Anda di halaman 1dari 40

PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA

DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)

ABSTRAK
LATAR BELAKANG:
Kusta dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit
kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara
berkembang, seperti Indonesia. The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce
menyatakan telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per
10.000 orang dipertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan
bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
HASIL:
Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang ke
Puskesmas Cendrawasih dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang
dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Dilakukan
pemeriksaan dengan hasil TD 110/70 mmHg, pada status lokalis kulit ditemukan
plaque yang eritematous dan berbatas tegas berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10
cm pada regio facia, auricula, thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior
dan inferior, pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi, terdapat penebalan
dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior sinistra dan
dextra, terdapat gangguan fungsi sensorik setengah pada digiti IV dan digiti V
kedua tangan serta kedua telapak kaki, pada pemeriksaan kerokan kulit didapatkan
hasil indeks bakteri (IB) sebesar 1+. Tn. H didiagnosis menderita kusta tipe MB
dengan cacat tingkat I dan reaksi kusta tipe I, kemudian ditatalaksana dengan
regimen MDT 12 dosis selama 12-18 bulan dan prednison selama 12 minggu.
Selama ini Tn. H tidak berobat ke dokter karena khawatir didiagnosa kusta. Tn. H
tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga lainnya. Tn. H dan keluarga juga diberi
edukasi terkait penyakit kusta, anjuran untuk melakukan pengobatan kusta secara
teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Berdasarkan hasil pemeriksaan
dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan penatalaksanana pasien dengan prinsip
pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis Evidence Based

1
Medicine. Perbaikan dapat dievaluasi setiap 2 minggu untuk melihat perbaikan
reaksi kusta dengan pemberian prednison dan setelah pengobatan dengan regimen
MDT telah selesai untuk dinyatakan Release From Treatment (RFT) dengan tidak
ditemukannya kelainan kulit baru tanpa memperhatikan pemeriksaan BTA.
Kata Kunci: Kusta, Evidence Based Medicine, pelayanan dokter keluarga.

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit
kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara
berkembang, seperti Indonesia.1,2
The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce menyatakan telah
berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per 10 000 orang di
pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa
kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.2
Keterlambatan diagnosis MH dapat mengakibatkan kerusakan saraf
yang irreversibel, dan pada akhirnya mengalami cacat permanen. Cacat fisik
yang disebabkan oleh kusta sering disalahpahami dan dianggap menakutkan
oleh masyarakat. Penyakit ini masih terkait dengan stigma sosial yang tidak
diinginkan yang sangat berdampak pada kemampuan fisik pasien, ekonomi,
dan kehidupan sosialnya.2

1.2 Aspek disiplin ilmu yang terkait dengan judul pembahasan


Untuk pengendalian permasalahan kusta pada tingkat individu dan
masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program profesi
dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan klinik
pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan
primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang
dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan
diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan
berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran,
keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

3
a. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian kusta secara individual,
masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik moral dan
peraturan perundangan.
b. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan
budaya sendiri dalam penangan kusta, melakukan rujukan bagi kasus kusta,
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang berlaku serta
mengembangkan pengetahuan.
c. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian kusta.
d. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
e. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian kusta secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimum.
f. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah kusta dengan menerapkan
prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang
lain.
g. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan
dalam konteks pelayanan kesehatan primer

1.3 Tujuan dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana

4
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh
terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga
dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran
terkini (evidence based medicine).

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan pelayanan dokter keluarga secara paripurna
(komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine (EBM) pada
pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta
prinsip penatalaksanaan pasien.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, serta menginterpretasikan hasilnya dalam menetukan
diagnosis.
b. Untuk mengidentifikasi permasalahan sosial dalam pengendalian
kusta secara individu, keluarga, maupun masyarakat.
c. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi
pada level individu, keluarga, dan masyarakat dalam pengendalian
kusta.
d. Untuk melakukan prosedur tatalaksana kusta sesuai Program
Pengendalian Penyakit Kusta Nasional sesuai standar kompetensi
dokter Indonesia.

1.3.3 Manfaat Studi Kasus


a. Bagi Institusi Pendidikan.
b. Bagi Penderita (Pasien).
c. Bagi Tenaga Kesehatan.

5
d. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)

1.4 Indikator Keberhasilan Pengobatan


Tujuan pengobatan adalah untuk memutus mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit kusta, dan mencegah terjadinya cacat atau bila telah
terjadi cacat sebelum pengobatan akan mencegah bertambahnya cacat.
Indikator keberhasilan pengobatan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien
dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis
evidence based medicine adalah:
Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah
teratur.
Perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12 minggu
dievaluasi setiap 2 minggu.
Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan dengan regimen MDT
(multidrug therapy) selesai sesuai klasifikasi kusta yang diderita, yaitu
untuk penderita kusta Pauci baciler (PB) sebanyak 6 dosis dalam waktu
6-9 bulan dan untuk penderita kusta Multibaciler (MB) sebanyak 12 dosis
dalam waktu 12-18 bulan, dengan tidak ditemukannya kelainan kulit baru.
Penderita dinyatakan release from treatment (RFT) jika pengobatan dengan
regimen MDT telah selasai tanpa melihat pemeriksaan laboratorium.
Tidak terjadi relaps setelah pasien dinyatakan RFT. Pasien dikatakan relaps
apabila timbul kelainan kuit baru setelah penderita dinyatakan RFT, dan hasil
BTA terjadi peningkatan Index Bakteriologi 2 atau lebih dibandingkan saat
diagnosis.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan tindakan
pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan BTA.

6
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN

2.1 Kerangka Teoritis


Gambaran Penyebab Kusta

Imunitas Pemaparan oleh bakteri Invasi Jaringan

Malnutrisi
PEJAMU INFEKS KUSTA
PEKA
I

Kesesakan Hygiene
rumah

Faktor Resiko Kusta Mekanisme Kusta

2.2 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di


Layanan Primer
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
- Comprehensive care and holistic approach
- Continuous care
- Prevention first
- Coordinative and collaborative care
- Personal care as the integral part of his/her family
- Family, community, and environment consideration
- Ethics and law awareness
- Cost effective care and quality assurance
- Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien adalah
seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual,
serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.

7
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari
beberapa aspek yaitu:
Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.
Aspek klinis: diagnose klinis dan diagnose bandingnya
Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan
Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga, keadaan
lingkungan rumah dan pekerjaan.
Derajat fungsional (1 - 5)

2.3 Penyakit Kusta


2.3.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat inraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.3.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain
sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya
kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan
terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini di tiap-tiap negara
maupun dalam negara berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan adalah cara penularan, patogenesis kuman penyebab,
keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir di luar manusia.1
Prevalensi global kusta 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan
prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang
mempengaruhi 0,91 dari 10.000 orang pada tahun 2008, menurut
Departemen Kesehatan Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
juga melaporkan bahwa 17.441 kasus baru yang terdeteksi di Indonesia

8
pada tahun 2008, yang menempatkan negara Indonesia sebagai insiden
tertinggi ketiga kusta di seluruh dunia.2
Epidemiologi penyakit kusta dapat juga digambarkan menurut
Trias Epidemiologi yaitu agent, host, dan environmet sebagai berikut :
a. Agent
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang
sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 x 0,5 Um,
bersifat tahan asam serta gram positif. Masa tunasnya bervariasi,
antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata
3-5 tahun.1
Cara penularan belum diketahui secara pasti, hanya
berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi,
sebab Mycobacterium leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
droplet. Penderita yang mengandung Mycobacterium leprae sampai
103 tiap gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih
besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 107
basil tiap gram jaringan.1
Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, air susu ibu, dan jarang ditemukan di urin.
Sputum dapat mengandung banyak Mycibacterium leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi kuman
tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.1
b. Host
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah
kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas.
Mycobacterium leprae termasuk kuman yang obligat intraselular,
dan sistem kekebalan yang paling efektif adalah kekebalan selular.
Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta

9
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta.1
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya
sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular
tersebut sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
menjadi sakit.1
c. Environment
Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negar-negar berkembang
sebgai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Terdapat
pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi
komunitas pedesaan. Pada lingkungan biologis dapat berupa kontak
langsung dan berulang-ulang dengan penderita.1
Epidemiologi penyakit kusta juga dapat digambarkan menurut Variabel
Epidemiologi yaitu person (orang), place (tempat), dan time (waktu),
sebagai berikut :1
a. Distribusi menurut orang
Distribusi menurut umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang
berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat
sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait
pada umur saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik
seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data
umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak
menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi
pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak
adalah pada umur muda dan produktif.

10
Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut
catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa
negara Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
terserang daripada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta
pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau
faktr biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-
laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat
gaya hidupnya.
Distribusi menurut etnik
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan
distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika
diamati dalam suatu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi
karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa
lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan
etnik India. Di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak terjadi pada etnik
China dibandingkan etnik Melayu dan India. Demikian pula
kejadian kusta di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih
banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.
b. Distribusi menurut tempat
Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran kusta salah satunya adalah lingkungan yang kumuh dan
kotor. Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.
Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat
menurun bahkan hilang. Kasus kusta impor pada negara tersebut
ternyata tidak menular kepada orang-orang yang sosial ekonominya
tinggi.

11
c. Distribusi menurut waktu
Terdapat 17 negara termasuk Indonesia yang melaporkan 1000 atau
lebih kasus baru selama tahun 2005. 17 negara ini mempunyai
kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia. Pada tahun 2002-
2005 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti di
Republik Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Philipina.
2.3.3 Gejala Klinis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-
tanda utama atau cardinal sign, yaitu:3
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputihan
(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan
kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-
gangguan fungsi saraf tepi berupa:
Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise).
Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
c. Ditemukannya Mycobacterium leprae pada pemeriksaan
bakteriologis.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat
dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap Mycobacterium leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang
jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan

12
saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf :1
a. Nervus ulnaris
Anestesia pada ujung jari anterio kelingking dan jari manis.
Clawing kelingking dan jari manis.
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
b. Nervus medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah.
Tidak mampu aduksi ibu jari.
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c. Nervus radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
Tangan gantung (wrist drop).
Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
d. Nervus poplitea lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis.
Kaki gantung (foot drop).
Kelemahan otot peroneus.
e. Nervus tibialis posterior
Anestesia telapak kaki.
Claw toes.
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. Nervus facialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.

13
g. Nervus trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer maupun sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya Nervus facialis yang dapat membuat paralisis Nervus
orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mngakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian
mata lainnya. Keadaan lagoftalmus dan ektropion yang disebabkan oleh
penyakit lepra atau morbus hansen, pada umumnya disebabkan oleh
adanya parese saraf fasialis yang akan menimbulkan komplikasi
keratitis eksposure sampai bisa terjadi ulkus kornea.1,4
Tabel 1. Klasifikasi cacat1
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan dan deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak
ada gangguan penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada
gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6
meter)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari
6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6
meter
Catatan :
Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,
absorbsi, mutilasi, kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi
kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri dari
kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat

14
timbul ginekomasti akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.1
2.3.4 Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk
tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit
kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi,
jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi,
3
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:3
Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang
menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai
target utama pengobatan.
Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya
adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi
1,3
menurut WHO.
a. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate
(I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous
(L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana
berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan
pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International
3
Leprosy Association di Madrid tahun 1953.
b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum
klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi
sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap
Mycobacterium leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell
mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah

15
dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat
infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya
pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak
digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan
hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi
seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta
menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous polar (LL), tipe
Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe
1,3
Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid polar (TT).
c. Klasfikasi menurut WHO (1981)
Pada tahun 1981, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini
seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Multibasiler berarti
mengandung banyak basil, yaitu tipe LL, BL, dan BB. Pausibasiler
berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT, dan I. Sampai
saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi
menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta.
Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan bakteriologi.
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Pausibasiler (PB)1
Sifat Tuberkuloid Borderline Indeterminate (I)
polar (TT) tuberculoid (BT)
Lesi
Bentuk Makula saja; Makula dibatasi Hanya infiltrat
makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja
Jumlah Satu, dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan satelit
Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas

16
Anestesia Jelas Jelas Tidak jelas sampai
tidak ada
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Multibasiler (MB)1


Sifat Lepromatosa Borderline Mid bordeline
polar (LL) lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat Plakat Dome-shaped
Papul Papul (kubah)
Nodus Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
hampir tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas ada
kulit sehat sehat
Distribusi Simetris Hampir simetris Asismetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (globus) Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 4. Pedoman dalam menentukan klasifikasi kusta menurut WHO (1981)3


Tanda Utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Bercak kusta 1 sampai dengan 5 Lebih dari 5
Penebalan saraf tepi yang Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
disertai dengan gangguan
fungsi
Pemeriksaan Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan
bakteriologi tahan asam (BTA) asam (BTA)

17
Tabel 5. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
kusta menurut WHO3
Kelainan kulit dan Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
hasil pemeriksaan
Bercak mati rasa
Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat
Batas Tegas Kurang tegas
Kehilangan rasa pada Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
bercak ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
berkeringat, rambut ada terjadi pada yang
rontok pada bercak sudah lanjut
Infiltrat
Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
Ciri-ciri Central healing Punched out lesion
Madarosis
Ginekomasti
Hidung pelana
Suara sengau
Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakteroskopik digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan
asam, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif

18
pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil Mycobacterium leprae.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel
steril. Setelah lesi didesinfeksi kemudian dijepit diantara ibu jari
dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu
gambaran sediaan. Irisan yang diambil harus sampai di dermis,
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di
dalamnya mengandung basil Mycobacterium leprae. Kerokan
jaringan dioleskan pada gelas objek, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan
alat semacam skalpel kecil atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Selanjutnya diambil dari daerah septum nasi, dan dikerjakan
seperti kerokan kulit lainnya.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid atau nonsolid
pada sebuh sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan
nilai 0 sampai dengan 6+ menurut Ridley.indeks Bakteri tersebut
adalah:1
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

b. Pemeriksaan Histopatologik
Adanya proses imunologik mengakibatkan sel histiosit ke
tempat Mycobacterium leprae untuk difagosit. Jika makrofag yang

19
datang berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid. Adanya
massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan Sistem Imunitas Seluler (SIS)
rendah, histiosit tidak dapat menghancurkan Mycobacterium
leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel
busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat
subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran
unsur-unsur tersebut.1
c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh Mycobacterium
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik tehadap
Mycobacterium leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kDserta 35 kD. Sedangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis.1

Macam-macam pemeriksan serologik kusta ialah:1


Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

20
2.3.6 Pengobatan
a. Kusta tipe PB5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan
petugas)
2 Kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
1 tablet dapson (DDS 100 mg)
1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister di
minum selama 6-9 bulan
b. Kusta tipe MB5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan
petugas)
2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
1 tablet Lampren 50 mg
1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan

Tabel 6. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe PB5
10-14 > 15
Nama Obat < 5 tahun 5-9 tahun Keterangan
tahun tahun

21
Minum di
10-15 mg/ 300 450 600
Rifampisin depan
kgBB mg/bulan mg/bulan mg/bulan
petugas
Minum di
1-2 100
25 mg/hari 50 mg/hari depan
mg/kgBB mg/hari
DDS petugas
1-2 100 Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari
mg/kgBB mg/hari rumah

Tabel 7. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe MB5
10-14 > 15
Nama Obat < 5 tahun 5-9 tahun Keterangan
tahun tahun
Minum di
10-15 mg/ 300 450 600
Rifampisin depan
kgBB mg/bulan mg/bulan mg/bulan
petugas
Minum di
1-2 100
25 mg/hari 50 mg/hari depan
mg/kgBB mg/hari
DDS petugas
1-2 100 Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari
mg/kgBB mg/hari rumah
Minum di
1 mg/kgBB 100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln depan
petugas
Clofazimin
50 mg 2 50 mg
Minum di
1 mg/kgBB kali setiap 2 50 mg/hari
rumah
seminggu hari

2.3.7 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pengobatan pada penderita kusta adalah sebagai berikut :5
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam
waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment) tanpa
diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment) tanpa
diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

22
c. RFT (Release From Tretment) dapat dilaksanakan setelah dosis
dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
d. Masa pengamatan.
Pengamatan setelah RFT (Release From Tretment) dilakukan
secara pasif:
Tipe PB selama 2 tahun
Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium
e. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun
tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien.
f. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh
atau RFT (Release From Tretment).

23
BAB III
METODOLOGI STUDI KASUS

3.1 Waktu dan Lokasi Melakukan Studi Kasus


3.1.1 Waktu Studi Kasus
Studi kasus dilakukan pada tanggal 22 Juni 2015 sampai dengan 11 Juli
2015.
3.1.2 Lokasi Studi Kasus
Jln. Bulu Kumba 3 blok 3 /386, Kelurahan Sudiang Raya, Kecamatan
Biring Kanaya.

3.2 Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan


pasien/keluarganya secara langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why,
who, where, when, dan how.

3.3 Pengumpulan data/informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan


dengan melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya dan
analisis data.

24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Studi Kasus


4.1.1 Anamnesis
Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang
ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan keluhan bercak merah
pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan
memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya bercak kemerahan muncul
di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang lalu bercak menyebar ke
seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah
dan daun telinga. Riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, dan
debu tidak ada. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang sama
tidak ada. Riwayat kontak terhadap penderita dengan keluhan yang
sama ada, yaitu tetangga pasien.
Selama ini Tn. H enggan berobat ke dokter karena khawatir
didiagnosa kusta. Tn. H tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga
lainnya. Tn. H dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit kusta,
anjuran untuk melakukan pengobatan kusta secara teratur, dan
melaksanakan modifikasi gaya hidup. Tn. H bekerja sebagai buruh di
sebuah toko bahan bangunan, dan masih dapat bekerja dengan baik
tanpa bantuan siapapun.
a. Pemeriksaan fisis
BB 49 kg, TB 168 cm
TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18
kali/menit, suhu 36,7 C
Status lokalis kulit ditemukan : pada regio facia, auricula,
thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan
inferior tampak plaque yang eritematous dan berbatas tegas
yang berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10 cm, serta pada
regio facia dan auricula tampak edema dan eritema.

25
Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan
kapas yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa
pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi.
Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan
saraf dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus
tibialis posterior sinistra dan dextra.
Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan
fungsi sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan
ditemukan rasa raba setengah digiti IV dan digiti V
kehilangan rasa, serta pada pemeriksaan rasa raba telapak
kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa raba pada kedua telapak
kaki kehilangan rasa.
b. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada
kedua daun telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil
indeks bakteri (IB) sebesar 1+.
4.1.2 Keluarga
Tn. H tinggal serumah dengan ayah mertua, ibu mertua, 1 saudara
ipar, istri, dan 1 orang anaknya, di rumah sederhana dengan
ventilasi yang kurang memadai.
Tn. H tidak ingin anggota keluarganya mengetahui bahwa dirinya
menderita kusta.
Tn. H takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya menderita
kusta.
4.1.3 Pemeriksaan Fisis
BB 49 kg, TB 168 cm
TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18 kali/menit,
suhu 36,7 C
Status lokalis kulit ditemukan : pada regio thoraks, abdomen,
punggung, ekstremitas superior dan inferior tampak plaque yang
eritematous dan berbatas tegas yang berukuran 2x2 cm sampai

26
dengan 5x10 cm, serta pada regio facia dan auricula tampak edema
dan eritema.
Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan kapas
yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa pasien tidak
merasakan sentuhan kapas pada lesi.
Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan saraf dan
nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior
sinistra dan dextra.
Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan fungsi
sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan ditemukan rasa
raba setengah digiti IV dan digiti V kehilangan rasa, serta pada
pemeriksaan rasa raba telapak kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa
raba pada kedua telapak kaki kehilangan rasa.
4.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada kedua daun
telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil indeks bakteri
(IB) sebesar 1+.
4.1.5 Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
a. Diagnosa Klinis : Kusta tipe MB, dengan cacat tingkat I dan reaksi
kusta tipe I
b. Diagnosa Psikososial : kekhawatiran menderita kusta, takut
diketahui oleh anggota kelurga lainnya bahwa dirinya menderita
kusta, takut dipecat dari tempat kerja.

4.2 Aspek sosial


c. Aspek Personal
Tn. H, laki-laki, 33 tahun
Datang ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan keluhan
bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun
yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya bercak
kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang

27
lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak
kemerahan timbul pada wajah dan daun telinga. Riwayat alergi
makanan, obat-obatan, cuaca, dan debu tidak ada. Riwayat
keluarga yang mengalami keluhan yang sama tidak ada.
Riwayat kontak terhadap penderita dengan keluhan yang sama
ada, yaitu tetangga pasien.
Kekhawatiran
- Takut menderita penyakit kusta
- Takut anggota keluarga lainnya mengetahui bahwa dirinya
menderita penyakit kusta
- Takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya
menderita kusta
Harapan
- Tidak menderita kusta
d. Aspek Klinik
Bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun
yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir.
Awalnya bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri,
kemudian 3 bulan yang lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh.
1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan daun
telinga
c. Aspek Faktor Resiko Internal
Kurangnya pengetahuan tentang kusta
Kepatuhan dalam berobat kurang
Perilaku terhadap bercak kemerahan pada tubuh yang buruk
Gizi buruk
d. Aspek Faktor Resiko Eksternal
Tinggal di rumah dengan ayah mertu, ibu mertua, 1 saudara ipar,
isteri, dan 1 orang anak.
Tempat tinggal : Rumah susun sederhana, padat dan ventilasi
kurang memadai.

28
Pekerjaan sebagai buruh di sebuah toko bahan bangunan.
e. Derajat Fungsional
Tn. H masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun
(derajat 1 minimal)

4.2.1 Genogram (Pohon keluarga)


Pohon Keluarga

Keterangan :
= Ayah mertua

= Ibu mertua

= Saudara ipar

= Isteri

= Tn. H, menderita penyakit kusta

= Anak

4.3 komunikasi
Promosi kesehatan dengan pendekatan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS).
1. Perbaikan kondisi ventilasi rumah
2. Meningkatkan status gizi

29
3. Memperbaiki perilaku terhadap bercak kemerahan, misalnya
tetap menjaga kebersihan diri.
4.4 tatalaksana
Terapi untuk Pasien
Medikamentosa : dengan regimen MDT 12 dosis selama
12-18 bulan. 1 blister (1 dosis) untuk 1 bulan.
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di
depan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
- 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
- 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
- 1 tablet Lampren 50 mg
- 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Sedangkan untuk reaksi kusta diberikan obat kortikosteroid
berupa prednison dengan skema pemberian:
2 minggu I : 40 mg/hari (1x8 tablet) pagi hari sesudah
makan.
2 minggu II : 30 mg/hari (1x6 tablet) pagi hari sesudah
makan.
2 minggu III : 20 mg/hari (1x4 tablet) pagi hari sesudah
makan.
2 minggu IV : 15 mg/hari (1x3 tablet) pagi hari sesudah
makan.
2 minggu V : 10 mg/hari (1x2 tablet) pagi hari sesudah
makan.
2 minggu VI : 5 mg/hari (1x1 tablet) pagi hari sesudah
makan
Perbaikan status gizi (diet TKTP) yang disesuaikan dengan
berat badan ideal dan istirahat di rumah agar tidak menular
ke orang lain

30
Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang
kusta, menyampaikan agar tetap menjaga kebersihan diri.
Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (dengan
membuka pintu dan jendela khususnya pada pagi hari).
Motivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan
pasien
Terapi untuk Keluarga
Proteksi diri dan edukasi untuk anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan Tn. H.

31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus kusta yang dilakukan di layanan primer
(PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan kusta dengan pendekatan diagnosa
holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
Tn. H didiagnosa menderita kusta tipe MB (multibasiler) dengan derajat
cacat tingkat 1 dan reaksi kusta tipe 1 Trias epidemiologi pada kasus ini,
Agent : Mycobacterium leprae, host : pasien Tn. H, environment :
lingkungan rumah yang kumuh dan ventilasi rumah yang tidak memadai.
Transmisi terjadi karena kontak yang lama dan erat terhadap penderita
dengan keluhan yang sama (tetangga pasien).
b. Permasalahan sosial : Tn. H takut diketahui oleh anggota kelurga lainnya
jika benar dirinya menderita kusta, dan takut dipecat dari tempat kerja.
c. Pemberian informasi untuk memperbaiki pengetahuan tentang kusta,
edukasi tentang pengobatan secara teratur, modifikasi gaya hidup, dan
memotivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien.
d. Tatalaksana medikamentosa kusta tipe MB yaitu pemberian regimen MDT
12 dosis selama 12-18 bulan, dan pemberian prednison selama 12 minggu
untuk reaksi kusta. Evaluasi pengobatan setiap 2 minggu untuk melihat
perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12 minggu,
dan setelah pengobatan dengan regimen MDT selesai untuk dinyatakan
Relese From Treatment (RFT).

5.2 Saran
Dari beberapa masalah yang ditemukan pada Tn. H berupa: penyakit kusta,
pola hidup dan kebersihan rumah, serta gizi kurang, maka disarankan untuk:
a. Melakukan screening kepada orang yang terkontak, yaitu anggota keluarga
yang tinggal serumah dan teman kerja

32
b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit kusta
c. Memberikan penatalaksanaan kepada pasien dengan modifikasi gaya
hidup berupa:
- Mengkonsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin
- Menjaga kebersihan, kelembaban, dan pencahayaan di dalam rumah
- Latihan fisik atau olahraga teratur
- Berobat secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

33
1. Djuanda, Adhi, Prof. DR. dr. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Dalam : Kusta. 2011. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Halaman : 64-72.
2. Widodo, Arini Astari, & Menaldi, Sri Linuwah. Characteristic of Leprosy
Patient in Jakarta. 2012. [cited 5 Juli 2015]. Available at:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/1261/
1237
3. Lubis, SR. Penyakit Kusta. 2013. [cited 5 Juli 2015]. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37321/4/Chapter%20II.pdf.
4. Doemilah Ratna, Faradis Hani, Witjaksana Nugraha. Management of Paralitic
Lagophthalmos caused by Leprosy Reaction. 2012. [cited 5 April 2015].
Available at:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Lap%20Kas.%20dr.%20Hani%20F.pdf.
5. Makaminan, A. Morbus hansen. 2012 . [cited 5 Juli 2015].
http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab2-
13082012035518.pdf
6. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-
overview, 21 Februari 2011.
7. Menaldi,S. repository reaksi kusta. Dept. I.K. Kulit dan Kelamin RSUP Dr.
Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2010
8. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. 2012. Diunduh
dari :http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf .
9. Dinkes Prov NTB. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instan Pemerintah (LAKIP)
Tahun2012. 2012. Diunduh dari :http://dinkes.ntbprov.go.id/sistem/data-
dinkes/uploads/2013/10/LAKIP-Dinkes-Prov.-NTB-2012.pdf .
10. WHO, editor. Diagnosis of Leprosy. Available at :http://www.who.int/lep/dia
gnosis/en/. Accessed on 5 Juni , 2014.
11. Pardenas Kelvin. Eritematous Nodus Leprosum. 2013. Diunduh dari
:http://www.scribd.com/document_downloads/direct/120085024?extension=p
df&ft=1399782214&lt=1399785824&user_id=78808612&uahk=pgsTREC1
EZBfIWHlM7wqD8NEyQA

34
12. Directorate General of Health Services Ministry of Health & Family Welfare.
TrainingManual for Medical Officers. Nirman Bhawan : New Delhi. 2010.
13. Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at
:http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Accessed onJune
11 Th ,2015.
14. Donohue M, Krucik G, editor. Leprosy. Available at :http://www.healthline.c
om/health/leprosy#Overview1. Accessed on June11th, 2015.
15. CDC, editor. Hansens Disease : Risk of Exsposure. Available at
:http://www.cdc.gov/leprosy/exposure/index.html. Accessed on June 11 th
,2015

LAMPIRAN

35
1. Gambaran klinis sebelum pemberian regimen MDT dan prednison

Regio facia Regio auricula

Regio thorax

Regio Abdomen

36
Regio punggung

Regio ekstremitas

2. Evaluasi perbaikan reaksi kusta setelah pemberian prednison 40 mg/hari


selama 2 minggu:

37
Regio facia Regio auricula

Regio thorax

Regio abdomen

38
Regio punggung

Regio ekstremitas

3. Tempat tinggal pasien

39
40

Anda mungkin juga menyukai