Anda di halaman 1dari 33

CASE REPORT THALASSEMIA

OLEH :

Anggi Pebrianti 21360053


Muhammad Rikza 21360099
Windy Agustina Dewi 21360231

PRECEPTOR :
dr. Diah Astika Rini, Sp. A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD JENDERAL AHMAD YANI


METRO FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang disusun untuk melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak pada RSUD Jendral Ahmad Yani Metro. Penyelesaian laporan
kasus ini banyak mendapat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada
dr. Diah Astika Rini, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu,
petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah
case report ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari
kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis.
Maka sangat diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Metro, juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL................................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1. Latar belakang.........................................................................................1

BAB II STATUS PASIEN.................................................................................2

2.1 Identitas Pasien......................................................................................2


2.2 Riwayat Penyakit...................................................................................3
2.3 Riwayat kehamilan Prenatal & postnatal...............................................4
2.4 Pemeriksaan Fisik..................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................9
2.6 Follow-up Pasien...................................................................................10
2.7 Diagnosa Banding..................................................................................11
2.8 Diagnosa Kerja.......................................................................................11
2.9 Tatalaksana............................................................................................11
2.10 Prognosis................................................................................................11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................13


3.1. Definisi Thalasemia ..............................................................................13
3.2. Epidemiologi..........................................................................................14
3.3. Etiologi...................................................................................................15
3.4. Manifestasi Klinis ..................................................................................15
3.5. Patofisiologi ...........................................................................................16
3.6. Klasifikasi ..............................................................................................17
3.7. Diagnosis Thalasemia ............................................................................19
3.8. Tatalaksana ............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya


rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi
terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bervariasi mulai dari
asimtomatik hingga gejala yang berat. Thalassemia dikenal juga dengan anemia
mediterania, namun istilah tersebut dinilai kurang tepat karena penyakit ini dapat
ditemukan dimana saja di dunia khususnya di beberapa wilayah yang dikenal
sebagai sabuk thalassemia. (kemenkes. 2018)
Thalassemia secara umum dapat dibagi menjadi thalassemia alfa dan
beta. Pada thalassemia alfa, gen untuk terbentuknya rantai globin alfa adalah yang
terpengaruhi, dan kebalikannya untuk thalassemia beta.( Aster JC, Bunn HF.2017)
Keluhan utama yang dapat dialami pada pasien thalassemia tergantung
dari tingkat keparahan penyakit. Keluhan tersering adalah anemia, kuning,
hepatosplenomegali serta deformitas tulang. Diagnosis utama thalassemia dapat
ditegakkan oleh pemeriksaan genetik. ( Herman M, Chaudhry S. 2018)
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000- 500.000
bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga
100.000 anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal
dari negara berkembang. (kemenkes. 2018)
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia,
yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi.
Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan
bahwa frekuensi gen thalassemia beta berkisar 3-10%.(kemenkes. 2018)
Data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
FKUIRSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan
rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat
hingga 75-100 orang/tahun, sedangkan usia tertua pasien hingga saat ini adalah 43
tahun. Beberapa pasien sudah berkeluarga dan dapat memiliki keturunan, bahkan

1
diantaranya sudah lulus menjadi sarjana. Penelitian oleh Wahidiyat I5 pada tahun
1979 melaporkan usia angka harapan hidup pasien thalassemia rerata hanya dapat
mencapai 8- 10 tahun. (kemenkes. 2018)
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat
seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun
masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Di seluruh dunia
tata laksana thalassemia bersifat simptomatik berupa transfusi darah seumur
hidup. Kebutuhan 1 orang anak thalassemia mayor dengan berat badan 20 kg
untuk transfusi darah dan kelasi besi adekuat akan membutuhkan biaya sekitar
Rp.300 juta per tahun. Jumlah ini belum termasuk biaya pemeriksaan
laboratorium dan pemantauan, serta tata laksana komplikasi yang muncul.
(kemenkes. 2018)
program pengelolaan penyakit thalassemia selain memberikan
pengobatan yang optimal pada pasien thalassemia mayor sehingga tumbuh
kembang menjadi baik, juga harus ditujukan kepada upaya pencegahan lahirnya
pasien thalassemia mayor, melalui skrining thalassemia premarital terutama pada
pasangan usia subur yang dapat dilanjutkan dengan diagnosis pranatal.
(kemenkes. 2018)

2
BAB II

STATUS PASIEN

Tanggal masuk RSUD Ahmad Yani : 09 Juni 2022


Pukul : 11.35 WIB
No RM : 226384

2.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : An. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 08 Juni 2010
Umur : 12 tahun
Anak- ke : 3 dari 3 saudara
Hubungan dengan orang tua : Anak kandung
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Dusun IV Bandar Agung 009/004, Kel.
Bandar Agung, Kec. Bandar Agung.
Nama Ayah : Tn. A
Umur : 54 Tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
Nama Ibu : Ny. S
Umur : 43 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP

3
2.2 Riwayat Penyakit
2.2.1. Riwayat Penyakit sekarang
Keluhan Utama : Lemas sejak 1 bulan SMRS, Memberat
sejak 2 minggu terakhir.

Keluhan Tambahan : Pusing dan nampak pucat


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada tanggal 09-06-22 pukul 11:35 wib, os diantar oleh
ibunya datang ke IGD RSUD Jend. Ahmad Yani dengan
keluhan lemas, pusing dan nampak pucat sejak sehari yang lalu.
Dari autoamnesa didapatkan bahwa satu hari sebelum
masuk Rumah Sakit, Os merasa lemas, sejak 1 hari yang lalu,
os mengeluh bila datang lemasnya tidak bisa beraktifitas seperti
biasa, semakin hari lemasnya bertambah, os juga mengatakan
lemasnya tidak hilang dengan istirahat dan makan,
Selain lemas os juga mengeluh Pucat berbarengan
dengan muncul lemasnya. Setiap bulan os mengaku akan
terlihat pucat, dan tidak hilang dengan istirahat. Selain itu mual
muntah disangkal, batuk pilek disangkal, BAB dan BAK
normal dan pasien masih mau makan namun tidak banyak.

2.2.2. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien didiagnosa mengalami thalasemia sejak tahun 2015


pada usia 5 tahun. Awalnya pasien merasakan lemas, pucat
seluruh badan dan nafsu makan berkurang tapi tidak
mengganggu aktivitas. Setelah 2 minggu sejak gejala muncul
pasien mengeluhkan keluhan semakin memberat dan
mengganggu aktivitas, lemas tidak hilang dengan istirahat.
Kemudian selama 1 bulan sejak gejala timbul pasien gejala
demam naik turun dan hanya meminum obat pereda demam,
os pun hanya dirawat di klinik setempat, tetapi keluhan tidak
juga membaik malah pasien terlihat lebih pucat. Saran dari

4
bidan setempat untuk membawa pasien ke dr. Firman yang
berada di metro, dan setelah itu pasien baru dinyatakan
thalassemia.

2.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat penyakit serupa :

 Ayah dan ibu pasien menyangkal bahwa leluhur (keluarga


dari pihak ayah maupun ibu) ada yang memiliki keluhan
serupa.
 Kakak perempuan pasien mengalami penyakit serupa dan
terdiagnosa sejak umur 1 tahun dengan keluhan yang
sama.
2.3 Riwayat Kehamilan Prenatal dan Postnatal

2.3.1. Pemeliharaan Kehamilan Ibu dan Prenatal

Petugas Pemeriksa : Bidan desa

Frekuensi : Trimester I = 1x
Trimester II = 1x
Trimester III = 1x
Keluhan Selama Kehamilan : Tidak ada keluhan selama
kehamilan

Obat Selama Kehamilan : Vitamin dari bidan


Kesan : Selama kehamilan, ibu tidak
memiliki riwayat penyakit apapun dan
rutin melakukan kontrol kehamilan
2.3.2. Riwayat Persalinan

Fasilitas Kesehatan : Diklinik oleh bidan (Pervaginam)


Cukup Bulan atau Tidak : cukup bulan
Berat Badan : 2,2 kg
Panjang Badan : ibu nya tidak mengingat

5
Cacat : Tidak ada
Anak-ke : 3 dari 3 saudara
Kesan : Persalinan pervaginam, cukup bulan, dan
bayi lahir normal.

2.3.3. Riwayat Imunisasi

Umur (Bulan)

Lahir 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Imunisasi

Hepatitis B - - 1 2 3 - - - - -

Polio - 1 2 3 4 - - - - -

BCG 1 - - - - - - - - -

DPT - - 1 2 3 - - - - -

Campak - - - - - - - - - 1

Kesan : Riwayat imunisasi lengkap

2.3.4. Riwayat Pemberian Makan

0-12 Bulan : ASI

12-48 Bulan : ASI+MPASI(makanan lunak)

>48 Bulan : MPASI(makanan lunak dan kasar)

Kesan : Pemberian makanan sesuai usia

2.3.5. Riwayat perkembangan


Pertumbuhan gigi I : ± 11 bulan
Tengkurap : ± 4 bulan
Duduk : ± 7 bulan
Berjalan : ± 9 bulan
Bicara : ± 28 bulan
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia

6
2.4. Pemeriksaan Fisik
2.4.1. Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4 M6 V5) GCS 15
Suhu : 36,20C
Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
Frekuensi Nadi : 105 x/ menit
Saturasi Oksigen : 97%
Berat Badan : 27 Kg
Tinggi Badan : 130 cm
Status Gizi : BB/U= 62 % (BB kurang)
TB/U = 86 % (TB kurang)
BB/TB= 90 % (gizi kurang)
Kesan : Berat badan pasien kurang, tinggi
badan kurang dan status gizi kurang.

2.4.2. Status Generalis


1. Kulit
Pucat : (+)
Sianosis : Tidak Sianosis
Ikterus : (+)
Oedem : Tidak edem
Turgor : Baik, segera kembali
Pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran KGB
Kesan : Tampak pucat dan ikterus

1. Kepala

Wajah : wajah tidak simetris,, normocephal, pucat (+), odem (-),

7
sianosis (-), faciescooley (+)

Rambut : berwarna pirang, kering, lesi (-).

Mata : Simteris bilateral, masa (-/-), cekung (-/-), secret (-/-),


sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (+/+)

Telinga : DBN

Hidung : simteris, DBN

Mulut : Sianosis (-), pucat (+), bibir kering (+), bibir sumbing (-)

Kesan : pasien tampak sakit sedang

2. Leher
Bentuk : Simetris
Trakea : Berada di tengah
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Kesan : Dalam batas normal

3. Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simteris, tidak terlihat ictus
cordis, jejas (-)
Palpasi : pergerakan dada simetris, fremitus simetris, nyeri tekan
(-), krepitasi (-), ictus cordis teraba
Perkusi : sonor(+/+), batas jantung hepar tidak dilakukan
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-), bunyi
jantung (+/+), murmur (-), galop (-)

Kesan : paru jantung dalam batas normal


4. Abdomen
Inspeksi : tampak ada pembesaran
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : splenogali (+), shufner (3),
Perkusi : pekak hipokandria dekstra sinistra, timpani pada regio

8
abdomen lainnya
Kesan: terdapat splenomegaly, schuffner (3)
5. Genitalia Eksterna
Jenis Kelamin : Perempuan
Lubang Anus : Ada
Kesan : Dalam batas normal
6. Ekstremitas
Jari tangan : tidak ada cacat, tidak sianosis, tidak ada odem,
akral dingin, crt < 2 detik
Jari kaki : tidak ada cacat, tidak sianosis, tidak ada odem,
akral dingin, crt < 2 detik
Pergerakan : Aktif
Kesan : Akral dingin

2.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin dengan nilai rujukan


berdasarkan Clinical Laboratory Diagnostics 2020, tertanggal 09 Juni 2022,
didapatkan :

9
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

Leukosit 6,21 103/µ L 4,2-12,2 Menurun

Eritrosit 2,90 103/µL 4,2-5,3 Menurun

Hemoglobin 6,1 g/dL 12,1-17 Menurun


Hematokrit 19,9 % 36-48 Menurun
MCV 68,7 fL 78-93 Menurun
MCH 20,9 Pg 78-93 Menurun
MCHC 30,4 g/dL 32-35 Menurun
Trombosit 290 103/µ L 160-332 Normal

MPV 9,30 fl 7,3-9 Tinggi

Kesan : Leukosit, Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit, MCV, MCH,


MCHC, dan Trombosit, ,, menurun.

10
2.6. Follow–up pasien

A
S ( Keluhan ) O ( Status) P (Penatalaksanaan)
(Assesment )

KU: sakit sedang


KS : CM
09/06/2022 HR : 105 x/menit - IVFD NaCl 10
pucat (+), lemas SpO2 : 97%
Thalasemia tpm
(+), pusing (+), RR : 20 x/menit
pro transfusi - Transfusi 1
T : 36,2 C
o

BB : 27 kg PRC 250cc

TB :130cm dalam 6 jam


- Transfusi 2
PRC 250cc
dalam 6 jam

- IVFD NaCl 10
KU: sakit sedang tpm
KS : CM - Transfusi 3
10/06/2022 HR : 97 x/menit PRC 250cc
pucat (+) SpO2 : 97% dalam 6 jam
RR : 22 x/menit Thalasemia - Deferasiroks
T : 36,1 C
o
pro transfusi tablet 500mg 2x1
BB : 27 kg - Vitamin E 200
TB :130cm IU 2x1
- Asam folat 1 mg
2x1
- Vitamin C 100 mg
1x1

11
Kesan : eritrosit mikrositikhipokrom, aniso poikilositosis sedang, fregmentosit +2,
sel target +2, sferosit +2, polikromasia +3

12
2.7. Diagnosa Banding

 Thalasemia Pro Transfusi

 Anemia Defisiensi Besi

 Leukemia

2.8. Diagnosis Kerja

 Thalasemia Pro Transfusi

2.9. Tatalaksana

Pada saat pasien dirawat di ruang Merpati II RSUD Jend. Ahmad Yani
Metro, pasien diberikan terapi sebagai berikut :
1. IVFD NaCl 10 tpm
2. Transfusi PRC 3 x 250cc,

Setelah pasien dirawat di ruang Merpati II RSUD Jend. Ahmad Yani


Metro selama 2 hari, pasien diberikan terapi pulang sebagai berikut :
1. Deferasiroks tablet 500 mg 2x1
2. Vitamin E 200 IU 2x1
3. Asam folat 1 mg 2x1
4. Vitamin C 100 mg 1x1

2.10. Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia ad malam

Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

13
RESUME

Pasien wanita berusia 12 tahun datang ke RSUD Jend. Ahmad Yani Metro
diantar oleh keluarganya, karena orang tua pasien merasa anaknya lemas dan
pusing. Menurut ibu pasien, pasien di diagnosa mengidap thalassemia sejak pasien
berusia 5 tahun, dan pasien rutin melakukan transfusi darah setiap 1-2 bulan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, suhu 36,2ºC, frekuensi nafas 20x/menit, frekuensi nadi
105x/menit, saturasi oksigen 97%, berat badan 27 kg, tinggi badan 130 cm.
Pada status generalis didapatkan kulit pasien pucat, wajah tampak facies
cooley, sklera tampak ikterik, konjungtiva tampak anemis, bibir tampak pucat dan
kering. Leher, paru dan jantung dalam batas normal, sementara abdomen terdapat
pembesaran splenomegali (schuffner 4). Pemeriksaan ektremitas didapatkan akral
dinging.
Pasien dirawat inap di ruang Merpati II RSUD Jend. Ahmad Yani Metro
selama dua hari, sejak 09 Juni 2022 hingga 10 Juni 2022, dengan diagnosa
kerja Thalasemia Pro Transfusi.

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Thalasemia

Talasemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang disebabkan oleh


gangguan sintesis hemoglobin di dalam sel darah merah. Penyakit ini
ditandai dengan menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai α, β
dan atau rantai globin lain yang membentuk struktur normal molekul
hemoglobin utama pada orang dewasa. Talasemia merupakan salah satu
penyakit yang mengenai sistem hematologi dan seringkali dibahas
bersamaan dengan rumpun Hemoglobinopati. Hemoglobinopati sendiri
adalah kelainan struktur hemoglobin yang dapat mempengaruhi fungsi dan
kelangsungan hidup sel darah merah. Secara ringkas dapat disampaikan
bahwa Talasemia terkait dengan kelainan jumlah penyusun hemoglobin,
sedangkan hemoglobinopati adalah kondisi yang terkait dengan perubahan
struktur hemoglobin. Dua abnormalitas ini menyebabkan kondisi klinis
anemia kronis dengan semua gejala dan tanda klinis, serta komplikasi yang
menyertainya.( Rujito L. 2019)

3.2 Epidemiologi
Talasemia menjadi penyakit hemolitik herediter dengan prevalensi
dan insidensi paling tinggi di seluruh dunia. Penyakit ini menjadi salah satu
masalah kesehatan yang sangat serius mengingat ratusan ribu anak
meninggal setiap tahunnya. Prevalensi Talasemia terbanyak dijumpai di
daerah-daerah yang disebut sebagai sabuk Talasemia yaitu Mediterania,
Timur Tengah, Asia Selatan, Semenanjung Cina, Asia Tenggara, serta
Kepulauan Pasifik. Saat ini insidensi Talasemia menyebar secara cepat ke
berbagai daratan termasuk Amerika, Eropa, dan Australia. Hal ini akibat
migrasi penduduk yang semakin meluas dan perkawinan antara kelompok-
kelompok etnis yang berbeda. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 7 % dari populasi global (80 sampai 90 juta orang)
adalah pembawa Talasemia β, dengan sebagian besar terdapat di negara

15
berkembang. Data di Indonesia menyebutkan bahwa penyakit genetik ini
paling sering ditemukan diantara penyakit genetik lainnya, dengan
prevalensi pembawa gen Talasemia tersebar antara 3-10 % di berbagai
daerah.( Rujito L. 2019)
Frekuensi pembawa sifat talasemia di Indonesia yang dilaporkan
adalah sebagai berikut: Medan dengan pembawa sifat Talasemia β sebesar
4,07 %, Yogyakarta sebesar 6 %, Banyumas 8 %, Ambon sebesar 6,5 %,
Jakarta sebesar 7% , Ujung Pandang sebesar 8 %, Banjarmasin sebesar 3 %,
Maumere dan Bangka sebesar 6 %, dan beberapa daerah memiliki
prevalensi hingga 10 %, dengan rata-rata frekuensi secara keseluruhan
adalah 3-10 %. Dari gambaran tersebut mengindikasikan bahwa tiap-tiap
daerah memiliki jumlah pembawa sifat yang berbeda-beda. (Rujito L. 2019)
Data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
FKUIRSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan
rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus
meningkat hingga 75-100 orang/tahun, sedangkan usia tertua pasien hingga
saat ini adalah 43 tahun. Beberapa pasien sudah berkeluarga dan dapat
memiliki keturunan, bahkan diantaranya sudah lulus menjadi sarjana.
Penelitian oleh Wahidiyat I5 pada tahun 1979 melaporkan usia angka
harapan hidup pasien thalassemia rerata hanya dapat mencapai 8- 10 tahun.
(kemenkes. 2018)

3.3 Etiologi
Etiologi thalassemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara
autosomal resesif.
Etiologi terjadinya thalassemia alfa dan beta adalah genetik.
Penyakit ini diturunkan dari orang tua secara autosomal resesif. Suatu
kondisi autosomal resesif menyatakan bahwa diperlukan kedua kopi gen
dari orang tua untuk munculnya penyakit yang diderit.( Aster JC, Bunn
HF.2017)
Walau demikian, thalassemia juga dapat dilihat sebagai tidak
seluruhnya diturunkan secara autosomal resesif oleh karena kondisi pasien

16
yang dapat memiliki kelainan walaupun memiliki gen heterozygous. Pada
thalassemia alfa, terdapat 4 kopi gen rantai globin alfa dan keluhan yang
begitu bermakna juga terjadi pada kasus penyakit HbH. Pada kasus
thalassemia beta intermedia, spektrum penyakit yang dapat terjadi juga
sangat bervariatif dengan beragam genotip dan kelainan mutasi yang
berbeda-beda.( Herman M, Chaudhry S.2018)

3.4 Manifestasi Klinis

  Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala- gejala


seperti: badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah,
denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan 
terhambat  serta  permukaan  perut  yang  membuncit dengan pembesaran
hati dan limpa. (kemenkes. 2018)

Pasien  Thalassemia  mayor  umumnya  menunjukkan  gejala-


gejala fisik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut
membuncit  akibat  hepatosplenomegali  dengan  wajah  yang  khas,
frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan
maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang yang terlalu 
aktif  bekerja  untuk  menghasilkan  sel  darah  merah,  pada Thalassemia
bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang
kepala dan wajah, selain itu anak akan mengalami pertumbuhan yang
terhambat. Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang,  maka 
pasien  akan mengalami  kelebihan  zat besi  yang kemudian akan
tertimbun di setiap organ, terutama otot jantung, hati, kelenjar pankreas,
dan kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang dikemudian hari akan
menimbulkan komplikasi. (kemenkes. 2018)

Perubahan tulang yang paling sering terlihat terjadi pada tulang


tengkorak  dan  tulang  wajah.  Kepala  pasien  Thalassemia  mayor
menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal dan pelebaran diploe
(spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih besar dari
orang normal. (kemenkes. 2018)

17
3.5 Patofisiologi
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau
lebih, sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang
terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit
alfathalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan
menyebabkan penyakit beta-thalassemia. (Permono, H. Dkk. 2010)
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan
karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang
ditempati lokus gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog
menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada
kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).
(Berhman, RE; et al . 2000)
Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada
sintesis sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non
alpha, khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb. (Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005.)
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan
oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini,
seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen
yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.( A.V.
Hoffbrand and J.E. 1996)
1. Thalasemia beta
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya
biosintesis dari unit  globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot,
sintesis β globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada
thalasemia β homozigot, sintesis β globin dapat mencapai nol. Karena
adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total menurun
dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan
thalasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon
kompensasi, maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga
hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun

18
sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi. .
(Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005.)
Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami
perubahan dan tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-
seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan
adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan
retikulosit. Rantai α bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat
beragregasi menjadi suatu inklusi protein (haeinz bodys), menyebabkan
kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi dari sel darah
merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah
matur yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang
beredar menjadi kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan
mengandung komplemen hemoglobin yang menurun dan memberikan
gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom yaitu
hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.( Markum. 1991)
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh
limpa, hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik
dari penyakit ini. Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang
lebih tinggi mempunyai umur yang lebih panjang.(Berhman, RE; et al .
2000)
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying
capacity dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang
jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara prematur.(Paediatrica
Indonesiana,2006)
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga
sumsum-sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor
yang lebih banyak. Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena
adanya kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu
ekspansi sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah
baru. .(Berhman, RE; et al . 2000)

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian

19
kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada
umur-umur yang kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan
sumber-sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang
membutuhkannya dan menempatkan suatu stress yang sangat besar pada
jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan dari pertumbuhan dan
perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap infeksi,
deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfusi. (Permono, H. Dkk. 2010)
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen
yang sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait. (A.V. Hoffbrand
and J.E. Pettit; 1996)

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan


carier/trait. Maka anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2
gen yang termutasi (thalasemia mayor). (Berhman, RE; et al . 2005)
2. Thalasemia alpha
Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang
kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut
sehingga mampu membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak
stabil, mampu bertahan dan memproduksi molekul Hb yang lain seperti
Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi
lebihringannya manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya
dibandingkan dengan thalasemia beta.(Berhman, RE; et al . 2000)

20
Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang
terkena. Pada thalasemia α homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang
diproduksi. Pasiennya hanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb
embrionik. Meskipun kadar Hb nya tinggi tapi hampir semuanya adalah
Hb Bart’s sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan sebagian besar
pasien lahir mati dengan tanda hipoksia intrauterin. (Children's Hospital &
Research Center Oakland. 2005.)
Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan
ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi pasiennya dapat mampu
bertahan dengan HbH dimana kelainan ini ditandai dengan adanya anemia
hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.
Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi. (Children's
Hospital & Research Center Oakland. 2005.)

3.6 Klasifikasi Thalasemia


Thalassemia α / minor
Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis
Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H
Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° )
Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia α+ )
Thalassemia β
Homozigot – thalassemia mayor
Heterzigot- trait thalassemia
Thalassemia intermediate
Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik

1. Thalasemia α
a) Thalasemia homozigot (α0)
Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila
hidup hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops
fetalis dengan edema permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6- 8
g/dl dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s
80% dan sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia

21
gravidarum, perdarahan post partum dan masalah karena hipertrofi
plasenta. Pada pemeriksaan otopsi memperlihatkan adanya peningkatan
kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan dengan transfusi
tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa mencapai normal.
(Berhman, RE; et al . 2005)Gambar Hidrops fetalis :

b) HbH disease
Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan
splenomegali sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel darah
merah dengan elektroforesis atau pada sediaan retikulosit. Pada kehidupan
janin ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian
cresil blue yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan
inklusi. Setelah splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di
eritrosit. Pada beberapa kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan
sebagian besar kasus umumnya penderita bisa tumbuh normal tanpa
transfusi. (Permono, H. Dkk. 2010)
c) Karier thalasemia α
Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α).
Biasanya asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan
dengan penurunan MCH dan MCV yang bermakna. Hb elektroforesisn
normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisa DNA. Pada
masa neonatus, Hb Bart’s 5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa
dewasa dan kadang bisa didapatkan inklusi pada eritrosit karier
thalasemia α.( A.V. Hoffbrand and J.E. 1996)

22
d) Karier thalasemia α silent
Bentuk heterozigot karier thalasemia α+ (–α/αα). Memiliki gambaran
darah yang abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50%
kasus memiliki Hb Bart’s 1-3% tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak
menyingkirkan diagnosa kasus ini.(markum. 1991)
2. Thalasemia β
Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot
memperlihatkan gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang,
kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi tampak pucat dan terdapat
splenomegali. Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya bisa normal
hingga pubertas.(Paediatrica Indonesiana,2006)
Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi),
anak bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan
normal. Bila terapi chelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi
penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada dekade pertama.
Adolscent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi ke hati, endokrin,
dan jantung. (Permono, H. Dkk. 2010)
Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :
a. Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka
dan tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan
tulang tersebut dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun .
(Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005.)

b. Pucat yang berlangsung lama

23
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang
berkaitan dengan anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat
primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan
eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit
intramedular. Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan
destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
( Markum. 1991)
c. Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat
pembesaran hati dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari
hemopoisis ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan akibat dari
penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan biliribin indirek, sehingga menimbulkan kuning pada
penderita thalassemia dan kadang ditemui trombositopenia.
d. Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi
e. Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout
sekunder sering timbul
f. Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia maupun
kegagalan hati akibat penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis
ekstramedular.
g. Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat
penimbunan besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak perempuan)
dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder akibat dari hemosiderosis
yang terjadi pada kelenjar endokrin. Selain pada kelenjar endokrin,
hemosiderosis pada pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus.
Siderosis miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung. (Berhman,
RE; et al . 2000)

3.7 Diagnosis Thalasemia


Thalassemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang
membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis
thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,

24
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor
umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.
1. Anamnesis :
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan. Pada
thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada
usia yang lebih tua.
b. Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor
memerlukan transfusi berkala.
c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
d. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya
hepatosplenomegali.
e. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi
pada ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
Thalassemia paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang
9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.
f. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2. Pemeriksaan Fisis
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis
pada anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat,
sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak
kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi),
hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek,
pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.
3. Laboratorium
Darah perifer lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV
dan MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat
menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait dan
hemoglobinopati.

25
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk
skrining pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan
high Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13,
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) <27 pg (hipokromik).
Thalassemia mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH
12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia,
dan juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena
lebih sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less
suscpetible to storage changes). (kemenkes. 2018)
Gambaran darah tepi
a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit
dan tear-drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek
hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)
b. Total hitung dan neutrofil meningkat
c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,
neutropenia, dan trombositopenia. (kemenkes. 2018)
Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.(kemenkes. 2018)
Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI
akan menurun, sedangkan TIBC akan meningkat. (kemenkes. 2018)
LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya
kemungkinan hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum
SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan
hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah. (kemenkes. 2018)

26
4. Elektroforesis
Hb Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita
thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung
jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar
Hb A2 . petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts
dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%,
sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
(kemenkes. 2018)

5. Pemeriksaan sumsum
tulang Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis
yang sangat aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid
adalah 0,8. pada keadaan normal biasanya nilai perbandingannya 10 :
3.6 (kemenkes. 2018)
6. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis.
Bila tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang
meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat diperbaiki dengan
pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal
terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari korteknya.
Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang
terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on
end” yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak
besar. (kemenkes. 2018)

27
3.8 Tatalaksana Thalasemia
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :
 terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis
 pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi
 penatalaksanaan splenomegali3
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan
kesehatan yang terus menerus seumur hidupnya.
1) Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan
memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi
komplikasi anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses
tumbuh kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah
dimulai pada usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik.
Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel
darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena
dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk
penderita beta thalassemia intermedia, transfuse darah hanya dilakukan
sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta thalssemia mayor
(Cooley’s Anemia) harus dilakukan secara teratur. (kemenkes. 2018)
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak <7 gr/dl yang diperiksa 2x
berturut dengan jarak 2 mingg dan bila kadar Hb >7 gr/dl tetapi disertai
gejala klinis seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur
tulang curiga adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan

28
selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-
12 gr/dl. Darah diberikan dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dL. (kemenkes. 2018)
2) Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan
karena penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut.
Komplikasi tersebut adalah penumpukan besi diberbagai organ.6
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah
mencapai 1000 mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau
sekitar setelah 10 -20 kali transfusi. Pemberian dilakukan secara
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-
35 mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai
transfusi darah. Dosis desferoxamine tidak boleh melebihi 50
mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas desferoxamin
direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.Saat ini
sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia
masih kurang digunakan. (kemenkes. 2018)
3) Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-
sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di
samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi. Asam
Folat → 2x1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
4) Splenektomi Indikasi :
- limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien,
menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya
terjadinya rupture
- meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1
tahun terakhir. (kemenkes. 2018)

29
DAFTAR PUSTAKA

Aster JC, Bunn HF. Pathophysiology of blood disorders. 2nd ed. New
York: McGraw Hill Education; 2017.
A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita
Selekta Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta : 1996, hal 66-85
Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak,
volume 2, edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005,
hal1708-1712
Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of
Pediatrics, 16th edition. WB Saunders company, Philadelphia:
2000, page 1630-1634
Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is
Thalassemia and Treating Thalassemia”.
Herman M, Chaudhry S. Thalassemia [Internet]. McMaster
Pathophysiology Review. [cited 2022 Juli 7]. Available from:
http://www.pathophys.org/thalassemia/
Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991,
hal 331
MENKES. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
Pedoman nasional kedokteran tata laksana thalasemia.
Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal
Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society,
Jakarta: 2006, page 134-138
Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam,
Maria; IDG Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak,
Cetakan ketiga. Penerbit Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm
64-84
Rujito L. 2019. Talasemia : Genetik Dasar Dan Pengelolaan Terkini. Jawa
Tengah: universitas jenderal soedirman.

30

Anda mungkin juga menyukai