DEPARTEMEN ILMU
KESEHATAN
ANAK RSUD JEND AHMAD YANI
METRO FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
PERTUSIS
Disusun Oleh:
Preseptor:
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat ini dalam rangka
Kami menyadari bahwa penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang
1. dr. Diah Astika Rini, Sp. A selaku Ka. SMF sekaligus pembimbing dalam
stase Ilmu Kesehatan Anak yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
2. dr. Firdinan, Sp. A selaku pembimbing dalam stase Ilmu Kesehatan Anak
3. Segenap staf SMF Anak RSUD Ahmad Yani yang senantiasa memberikan
Oleh karena itu kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan. Semoga segala
bantuan berupa nasehat, motivasi dan masukan semua pihak akan bermanfaat
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
2.1 Definisi..................................................................................................2
2.2 Etiologi..................................................................................................2
2.3 Batasan................................................................................................. 3
2.4 Klasifikasi............................................................................................ 4
2.5 Patofisiologi......................................................................................... 4
2.6 Diagnosis..............................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan
yang menurun. Disebut juga dengan whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh
suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada
yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk
sering disertai bunyi yang khas.1
Nama pertussis lebih disukai daripada whooping cough karena tidak semua pasien
pertusis disertai bunyi yang khas. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578
di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan Gengou.1
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini menurun.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis.
Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis
atau batuk kuat pada tahun 1670. Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough)
karena kebanyakan individu yang terinfeksi berteriak saat batuk. Pertusis merupakan
penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang, namun rentan terjadi
pada anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.4
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen tunggal
dengan kasus yang terbanyak di dunia. Frekuensi pembawa atau carrier penyakit ini
(mempunyai gen terganggu tapi pemyakitnya tidak nampak) di masyarakat Indonesia
cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita talasemia akan lahir dari suami istri yang
keduanya carrier talasemia, sehingga timbul ide pre-marital screening (pemeriksaan
sebelum nikah) untuk mendeteksi talasemia. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih
2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Biasanya lebih dari 30%
penderita mengandung kadar HbF yang tinggi dan 45% juga mempunyai HbE. Kadang-
kadang ditemukan hemoglobin patologik. 15
2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-
50.000/UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis,
oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B.pertussis
dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Tes serologi
berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM,
IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT
menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
Pemeriksaan lain yaitu foto rontgen thorax yang dapat memperlihatkan infiltrate
perihiler, atelectasis, dan empisema.
2.6.1 Tuberkulosis
- Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- Uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥5 mm)
- Berat badan menurun atau gagal tumbuh
- Demam ≥2 minggu tanpa sebab yang jelas
- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik
- Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
- Tidak ada nafsu makan
2.6.2 Asma
- Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk
pilek
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Respons baik terhadap bronkodilator
2.6.3 Benda Asing
- Riwayat tiba-tiba tersedak
- Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
- Wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat fokal
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Pemantauan
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar
dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik,
atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan
perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan
apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi
2.9 Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan angaka kejadian pertusis dengan adanya
pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1926-1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika
Serikat DAN Inggris terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan oleh pertusis, dan
setelah era imunisasi berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan oleh pertusis (1986-
1988). Melalui program Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan
imunisasi pertusis dengan vaksin DPT . Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif
dan aktif.
2.9.1 Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga
akhir-akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan sebagai
pencegahan.
2.9.2 Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan
vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan
tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 4 minggu.
Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat
dianjurkan dan dapat dimulai 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat
tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak
berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis
tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian
infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber
infeksi B.pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalent (0.25 ml, IM)
telah dipakai untuk mengontrol epidemic diantara orang dewasa yang terpapar. Salah
satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan
setiap 4-6 jam selama 48-72 jam. Anak dengan kelainan neurologic yang mempunyai
riwayat kejang, 2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan mempunyai
kesempatan 4x lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga.
Maka pada keadaan anak yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam, atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis>3 jam, high pitch cry dalam 2
hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan >40.5oC dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis
pada bayi baru lahir dari Ibu pertusis,
Kontak erat pada anak usia <7tahun ysng sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberikan booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah
diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin
50mg/kgBB/24 jam dalam 2 -4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia >7tahun
juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi
dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis
tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari setelah
kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya eritromisin
diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritomisin
selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalent dan eritromisin diberikan pada waktu
terjadi endemi.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang
terinfeksi berteriak saat batuk. Insiden pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5
tahun. Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Penyebab pertusis
adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis , adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat
ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordetella
pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernapasan. Gejala klinis yang khas pada pertusis yaitu batuk paroksismal yg diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apnu, bisa dengan atau tanpa demam, belum imunisasi DPT atau imunisasi
DPT tidak lengkap, perdarahan subkonjungtiva, klinis bisa baik diantara episode batuk. Curiga
pertusis jika anak batuk lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi local. Kasus
ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan panjang.
Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit. Demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang,
dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama, atau kebiruan setelah batuk. Pencegahan penyebaran dan
penularan dilakukan dengan imunisasi atau vaksinasi. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan
setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya belum lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif.
2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
2. Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
KANISIUS
3. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis.
Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
5. James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422- 1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
6. mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online]. Tersedia :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/whoopingcough/basics/prevention/con-
20023295
7. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam: Buku Ajar
Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.
9. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI
10. Republika. 2003.Pertusis. Terdapat pada http:// www.republika.co.id
11. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html (14 November 2015) cdc.gov. 2015.
Prevention of Pertussis. [Online]. Tersedia :
http://www.cdc.gov/pertussis/about/prevention/index.html.