Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

PERTUSIS

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. Beatrix Siregar Sp.A, M.Ked (ped)

Disusun Oleh:
Reza Rahadian Yusuf Daen
20360104

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Pertusis”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang
sangat tulus kepada dr. Beatrix Siregar Sp.A, M.Ked (ped) selaku pembimbing yang
telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Purwakarta, September 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada makalah ini akan dijelaskan tentang Pertusis Pada Anak serta
bagaimana asuhan keperawatan Pertusis Pada Anak. Pertusis adalah suatu
infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi
paling sering dan serius pada anak-anak. (Iskandar, 1985)
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin
berat. Batuk adalah gejala khas  dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk
terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam
paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis
telah kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan
berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan
pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis
biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan
setelah serangan batuk. (Iskandar, 1985)
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui hal-hal
yang berkaitan tentang pertusis dan sebagai salah satu pemenuhan tugas
kepanitraan anak Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati
C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai pertusis
2. Dapat menegakkan pertusis dengan cepat dan tepat
3. Menambah pengetahuan mengenai penatalaksanaan pertusis yang tepat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis (whooping cough) merupakan suatu penyakit infeksi traktus
respiratorius yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun
walaupun jarang dapat pula disebabkan oleh Bordetella parapertussis.
(Iskandar, 1985)
Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran
pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri
dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang
meninggi. (Iskandar, 1985)
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin
berat. Batuk adalah gejala khas  dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk
terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam
paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah
kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi
separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang
dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat
parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan
batuk. (Iskandar, 1985)

B. Epidemiologi
Tersebar di seluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat penduduknya dapat
berupa epidemic pada anak. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjala kepada
anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Tidak
ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, lebih
banyak laki-laki daripada wanita. Umur penderita termuda ialah 16 hari. Cara
penularan ialah kontak dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi
angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis. Oleh karena itu di
negara di mana imunisasi belum lengkap merupakan prosedur rutin, masih
banyak didapatkan pertussis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama.
Dilaporkan terjadinya endemic pertussis di antara petugas rumah sakit yang
sebelumnya telah mendapat imunisasi terhadap pertussis dan kemudian
mendapat infeksi karena merawat penderita pertussis. Natural immunity
berlangsung lama dan jarang didapatkan infeksi ulangan pertussis. (WHO, 2016)
Angka kematian penyakit ini di negara maju seperti di USA sebesar 5 dari
1000 bayi lahir hidup, sedangkan di negara berkembang sejak tahun 1980,
berdasarkan Expanded Programme on Immunization (EPI) tahun 1992 angka
kematian pertusis anak lebih dari 7 per 1000 kelahiran. Bagaimanapun angka
kesakitan dan kematian setelah usaha EPI 1992 berkurang 60% (WHO,2016)
C. Etiologi
Pertusis (batuk rejan) umumnya disebabkan oleh Bordetella Pertusis,
merupakan penyakit endemik di semua negara. Namun ada beberapa mikroba
lain yang terdapat pada penderita pertusis, antara lain Hemophilus Pertussis, dan
Adenovirus tipe 1, 2, 3 dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius,
traktus gastrointestinalis dan traktus genitourinarius. (Iskandar, 1985)
D. Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 hari. Penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau
lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :
1. Stadium Kataralis
Lamanya 1-2 minggu. Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan,
terutama pada malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat
dan terjadi siang dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia.
Stadium ini menyerupai influenza
2. Stadium Spasmodik
Lamanya 2-4. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi
paroksismal berupa batuk-batuk khas (inspiration whooping). Batuk
sedemikian beratnya disertai muntah dan banyak sputum yang kental hingga
penderita tampak gelisah dengan muka merah dan sianotik. Dalam bentuk
ringan tidak terdapat whoop, muntah atau batuk spasmodic.
3. Stadium Konvalesensi
Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu keempat jumlah
dan beratnya batuk berkurang, juga muntah berkurang, nafsu makan pun
timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spasmodic mulai
menghilang. Infeksi semacam “common cold” dapat menimbulkan serangan
batuk lagi.
E. Patofisiologi
Masa inkubasi pertusis 6–21 hari, rata-rata 7-10 hari. Manifestasi klinis
tergantung tergantung dari etiologi spesifik , umur dan status imunisasi.
Perjalanan klinis penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium kataralis
berlangsung 1-2 minggu, stadium paroksismal atau spasmodik berlangsung 2-4
minggu, dan stadium konvalesens selama 1-2 minggu. (Sumarmo, 2008)
Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari
pasien yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang
yang suseptibel. Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, higiene
lingkungan dan pribadi yang buruk, karena penyebaran tidak langsung bisa
juga terjadi dari pasien ke lingkungan melalui sekresi respiratorius dan
selanjutnya tangan host yang baru akan mentransfer kuman ini sehingga terjadi
inokulasi di traktus respiratorius. (Sumarmo, 2008)
Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis pathogenesis
infeksi tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan pejamu,
kerusakan lokal, dan penyakit sistemik. Infeksi dimulai dari adanya perlekatan
bakteri Bordetella pertussis pada cilia dari sel-sel epitel bersilia di traktus
respiratorius. Perlekatan ini difasilitasi oleh pertactin, fimbriae 2 dan 3,
pertussis toxin (PT), lipopolisakarida (LPS), tracheal colonization factor
(TCF), dan kemungkinan filamentous hemaglutinin (FHA). (Sumarmo, 2008)
F. Diagnosis
Dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang
pada stadium spasmodik. Pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena
menyerupai common cold. Pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium
spasmoradik jumlah leukosit meninggi, kadang-kadang sampai 15.000-
45.000/mm3 dengan limfositosis. Diagnosis dapat diduga bila ditemukan batuk
yang mula-mula timbul pada malam hari tidak mereda melainkan meninggi
menjadi siang dan malam, serta bias diketahui adanya riwayat kontak langsung
dengan penderita pertussis. (Sumarmo, 2008)
Pada stadium kataralis selain terdapat leukosistosis dan limfositosis,
diagnosis dapat diperkuat dengan mengisolasi kuman dari sekresi jalan nafas
dan dikeluarkan pada waktu batuk. Secara laboratorik diagnosis pertussis dapat
dibuat bedasarkan adanya kuman dalam biakan atau dengan pemeriksaan
imunofluoresen. Uji aglutinasi kurang digunakan karena pada anak dibawah 1
tahun, agglutinating antibody hanya tedapat dalam jumlah kecil dalam serum
masa konvalesensi. Sedangkan complement fixing antibody terdapat dalam
jumlah yang bervariasi. Suatu pemeriksaan serologis yang mudah, khas, dan
relative murah adalah uji Ouchterlony yang menggunakan gel agar imunodifusi
untuk memperlihatkan presipitasi antibody pertussis dengan ekstrak B.
(Sumarmo, 2008)

G. Penatalaksaan
Anti mikroba Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium
kataralis yang dini. Ketika sudah memasuki stadium spasmodik (paroxysmal
phase) anti-biotik tidak mengubah gejala yang dialami, namun dapat
membunuh bakteri penyebab pada nasofaring dan mengurami transmisinya.
Eritromisin merupakan anti mikroba yang sampai saat ini dianggap paling
efektif dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun tetrasiklin.
(IDAI, 2009)
Dosis yang dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis selama 5-7
hari.
1. Betametason oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
2. Hidrokortison suksinat (sulokortef) IM dosis 30 mg/kg BB/ hari kemudian
diturunkan perlahan dan dihentikan pada hari ke-8
3. Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari Berguna dalam pengobatan pertusis
terutama pada bayi muda dengan seragan proksimal.
H. Pencegahan

Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman bordetella pertusis


yang telah dimatikan untuk mendapatkan imunitas aktif. Vaksin ini diberikan
bersama vaksin difteri dan tetanus. Dosis yang dianjurkan 12 unit diberikan
pada umur 2 bulan. Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis (Sumarmo,
2008) :
1. Panas lebih dari 33ºC
2. Riwayat kejang
3. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya misalnya: suhu tinggi
dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilatik lainnya.
I. Prognosis
Bergantung kepada usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis
lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5%-1%) disebabkan ensefalopati.
Pada observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan meyebabkan
gangguan intelektual di kemudian hari.(Sumarmo, 2008)
BAB III
KESIMPULAN

Pertusis (whooping cough) merupakan suatu penyakit infeksi traktus


respiratorius yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun
walaupun jarang dapat pula disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Menular
dengan cara kontak langsung dengan penderita pertusis. Gejala klinis pertusis
ditentukan bedasarkan tiga stadium yang sedang terjadi, salah satunya ada
stadium kataralis, stadium sporadik, dan stadium konvalesensi. Penatalaksanaan
yang diberikan adalah eritromisin dan simtomatik lainnya, dan dapat dicegah
dengan pemberikan vaksin pertusis.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. Pedoman Pelayanan Medis.

Iskandar W. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. In: Hassan R, Alatas H, editors. Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Sumarmo S. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta.

WHO. 2016. Vaccine-Preventable Diseases. World Health Organization

Anda mungkin juga menyukai