Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Pembimbing :

dr. Deden Tommy, Sp.A

Disusun oleh :

Muhammad Syamirul Alam

2017730079

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI KAB. SUKABUMI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Demam
Tifoid” dengan baik. Presentasi laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Umum Daerah Sekarwangi Kab. Sukabumi.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Deden Tommy, Sp.
A sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan,
saran, dan kritik yang membangun. Keberhasilan penyusunan ini tidak akan tercapai tanpa
adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sukabumi, November 2021

Muhammad Syamirul Alam

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I STATUS PASIEN......................................................................................................... 4
1. IDENTITAS PASIEN .............................................................................................................. 4
2. ANAMNESIS ........................................................................................................................... 5
3. PEMERIKSAAN FISIK .......................................................................................................... 6
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG .......................................................................................... 10
5. RESUME ................................................................................................................................ 11
6. DIAGNOSIS KERJA............................................................................................................. 11
7. SARAN PEMERIKSAAN ..................................................................................................... 11
8. TATALAKSANA ................................................................................................................... 11
9. PROGNOSIS .......................................................................................................................... 12
10. FOLLOW UP ......................................................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 15
1. Definisi .................................................................................................................................... 15
2. Epidemiologi ........................................................................................................................... 15
3. Etiologi .................................................................................................................................... 16
4. Patogenesis .............................................................................................................................. 16
5. Manifestasi Klinis .................................................................................................................. 17
6. Diagnosis ................................................................................................................................. 19
7. Tatalaksana ............................................................................................................................ 21
8. Pemantauan Penyakit ............................................................................................................ 22
9. Indikasi Rawat Inap .............................................................................................................. 22
10. Prognosis ................................................................................................................................. 23
BAB III ANALISA KASUS .................................................................................................. 24
1. Dasar Diagnosis Demam Tifoid ............................................................................................ 24
2. Dasar Pemberian Terapi Demam Tifoid ............................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 28

3
BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN

• Nama : HM
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Tanggal Lahir : 23 – 06 – 2005
• No Rekam Medis :680xxx / RD211xxxxxxx
• Usia :16 tahun
• Alamat : Ciheulang Hilir RT 3/ RW 3, Ciheulang Tonggoh, Cibadak,
Sukabumi, Jawa Barat
• Tanggal Masuk RS : 17 November 2021
• Tanggal Pemeriksaan : 19 November 2021
• Ruang Rawat : Ade irma lantai 1 (Aisyah bawah)

IDENTITAS ORANG TUA

Ibu Ayah
Nama : Ny. N Nama : Tn. K
Usia : 38 tahun Usia : 50 tahun
Alamat :Ciheulang Hilir RT 3/ Alamat :Ciheulang Hilir RT 3/
RW3 RW3
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Hubungan : Ibu Kandung Hubungan : Ayah Kandung

4
2. ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien dan Alloanamnesis dengan Ibu pasien pada tanggal 19
November 2021 serta mendapatkan data sekunder melalui data rekam medis RSUD
Sekarwangi.

KELUHAN UTAMA

Demam sejak 7 SMRS.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Sekarwangi dengan keluhan demam
sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan hilang timbul, dirasakan tinggi saat sore dan malam
hari dan turun di pagi hari. Suhu tubuh tidak pernah diukur dengan termometer. Demam tidak
disertai dengan kejang dan ruam kemerahan. Pasien merasakan radang tenggorokan. Keluhan
batuk dan pilek disangkal.

Pasien merasakan tidak nyaman dengan indra pengecapnya. Pasien juga merasakan
nyeri kepala. Nyeri perut disangkal. BAK dan BAB pasien lancar tidak ada keluhan. Pasien
jadi malas makan dan minum hanya sedikit.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

RIWAYAT PENGOBATAN

Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas, namun keluhan tidak kunjung
membaik sehingga ibu pasien membawa pasien ke IGD RSUD Sekarwangi.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

RIWAYAT PSIKOSOSIAL

5
Pasien tinggal bersama tiga anggota keluarganya yaitu ayah, ibu dan adiknya. Ibu
tidak mengetahui ukuran pasti rumahnya, ventilasi di rumah baik. Sumber pencahayaan
cukup. Sumber air minum berasal dari air galon aqua. Rumah sering disapu dan dibersihkan.
Pasien tidur dikamar sendiri.

RIWAYAT POLA MAKAN


Pasien makan – makanan yang bergizi dan bernutrisi dan pasien tidak pernah telat
makan.

RIWAYAT ALERGI

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, debu ataupun makanan.

RIWAYAT IMUNISASI

Ibu pasien mengatakan pasien sudah imunisasi lengkap.

3. PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis, GCS E4/V5/M6
• Tanda-tanda vital
o Denyut nadi : 98 x/menit, kuat angkat, reguler
o Laju pernapasan : 22 x/menit, reguler
o Suhu : 36,6°C
• Antropometri
o Berat Badan : 48 kg
o Panjang Badan : 160 cm
o Lingkar Kepala : 48 cm
o Status Gizi
BB : 48 kg
TB : 160 cm
BB 48 48
IMT = 𝑇𝐵2 = 1,602 = 2,56 = 18,75 𝑘𝑔/𝑚2

Status Gizi (Interpretasi menggunakan Kurva CDC)

6
BB/U → Gizi kurang menurut kurva CDC

TB/U → Perawakan Normal menurut kurva CDC

BB/TB → (BB aktual÷BB ideal) x100% = (48÷54) x100%=88%

kesan Gizi kurang menurut kurva CDC

IMT/U → Gizi kurang menurut kurva CDC

7
8
9
o Kepala : Normochepal
o Rambut : Hitam terdistribusi rata, tidak mudah rontok
o Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-)
o Hidung : Epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-)
Sekret (-/-)
o Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-)
o Mulut : Mukosa mulut lembab, tonsil T1 T1, faring hiperemis (-)
o Paru
– Inspeksi : Gerak napas tampak simetris, retraksi dada (-)
– Palpasi : Tidak dilakukan
– Perkusi : Tidak dilakukan
– Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
o Jantung
– Inspeksi : Tidak dilakukan
– Palpasi : Tidak dilakukan
– Perkusi : Tidak dilakukan
– Auskultasi : reguler, murmur (-), gallop (-)

o Abdomen
– Inspeksi : Datar, distensi abdomen (-)
– Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
– Perkusi : Tidak dilakukan
– Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit
kembali cepat
o Ekstremitas : CRT <2 detik, edema (-), akral hangat

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 17 November 2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hb (Hemoglobin) 16 gr% 13-16
Jumlah Leukosit 13.900 /mm3 4.000-11.000

10
Trombosit 128.000 /mm3 150.000 – 400.000
Hematokrit 46 % 41-53
WIDAL (4 PARAMETER)
S. Typhi O 1/320 1/80
S. Typhi H 1/160 1/80
S. Paratyphi A - O 1/160 1/80
S. Paratyphi A - H 1/320 1/80

5. RESUME

Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Sekarwangi dengan keluhan demam sejak 7
hari SMRS. Demam dirasakan hilang timbul, dirasakan tinggi saat sore dan malam hari dan
turun di pagi hari. Suhu tubuh tidak pernah diukur dengan termometer. Demam tidak disertai
dengan kejang dan ruam kemerahan. Pasien merasakan radang tenggorokan. Keluhan batuk
dan pilek disangkal. Pasien merasakan tidak nyaman dengan indra pengecapnya. Pasien juga
merasakan nyeri kepala. Nyeri perut disangkal. BAK dan BAB pasien lancar tidak ada
keluhan. Pasien jadi malas makan dan minum hanya sedikit. Hasil laboratorium darah
lengkap perifer menunjukan adanya peningkatan jumlah leukosit dan penurunan trombosit.
Sedangkan, pada tes serologi uji widal didapatkan hasil titer S. Typhi O 1/320, S. Typhi H
1/160, S. Paratyphi A – O 1/160 dan S. Paratyphi A – H 1/320.

6. DIAGNOSIS KERJA

• Diagnosis Klinis
Demam Tifoid

7. SARAN PEMERIKSAAN

Tidak diperlukan

8. TATALAKSANA

Farmakologi:

o IVFD RL Kolf 21 Tpm makro

11
o Cefotaxime 4 x 750 mg IV
o Paracetamol 4 x 500 mg IV
o Ranitidin 2 x 45 mg IV
o Aquabidest No II
o Curcuma 1 x 1

Non Farmakologi:

Terapi suportif seperti tirah baring dan diet makanan lunak serta kurangi konsumsi
makanan tinggi serat (sayur dan buah).

9. PROGNOSIS
o Ad vitam : ad bonam
o Ad fungsionam : ad bonam
o Ad sanationam : Dubia ad bonam

10. FOLLOW UP

17 November 2021
S:
Pasien masih merasakaan demam naik turun, batuk (+), mual (+), muntah (-), pusing
(+)

O:
Pemeriksaan fisik
- Kesadaran: compos mentis
- Keadaan umum: sakit sedang
- Tekanan Darah :100/70 mmHg
- Nadi: 90 kali/menit
- RR: 22 kali/menit
- S: 36,2°C
- Kepala: normochepal
- Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung: epistaksis (-/-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut: mukosa bibir kering (-)

12
- Thorax: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen: Bising usus terdengar, turgor kulit baik
- Ektremitas: akral hangat, edema (-)
A: Demam tifoid
P:
o IVFD RL Kolf No I 21 Tpm makro
o Cefotaxime 4 x 750 mg IV
o Ranitidin 2 x 45 mg IV

18 November 2021
S:
Pasien masih merasakan demam (+), batuk (+), mual (-), muntah (-)

O:
Pemeriksaan fisik
- Kesadaran: compos mentis
- Keadaan umum: sakit ringan
- Tekanan Darah :100/70 mmHg
- Nadi: 107 kali/menit
- RR: 26 kali/menit
- S: 37,5°C
- Kepala: normochepal
- Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung: epistaksis (-/-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut: mukosa bibir kering (-)
- Thorax: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen: Bising usus terdengar, turgor kulit baik
- Ektremitas: akral hangat, edema (-)
A: Demam tifoid
P:
o IVFD RL Kolf No II 21 Tpm makro
o Cefotaxime 4 x 750 mg IV

13
o Ranitidin 2 x 45 mg IV

19 November 2021
S:
Pasien merasakan demam(+), batuk (+), mual (-), muntah (+)

O:
Pemeriksaan fisik
- Kesadaran: compos mentis
- Keadaan umum: sakit ringan
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi: 90 kali/menit
- RR: 22 kali/menit
- S: 38,1°C
- Kepala: normochepal
- Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung: epistaksis (-/-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut: mukosa bibir kering (-)
- Thorax: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen: Bising usus terdengar, turgor kulit baik
- Ektremitas: akral hangat, edema (-)
A: Demam tifoid
P:
o IVFD RL Kolf No III 21 Tpm makro
o Cefotaxime 4 x 750 mg IV
o Paracetamol 4 x 500 mg IV
o Ranitidin 2 x 45 mg IV
o Memberikan kompres hangat

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID
1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam enterik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi disebut Demam Tifoid dan demam yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi
A disebut Demam Paratifoid, dengan gejala sistemik yang lebih ringan. Manusia
merupakan satu-satunya sumber infeksi. Infeksi ditularkan melalui saluran cerna
secara fekal-oral oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi. Selama terjadinya
infeksi, bakteri tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan menuju aliran darah sistemik. Masa inkubasi biasanya 7 – 14
hari, tetapi rata-rata 3 – 30 hari. Dua sampai lima persen dari manusia yang terinfeksi
akan menjadi karier kronik yaitu manusia tersebut masih memiliki Salmonella
enterica yang berada di dalam kandung empedunya.

2. Epidemiologi
Demam tifoid masih menjadi permasalahan kesehatan secara global. Hingga
sampai saat ini masih sulit untuk memperkirakan kejadian terjadinya demam tifoid
dikarenakan gambaran klinis yang hampir mirip dengan penyakit infeksi lainnya dan
kurangnya beberapa sumber laboratorium di negera berkembang. Sebagai hasilnya,
banyak kasus demam tifoid yang masih tidak terdiagnosis dengan benar
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,
karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%.
Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun
(1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%). Prevalensi 91% kasus
demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, dengan kejadian meningkat setelah usia 5

15
tahun. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh S.typhi dan sisanya disebabkan oleh
S.paratyphi.
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi.
Penyakit yang menyebabkan gejala lebih ringan disebabkan oleh Salmonella serotype
paratyphi A. Di berbagai negara, perbandingan demam tifoid yang disebabkan oleh S.
typhi dengan S. paratyphi adalah 10:1
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella
berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu
motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih
bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,
subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang
membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O
somatik dan antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi
terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi
komplemen oleh jalur yang lain atau melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan
pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella
paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh S. typhi.

4. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

16
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
5. Manifestasi Klinis
Menurut WHO (2011) berikut beberapa manifestasi dari tifoid, yaitu:
• Demam, sakit kepala, penurunan nafsu makan, dan batuk kering
• Denyut nadi menurun dan terdapat pembesaran limpa
• Beberapa pasien memiliki bercak kemerahan pada batang tubuh
• Konstipasi atau diare
• Gejala dapat muncul 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
• Beberapa pasien mungkin tidak memiliki gejala
Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat perlahan-lahan
terutama saat sore hingga malam hari, pusing, batuk, nyeri otot, anoreksia, mual, dan
muntah. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis.

17
Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun
diare juga ditemukan.
Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap
tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita
mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain
berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar dapat pula ditemukan. Perbaikan
dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan
keadaan umum tampak membaik.
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti
naik tangga (step ladder) sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri
kepala, malaise dan menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu
pada pasien yang tidak diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar
saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam
intermitten), sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari
intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu).
Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat
normal kembali pada akhir minggu ke-3.
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada
penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri
perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial,
misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala
lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa
tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu.
Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu.
Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
seluruh badan, letargi dan demam.

18
6. Diagnosis
Anamnesis

Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari,


demam naik secara bertahap setiap hari disertai dengan nyeri kepala, batuk, mual
dan muntah, konstipasi atau diare, nyeri perut, anoreksia, perut kembung. Pada
tifoid yang berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.

Pemeriksaan fisik

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar mempunyai typhoid tongue yaitu
bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, hepatomegali atau
splenomegali sering ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang

• Biakan Salmonella
Kultur Salmonella dapat diambil dari spesimen darah, sumsum tulang atau
lesi spesifik. Kultur darah mempunyai sensitivitas terbaik (40-60%) bila
dilakukan pada minggu pertama sampai awal minggu kedua karena masih
terjadi bakteremia. Kultur dari spesimen urin, feses atau sumsum tulang
dapat digunakan sesudah bakteremia sekunder pada minggu ke 2 – 3
(sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif,
sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan
dalam praktek.
Kegagalan kultur dapat terjadi jika adanya keterbatasan media
laboratorium, pasien sudah dalam pengobatan antibiotik, volume spesimen
kultur atau waktu demam pasien sudah lebih dari 7 sampai 10 hari.
• Pemeriksaan darah rutin
Sering ditemukan anemia ringan dengan normokrom normositer akibat
supresi sumsum tulang, defisiensi Fe atau perdarahan usus. Leukopenia tetapi
jarang mencapai <2500/mm3 disertai limfositosis relatif. Namun dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis Selain itu pula dapat

19
ditemukan trombositopenia yang cukup berat terutama pada akhir minggu
pertama.
• Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H
dari S. Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari
ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
Pada orang yang sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh
karena itu uji Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit. Selain itu
uji Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah, lalu S. typhi memiliki
antigen yang sama dengan serotipe Salmonella yang lain dan dapat bereaksi
silang dengan Enterobacteriaceae, yang mana hal ini dapat menghasilkan
kejadian false positif (malaria, infeksi dengue, riwayat imunisasi tifoid).
Hasil negatif palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar,
penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat
ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat
kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa
keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.
Uji Tubex adalah tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat, kurang lebih 2 menit dengan menggunakan partikel yang berwarna
untuk meningkatkan sensitivitas. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM O9 dan tidak mendeteksi
antibodi IgG. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik
daripada uji Widal. Hasil positif dari Tubex menunjukkan infeksi
Salmonella, walaupun tidak spesifik menjelaskan tentang grup D Salmonella
yang mana namun infeksi oleh serotipe yang lain seperti S. paratyphi, pasti
akan memberikan hasil negatif. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.
20
Adapun uji serologis lainnya yaitu Typhidot, yang performanya
membutuhkan waktu 3 jam, dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG S. typhi.
Deteksi IgM menunjukkan infeksi akut sedangkan deteksi kedua antibodi
(IgM dan IgG) menunjukkan tifoid akut pada fase infeksi pertengahan. Pada
area endemik yang tinggi, dimana transmisi tifoid tinggi, deteksi IgG spesifik
akan tinggi pula. IgG dapat bertahan lebih dari 2 tahun setelah infeksi tifoid.
Namun hal ini menimbulkan keambiguan karena pada pasien yang
mengalami reinfeksi sekunder tifoid menunjukkan hasil serologi IgG yang
meningkat melebihi IgM. Oleh karena itu, pemeriksaan yang terbaru yaitu
Typhidot-M dapat dijadikan alternatif karena hanya mendeteksi IgM antibodi
saja.

7. Tatalaksana
1) Non farmakologi
Terapi suportif seperti tirah baring, isolasi memadai serta kebutuhan cairan dan
kalori yang adekuat. Berikan diet makanan lunak seperti bubur saring. Setelah
demam menurun, dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori
terpenuhi sesuai kebutuhan. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari
komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
2) Farmakologi
Lebih dari 90% pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
antimikroba oral. Tidak diperlukan adanya uji kultur dan tes sensitifitas untuk

memberikan pilihan antibiotik.

21
Dalam sebuah penelitian Antolis dkk., yang dilakukan pada 65 pasien demam
tifoid tanpa komplikasi berusia 2 – 13 tahun, dilakukan percobaan penggunaan obat
Azitromisin dan Kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Hasilnya, diketahui
bahwa pasien yang mengonsumsi Azitromisin memiliki waktu penyembuhan kejadian
demam lebih cepat sehingga penyembuhan gejala klinisnya pun lebih cepat dibandingkan
kloramfenikol.

8. Pemantauan Penyakit
Pemantauan demam tifoid, yaitu:

a. Terapi
• Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adalah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S. typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis
• Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjut di rumah.
b. Penyulit
• Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.
• Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, dan syok septik

9. Indikasi Rawat Inap


Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
o Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan
dan kalori diberikan melalui sonde lambung
o Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah
o Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
o Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
o Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
o Pelihara keadaan nutrisi
o Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit

22
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
o Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
o Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup
o Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus.

10. Prognosis
Gejala demam tifoid biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu
pengobatan dan hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal tetapi akan menjadi
lebih buruk apabila timbul komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.

23
BAB III
ANALISA KASUS
1. Dasar Diagnosis Demam Tifoid
Teori Temuan pada pasien
Demam meningkat perlahan-lahan Pasien dibawa oleh
terutama saat sore hingga malam hari, keluarganya ke IGD RSUD
demam naik secara bertahap setiap Sekarwangi dengan keluhan demam
hari disertai dengan nyeri kepala, sejak 7 hari SMRS. Demam
batuk, mual dan muntah, konstipasi dirasakan hilang timbul, dirasakan
atau diare, nyeri perut, anoreksia, tinggi saat sore dan malam hari dan
perut kembung. turun di pagi hari. Suhu tubuh tidak
pernah diukur dengan termometer.
Demam tidak disertai dengan kejang
dan ruam kemerahan. Pasien
merasakan radang tenggorokan.
Keluhan batuk dan pilek disangkal.
Pasien merasakan tidak nyaman
dengan indra pengecapnya. Pasien
juga merasakan nyeri kepala. Nyeri
perut disangkal. BAK dan BAB
pasien lancar tidak ada keluhan.
Pasien jadi malas makan dan minum
hanya sedikit.

Teori Temuan pada pasien


KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran menurun, delirium,
Kesadaran : CM
sebagian besar mempunyai typhoid
Tanda-tanda vital :
tongue yaitu bagian tengah kotor
Nadi : 98 kali/menit, teraba lemah
dan bagian pinggir hiperemis,
Tekanan darah : Tidak dilakukan
hepatomegali atau splenomegali
sering ditemukan. Laju pernapasan : 22 kali/menit

24
Suhu : 36,60C
Saturasi oksigen : 98%
Pemeriksaan fisik:
Kepala : normocephal, rambut hitam
terdistribusi rata, tidak mudah rontok
Mata : SI -/-, Cekung (-/-), konjungtiva
anemis (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), serumen (-
/-)
Hidung : napas cuping hidung (-), darah
(-), sekret (-)
Mulut : mukosa bibir lembab, tonsil T1
T1, faring hiperemis (-)
Paru : retraksi otot pernapasan (-), nyeri
tekan (-), suara napas vesikuler kuat
reguler (+/+)
Abdomen : nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak terababising usus (+)
12x/menit, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2
detik.

25
Teori Temuan pada pasien
Pemeriksaan penunjang pada Pada kasus :
pemeriksaan darah perifer lengkap Hasil laboratorium darah lengkap
sering ditemukan leukopenia namun perifer menunjukan adanya
dapat pula terjadi kadar leukosit peningkatan jumlah leukosit dan
normal atau leukositosis. penurunan trombosit. Sedangkan,
pada tes serologi uji widal
didapatkan hasil titer S. Typhi O
1/320, S. Typhi H 1/160, S.
Paratyphi A – O 1/160 dan S.
Paratyphi A – H 1/320.

2. Dasar Pemberian Terapi Demam Tifoid


Teori Pemberian pada pasien
o Terapi yang diberikan pada o IVFD RL Kolf 21 Tpm
pasien ini ialah terapi rumatan untuk makro
menjaga keseimbangan cairan o Cefotaxime 4 x 750 mg IV
menggunakan cairan D5 ½ Normal o Paracetamol 4 x 500 mg IV
Saline. Kebutuhan total cairan per hari o Ranitidin 2 x 45 mg IV
pada anak = (500 x 20) / (60 x 8 ) = 21 o Aquabidest No II
Tpm o Curcuma 1 x 1
o Cefotaxime 50 – 100
Non-Farmakologi:
mg/kgBB/hr (Sedian : Inj 500 mg: 1
g/vial)
Terapi suportif seperti tirah
o Dosis paracetamol 10
baring dan diet makanan lunak
mg/kgBB/hr (Tab 500 mg. Inj 10 mg/
serta kurangi konsumsi makanan
2 ml)
tinggi serat (sayur dan buah).
o Dosis Ranitidin 2 mg/kgBB

26
o Curcuma 1x1

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, Antonius. 2009. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid 1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI).
2. Garna, Herry. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi 5.
Bandung: Departemen/SMF IKA FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan
Sadikin
3. Nurhamzah, Waldi. 2009. Buku Saku Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit Rujukan Pertama di Kabupaten/Kota (WHO 2005). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI).
4. Tambunan, Taralan. 2013. Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
5. World Health Organization. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever.
WHO
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2002. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis.

28

Anda mungkin juga menyukai