albendazole
 Mebendazole
 Pyrantel pamoate
Obat tersebut termasuk dalam kelompok antihelminthics atau obat antiparasit.
Umumnya, konsumsi obat ini perlu dilakukan selama satu hingga tiga hari untuk
merawat infeksi cacing tambang yang terjadi.Namun harap diingat bahwa obat-obatan
yang disebutkan di atas tidak disarankan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil. Bagi
penderita lain yang juga mengalami anemia yang parah, konsumsi suplemen zat besi
juga dianjurkan.
Saat kondisi infeksi cukup parah, perawatan di rumah sakit dan operasi
pengangkatan cacing juga mungkin dilakukan.

Pencegahan Ankilostomiasis
Dalam mengurangi risiko terinfeksi cacing tambang, dapat dilakukan dengan
langkah-langkah di bawah ini:
 Menggunakan alas kaki ketika berada di luar ruangan, terutama di area yang
kemungkinan terdapat kotoran atau tinja di tanahnya.
 Minumlah air yang sumbernya terjamin dan benar-benar bersih.
 Saat memasak, pastikan untuk mencuci bahan-bahan makanan hingga bersih
dan masak hingga matang sempurna.
 Cuci tangan dengan cara yang tepat, yaitu menggunakan air bersih yang
mengalir dan sabun. Bila tidak tersedia, Anda bisa memakai hand sanitizer
(cairan pembersih tangan beralkohol).
Pada daerah yang sering terjadi infeksi cacing tambang, memperbaiki sarana
sanitasi terbukti dapat mengurangi jumlah penderita infeksi ini. Perbaikan sistem
sanitasi yang dilakukan meliputi perbaikan sistem pembuangan dan penyuluhan untuk
mengurangi kebiasaan buang air besar di tempat terbuka.
Selain itu, pencegah hookworm infection juga bisa dilakukan dengan
menggunakan sarung tangan saat berkebun, menutup kotak pasir tempat mainan anak-
anak, serta merawat hewan peliharaan yang terkena infeksi cacing tambang.

3.3 Peningkatan Sanitasi


Sanitasi lingkungan didefinisikansebagai usaha untuk selalu menjaga higienitas
atau kebersihan. Tujuan sanitasi lingkungan ini adalah mencegah terjadinya penyakit,
khususnya penyakit yang disebabkan oleh cacing. Berikut beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas sanitasi.
1. Perilaku
Sanitasi lingkungan berangkat dari kebersihan pribadi yang baik. Dalam hal
ini, setiap individu harus menerapkan pola hidup bersih, seperti mencuci tangan
dengan sabun setelah ke toilet maupun menggunakan masker ketika sakit agar
tidak menularkan virus kepada orang lain. Adapun beberapa perilaku yang erat
kaitannya dalam mengurangi resiko terinfeksi cacing diantaranya adalah:
a. Kebersihan kuku. Kebersihan kuku sangat berpengaruh pada infeksi cacing
masuk kedalam tubuh. Kuku yang berwarna hitam, banyak kotoran
didalamnya bisa dimungkinkan kuku tersebut terdapat telur cacing. Jika
tertelan, telur akan menetas di perut.
b. Kebiasaan Mencuci Tangan sebelum Makan. Anak-anak paling sering
terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka
dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun
orang dewasa juga tidak luput dari penyakit Cacingan. Maka hendaklah
anak-anak dibiasakan mencuci tangan sebelum makan agar larva cacing tidak
tertelan bersama makanan. Cacing yang paling sering ditemui ialah Cacing
Gelang, Cacing Tambang Cacing Pita, dan Cacing Kremi.
c. Kebiasaan Bermain di Tanah. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang
berkisar antara 25 – 30 0 C merupakan hal – hal yang sangat baik untuk
berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif. sehingga
sangat dianjurkan untuk memakai alas kaki ketika beraktivitas di luar rumah
dan tidak bermain yang berhubungan dengan tanah
d. Kebiasaan Defekasi. Perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang baik
dan di sembarang tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing.
Secara teori, cacing Soil Transmited Helminthes memerlukan media tanah
untuk perkembangannya. Adanya telur cacing tambang pada tinja penderita
yang melakukan aktifitas defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar
peluang penularan larva cacing tambang pada masyarakat di sekitarnya.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di halaman, dibawah pohon, di tempat mencuci, di sungai, dan
dipembuangan sampah, bahkan di negara tertentu terbiasa menggunakan tinja
sebagai pupuk. Hal inilah yang menjadikan resiko kecacingan tinggi.
e. Kebiasaan Jajan. Jajan di sembarang tempat tanpa melihat apakah makanan
tersebut sehat, dan terjamin kebersihannya bisa menjadi pemicu munculnya
penyakit. Debu yang bertebaran bisa membawa telur cacing dan jika
menempel di makanan yang dijual dipinggir jalan, kemudian kita makan dan
akhirnya telur cacing akan masuk dan menetas didalam tubuh kita
2. Sanitasi lingkungan.
Di level komunitas atau lingkungan, terdapat beberapa praktek sanitasi yang
dapat dilakukan bersama-sama anggota masyarakat lain, misalnya:
 Memperhatikan penempatan septic tank.
Menempatkan tempat pembuangan kotoran manusia maupun limbah
tidak berdekatan dengan sumber air bersih. Hal ini dilakukan untuk
mencegah kontaminasi air bersih dari bakteri berbahaya yang terdapat
pada kotoran tersebut.
 Mengolah sampah dengan baik
Untuk sampah padat, usahakan tempat pembuangannya jauh dari
jangkauan anak-anak. Pastikan juga sampah dibersihkan secara berkala
mengingat tumpukan sampah merupakan ‘area bermain’ dari binatang
pengerat maupun lalat yang membawa penyakit.
Setiap rumah harus menyediakan tempat sampahnya sendiri. Bila
perlu, masyarakat juga memiliki tong sampah khusus untuk sampah
organik yang bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos.
 Jangan ada selokan mampet
Selokan yang lancar adalah bagian krusial pada sanitasi lingkungan.
Pasalnya, selokan tergenang merupakan tempat ideal bagi nyamuk yang
menjadi vektor penyakit demam berdarah, malaria, maupun chikungunya,
untuk berkembang biak.
 Perhatikan area pemakaman
Bila di lingkungan terdekat terdapat kuburan, pastikan kuburan
tersebut juga dijaga kebersihannya. Area kuburan ini biasanya
berhubungan dengan tradisi maupun kebiasaan di tengah masyarakat
sehingga pengelolaannya bisa disesuaikan dengan kesepakatan adat
maupun aturan pemerintah setempat.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam Menyusun makalah ini, terdapat beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
1. Pada makalah ini pembahasan difokuskan pada Cacing Gelang (Ascaris
lumbricoides) dan Cacing Tambang (Anchilostoma duodenale dan Necator
americanus), dimana penularan terjadi saat larva cacing masuk ke dalam tubuh
setelah mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi. Infeksi ini juga
bisa terjadi jika cacing masuk ke dalam tubuh melalui kulit saat bersentuhan
langsung dengan tanah yang terkontaminasi.
2. Hospes atau inang dari Askariasis adalah manusia. Pada tubuh manusia, larva
Ascaris akan berkembang menjadi dewasa dan mengadakan kopulasi serta akhirnya
bertelur.
3. Kualitas sanitasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang bersih dan
mengurangi resiko kemungkinan cacing dapat masuk ke dalam tubuh.

4.2 Saran
Dalam mewujudkan hidup yang sehat dan terhindar dari masalah kesehatan,
khususnya masalah kesehatan yang disebabkan oleh cacing, sekiranya kita perlu banyak
mencari informasi bagaimana sifat-sifat, proses penularan, cara pencegahan dan
beberapa informasi lain untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan terhadap
bahaya infeksi ini. Dikemudian hari, makalah dengan materi sejenis dan topik lain perlu
dikembangkan agar pengetahuan dan pemahaman pembaca dapat berkembang, serta
dapat mengaplikasikan hidup sehat dengan menerapkan informasi-informasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. Kecacingan. <diakes di: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/143/jtptunimus-


gdl-nursyamsia-7115-3-babii.pdf>

Atmojo, Andi Tri. Ascaris lumbricoides. Indonesian Medical Lab. <diakes di:
https://medlab.id/ascaris-lumbricoides/>

Atmojo, Andi Tri. Cacing Tambang. Indonesian Medical Lab. <diakes di:
https://medlab.id/cacing-tambang-hook-worm/>

Anonimus. Soil Trasmitted Helminth (STH). <diakes di: http://repository.poltekkes-


denpasar.ac.id/2947/3/BAB%20II.pdf>Atmojo, Andi Tri. Helmintologi. Indonesian
Medical Lab. <diakes di: https://medlab.id/helmintologi/>

Kundaian, Friscasari, dkk. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing
pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

Noviastuti, Aulia Rahma. 2015. Infeksi Soil Transmitted Helminths. Majority 4(8).

Anda mungkin juga menyukai