Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Rhinosinusitis Ethmoidalis Akut

Penyusun :

Dicky Kurniawan (112018087)

Dokter Pembimbing :

dr. Andriana Tjitria Widi W. S., Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RS PANTI WILASA DR CIPTO SEMARANG

PERIODE 28 DESEMBER – 1 FEBRUARI 2020

1
NAMA : Dicky Kurniawan

NIM : 112018087

PERIODE : 28 Desember – 1 Februari 2020

JUDUL : Rhinosinusitis Ethmoidalis Akut

NAMA PEMBIMBING : dr. Andriana Tjitria Widi W. S., Sp. THT-KL


LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

Semarang, 15 Januari 2020

Yang Mengesahkan,

1
dr. Andriana Tjitria Widi W. S., Sp. THT

BAB I
LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR CIPTO SEMARANG

Nama: Dicky KurniawanTanda tangan


Nim: 112018087

Dr. Pembimbing/ penguji : dr.Andriana Tjitria Widi W. S., Sp.THT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. LM Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Jl Unta 2, Semarang Status menikah : Menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 6 Januari 2019 Jam : 11.00 WIB

Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri diantara kedua mata sejak 1 minggu yang lalu

2
Keluhan tambahan
Keluhan seperti hidung berair dan tersumbat sejak dua minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri diantara kedua mata sejak 1 minggu
SMRS. Keluhan nyeri ini dirasakan secara mendadak, dan muncul di pagi hari setelah
bangun. Nyeri tidak berpindah dan tidak menjalar. Nyeri memburuk terutama pada saat
berbaring, dan membaik pada saat duduk atau berdiri. Intensitas nyeri yang dirasakan adalah
VAS 3/10. Pasien sudah meminum obat untuk nyerinya, yaitu menggunakan paracetamol,
tetapi keluhan hanya sedikit membaik.

Dua minggu yang lalu, pasien sempat mengalami hidung berair dan hidung tersumbat.
Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba. Awalnya pasien hanya mengeluh hidung berair, tetapi
pada hari yang sama, hidung menjadi tersumbat. Keluhan hidung tersumbat dan berair
dirasakan sepanjang hari. Keluhan hidung tersumbat dirasakan pada kedua lubang hidung,
dan tidak bergantian. Sekret hidung tidak cair, dan berwarna bening. Pasien juga
mengeluhkan tidak enak pada makanan karena rasanya hambar dan sulit membau. Pasien
menyangkal adanya sekret berwarna kuning atau hijau dan berbau busuk. Pasien menyangkal
adanya rasa gatal di hidung dan mata. Pasien juga menyangkal adanya mata merah dan berair.
Karena hidung tersumbatnya, pasien mengaku sering bernapas lewat mulut. Suara pasien juga
menjadi sengau sejak hidung tersumbat. Demam disangkal.

Satu minggu yang lalu, saat pasien mulai merasakan nyeri diantara kedua matanya.
Pasien juga mengeluhkan adanya lendir yang tertelan. Keluhan batuk juga mulai dirasakan
dan pasien mengatakan tidak bisa membuang dahaknya. Batuk terjadi terutama di siang dan
sore hari. Pasien menyangkal adanya demam. Pasien sempat mengonsumsi cefadroksil yang
dibeli sendiri selama 3 hari, namun keluhan pasien sama sekali tidak berkurang. Setelah
berhenti mengonsumsi cefadroksil, pasien mencoba minum obat yang dibelinya sendiri, yaitu
Rhinos. Setelah mengonsumsi Rhinos selama 2 hari terakhir sebelum ke poliklinik, pasien
mengatakan bahwa keluhannya jauh membaik. Keluhan hidung tersumbat masih sedikit
dirasakan, keluhan hidung berair masih dirasakan tetapi sudah jauh membaik. Keluhan nyeri
di daerah antara kedua mata sudah jauh membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu

3
Pasien belum pernah merasakan keluhan nyeri seperti ini sebelumnya. Pilek dan hidung
tersumbat sering dirasakan oleh pasien, tetapi tidak disertai dengan nyeri pada pipi atau antara
mata. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus ataupun penyakit kronis lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Suami pasien juga mengalami pilek 1 hari sebelum pasien mulai merasakan hidung
berair dan tersumbat. Tidak ada riwayat asma ataupun alergi di keluarga.
Riwayat sosial
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol

Riwayat Alergi
Pasien tidak ada riwayat alergi ataupun asma.

Pemeriksaan Fisik
TELINGA

Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Normotia Normotia


Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
(-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), abses hematoma (-), laserasi (-),
(-), sikatriks (-), massa (-), abses (-), sikatriks (-), massa
hiperemis (-), nyeri (-), edema (-), hiperemis (-), nyeri (-),
(-) edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-),
(-), edema (-), abses (-) odem (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang(+), hiperemis (-) Lapang(+), hiperemis (-)

Membran Timpani Intak (+), Reflek cahaya (+) Intak (+), Reflek cahaya (+)
arah jam 5 arah jam 7,

Tes Penala

4
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Tidak ada kelainan tuli sensorineural dan konduktif pada tes penala dengan frekuensi
512 Hz pada kedua telinga pasien.

HIDUNG

Dextra Sinistra
Bentuk Normal tidak ada deformitas. Normal tidak ada
deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa Hiperemis (-), nyeri (-),
(-) massa (-),
Daerah sinus Nyeri tekan diantara kedua Nyeri tekan diantara kedua
mata (+), nyeri ketuk (-), mata (+), nyeri ketuk (-),
krepitasi (-) krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung (+), Tampak bulu hidung (+),
laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-),
(-), krusta (-), hiperemis (-), furunkel (-), krusta (-),
nyeri (-), massa (-), benda hiperemis (-), nyeri (-),
asing (-) massa (-), benda asing (-)
Cavum Nasi Sekret (+) warna bening (+) Sekret (+) warna bening
konsistensi kental (+) (+) konsistensi kental (+)
Concha inferior Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis(+), edema (+)
Meatus nasi inferior Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit
(-)
Concha Medius Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis (+), edema (+)
Meatus nasi medius Sekret (+), massa (-), Sekret (+), massa (-),
hiperemis (+), edema (+) hiperemis (+), edema (+)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-). perforasi (-).
RINOSKOPI POSTERIOR

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan

5
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING

Dinding faring posterior : Hiperemis (-), granula (-), ulkus (-), perdarahan
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (+), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus
(-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : Di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : Caries (-).

LARING

Epiglottis : Tidak Dilakukan


Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
Arytenoids : Tidak dilakukan
Ventricular band : Tidak dilakukan
Pita suara : Tidak dilakukan
Rima glotis : Tidak dilakukan
Cincin trachea : Tidak dilakukan
Sinus Piriformis : Tidak dilakukan

6
Kelenjar limfe submandibula dan servikal: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

RESUME

Seorang wanita berusia 40 tahun datang ke poliklinik THT RS Panti Wilasa Dr Cipto
dengan keluhan nyeri diantara kedua mata sejak 1 minggu SMRS. Keluhan nyeri ini
dirasakan secara mendadak, dan muncul di pagi hari setelah bangun. Pasien sudah minum
obat paracetamol, tetapi keluhan tidak membaik. Dua minggu lalu pasien mengaku hidung
berair dan tersumbat. Sekret bening, kental dan tidak berwarna serta tidak berbau busuk.
Pasien sulit membau. Rasa gatal di hidung dan telinga disangkal. Mata berair dan merah
disangkal. Pasien menyangkal adanya demam. Pasien mengatakan batuk terjadi terutama di
siang dan sore hari, serta sering menelan lendir dari hidung. Pasien sudah mengonsumsi
cefadroksil selama tiga hari tetapi tidak membaik. Pasien mencoba mengonsumsi Rhinos
selama dua hari dan keluhannya membaik. Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti
sebelumnya. Suami pasien pilek dan bersin satu hari sebelum pasien bergejala yang sama.
Riwayat alergi dan asma disangkal.

Dari pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan mukosa concha inferior kanan dan kiri
hiperemis dan edema. Cavum nasi terlihat adanya secret yang bening dan kental. Meatus nasi
media tampak hiperemis, edema, dan sekret (+). Pada pemeriksaan faring terdapat post nasal
drip (+). Dinding posterior faring tidak tampak hiperemis. Arkus faring juga tidak tampak
hiperemis dan tonsil ukuran T1-T1.

Working Diagnosis (WD)


Suspek Rhinosinusitis Ethmoidalis Akut

Dasar yang mendukung:


 Hidung sering keluar cairan kental dan bening.
 Keluhan diawali dengan adanya hidung berair dan tersumbat.
 Nyeri pada daerah di antara mata mengindikasikan lokasi sinus ethmoidalis.
 Jika tersumbat pasien bernafas lewat mulut
 Adanya hiposmia pada pasien

Pemeriksaan Fisik :

7
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa concha media dan inferior kiri dan kanan
tampak edema dan hiperemis. Di cavum nasi terlihat sekret bening dan kental. Pada
meatus nasi medius kiri dan kanan tampak sekret (+), edema (+), dan hiperemis (+).

Differential Diagnosis
1. Rhinosinusitis Ethmoidalis Bakterialis Akut
2. Rhinitis Simpleks
3. Rhinitis Alergi
4. Facial Pain Syndrome

Pemeriksaan Penunjang

1. CT-scan sinus paranasal


2. Pemeriksaan darah rutin dianjurkan

Penatalaksanaan

Medika Mentosa :
 Pseudoephedrine HCl 60 mg setiap 8 jam selama 7 hari.
 Ambroksol 30 mg setiap 8 jam selama 7 hari
 Loratadine 5 mg setiap 12 jam jika hidung terasa gatal.
 Reevaluasi setelah 1 minggu pengobatan

Non Medika Mentosa :


 Hindari pajanan dengan penderita rinitis
 Menggunakan masker apabila berkontak dengan udara yang kotor
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup

Prognosis
 Ad vitam : Bonam
 Ad sanationam : Bonam
 Ad fungtionam : Bonam
BAB II

8
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Hidung Luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut : 1) pangkal
hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) cuping hidung
(ala nasi), 5) columella yang merupakan pemisah nares lubang hidung kiri dan kanan, dan 6)
lubang hidung (nares anterior).1,2 Hidung terhubung dengan os frontale dan maxillaris melalui
pangkal hidung yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada
dasar hidung dan memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan
rhinophyma.3-5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal), 2) processus
frontalis os maxilla dan 3) processus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago ala major yang masing-masing terdiri dari crus medial
dan crus lateral dan 3) tepi anterior kartilago septum nasi.1,4

Gambar 1. Anatomi Kerangka Hidung.2

9
Anatomi Hidung Dalam
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Bagian
dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung
ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os ethmoidalis, vomer, krista nasalis os maxillaris dan krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.1-4
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat concha-concha yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah concha.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah concha inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah concha media, lebih kecil lagi ialah concha superior, sedangkan yang terkecil disebut
concha suprema. Concha suprema disebut juga rudimenter.2-4
Concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxillaris dan
labirin ethmoidalis, sedangkan concha media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin ethmoidalis. Di antara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus.

10
Gambar 2. Dinding Lateral Cavum Nasi.1
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara concha inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. 3,4
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara concha media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula ethmoidalis, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
ethmoidalis. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maxillaris dan sinus ethmoidalis anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang di antara concha superior dan concha media terdapat muara sinus
ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maxillaris dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. 1,2,4,5

Gambar 3. Muara Dari Berbagai Sinus Paranasal1

Suatu bagian anatomis rongga hidung yang sangat penting untuk drainase sinus
paranasal adalah kompleks osteomeatal atau KOM. KOM merupakan suatu bangunan yang
terletak di meatus nasi media yang merupakan tempat drainase sinus maxillaris, sinus
ethmoidalisalis anterior dan sinus frontalis. Kompleks ini sangat kecil dan sangat berdekatan,
sehingga apabila muncul peradangan atau sumbatan pada lokasi ini, akan memicu terjadinya
inflamasi pada sinus yang dikenal sebagai sinusitis. KOM terdiri dari processus uncinatus,

11
infundibulum ethmoidalis, ostium sinus maxillaris, bulla ethmoidalis, hiatus semilunaris, dan
agger nasi.4,5

Gambar 4. Kompleks Osteomeatal1

Pendarahan rongga hidung dilakukan oleh beberapa sistem arteri dan vena yaitu
sebagai berikut. Pendarahan rongga hidung dari sisi medial, A. ethmoidalis anterior R.
septalis dan posterior mempendarahi sisi superior. A. sphenopalatina R. Septalis posterior
mempendarahi sisi medial hidung dari arah posterior, A. labialis superior R. Septalis, A.
palatina major, dan A. nasopalatina mempendarahi dari sisi inferior. Plexus Kiesselbach
merupakan bagian penting anastomosis arteri-arteri ini yang merupakan tempat predileksi
terjadinya epistaksis anterior. Pendarahan dari sisi lateral, yaitu sisi concha, juga diperdarahi
oleh arteri yang sama.1,3,4,6

12
Gambar 5. Pendarahan Rongga Hidung1
Pembuluh darah vena yang mengalirkan darah dari rongga hidung adalah sebagai
berikut. V. Ethmoidalis anterior dan posterior mengalirkan darah dari sisi superior rongga
hidung ke sinus cavernosus di basis cranii, V. Labialis superior mengalirkan darah dari sisi
inferoanterior rongga hidung ke V. Facialis, dan V.sphenopalatina dari sisi posterior rongga
hidung ke plexus pterygoideus di fossa infratemporalis.1,6

Gambar 6. Sistem Vena Rongga Hidung

Persarafan rongga hidung berasal dari cabang-cabang N. trigeminus, yaitu N.


Ophthalmicus (V1) dan N. Maxillaris (V2). N. V1 mempercabangkan N. ethmoidalis anterior
dan N. ethmoidalis posterior yang akan menginervasi sensorik dari rongga hidung sisi
superomedial dan superolateral. N. V2 mempercabangkan N. nasopalatinus yang akan
mempersarafi sisi medial tengah dari rongga hidung. N. labialis superior yang merupakan
cabang dari N. infraorbitalis, yang merupakan cabang dari N. V2 mempersarafi rongga
hidung sisi anteroinferior, dan N. palatinus major yang berasal dari N. V2 mempersarafi
rongga hidung sisi posterior. N. olfactorius juga ikut mempersarafi hidung dengan fungsi
penghidunya yang terletak langsung di lamina cribosa.1,6

13
Gambar 7. Persarafan Rongga Hidung

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan suatu organ pada manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat
pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung; sinus frontalis
kanan dan kiri, sinus ethmoidalis kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maxillaris,
yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sphenoidalis kanan dan
kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,
berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Secara
klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior.
Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri
dari sinus frontal, sinus maxillaris, dan sel-sel anterior sinus ethmoidalis. Kelompok posterior
bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus
ethmoidalis dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung
merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi
penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang
dialirkan ke mukosa hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung,
berupa tonjolan atau recessus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan. Recessus
inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal
dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maxillaris
dan sinus ethmoidalis telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maxillaris sudah terbentuk

14
dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior.
Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan
cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1,4,5

Gambar 8. Sinus Paranasal Potongan Sagital

Gambar 9. Sinus Paranasal Potongan Coronal

Sinus Maxillaris

15
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi
pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa.1,4,5
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah
medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila
yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga
terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila.
Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm
vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada
dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan
setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan
rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.1,4,5
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis
dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung.
Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus
unsinatus os ethmoidalis, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os
lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoidalis.1,4,5
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2) ,
molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-
akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan
kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses
supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui
pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan
dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat

16
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar
sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus ethmoidalis anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.1,4-6

Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel recessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoidalis. Sesudah lahir,
sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal
sebelum usia 20 tahun.1,5,6
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda
bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang
rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal: tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan
isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
recessus frontal yang berhubungan dengan infundibulum ethmoidalis.1,5,6
Dari semua sinus paranasal, sinus ethmoidalis yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya.
Sel-sel ethmoidalis, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel ethmoidalis anterior dan
posterior. Sinus ethmoidalis sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai
dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus
ethmoidalis seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.1
Sinus ethmoidalis berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoidalis, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi

17
menjadi sinus ethmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus ethmoidalis
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus ethmoidalis anterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
ethmoidalis yang terbesar disebut bula ethmoidalis. Di daerah ethmoidalis anterior terdapat
suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di recessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1,5
Atap sinus ethmoidalis yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina orbitalis os lacrimalis yang sangat tipis dan
membatasi sinus ethmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus ethmoidalis
posterior berbatasan dengan sinus sphenoidalis.1,5
Sinus sphenoidalis terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior cavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai
pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis
posterior maupun os sphenoidalis. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sphenoidalis masih
kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam
corpus os ethmoidalis dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan
satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga
salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.1,5,6
Letak os sphenoidalis adalah di dalam os sphenoidalis di belakang sinus ethmoidalis
posterior. Sinus sphenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersphenoidalis.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os
sphenoidalis akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sphenoidalis. Batas-batasnya adalah: sebelah superior terdapat
fossa cerebri media dan hipofisis, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan A. carotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa cerebri posterior di daerah pons.5

Rhinosinusitis
Definisi
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan sinus paranasal, yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung

18
tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri
pada wajah atau berkurangnya sensitivitas pembau, ditambah dengan salah satu dari:
1. Hasil endoskopi hidung berupa adanya polip nasal, dan/atau sekret mukopurulen terutama
dari meatus nasi media dan/atau edema atau obstruksi mukosa di meatus nasi media,
dan/atau
2. Perubahan pada mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus pada CT-scan.
Pada rhinosinusitis akut gejala berlangsung < 12 minggu dan rhinosinusitis kronis
berlangsung ≥ 12 minggu.7

Klasifikasi Rhinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu rhinosinusitis akut
viral (ARS) dan rhinosinusitis akut post viral (post viral ARS). ARS atau common cold
ditegakkan apabila durasi gejala dibawah 10 hari. Post viral ARS ditegakkan apabila gejala
bertambah buruk setelah 5 hari, atau gejala tidak membaik setelah 10 hari dan dibawah 12
minggu. Rhinosinusitis bakterial akut (ABRS) dapat dicurigai apabila muncul 3 tanda atau
gejala berikut ini.5,7,8
1. Perubahan warna sekret dengan predominansi unilateral dan sekret mukopurulen
pada cavum nasi,
2. Nyeri lokal hebat dengan predominansi unilateral
3. Demam (> 38°C)
4. Peningkatan LED atau CRP
5. Double sickening (adanya perburukan setelah terjadinya perbaikan pada fase awal
gejala)
Berikut ini adalah gambaran sederhana mengenai klasifikasi rhinosinusitis
berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012.

Gambar 10. Klasifikasi Rhinosinusitis Akut7

19
Rhinosinusitis juga diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama
serangan. Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10 cm: 5,7
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang= VAS > 3-7
- Berat= VAS > 7-10

Gambar 11. Visual Analog Scale1


Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?” Nilai VAS >5
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis
diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik. Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12
minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit
>12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.7

Epidemiologi dan Faktor Risiko


Insidensi ARS sangat tinggi, dimana berdasarkan meta analisis, orang dewasa akan
mengalami ARS sebanyak 2-5 kali per tahun, dan anak usia sekolah akan mengalaminya 7-10
kali per tahun. Sekitar 0,5-2% infeksi saluran napas atas akan berkomplikasi dengan infeksi
bakteri sekunder.7,8
Faktor risiko pertama pada ARS adalah adanya pajanan lingkungan. Seseorang yang
terpajan pada individu yang bergejala infeksi saluran napas atas, akan berisiko terjadinya
ARS. Pajanan pada asap rokok juga merupakan faktor risiko yang cukup signifikan
menyebabkan terjadinya ARS di kemudian hari. Kelembaban udara yang tinggi, akan
meningkatkan risiko terjadinya ARS.7
Faktor risiko kedua pada ARS adalah adanya variasi anatomis. Variasi anatomis baik
fisiologis ataupun patologis yang dimaksud adalah sebagai berikut. Haller cells, concha

20
bullosa, deviasi septum nasi, atresia choana, polip nasal dan hipolasia sinus. Hipertropi
adenoid menjadi salah satu faktor risiko terjadinya ARS yang berulang. Fistula oroantral
yang merupakan fistula yang menghubungkan sinus maxillaris dengan rongga mulut menjadi
faktor risiko terjadinya ARS di sinus maxillaris.7-9
Faktor risiko ketiga pada ARS adalah alergi. Alergi yang dimaksud disini sangat
berkorelasi dengan rhinitis alergi dan asma bronkial. Ciprandi, et al. menunjukkan bahwa
pasien dengan rhinitis alergi yang terpajan dengan alergen dan mengalami eksaserbasi, akan
terjadi peningkatan kadar ICAM-1 yang merupakan molekul adhesi inflamatorik. ICAM-1
yang sebelumnya telah diketahui sebagai molekul adhesi yang digunakan oleh rhinovirus
akan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya ARS pada pasien dengan rhinitis alergi.7
Faktor risiko keempat pada ARS adalah ciliary impairment. Alergi dan asap rokok
merupakan penyebab tersering terjadinya disfungsi silia pada rongga sinus. Pada ARS dan
ABRS, fungsi silia pada rongga sinus menjadi sangat rendah sehingga clearance sekresi
dalam sinus menjadi sangat minimal.7,9,10
Faktor risiko kelima pada ARS adalah cemas dan depresi, walaupun mekanismenya
belum diketahui secara pasti dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.7
Faktor risiko keenam pada ARS adalah adanya resistensi antibiotik. Berbagai
penyebab ABRS adalah S. pneumoniae, H. influenzae, S. pyrogenes, M. catarrhalis, dan S.
aureus. Antibiotik tersering pada terapi ARS adalah amoxicillin/clavulanate.7
Faktor risiko ketujuh pada ARS adalah adanya penyakit kronis. Bronkitis, asma,
penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, dan keganasan pada anak, berkorelasi langsung
dengan peningkatan risiko terjadinya ARS setelah terjadinya influenza pada anak.7

Patofisiologi Infeksi : Invasi Mikroorganisme pada Host


Terdapat berbagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi, terutama saluran
napas bagian atas. Pada hidung, bagian terpenting adalah kulit dan mukosa. Sel epitel
merupakan barier pertama terhadap infeksi virus dan bakteri. Sel epitel akan menyekresikan
mediator untuk mengeliminasi patogen. Sel goblet yang menghasilkan mukus akan menahan
patogen didalamnya, dan dengan mekanisme pergerakan silia akan dibuang dari saluran
pernapasan.7
Saat virus yang pertama kali akan menginfeksi rongga hidung, maka virus tersebut
harus masuk ke dalam sel untuk bereplikasi. Sebagai contoh, rhinovirus dapat menginfeksi
sel epitel saluran napas karena memiliki reseptor, yaitu ICAM-1. Setelah terjadi adhesi
dengan reseptornya, maka terjadi penetrasi nukleokapsid virus. Ekspresi ICAM-1 dapat

21
ditingkatkan dan dapat diturunkan dengan berbagai mekanisme. Peningkatan ekspresi ICAM-
1 melalui peningkatan mediator inflamasi IL-1 dan NF-kβ yang akan meningkatkan
infektivitas dan infiltrasi sel radang. Namun, sel yang telah terinfeksi juga dapat menurun
produksi reseptor ICAM-1, sehingga menurunkan infektivitas sel yang sudah terinfeksi oleh
virus.7
Saat bakteri yang akan menginvasi pertama kali, maka berbagai faktor risiko yang
berperan adalah adanya alergi, gangguan pergerakan silia mukosa, refluks gastroesofageal,
ataupun pemasangan NGT. Setelah terjadi infeksi virus, alergi, ataupun faktor lain, terjadi
gangguan pada mukosa, berupa penurunan jumlah sel silia dan peningkatan sel goblet. Hal ini
menyebabkan peningkatan sekresi mukus pada hidung dan gangguan klirens saluran napas.
Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya sumbatan pada ostium sinus di
rongga hidung. Peningkatan transien dari tekanan dalam rongga sinus disebabkan oleh karena
akumulasi mukus dalam sinus. Kemudian, akan akan diikuti oleh penurunan tekanan dalam
rongga sinus yang terjadi karena gangguan aliran udara dalam sinus dan peningkatan absorpsi
oksigen yang tersisa dalam rongga sinus. Penurunan tekanan ini akan menyebabkan
terjadinya kongesti yang lebih lanjut, dan produksi mukus yang lebih banyak di dalam sinus,
penurunan lebih lanjut udara dalam rongga sinus, penurunan jumlah oksigen dan penurunan
pH oleh karena respirasi anaerob dan menjadi media yang baik infeksi bakteri. Semua
perubahan pada rongga hidung dan sinus paranasal inilah yang akan menyebabkan terjadinya
infeksi bakteri pada sinus.7

Patofisiologi Infeksi : Mekanisme Pertahanan setelah Terjadi Infeksi


Apabila terjadi penetrasi patogen ke dalam tubuh, terdapat dua mekanisme pertahanan
tubuh, yaitu pertahanan non spesifik dan pertahanan spesifik. Pertahanan non spesifik yang
dimaksud adalah mukus dan kandungannya (lisosim, laktoferin, dan defensin) yang menjadi
pertahanan pertama. Pertahanan kedua adalah respon seluler dan reaksi inflamasi. Defensin
dimiliki oleh sel imun yang bertujuan untuk menghancurkan patogen baik virus dan bakteri.
Pada bakteri, defensin akan menempel membran sel bakteri dan membentuk pori-pori yang
memicu influks ion dan efluks nutrien yang penting untuk metabolisme bakteri, sehingga
bakteri akan mati. Lisosim paling berperan penting pada infeksi bakteri karena lisosim akan
memecahkan proteoglikan pada membran sel bakteri sehingga akan membunuh patogen
tersebut.7
Setelah terjadi infeksi virus, sel yang terinfeksi tersebut akan dihancurkan oleh
natural killer cells ataupun sel T sitotoksik yang mengenali sel terinfeksi dengan proses

22
sensitisasi terlebih dahulu. Sel yang terinfeksi akan menyekresikan interferon alpha dan
interferon gamma yang bertujuan untuk meningkatkan imunitas sel sekitar terhadap infeksi
virus dan meningkatkan respon inflamasi. Pada infeksi bakteri, terjadi aktivasi protein
associated molecular pattern, contohnya toll like receptor (TLR), merangsang pembentukan
kaskade sinyal, termasuk aktivasi komplemen, hemostasis, fagositosis, inflamasi, dan
apoptosis, sebagai respon terhadap patogen. Setelah terjadinya sensitisasi dengan TLR, maka
proses fagositosis akan terjadi. Fagositosis akan dilakukan oleh makrofag dan kemudian
protein bakteri atau virus akan dipresentasikan di permukaan makrofag. Kemudian sel T
helper 0 yang belum tersensitisasi dengan antigen akan mengenali protein itu berubah
menjadi T-helper 1 dan T-helper 2. T-helper 1 akan mengaktifkan sel B menjadi sel plasma
dengan bantuan sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13. Sel plasma akan memproduksi imunoglobulin
yang spesifik sesuai dengan antigen yang sudah dikenali sebelumnya. Antibodi tersebut akan
menetralkan virus dan membunuh bakteri yang ada sehingga eradikasi infeksi dapat terjadi.
Sel yang sudah terinfeksi virus harus dihancurkan dengan sel T sitotoksik, yaitu dengan
membocorkan membran sel yang terinfeksi. Dengan kata lain, sel yang terinfeksi akan
dihancurkan oleh sel T sitotoksik, sehingga virus menjadi inaktif. Pada rhinosinusitis, respon
sistem imun baik non-spesifik ataupun spesifik juga berlaku, dimana patogen akan
difagositosis dan disensitisasi terlebih dahulu dengan sel T-helper 0, dan berubah menjadi T-
helper 1 dan 2. T-helper 1 akan merangsang pembentukan antibodi melalui aktivasi sel
limfosit B menjadi sel plasma. T-helper 2 akan menjadi sel T sitotoksik yang akan
menghancurkan sel bakteri yang spesifik ataupun menghancurkan sel yang terinfeksi virus,
sehingga virus menjadi inaktif.7,9

Patofisiologi Rhinosinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Stuktur yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium
sinus dapat diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).4
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,
hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi.

23
Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub
mukosehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler, menembus epitel
hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat cairan transudat di rongga sinus yang
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.4,5,7
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang berwarna kuning
kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen
juga dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu.
Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus.
Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi
bakteri.8,9
Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang terus
berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi. 4,5,7,8,9

Hubungan Rinitis Alergi dan Rhinosinusitis


Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang meningkat seiring meningkatnya
kasus rinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan beban finansial terhadap penderitanya.
Pembengkakan mukosa hidung pada rinitis alergi di ostium sinus dapat mengganggu ventilasi
bahkan menyumbat ostium sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi.
Mukosa hidung dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa
sinus sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi. 8,9
Penderita rhinosinusitis kronik yang disertai rinitis alergi memiliki keluhan
rhinosinusitis yang lebih berat. Diantara pasien alergi yang menjalankan imunoterapi,
sebagian besar yang merasa tertolong dengan terapi imun adalah pasien dengan riwayat
rhinosinusitis berulang. Dan setengah dari pasien yang pernah menjalankan operasi sinus lalu
mendapat imunoterapi spesifik menyatakan bahwa operasi saja tidak dapat menuntaskan
episode berulang dari rhinosinusitisnya. Hubungan antara faktor alergi dan beratnya gejala
rhinosinusitis berdasarkan pemeriksaan CT scan, terbukti bahwa jika terdapat faktor alergi
pada rhinosinusitis kronik, maka semakin berat gejala rhinosinusitisnya. Dengan pemeriksaan
CT scan diketahui bahwa serum total IgE berkorelasi dengan penebalan mukosa sinus.

24
Dengan demikian penderita rhinosinusitis kronik yang akan menjalankan operasi sebaiknya
diperiksa dahulu apakah terdapat faktor alergi. Jika positif terdapat faktor alergi, sebaiknya
alerginya diterapi terlebih dahulu, sehingga kesembuhan akan lebih cepat dan kemungkinan
berulangnya rhinosinusitis pasca operasi dapat dikurangi. 7-9
Diagnosis ARS
Diagnosis klinis untuk ARS yang digunakan adalah menggunakan kriteria EPOS
2012, yaitu salah satu dari sekret hidung (anterior atau posterior nasal drip) atau kongesti
hidung ditambah dengan adanya nyeri atau perasaan tertekan pada wajah dan/atau adanya
penurunan fungsi penghidu. Setelah gejala klinis mengarah ke ARS, maka pemeriksaan
lanjutan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan naso endoskopi. Apabila didapatkan salah
satu dari adanya polip nasi, sekret mukopurulen di meatus nasi media, ataupun adanya edema
atau sumbatan mukosa di meatus nasi media, maka diagnosis berubah menjadi probable ARS.
Apabila didapatkan hasil CT-scan berupa perubahan pada mukosa di kompleks osteomeatal
atau di dalam rongga sinus, maka diagnosis ARS dapat ditegakkan.7
Keluhan yang dirasakan harus berdurasi dibawah 12 minggu, sehingga diagnosis ARS
tetap dapat digunakan. Diagnosis ARS juga dibagi berdasarkan klasifikasi yang telah
dijelaskan sebelumnya, yaitu ARS, yang berdurasi dibawah 10 hari dan bersifat self-limited
disease, post viral ARS yang merupakan gejala ARS yang memburuk setelah 5 hari atau
persisten selama lebih dari 10 hari, dan ABRS, yang ditandai dengan adanya sekret
mukopurulen dengan predominansi unilateral, adanya nyeri lokal predominansi unilateral,
demam diatas 38°C, peningkatan LED di atas 10 mm/jam dan CRP, dan adanya gejala
double sickening.7
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan inspeksi dan palpasi sinus.
Inspeksi dapat dilihat daerah disekitar sinus paranasal apaka terdapat kemerahan atau
pembengkakan. Apabila terdapat tanda seperti itu, maka sinusitis berdasarkan lokasi
kemerahan atau pembengkakan dapat dicurigai. Pada pemeriksaan palpasi, dapat dilakukan
penekanan pada area maxillofacial yang mungkin pada inspeksi terlihat kemerahan atau
pembengkakan, atau tidak sama sekali. Palpasi pada sinusitis akan menghasilkan keluhan
nyeri lokal yang hebat. Pemeriksaan THT yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
rinoskopi anterior. Pada rinoskopi anterior, didapatkan adanya edema dan hiperemis pada
daerah mukosa hidung, terutama pada kompleks osteomeatal, kemudian bisa didapatkan
adanya sekret mukopurulen, adanya polip, atau adanya concha hipertropi. Pemeriksaan
nasoendoskopi lebih spesifik daripada rinoskopi anterior untuk mendiagnosis kelainan pada

25
mukosa hidung dan kompleks osteomeatal yang merupakan patofisiologi utama terjadinya
ARS.7-9
Pemeriksaan lanjutan yang dapat digunakan adalah bakteriologi, dimana pemeriksaan
ini digunakan untuk memastikan penyebab ABRS. Spesimen diambil dari meatus nasi media.
Biasanya pemeriksaan bakteriologi pada kasus ARS dilakukan apabila bersifat berat atau
berulang. Pemeriksaan lanjutan lainnya adalah pemeriksaan radiologis terutama CT-scan
untuk melihat adanya kesuraman di dalam rongga sinus, yang merupakan gold standard
diagnosis ARS. Pemeriksaan LED dan CRP juga digunakan untuk melihat kemungkinan
infeksi bakteri sebagai infeksi sekunder pada ARS.5,7

Diagnosis Banding ARS


Beberapa diagnosis banding ARS yang masih mungkin pada penderita ARS adalah
viral upper respiratory tract infection (viral URTI), rinitis alergi, orodontal disease, facial
pain syndrome.7
Viral upper respiratory tract infection (viral URTI) merupakan infeksi virus pada
saluran napas atas dimana keluhan dari URTI viral merupakan keluhan pertama yang
dirasakan oleh pasien ARS. Keluhan yang dimaksud adalah rhinorea, sekret cair, hidung
tersumbat, pusing, dan demam, seperti gejala infeksi virus pada umumnya. Namun, apabila
gejala URTI viral ini berlanjut lebih dari 10 hari dan memburuk lebih dari 5 hari disertai
dengan adanya keluhan nyeri pada daerah sinus dan penurunan penciuman, maka diagnosis
ARS post viral dapat ditegakkan.7
Rhinitis alergi (RA) merupakan salah satu diagnosis banding dan juga merupakan
faktor predisposisi terjadinya ARS. Hal ini berdasarkan pada patofisiologi dari RA dimana
allergen yang masuk ke dalam mukosa hidung, menyebabkan sel imun pada rongga hidung
tersensitisasi. Sel yang tersensitisasi, biasanya adalah makrofag dan sel dendritik, dimana
kedua jenis sel ini merupakan antigen presenting cell (APC) yang akan melakukan
fagositosis terhadap alergen atau patogen. Protein yang ada pada alergen tersebut akan
dipresentasikan di permukaan sel dan menyebabkan sel Th-0 yang belum pernah
tersensitisasi dengan antigen menjadi aktif. Pengaktifan ini terjadi dengan cara menempelkan
TCR (T-cell receptor) pada sel Th-0 dengan kompleks alergen-MHC kelas II dan dibantu
dengan ligasi reseptor kostimulatorik CD-28 di permukaan sel Th dan protein kostimulatorik
B7 yang terdapat pada permukaan APC. Th0 merupakan sel yang bisa berubah menjadi Th-1
dan Th-2 tergantung kebutuhannya. Pada rhinitis alergi, Th-2 yang lebih dominan dan
membutuhkan IL-4 sebagai aktivatornya. Th akan mengeluarkan IL-4, IL-5, dan IL-13 untuk

26
mengaktifkan sel limfosit B. Sel ini akan teraktifkan dan berubah menjadi sel plasma yang
aktif menyekresikan imunoglobulin, terutama IgE. IgE yang telah disekresikan tersebut akan
berikatan dengan sel mast. Sel mast akan berdegranulasi dan mengeluarkan histamin dan
senyawa proinflamatorik yang akan meningkatkan sekresi mukus, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan vasodilatasi yang menyebabkan kongesti pada mukosa hidung dan berbagai
respons lainnya. Rhinitis alergi memiliki keluhan yang bertumpang tindih dengan ARS,
dimana keluhan hidung tersumbat dan produksi sekret hidung yang meningkat juga ada.
Tetapi keluhan seperti hidung terasa gatal, bersin dan mata berair serta gatal hanya ada pada
RA dan tidak pada ARS.7,10

Tatalaksana Rhinosinusitis Akut

Gambar 12. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan
Primer7

27
Terapi yang dapat digunakan untuk tatalaksana ARS berdasarkan EPOS 2012 adalah
sebagai berikut.7
Tatalaksana untuk ARS terutama pada 5 hari pertama dapat diarahkan untuk terapi
simtomatik terlebih dahulu. Terapi simtomatik bertujuan untuk menghilangkan keluhan
seperti hidung tersumbat, rinorea, dan keluhan lain seperti demam, pusing, dan nyeri pada
daerah wajah. Terapi farmakologis yang dapat diberikan adalah dekongestan, seperti
pseudoefedrin, yang bekerja pada reseptor alpha dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah, termasuk di daerah hidung. Hal ini diharapkan dapat menurunkan gejala obstruksi
pada hidung. Telah dibuktikan berdasarkan uji eksperimen, bahwa penggunaan dekongestan
dapat menurunkan edema dan inflamasi pada concha nasalis dan mukosakompleks
osteomeatal sehingga drainase mukus dan sekret dalam sinus dapat membaik. Mukolitik juga
dapat diberikan, seperti ambroksol, yang bekerja secara langsung pada mukus untuk
mengencerkannya. Setelah mukus diencerkan, maka akan lebih mudah untuk dikeluarkan.7
Berdasarkan EPOS 2012, pemberian antibiotik juga disarankan pada ARS, khususnya
untuk ARS dengan nyeri pada wajah yang bersifat unilateral dan sekret mukopurulen.
Penggunaan antibiotik seharusnya disesuaikan dengan jenis bakteri yang menginfeksi. Pada
ARS, bakteri yang biasanya menginfeksi adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, Moraxella catarrhalis, Streptococcus, dan Haemophilus influenzae. Jenis
antibiotik yang paling sering dipakai adalah golongan penicillin broad spectrum seperti
amoxicillin (500 mg, 3 kali sehari selama 10 hari) , golongan makrolid seperti azitromisin
(single dose 2 gram atau 500 mg/hari selama 3-6 hari), dan fluorokuinolon respirasi seperti
levofloksasin (500 mg/hari selama 14 hari) dan moksifloksasin (400 mg/hari selama 7-10
hari).7
Beberapa studi menunjukkan bahwa ARS akan membaik dan sembuh seluruhnya
apabila diterapi secara simtomatik pada fase awal penyakit. Hal ini disebabkan karena hampir
seluruh ARS pada fase awal terjadi karena infeksi virus yang menyebabkan kerusakan epitel
bersilia, gangguan mekanisme mukosiliar, serta peningkatan jumlah sel goblet dan
sekresinya. Terapi yang dapat diberikan pada ARS pada fase awal adalah analgesik,
dekongestan, dan mukolitik.7
Penggunaan kortikosteroid intranasal juga dinilai berguna berdasarkan EPOS 2012.
Hal ini didasarkan pada mekanisme kerja kortikosteroid yaitu menurunkan efek inflamasi
pada mukosa hidung, sehingga edema dan kongesti mukosa hidung menurun. Hasil akhirnya
adalah terjadi penurunan keluhan hidung tersumbat. Penggunaan kortikosteroid hanya akan
memberikan efek terapeutik pada ARS. Pada ABRS, penggunaan kortikosteroid monoterapi

28
ataupun kortikosteroid kombinasi antibiotik juga tidak mampu memberikan efek terapeutik
secara signifikan. Beberapa steroid intranasal yang dapat diberikan adalah mometasone (200
mikrogram/12 jam) budesonide (400 mikrogram/8 jam), ataupun fluticasone.7
Penggunaan kortikosteroid oral yang merupakan terapi tambahan pada pasien ARS
yang mendapatkan terapi antibiotik, juga akan memberikan perbaikan keluhan, seperti sakit
kepala, nyeri di wajah, ataupun sumbatan pada hidung. Obat yang sering dipakai adalah
metilprednisolon dengan dosis 8 mg/8 jam selama 5-10 hari.7
Penggunaan ipratropium bromida untuk menurunkan gejala rhinorea juga dapat
dipertimbangkan. Melalui mekanisme kerjanya, yaitu menghambat reseptor muskarinik pada
ujung persarafan otonom parasimpatis, maka sekresi dari kelenjar submukosa hidung akan
menurun. Hal ini akan secara langsung menurunkan gejala rinorea pada pasien.7
Penggunaan antihistamin pada ARS tidak direkomendasikan, kecuali terdapat rhinitis
alergi yang terjadi bersamaan dengan ARS, yang juga membutuhkan terapi.7

2.5.5 Rhinosinusitis Kronik


Pada rhinosinusitis kronik (CRS), dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu
disertai polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala, salah
satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior) disertai:7
 ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 ± penurunan/ hilangnya penghidu
Berdasarkan EPOS 2012, CRS sangat berkaitan dengan adanya defek pada pertahanan
mekanik, aliran mkosiliar yang tidak lancar, ataupun karena adanya kerusakan atau gangguan
dari sistem imunitas pasien, yang menyebabkan gangguan klirens dari patogen dari rongga
hidung dan rongga sinus.
Apabila dari anamnesis didapatkan gejala alergi seperti ingus seperti air, hidung gatal,
mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto polos
sinus paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan). Berdasarkan EPOS, faktor
yang dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary
impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan
endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal” 7-9

29
Penatalaksaaan Rhinosinusitis Kronik
Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga. 7,9

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung. Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain: 7
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatorik dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik
3. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan polip
nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.Terapi penunjang lainnya meliputi:
b. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
c. Antihistamin
d. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
e. Mukolitik
f. Antagonis leukotrien

30
g. Imunoterapi
h. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:1
1. Sinus maxillaris: 9,10
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus ethmoidalis:
a. Ethmoidektomi
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-ethmoidalisektomi
4. Sinus sphenoidalis:
a. Trans nasal
b. Trans sphenoidalisal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

Komplikasi

31
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. 1 Komplikasi rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
 Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
 Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maxillaris dan frontal)
 Komplikasi intrakranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Encephalitis
e) Trombosis sinus kavernosus.

PEMBAHASAN
Pasien berusia 40 tahun datang dengan keluhan nyeri diantara kedua mata sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan pasien ini belum spesifik jika pasien hanya mengeluhkan ini saja.
Sekitar dua minggu yang lalu, pasien mulai merasakan hidung berair dan kemudian
tersumbat. Berdasarkan informasi ini, terdapat keterkaitan antara hidung berair dan tersumbat
dengan nyeri diantara kedua bola mata. Keluhan hidung berair dan tersumbat dirasakan
sepanjang hari, tidak membaik dan memburuk seiring berjalannya waktu. Berdasarkan
informasi dari pasien, sekretnya bening dan kental. Hal ini merupakan salah satu pertanda
terjadi hipersekresi dari mukosa hidung, terlepas dari apapun penyebabnya. Berbagai
penyebab terjadinya hipersekresi pada hidung adalah terjadinya infeksi, rinitis alergi, rinitis
vasomotor, ataupun penyebab lainnya. Pada pasien ini, terdapat pajanan sebelumnya, yaitu
satu hari sebelum keluhan pasien muncul, suami pasien mengalami keluhan seperti bersin dan
hidung berair. Kemungkinan pasien tertular oleh suaminya, sehingga keluhan awal pasien
kemungkinan besar adalah rhinitis simpleks, dengan kemungkinan etiologi adalah virus.
Keluhan pasien terus berlanjut dan satu minggu kemudian, pasien mengeluhkan sakit
di daerah antara kedua bola mata. Dari perjalanan penyakit pasien, diawali dengan adanya

32
hidung berair dan tersumbat, disusul oleh keluhan nyeri pada lokasi tersebut, maka
kemungkinan besar, rhinitis simpleks pasien telah berkembang menjadi rhinosinusitis
ethmoidalis berdasarkan ciri nyerinya. Hal ini diperkuat dengan adanya keluhan pasien yang
merasakan makanan menjadi hambar dan tidak enak dan sulit membau. Hal ini didasarkan
pada prinsip fisiologis tubuh, dimana korteks gustatorik di otak, juga ikut berespon terhadap
rangsangan dari saraf olfaktorius. Pada keadaan rhinitis atau rhinosinusitis, pasien akan
kesulitan untuk membau, karena terjadi peningkatan hambatan senyawa pembau melalui
rongga hidung untuk sampai ke ujung saraf olfaktorius, yaitu mukus tebal dan banyak.
Pasien juga mengeluhkan batuk yang terasa bersamaan dengan lendir yang tertelan
dari hidung, yaitu 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku batuk terjadi
terutama pada siang dan sore hari. Batuk terasa berdahak tetapi sulit untuk dikeluarkan. Hal
ini erat kaitannya dengan keadaan rhinosinusitis yang kemungkinan dideritanya. Lendir yang
berasal dari sinus ethmoidalis akan jatuh ke arah nasofaring dan masuk ke orofaring,
kemudian menstimulasi rongga faring dan menyebabkan batuk.
Berdasarkan EPOS 2012, untuk mendiagnosis rhinosinusitis akut, maka kriteria yang
harus memenuhi adalah adanya obstruksi nasal atau nasal discharge berupa anterior atau
posterior nasal drip disertai dengan adanya nyeri spesifik pada daerah wajah dan atau
penurunan penciuman. Pasien ini, memiliki keempat kriteria tersebut. Keluhan pasien
dirasakan selama 7 hari, sehingga berdasarkan klasifikasi onset, maka pasien ini
dikelompokkan ke dalam kelompok akut karena dibawah 12 minggu.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan concha nasalis media dan inferior mengalami
edema dan hiperemis. Meatus nasi media mengalami edema, hiperemis dan sekret (+)
berwarna bening dan kental. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi kemungkinan
besar adalah virus, bukan bakteri dimana sekret yang dihasilkan akan bersifat mukopurulen.
Post nasal drip yang positif dan informasi sebelumnya yang didapatkan dari pemeriksaan
fisik mengarahkan diagnosis pasien ke arah rhinosinusitis ethmoidalis akut. Untuk dapat
mendiagnosis secara pasti rhinosinusitis, maka berdasarkan EPOS 2012, harus ditambahkan
dengan pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-scan. Pada pasien ini belum
dilakukan pemeriksaan CT-scan sehingga diagnosis rhinosinusitis ethmoidalis akut belum
dapat ditegakkan secara definitif.
Pasien sudah sempat mengonsumsi cefadroksil selama 3 hari, dan dilanjutkan dengan
Rhinos selama 2 hari. Pasien mengatakan bahwa tidak ada perbaikan gejala setelah
mengonsumsi cefadroksil. Hal ini menguatkan diagnosis dengan etiologi viral, karena
sebagian besar infeksi bakteri akan memperlihatkan hasil. Sekret yang bening dan kental juga

33
mengarahkan kepada penyebab viral. Pasien yang mengonsumsi Rhinos segera menunjukkan
perbaikan gejala. Hal ini sesuai dengan patofisiologi rhinitis dan rhinosinusitis akut, dimana
terapi yang paling baik untuk pasien sebenarnya adalah bersifat simtomatik saja, seperti
pemberian dekongestan, mukolitik, antihistamin, atau apabila perlu menggunakan
kortikosteroid oral atau intranasal. Rhinos yang dikonsumsi pasien mengandung
pseudoefedrin HCl 30 mg dan Loratadine 5 mg yang bekerja sebagai dekongestan dan
antihistamin yang akan mampu menurunkan efek inflamasi pada mukosa concha dan
kompleks osteomeatal. Dengan adanya efek tersebut, maka edema akan berkurang dan
drainase sinus akan membaik. Apabila drainase sinus membaik, maka keluhan pasien akan
berkurang hingga tidak berkeluhan sama sekali.
Kemungkinan alergi pada pasien ini sangat kecil. Hal ini didasarkan pada keluhan
pasien yang tidak mengarah ke alergi, seperti rasa gatal pada hidung, sekret cair, rasa gatal
dan merah pada mata serta mengeluarkan air mata. Pada pasien juga tidak didapatkan adanya
riwayat alergi ataupun asma pada keluarga. Pasien juga menyangkal adanya bersin dan
pajanan ke alergen sesaat sebelum timbul keluhan.
Kemungkinan facial pain syndrome dapat dipertimbangkan, mengingat facial pain
syndrome merupakan gangguan neuronal sensorik yang ditandai dengan rasa nyeri pada
daerah wajah. Hal ini didasarkan pada adanya gangguan pada respon saraf trigeminal. Pada
facial ain syndrome, tidak ada keluhan lain selain nyeri pada wajah. Pada pasien, didapatkan
keluhan lain, seperti hidung berair dan tersumbat, serta adanya hiposmia. Oleh karena itu,
kemungkinan diagnosis lebih ke arah adanya infeksi sinus ethmoidalis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
rhinosinusitis ethmoidalis akut adalah dengan menggunakan CT-scan untuk melihat apakah
terdapat opasitas pada rongga sinus ethmoidalis sesuai dengan klinis pasien. Apabila
didapatkan adanya hiperdens pada rongga sinus ethmoid, maka dapat ditegakkan diagnosis
rhinosinusitis ethmoidalis akut secara definitif.

34
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis atau yang saat ini lebih dikenal sebagai rhinosinusitis adalah suatu istilah
yang mengarah kepada inflamasi pada mukosa hidung dan sinus yang menyebabkan
munculnya berbagai keluhan, dimana salah satu dari keluhan kongesti hidung/ sumbatan
hidung atau rinorea (anterior atau posterior nasal drip) ditambah dengan tanda endoskopi atau
CT scan yang bermakna berupa perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal atau sinus.
Tanda endoskopi yang dimaksud adalah adanya polip, dan atau sekret mukopurulen di
meatus nasi media, dan atau adanya edema atau obstruksi mukosa pada meatus nasi media.
Rhinosinusitis bisa bersifat akut (ARS) yang berlangsung dibawah 12 minggu atau kronis
(CRS) yang berlangsung 12 minggu atau lebih. Rhinosinusitis bisa menyerang berbagai sinus
paranasal. Penyebab utamanya adalah infeksi virus yang kemudian diikuri infeksi bakteri.
Faktor risiko utamanya adalah karena infeksi saluran napas atas, kelainan anatomis, ataupun
adanya kebiasaan merokok. Tatalaksana utama pada ARS adalah penggunaan dekongestan,
yaitu untuk mengurangi edema pada kompleks osteomeatal dan melancarkan drainase sinus.
Apabila sudah terinfeksi oleh bakteri, maka terapi utamanya adalah dengan cara operasi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F, Washcke J. Sobotta, Head, Neck, and Neuroanatomy. 23rd ed. Munchen: EGC;
2010.
2. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan leher.
Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
3. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
4. Damayanti S, Endang M, Retno SW. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2017.h.96-100.
5. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
6. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2014
7. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp 2012. International Rhinology Society. 2012
Mar; 50(23).
8. Dykewicz MS, Hamilos DL. Rhinitis and Sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 2010 Feb;
103-15.
9. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM. Acute and
Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology, and Treatment. International Journal of
Pharmaceutical Science Invention. 2015 Feb; 4(2): 30-6.
10. Surda P, Shao A, Douglas RG. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). ENT and
Audiology News. 2016 Aug;25(3): 104-7

36

Anda mungkin juga menyukai