Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

DEPARTEMEN ILMU
KESEHATAN
ANAK RSUD JEND AHMAD YANI
METRO FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI

PERTUSIS

Disusun Oleh:

Aland Maulana 21360152


Khairunisa Firdani 21360159
Retno Oktavia 21360189

Preseptor:

dr. Firdinan, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD


AHMAD YANI METRO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat ini dalam rangka

memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu

Kesehatan Anak berjudul “PERTUSIS”.

Kami menyadari bahwa penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung. Oleh karena itu, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang

sebesar – besarnya dan penghargaan kepada:

1. dr. Diah Astika Rini, Sp. A selaku Ka. SMF sekaligus pembimbing dalam

stase Ilmu Kesehatan Anak yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan

arahan selama proses pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.

2. dr. Firdinan, Sp. A selaku pembimbing dalam stase Ilmu Kesehatan Anak

yang telah senantiasa membimbing dan memotivasi kami selama proses

pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.

3. Segenap staf SMF Anak RSUD Ahmad Yani yang senantiasa memberikan

masukan dan pengalaman berharga dalam proses pembelajaran di RSUD

Ahmad Yani Metro.

Kami menyadari bahwa di dalam referat ini masih terdapat kekurangan.

Oleh karena itu kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan. Semoga segala

bantuan berupa nasehat, motivasi dan masukan semua pihak akan bermanfaat

untuk semua pihak.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

2.1 Definisi..................................................................................................2
2.2 Etiologi..................................................................................................2
2.3 Batasan................................................................................................. 3
2.4 Klasifikasi............................................................................................ 4

2.5 Patofisiologi......................................................................................... 4

2.6 Diagnosis..............................................................................................5

2.7 Pemeriksaan Penunjang........................................................................5

2.8 Tatalaksan umum..................................................................................6

2.9 Pengobatan dengan kortikosteroid....................................................... 8

2.10 Tatalaksana Komplikasi sindrom nefrotik....................................... 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan
yang menurun. Disebut juga dengan whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh
suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada
yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk
sering disertai bunyi yang khas.1
Nama pertussis lebih disukai daripada whooping cough karena tidak semua pasien
pertusis disertai bunyi yang khas. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578
di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan Gengou.1
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini menurun.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis.
Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis
atau batuk kuat pada tahun 1670. Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough)
karena kebanyakan individu yang terinfeksi berteriak saat batuk. Pertusis merupakan
penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang, namun rentan terjadi
pada anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.4

2.2 Etiologi

Gambar 1. Bordetella pertussis4


Genus Bordetela mempunyai 44 spesies yaitu B.pertusis, B.parapertusis,
B.bronkoseptika, dan B.avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan perlu
dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan
adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5). Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negative,
kecil, ovoid, ukuran panjang 0.5-1 µm dan diameter 0.2-0.3µm, tidak bergerak, serta tidak
berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis, diperlukan suatu media
pembenihan yang disebut dengan bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah
penisilin G 0,5µg/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.4
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam
biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, atau IV). Strain
fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. B.pertussis
dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50oC selama setengah jam, tetapi bertahan pada
suhu rendah (0-10oC).2.4

2.3 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen tunggal
dengan kasus yang terbanyak di dunia. Frekuensi pembawa atau carrier penyakit ini
(mempunyai gen terganggu tapi pemyakitnya tidak nampak) di masyarakat Indonesia
cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita talasemia akan lahir dari suami istri yang
keduanya carrier talasemia, sehingga timbul ide pre-marital screening (pemeriksaan
sebelum nikah) untuk mendeteksi talasemia. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih
2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Biasanya lebih dari 30%
penderita mengandung kadar HbF yang tinggi dan 45% juga mempunyai HbE. Kadang-
kadang ditemukan hemoglobin patologik. 15

2.4 Manifestasi Klinis


Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan
adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti
dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah setelah batuk.
Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin menjadi biru atau
berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih
besar dan orang dewasa mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan serangan
batuk yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.7
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut
paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari
etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.7
Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu, batuk paroksismal (100%), whoops (60-
70%), emesis (66-80%), dyspnea (70-80%), dan kejang 20-25%). Pada anak yang lebih besar
manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak
>2tahun. Suhu jarang >38.40C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan
B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit
lebih pendek.8
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk
paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami
whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau
penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3
minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4
bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan
terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan
bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis
sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop,
atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada
awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan
profilaksis.8
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
Gambar 5. Manifestasi Klinis dan Progresivitas Pertusis8

2.4.1 Stadium Kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common
cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius,
pada tahap ini kuman mudah diisolasi.8

2.4.2 Stadium Paroksismal/Stadium Spasmodic


Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk
kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan
wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan
distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva
bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak
disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah
dibangkitkan dengan stress emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas
fisik.7,8

2.4.3 Stadium Konvalesens ( 1-2 minggu)


Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan
dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.8

2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-
50.000/UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis,
oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B.pertussis
dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Tes serologi
berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM,
IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT
menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
Pemeriksaan lain yaitu foto rontgen thorax yang dapat memperlihatkan infiltrate
perihiler, atelectasis, dan empisema.

2.6 Diagnosa Banding

2.6.1 Tuberkulosis
- Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- Uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥5 mm)
- Berat badan menurun atau gagal tumbuh
- Demam ≥2 minggu tanpa sebab yang jelas
- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik
- Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
- Tidak ada nafsu makan

2.6.2 Asma
- Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk
pilek
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Respons baik terhadap bronkodilator
2.6.3 Benda Asing
- Riwayat tiba-tiba tersedak
- Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
- Wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat fokal

2.7 Penatalaksanaan

Gambar 6. Pengobatan Pertusis


Pemberian antibiotic tidak memperpendek stadium paroksismal. Eritromisin
(50mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100mg/kgBB/hari) dapat mengeliminasi organisme dari
nasofaring dalam 3-4 hari.
Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi, dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada distress pernafasan yang
akut dan kronik. Perlu penghisapan lendir terutama bayi dengan pneumonia dan distress
pernafasan. Betametasol dan salbutamol diduga bekerja untuk mencegah obstruksi bronkus,
mengurangi batuk paroksismal dan mengurangi lamanya whoop. Berdasarkan penelitian
Krantz setelah pemberian salbutamol, efeknya tidak bermakna disbanding dengan placebo.
Eritromisin dapat mengeliminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral
sehingga memperpendek periode penularan. Imunoglobulin pertusis diberikan pada anak di
bawah usia 2 tahun (1.25 ml/24 jam dalam 3-5 dosis), penelitian menunjukkan tidak
ditemukan adanya kegunaannya dan hal ini tidak direkomendasikan.
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan
perawatan panjang. Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit. Demikian juga pada anak dengan
pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama, atau kebiruan setelah batuk.
2.7.1 Antibiotik
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari
atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit
tetapi akan menurunkan periode infeksius.
2.7.2 Oksigen
- Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat.
- Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
- Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak
ada lagi.
- Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada
pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua
sambungan aman.

2.7.3 Tatalaksana Jalan Napas


- Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
- Bila apneu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual
atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen. Perawatan penunjang :
- Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT.
- Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
- Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
- Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,
berikan parasetamol.
- Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi
dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

2.8 Pemantauan

Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar
dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik,
atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan
perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan
apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi
2.9 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan angaka kejadian pertusis dengan adanya
pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1926-1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika
Serikat DAN Inggris terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan oleh pertusis, dan
setelah era imunisasi berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan oleh pertusis (1986-
1988). Melalui program Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan
imunisasi pertusis dengan vaksin DPT . Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif
dan aktif.
2.9.1 Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga
akhir-akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan sebagai
pencegahan.
2.9.2 Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan
vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan
tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 4 minggu.
Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat
dianjurkan dan dapat dimulai 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat
tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak
berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis
tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian
infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber
infeksi B.pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalent (0.25 ml, IM)
telah dipakai untuk mengontrol epidemic diantara orang dewasa yang terpapar. Salah
satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan
setiap 4-6 jam selama 48-72 jam. Anak dengan kelainan neurologic yang mempunyai
riwayat kejang, 2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan mempunyai
kesempatan 4x lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga.
Maka pada keadaan anak yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam, atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis>3 jam, high pitch cry dalam 2
hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan >40.5oC dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis
pada bayi baru lahir dari Ibu pertusis,
Kontak erat pada anak usia <7tahun ysng sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberikan booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah
diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin
50mg/kgBB/24 jam dalam 2 -4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia >7tahun
juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi
dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis
tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari setelah
kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya eritromisin
diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritomisin
selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalent dan eritromisin diberikan pada waktu
terjadi endemi.

BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Pertusis dikenal sebagai batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang
terinfeksi berteriak saat batuk. Insiden pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5
tahun. Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Penyebab pertusis
adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis , adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat
ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordetella
pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernapasan. Gejala klinis yang khas pada pertusis yaitu batuk paroksismal yg diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apnu, bisa dengan atau tanpa demam, belum imunisasi DPT atau imunisasi
DPT tidak lengkap, perdarahan subkonjungtiva, klinis bisa baik diantara episode batuk. Curiga
pertusis jika anak batuk lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi local. Kasus
ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan panjang.
Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit. Demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang,
dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama, atau kebiruan setelah batuk. Pencegahan penyebaran dan
penularan dilakukan dengan imunisasi atau vaksinasi. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan
setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya belum lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif.
2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
2. Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
KANISIUS
3. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis.
Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
5. James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422- 1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
6. mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online]. Tersedia :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/whoopingcough/basics/prevention/con-
20023295
7. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam: Buku Ajar
Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.
9. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI
10. Republika. 2003.Pertusis. Terdapat pada http:// www.republika.co.id
11. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html (14 November 2015) cdc.gov. 2015.
Prevention of Pertussis. [Online]. Tersedia :
http://www.cdc.gov/pertussis/about/prevention/index.html.

Anda mungkin juga menyukai